T H E Y O U T H C R I M E
08
KALAU SENANG jangan terlalu begitupun sedih sebab keduanya kadang bisa terjadi secara bersamaan dan itu pertanda buruk.
Mahendra terpilih sebagai panitia yang akan menyusun serta mengatur tata acara agar berjalan lancar. Sejak pagi dia bersama para siswa melakukan pelatihan dan persiapan atau biasa disebut gladi bersih sampai melewatkan sarapan. Penampilan anak-anak perlu diperhatikan agar tidak terjadinya masalah-masalah yang bisa menghambat lancarnya acara.
"Check sound, check, satu, satu," Mahendra mengetes kejelasan dan volume suara agar pas dan cocok untuk didengar penonton.
Wakil kepala sekolah, Fransisca tampak mengamati persiapan acara yang sudah mencapai sembilan puluh persen. Sebelumnya ia sudah berkomunikasi dengan asisten bintang tamu yang akan datang pukul sembilan malam untuk membicarakan jadwal pasti.
Bintang tamu yang akan diundang ialah trio penyanyi yang sebelumnya sempat terkenal dan populer di media sosial sekitar awal tahun 2010-an yang membuat anak-anak muda menaruh kecintaannya terhadap musik modern Indonesia. Bukan hanya tentang percintaan atau perjalanan lika-liku romansa dua sejoli, trio penyanyi ini lebih mengedepankan sisi nilai kehidupan dan naluri semangat.
Melihat antusiasme warga sekolah yang begitu besar, tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal-hal buruk. Misalnya gerbang sekolah yang tidak akan ditutup sampai larut malam dan satpam yang hanya berjaga di area depan sekolah sangat kurang. Di bagian belakang sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan permukiman penduduk tentunya bisa saja menimbulkan rasa was-was akan kehadiran orang asing. Kendati banyak orang yang menganggap perayaan anniversary ke-50 ini akan lebih meriah, keamanan dan kelancaran acara juga harus diperhatikan.
Mahendra berjalan menuju ruang kepala sekolah. Sang kepala sekolah sempat berpesan apabila memiliki keluhan dan saran maka bisa secepatnya dilaporkan ke ruangan pribadinya. Martinus terlihat sedang mengamati berkas dan daftar susunan acara ulang tahun. Mahendra menyapanya lebih dulu.
"Selamat pagi, Pak. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, apa sebaiknya kita mengerahkan pihak keamanan, Pak?" tanya Mahendra.
Martinus melempar sorot mata curiga. "Repot sekali. Satpam sekolah sudah bersiap dan berjaga-jaga jadi tak perlu dikhawatirkan."
"Jumlah satpam sangat sedikit, Pak." Mahendra memunculkan argumen miliknya.
"Ah, tenang saja. Tahun lalu pun perayaannya semeriah sekarang dan tidak ada masalah berarti." Martinus tersenyum optimis seraya menggerakkan tangan kanannya, tanda ia tak ingin diberi pertanyaan lagi.
"Tapi–"
Martinus menginjak lantai ruang kepala sekolah dengan keras, giginya berbunyi tanda ia begitu marah. "Kenapa kau sering membantah ucapanku?! Jalankan tugasmu dengan baik dan jangan berpikir yang tidak-tidak! Keluar!"
Mahendra sedikit tertegun melihatnya dan sedikit menunduk. "Baik, Pak."
Beragam karangan bunga berdatangan, memenuhi sudut depan sekolah yang telah dipadati oleh gerombolan siswa dengan membawa peralatan acara. Karangan indah nan dipenuhi kata-kata mutiara itu ialah hal biasa sebagai bentuk partisipasi beberapa pihak yang turut andil dalam perayaan ulang tahun. Salah satu karangan bunga menarik perhatian mata hitam Mahendra, itu paling besar dan paling lebar. Di sana tertulis dengan huruf tercetak tebal:
HAPPY ANNIVERSARY
50
SMA NASIONAL JAKARTA
1 Agustus 1968
-
1 Agustus 2018
Ganesha Juara
Sebagai informasi, Ganesha Juara ialah pusat bimbingan belajar terkenal di pulau Jawa yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. SMANJA juga ikut mempromosikan bimbel itu misalnya mayoritas siswa mengikuti Ganesha Juara dibandingkan bimbingan lain yang dari segi kualitas memang beda jauh. Harganya pun begitu mahal bagi dompet para siswa maka mereka berusaha membujuk orang tua.
"Sesuai agenda, semua panitia berkumpul jam 17.50!"
Ibu Deysi mengumpulkan semua anggota panitia untuk bersiap dan saling bersinergi dalam menghadapi acara ulang tahun yang telah dinanti-nanti. Sepuluh menit lagi akan segera dimulai dan aula sekolah telah dipadati oleh para siswa-siswi dengan terburu-buru sejam sebelumnya agar kebagian tempat duduk yang terbatas.
"Selamat malam warga SMANJA!" Martinus mengucap salam membahana nan bersemangat.
Sorak-sorai bergembira diiringi tepuk tangan meriah mewarnai aula sekolah yang telah dipadati oleh siswa-siswi. Para orang tua juga tak kalah semangat untuk menyaksikan aksi anak semata wayangnya yang akan tampil di panggung nanti.
"Sesuai tema ulang tahun kali ini, 'Tumbuhkan Semangat, Hasilkan Anak-anak Hebat' semoga semakin banyak siswa termotivasi dan selalu menggali potensi diri!"
Pembawa acara segera melanjutkan acara itu sampai pertengahan dengan beragam pidato dari berbagai pihak memunculkan rasa jenuh dan bokong jadi panas. Acara utama segera dilangsungkan untuk mengusir segala beban dan keraguan.
"Acara utama, persembahan dance dari kelas 11! Fire Wave!"
Lampu menyala, panggung terbuka dan musik bersuara. Kehadiran para dancer diikuti lampu sorot menimbulkan semangat membuncah dan sensasi luar biasa. Ketiga dancer berdiri sesuai posisi sambil menundukkan kepala dan Aksan yang sekalipun wajahnya belum terekspos segera diikuti oleh seruan-seruan dari kaum hawa.
"SEMANGAT AKSAN!"
"LOVE YOU!"
"MEYSA! TIO! SEMANGAT BESTIE!"
Setelah musik berjalan tiga puluh detik, lampu sorot mati diikuti gerakan-gerakan dinamis yang segera menarik perhatian. Latar panggung yang semula hitam kini tergantikan dengan warna merah untuk memberi kesan berdarah. Penampilan ketiga dancer terbilang sangat kompak dan solid bersama para penari lainnya di belakang. SMANJA seolah berubah menjadi tempat diskotik yang penuh dengan musik dj dan perkumpulan anak muda sambil minum-minum tetapi bukan minuman alkohol tentu saja. Malam makin larut, kegemparan panggung makin intens.
Musik yang menggetarkan panggung juga menggoyangkan pinggul anak-anak, mereka memotret gambar dan membagikannya ke media sosial. Lima menit telah berlalu, penampilan Fire Wave diakhiri dengan gerakan akhir masing-masing sesuai dengan ciri khasnya diikuti padamnya lampu dan musik berhenti. Para penonton masih memberikan tepuk tangan walau Aksan bersama timnya telah meninggalkan panggung dengan sedikit kelelahan.
Sang pembawa acara berjinjit sebentar dan mengambil mikrofon. "Acara yang paling ditunggu-tunggu! Persembahan lagu dari GAC! Selamat menyaksikan!"
"GAMALIEL! GANTENG IH!"
"AUDREY! CANTIKA! DUH CANTIK BADASS!"
Semua siswa menyiapkan kamera ponselnya masing-masing, melambaikan tangan ke langit-langit mengikuti irama musik dan lirik yang mendayu-dayu. Entah mengapa lagu yang diputar ialah lagu bernuansa kesedihan nan dingin akibat kepergian seseorang.
Mahendra mengamati kemeriahan acara ulang tahun itu lewat jendela di ruang kelas 11-A yang mengarah langsung pada lapangan basket. Sangat megah dan indah. Semuanya hanyut dalam perasaan masing-masing. Ada yang tertawa. Ada yang sendirian menikmati tontonan tanpa teman. Bahkan menjatuhkan air mata bahagia. Di pikir-pikir, Mahendra tak sangka waktu berjalan begitu cepat. Dulu semasa SMA dia adalah lelaki culun yang tidak suka keributan dan pendiam. Sewaktu perpisahan tiada satupun teman yang memberikannya ucapan atau bunga plastik, hanya sekadar senyuman. Kini dia merasakan sensasi yang sama seperti dulu. Sepi. Mengamati keramaian dari jauh adalah kesenangan tersendiri.
"Ku terus berlari tanpa kaki ...."
Tidak sadar Mahendra juga ikut menyanyikan baris lirik itu. Hampa. Malam ini dia cukup menikmati kesendirian, memandang bangku-bangku kelas dan meja guru. Guru honorer bukan pekerjaan yang mudah. Sama halnya dengan pekerjaan lain, ada senang dan tidaknya. Intinya, cintailah pekerjaan senantiasa pekerjaan itu akan memberikan hasil yang lebih.
"Bu Fransisca, daftar anak-anak yang ikut acara ulang tahun sekolah di mana ya?" tanya Ibu Deysi yang tampak mengurusi kebutuhan para penari dan pengisi acara. Kendati ia terkenal galak tetapi sebenarnya ia sangat sayang dengan anak-anak yang pandai.
"Ah! Sebentar saya ambilkan daftarnya di ruang guru, Bu."
Fransisca melangkah cepat menuju ruang guru, terlebih dulu melewati koridor kelas sebagai rute yang paling cepat. Ia melewati beberapa anak laki-laki berpakaian kaus SMANJA yang asyik mengobrol. Setelah membuka pintu dan mengambil daftar yang diperlukan, tiba-tiba kupingnya mendengar tawa yang begitu nyaring seperti setan.
Malam-malam begini ada hantu? Pikir Fransisca yang kalau dipikir-pikir juga mustahil. Ia berjalan menuju koridor dan terhenti. Anak-anak itu tidak ada. Mereka pasti sudah pergi, tetap saja firasat Fransisca menunjukkan kejanggalan. Suara tawa terdengar lagi, ia berlari ke arah kelas 10-A kemudian ke kelas lainnya, tidak ada siapa-siapa. Sampai tawa itu berubah menjadi teriakan kesakitan.
Buk. Karena tak fokus dan sibuk mencari asal suara ia menabrak seseorang. "Maaf." Fransisca melanjutkan pencariannya, tiba-tiba instingnya memberitahu sesuatu. Seseorang. Ia melirik sekilas ke arah sesosok manusia kecil, berjalan dengan begitu pelan dan waspada diantara koridor gelap yang minim penerangan. Entah siapa tetapi sosok itu membalas lirikan mata Fransisca dengan tatapan singkat. Ia ingin mendekati sosok kecil itu tetapi enggan.
"Hei!"
Fransisca memekik kecil. Di hadapannya muncul lelaki usil dengan senyum gigi gingsul. Mahendra dihantam rasa penasaran oleh tingkah wanita itu yang mencurigakan. "Hendra! Kau tidak sopan seperti itu!"
"Maaf. Habisnya kau sendirian di sini tanpa siapa-siapa. Patut dipertanyakan," Mahendra menopang dagu layaknya detektif yang sedang mencari-cari jarum dalam setumpuk jerami.
Fransisca memekik. "Mereka hilang!"
"Apa kau bilang?" Mahendra kini sedikit tertarik.
"Dengar, tadi aku ingin mengambil daftar di ruang guru. Ada tiga siswa laki-laki yang awalnya asyik nongkrong di koridor sekolah. Aku melewati mereka ketika hendak mengambil kunci di ruang guru. Lalu aku mendengar suara tawa dan mereka bertiga sudah hilang. Aku mencari-cari keberadaan mereka sebab suara itu cukup mencurigakan dan terakhir kali aku mendengar jeritan.
"Kira-kira kenapa?"
"Aku tidak tahu! Tapi tadi di sudut koridor, samar-samar aku melihat … anak kecil." Fransisca berbisik-bisik di kuping Mahendra.
"Anak kecil? Apa yang dia lakukan di sini?"
"Gerak-geriknya begitu aneh dan ketika dia menatapku dari jauh, aku takut …." Fransisca mendadak lemas, kepalanya terasa pening dan Mahendra segera membantunya bersandar di lantai.
"Apa yang membuatmu takut?!" Mahendra bertanya-tanya, padahal hanya anak kecil tetapi Fransisca ketakutan setengah mati.
Sorot mata wanita itu terkesan dingin, kegelapan seolah sedang menghantui dirinya tanpa ada kejelasan yang pasti. Bibirnya bergerak pelan dan lemah.
"Tatapan matanya … adalah tatapan membunuh."