T H E Y O U T H C R I M E
09
"PAK MARTINUS! Ada kabar buruk!"
Sang kepala sekolah memajukan posisi duduknya saat mendengar kabar yang tak menyenangkan itu. "Apa?!"
Penampilan GAC berlangsung hingga pukul sebelas malam tetapi pihak sekolah segera menghentikannya sepuluh menit lebih awal dari yang telah dijadwalkan dan memberi pengumuman mendadak. Malam itu semua warga sekolah diliputi rasa was-was dan keanehan yang tak diduga-duga sebelumnya.
Sesuai kabar burung yang mulai beredar dan didengar oleh para siswa, ada beberapa anak-anak SMANJA yang hilang di tengah acara tengah berlangsung. Karenanya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka pihak sekolah bertindak cepat dalam memulangkan anak-anak dengan prosedur yang tepat.
"Di informasikan kepada seluruh siswa untuk segera berbaris! Bapak dan Ibu guru akan melakukan absen."
Lampu-lampu panggung padam seketika diikuti nyala lampu lapangan basket yang terang benderang. Usai menyanyikan lima lagu dalam perasaan haru dan senang, GAC meninggalkan panggung diikuti seruan dan tepuk tangan dari anak-anak sambil mengucap salam perpisahan. Mereka segera berbaris dengan berdesak-desakan akibat pengumuman mendadak, dipenuhi kepanikan. Mahendra berusaha menenangkan mereka dengan mempercepat proses absensi siswa.
"Huh? Mendadak begini?"
"Astaga, aku sangat kecewa!"
"Sial!"
Anak-anak dipulangkan dengan tertib, menghampiri orang tuanya yang sudah bersiap di gerbang sekolah, adapula yang memacu motor ninja miliknya sembari menekan-nekan gas untuk mengejutkan pengendara lain dan melewati sepinya jalan raya. Kalau sudah malam, jalanan akan berubah jadi arena balapan. Kecepatan dan kekuatan mesin motor diadu dengan sengit.
Fransisca berlari kecil menuju ruang kepala sekolah, melintasi lorong kelas yang telah menyepi. Martinus tampak sibuk mengecek dokumen di komputer.
Pintu diketuk.
"Masuk!"
Fransisca menyodorkan kertas-kertas absensi yang telah diisi sebelumnya dan membaca catatan kecil. "Selamat malam, Pak. Dari kelas 10 ada lima belas siswa tidak hadir karena sakit. Dari kelas 11 ada sepuluh siswa tidak hadir karena izin dan sakit. Sementara dari kelas 12 ada dua puluh satu siswa tidak hadir karena izin dan .…" Fransisca membolak-balik catatan absensi itu, ada pesan singkat.
"Jangan lupa cek daftar hadir siswa tadi pagi. Siapa tahu ada yang mencurigakan," celetuk Martinus.
"Baik, diketahui ada tiga siswa dari kelas 12-E yang tercantum hadir di daftar absensi pagi. Tapi saat absensi malam tadi, ketiganya tidak diketahui keberadaannya bahkan teman-teman sekelasnya tidak ada yang tahu."
"Apa mereka bertiga membawa motor masing-masing?"
"Ya dan saat ini ada tiga motor yang masih terparkir di area parkir sekolah sesuai keterangan dari satpam."
"Astaga, apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mungkin mereka hilang begitu saja." Martinus menyentuh keningnya, pusing. Setelah perayaan ulang tahun meriah, rupanya ada masalah. Masalah serius apalagi sampai beberapa siswa hilang.
Fransisca memainkan kuku tangannya sambil menatap sang kepala sekolah yang terlihat begitu kebingungan. "Pak Martinus, sejujurnya … saya …."
Percakapan keduanya berlangsung cukup lama. Hingga menyentuh pukul dua pagi, mereka berdua sibuk membicarakan kejelasan dari hilangnya siswa yang kemungkinan tidak benar-benar hilang. Meski pada akhirnya menemukan titik buntu, setidaknya Martinus tahu bagaimana kronologi yang menimpa tiga siswa. Suara langkah kaki dibarengi ketukan pintu.
Mahendra datang bersama ketiga orang tua yang masing-masing berwajah cemas, bingung dan linglung. Mereka sama-sama mencemaskan keberadaan anak-anaknya dan memaksa pihak sekolah untuk memberi penjelasan.
"Katanya anak saya hilang?Bagaimana mungkin?!" cecar seorang bapak berkumis yang ingin meninju Martinus tetapi ditahan oleh Mahendra.
"Di mana anak saya?! Saya sudah menunggunya dari tadi ternyata anak saya belum juga pulang!" pekik seorang ibu dengan wajah memelas.
"Mohon tenang, Bapak dan Ibu. Saya tahu Anda sekalian sangat cemas tetapi mohon untuk tidak mengutamakan emosi. Mari kita bicarakan secara baik-baik. Silakan duduk."
Fransisca meletakkan tiga gelas air mineral diiringi Martinus yang mengawali pembicaraan dengan menanyakan identitas masing-masing siswa.
"Jadi seperti yang sudah Bapak dan Ibu ketahui sebelumnya, siswa atas nama Pramoedya, Egy dan Viki ini mengobrol bersama di koridor kelas. Tak lama setelah itu mereka hilang dan terdengar suara tawa diakhiri dengan jeritan."
"Artinya?" tanya salah satu orang tua yang masih tak mengerti dengan penjelasan Martinus.
"Sepertinya mereka ditangkap oleh orang dewasa. Mengamati dokumen guru BK, rupanya tiga siswa ini sempat tergabung di geng remaja nakal yang sering membuat onar dan masalah di kelas."
"Ah, yang benar saja!"
***
Mahendra menarik gas motornya beberapa kali. Jalam raya sudah sepi, menyisakan anjing dan kucing liar berkeliaran mencari makan.
Mahendra merebahkan tubuhnya di atas ranjang tidur bermotif singa, sebentar-sebentar melirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Kelopak matanya berusaha menutup tetapi isi kepalanya terus-menerus memberontak. Dia berjalan sebanyak lima langkah untuk mengambil air minum di kulkas dan menyalakan lampu tidur. Pena dan jurnal harian sudah siap. Menulis lagi.
"Hilangnya anak-anak
Turunnya hujan memunculkan genangan-genangan air.
Mahendra tak bisa berleha-leha, di awal bulan Agustus ini segala tugas harus diembannya sesegera mungkin. Habis merayakan anniversary, terbitlah beragam kompetisi.
Kompetisi Mata Pelajaran SMANJA atau biasa disingkat KOMPAS ialah kompetisi berskala besar yang mengundang peserta didik tingkat SMP dari seluruh sekolah di Indonesia. Ini telah berlangsung sejak tahun 2000 yang di mana melahirkan banyak generasi-generasi pecinta prestasi yang tak ragu untuk menggali potensi. Persaingan yang begitu sengit untuk mengalahkan ribuan peserta dengan kemampuan dan cara berpikir yang berbeda. Ada empat mapel yang akan diujikan yakni matematika, bahasa Inggris, IPA dan IPS. Materi kompetisi telah disesuaikan dengan kurikulum SMA dan sebagian kecil SMP, di mana para peserta didik harus pintar-pintar mengelola waktu belajar. Tujuannya hanya satu, meraih tiket emas sebagai jalur pendaftaran SMANJA secara gratis dan tak perlu mengikuti tes.
KOMPAS XVIII diikuti lebih dari seratus ribu peserta didik. Mayoritas berasal dari Jakarta dan dari pemenang tahun-tahun sebelumnya juga rata-rata diraih oleh para pelajar di Jawa. Pendidikan di Indonesia memang kurang merata, di Jawa sudah disesaki oleh puluhan universitas dan sekolah-sekolah bertaraf nasional dan internasional sementara di daerah lain sedang berupaya untuk melahirkan sekolah berkualitas.