REMBULAN SESEKALI menyembunyikan wujudnya diantara gumpalan awan gelap, melayang-layang di langit bumi tanpa sekawanan bintang dan sinarnya memandikan bangunan kantor kepolisian metropolitan yang berdiri gagah di tengah-tengah jantung ibu kota Jakarta.
Jam masih menunjukkan pukul sebelas malam, kantor telah menyepi sejak sejam lalu. Beberapa polisi tampak berkutat dengan tugas dan tumpukan berkas, samar-samar masih bisa didengar suara knalpot bising dari manusia nokturnal, remaja. Ketika orang-orang mulai beranjak ke ranjang untuk menyelam ke alam mimpi, mereka lebih memilih menunjukkan kelihaiannya membelah kesunyian malam dengan berbagai macam aksi.
Secangkir kopi dingin sudah tergeletak beberapa jam lalu di atas meja ruang administrasi sementara beberapa orang masih sibuk dengan aktivitasnya. "Rata-rata persentase kasus kenakalan remaja di Indonesia makin melonjak tajam. Mengalahkan kasus orang dewasa," celetuk seorang polwan berambut pirang.
Seorang polisi pria menyahut ketika mendengar celetukan itu. "Dari nada suaramu bisa kutebak itu kabar yang mengkhawatirkan."
"Memang," si polwan melirik grafik peningkatan kasus remaja di layar komputer yang bertambah seiring waktu, "kenakalan itu dominan berfokus pada kota-kota besar dan apabila kita lengah maka nakalnya remaja bisa melahirkan tindak kejahatan."
Polisi pria tersenyum simpul sesaat mendengar keluhan si polwan. "Kau seharusnya tak perlu menyalahkan mereka. Remaja seperti itu tentu punya masalah dalam hidupnya."
Si polwan berkacak pinggang ketika mendengar responnya. "Huh? Jadi kau membela mereka?"
Lelaki itu menggeleng. "Kau tidak mengerti. Sudahlah, aku pulang duluan ya."
Lelaki itu lantas melipat jaketnya, berjalan keluar dari kantor polisi sembari menghirup udara malam yang sedikit lebih dingin dari biasanya. Setelah melewati ruas-ruas jalan raya, dia dihadang oleh seorang anak kecil yang muncul secara tiba-tiba dengan seringai tajam layaknya serigala yang kelaparan.
Oh, anak kecil tidak tahu apa-apa. Barang kali mereka hanya sekadar lewat dan ingin melihat orang yang sedang jalan-jalan. Namun, dugaan lelaki itu salah. Ketika dia melewatinya tanpa berpikir panjang, sebuah pisau dapur tergenggam pada lengan anak itu. Ekor mata lelaki itu berbalik, menatap lebih jelas apa yang sedang dibawa oleh anak itu dibawah penerangan lampu jalan yang minim.
Ya Tuhan. Baru kali ini lelaki itu begitu ketakutan menatap sesosok iblis kecil yang terlihat lugu. Bahkan dia hampir pipis di celana. Tenang saja ini baru awal. Nyawa lelaki itu masih tersisa sembilan.
T H E Y O U T H C R I M E
01
Pintar tidaknya seseorang dinilai dari seberapa rupawan seseorang tersebut.
Itulah fakta yang paling mendasari aturan dari salah satu jajaran sekolah terfavorit di Indonesia ini. SMA Nasional Jakarta atau biasa disingkat SMANJA adalah salah satu sekolah ternama dengan lulusan terbaik dari seluruh SMA di Indonesia. Memperoleh akreditasi A adalah sesuatu yang membanggakan bagi sekolah bertaraf nasional ini. Persentase siswa baru untuk mendaftar ke sekolah ini tiap tahunnya sangat kecil, terutama biaya pendaftaran yang bejibun.
Tidak heran, sekolah ini terlihat bak ajang pencarian model daripada tempat menimba ilmu.
Namun, memasuki era globalisasi, di mana persaingan sekolah semakin ketat, sistem zonasi yang memberlakukan tiap sekolah untuk menerima siswa baru sesuai jarak tertentu dari rumah membuat kebanyakan orang tua mengeluh lantaran mereka kurang berminat dengan sekolah-sekolah terdekat meski digratiskan sekalipun. Misalkan ada anak yang ingin menjadi koki, tetapi karena sistem zonasi hanya sekolah kedokteran yang menjangkau jarak rumahnya. Apakah dia harus masuk ke sekolah kedokteran demi menggapai cita-cita semunya?
Pihak SMANJA memberlakukan sistem baru yakni menggratiskan biaya pendaftaran bagi siswa-siswi kurang mampu dan menerima seluruh siswa dari berbagai daerah. Ada harga, ada barang. Bukan berarti anak-anak yang mendaftar gratis itu juga mendapat hak yang sama dengan anak-anak elite kebanyakan.
"Selamat datang semua! Menginjak halaman sekolah ini artinya kalian telah menjadi bagian dari kami, SMANJA!"
Sang kepala sekolah nyentrik nan bongsor, Aji Martinus menyerukan kata-kata bersemangat di lapangan basket SMANJA yang telah dipadati oleh para peserta didik bersama orang tua. Para guru bergender pria lengkap dengan rambut klimis dan pakaian dinas yang necis berdiri gagah, berbaris rapi. Sebentar lagi MPLS akan segera dimulai.
"Apa semua guru sudah hadir?" bisik Martinus ke arah wanita berkacamata.
"Kurang lagi satu orang Pak, masih dalam perjalanan."
Seorang pria setinggi 175 senti dengan kumis yang masih dipelihara berlari dari gang kecil menuju gang lainnya. Dia melangkah tergesa-gesa, tidak peduli seberapa banyak semut yang tak sengaja terinjak olehnya. Setelah nampak gerbang sekolah dari jauh, sesegera mungkin dia menyeberang jalan dan menunjukkan name-tag yang terpasang di dada ke beberapa pihak keamanan dan memperbolehkan dirinya masuk.
Mahendra Wicaksana, pria yang melamar sebagai guru honorer di SMANJA. Sebagai orang yang hidup serba salah, dia tidak pernah jauh-jauh dari masalah. Contohnya saja seperti sekarang ini. Kemarin malam sehabis berbelanja mie instan dan mengendarai motor ninja kesayangannya di tengah jalan kota Jakarta yang sudah menyepi dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba seekor anjing melintas tepat di hadapan Mahendra. Otomatis dia segera menarik rem depan dan belakang sekuat tenaga tetapi karena situasi yang sangat mendadak maka tubuhnya terpental ke depan. Bokongnya merasakan sakit yang teramat sangat, sialnya mie instan yang dibelinya itu berantakan di tengah jalan. Bagaimana dengan anjing itu?
Syukur saja, anjing itu tidak terluka. Namun, rupa-rupanya dia menyusun siasat dengan memanggil sekawanan spesiesnya dan buru-buru menggigit mie instan yang berserakan dan membawanya pergi entah ke mana. Badan sudah sakit, perut pun makin terlilit saking laparnya. Sial. Kemudian Mahendra menghubungi Abe, teman bengkelnya dan jadilah motor miliknya dirawat semalaman. Akhirnya dia terpaksa berlari menuju sekolah akibat bangun terlambat.
Mahendra bergabung bersama guru-guru lainnya untuk mengikuti kegiatan MPLS. Dari ujung pintu gerbang sampai ujung pagar sekolah, pandangan Mahendra tak henti-hentinya menangkap polesan semen dan beton yang menutupi seluruh tanah berlumpur kecuali area kebun dan taman, tentu saja. Seolah warga sekolah di kota ini sangat phobia kalau menginjak tanah.
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah ialah hal biasa untuk membiasakan diri bagi para siswa agar cepat beradaptasi dengan sekolah baru. Mahendra yang semula asyik melihat denah sekolah yang terpasang di dinding salah satu kelas, seketika tersentak saat terdengar pengeras suara. Para siswa-siswi baru bersama para guru pembimbing diarahkan menuju aula besar dan akan segera dilakukan sosialisasi program sekolah.
Aula sekolah mampu menampung ribuan orang yang menjadi pusat kegiatan kesenian, budaya, rapat, pergelaran musik atau orkestra serta acara perpisahan. Dengan dilengkapi interior khas budaya Indonesia dan simbol SMANJA makin menumbuhkan rasa kebanggaan diri. Mahendra bersama guru-guru duduk di area kursi aula paling depan bersama kepala sekolah. Situasi berubah kondusif ketika pembawa acara masuk dengan langkah lemah gemulai seraya membacakan susunan acara. Kemudian dilanjutkan dengan pengenalan program sekolah.
Seusai melewati pidato demi pidato, bokong Mahendra akhirnya bisa dingin sejenak ketika pembawa acara membacakan agenda selanjutnya yang sedikit mengejutkannya.
"Inilah dia para Ten Angels! Beri tepuk tangan meriah!"
Kondisi aula yang semula hening nan kondusif berubah jadi riuh dan bersemangat. Tepuk tangan dan sorak-sorai mengiringi jalan siswa-siswi dengan langkah tegap dan mantap memasuki area panggung. Mereka tersenyum bangga menatap ratusan pasang mata yang mengelu-elukan namanya. Kemudian layar proyektor raksasa menampilkan nama-nama peserta didik yang tergabung di Ten Angels dengan masing-masing perolehan nilai.
Ada satu hal yang membedakan SMANJA dengan sekolah kebanyakan. SMANJA memiliki daftar Ten Angels--sepuluh malaikat--yakni kumpulan sepuluh peserta didik dengan pencapaian nilai raport tertinggi yang dihitung dari keseluruhan kelas. Mereka diambil dari kelas 11 sampai 12 semester 1. Mereka adalah para langganan olimpiade, lomba, kompetisi sains serta predikat siswa teladan. Mereka menjadi contoh dan pelopor terbaik bagi seluruh siswa. Tak heran pihak sekolah akan memfasilitasi keperluan para Ten Angels seperti soal latihan persiapan ujian dan jalan-jalan gratis ke beberapa daerah Indonesia di akhir semester.
Untuk memperebutkan posisi kursi Ten Angels cukup sulit. Siswa wajib giat belajar, mengikuti ekstrakurikuler dan tentu saja mengikuti bimbingan belajar. Namun, sewaktu-waktu kursi Ten Angels bisa saja kosong dan membuka kesempatan yang lebih besar bagi siapapun yang ingin mencoba peruntungannya di sini.
Seusai menjalani hari yang melelahkan itu, Mahendra bersama siswa-siswi lainnya dipersilakan untuk pulang dengan jemputan orang tua yang berdatangan di gerbang sekolah. Tentu saja sebelumnya Mahendra telah diberikan tugas sebagai wali kelas 11-A.
Perempatan lampu merah yang berbatasan langsung dengan area gerbang SMANJA terpantau ramai dan macet. Matahari mulai menenggelamkan wujudnya di ufuk barat ketika orang-orang sibuk mengemudikan setir mobil di jalan raya beraspal yang didominasi oleh kendaraan bermotor. Asap hitam pekat nampak membumbung tinggi tanpa bilang permisi, tatkala beberapa truk besar mengangkut kayu gelondongan segera tancap gas saat lampu lalu lintas berubah warna.
Mahendra berjalan kaki ke gang-gang kecil bersama puluhan anak-anak sekolah yang melangkah cepat. Langit hampir gelap tetapi matahari masih ingin untuk menyinari keruwetan duniawi. Akhir-akhir ini kota Jakarta diselimuti kabut tipis yang kerap menghantui gedung-gedung tinggi yang biasanya terlihat megah kini seperti tumpukan kardus raksasa yang siap terbakar. Menyeramkan.
Burung dara terbang bergerombol sembari menciptakan melodi lembut dari pita suara nyaring meski cuaca kurang bersahabat dan lesu. Mereka melewati layang-layang beragam bentuk yang melayang tinggi di udara bersama tawa cekikikan dari anak-anak kompleks, bermain tanpa memikul beban apa pun.
Di tengah perjalanan pulang, pandangan Mahendra terpaku pada salah satu lorong gang.
Mahendra mengintip di balik celah tembok. Ada seorang anak lelaki berpakaian seragam SMA yang berjalan sendirian. Dia tidak dapat mengklaim bahwa anak itu dari SMANJA juga sebab di dekat sini ada beberapa SMA yang bersebelahan. Jadi maklum saja jam kepulangan siswa paling ramai di kala sore hari yang didominasi oleh siswa SMA.
Lelaki itu kelihatan sedang menulis sesuatu di atas kertas, entah apa yang ditulisnya sambil menangis. Tak berselang lama anak itu menghilang dari pandangan. Mahendra terkejut dan buru-buru menghampiri posisi anak itu berdiri sebelumnya. Ada kertas yang terlipat, tergeletak begitu saja. Dan, dia membuka kertas itu.
"SOS?!"
Isi kertas mengartikan bahwa ada situasi gawat darurat tetapi apa yang membuat anak itu terancam? Mahendra pun hanya bisa menatap langit yang kini telah menyatukan seluruh awan-awan hitam. Sebentar lagi hujan turun. Dia harus segera pulang atau kalau tidak akan basah kuyup.