Uh! Percuma aku dari tadi berteriak-teriak begitu. Nilam tetap aja enggak bisa mendengarku. Apa daya, aku ini kan, cuma sebuah buku harian. Hah … Meski bisa mendengar suara Nilam saat bercakap-cakap denganku, tetapi Nilam enggak bisa melakukan hal yang sama terhadapku.
Oh, iya. Perkenalkan, namaku Dea. Nama lengkapku, Dear Diary. Begitulah Nilam biasa menyebutku. Dulu. Heh … Iya, aku ini buku hariannya Nilam, yang dimilikinya sejak kelas 2 SMP. Iya, Nilam Alsava Divanadia yang itu. Gadis manis berkacamata yang sifatnya sangat sesuai dengan namanya.
Kamu tahu artinya Nilam? Ternyata, nama ini memiliki tiga arti yang berbeda, lo! Yang pertama, artinya sama dengan sebangsa safir, batu permata transparan, yang berwarna biru. Kedua, artinya adalah tumbuhan dengan daun berbau harum. Kalau orang bule, biasa menyebutnya dengan nama tanaman patchouli. Yang ketiga, Nilam itu juga nama lain dari burung Ketilang, burung kecil yang berbunyi nyaring.
Ternyata, Nilam dengan ajaibnya benar-benar memiliki ketiga sifat itu! Dia cantik seperti permata, dan warna favoritnya adalah biru seperti warna sampulku. Nilam juga sangat suka parfum. Mungkin, karena itu pula, instingnya jadi cukup tajam. Sekilas, Nilam memang tampak pendiam. Akan tetapi, kalau kamu bisa membuatnya nyaman sepertiku, dia sesungguhnya suka banyak bercerita dengan riang. Saat menulis, wajah dan tubuhnya pun ikut berekspresi.
Sedangkan Alsava, kalau kata Nilam, sih, itu artinya ketenangan dan kerendahan hati. Orang-orang pasti langsung setuju deh, bahwa nama ini sangat cocok dengan pembawaan Nilam. Kalau Divanadia, itu dari bahasa Latin, yang berarti harapan terhebat.
Ya, Nilam adalah gadis pemimpi dalam arti yang sebenarnya. Dia sering percaya dengan mimpi-mimpi dalam tidurnya, dan dia yakin bisa mewujudkan apa pun yang dia harapkan. Kecil-kecil begitu, semangat juangnya tinggi sekali.
Aku suka sekali membaca cerita Nilam. Dia itu kaya lagi menulis novel aja. Setiap ceritanya pasti dimulai dengan tanggal kejadian. Lalu, dia akan menggambarkan padaku di mana tempat kejadiannya. Kalau ada percakapan, Nilam pun menuturkannya dalam kalimat langsung.
Serunya lagi, sering kali cerita Nilam enggak hanya berupa tulisan. Bisa berupa denah, sehingga aku tahu persis di mana posisi yang dimaksud. Kadang-kadang, dalam bentuk gambar yang dihiasi berwarna-warni, atau penggalan kalimat singkat yang lucu. Jadinya, aku lebih terbayang dengan segala gejolak hatinya.
Makanya, aku kangen banget sama ceritanya. Aku ingin kembali membaca pikirannya, perasaannya, pengalamannya, impiannya, usahanya, dan bagaimana semua satu per satu akan tercipta sesuai apa yang dicita-citakan Nilam. Tapi, kenapa keinginanku ini belum juga terjawab, ya?
Aku tahu, liburan seminggu kemarin, Nilam meninggalkanku untuk diklat ke gunung. Aku dapat informasi ini dari agenda Nilam. Kata Agenda, Nilam enggak bisa membawa kami berdua. Karena, Nilam cuma boleh mengangkut barang-barang yang penting untuk mempertahankan nyawa.
Namun, sudah seminggu sejak kedatangannya dari diklat, Nilam belum juga menyentuhku. Aku hanya mendengar derap-derap telapak kakinya yang hilir-mudik di dalam kamar. Sesekali, aku menangkap suaranya yang berbicara sendiri dengan lirih. Padahal, aku ini sudah benar-benar penasaran dengan apa aja yang dialaminya selama berhari-hari di gunung. Apakah dia senang, atau kepayahan? Terus, apa alasannya meninggalkanku begitu lama? Hu hu hu …
Agenda aja, langsung ditemui Nilam begitu sampai di rumah. Dia segera bisa bertugas kembali dan menemani hari-hari Nilam, ke mana pun Nilam pergi. Sedangkan aku? Masih aja mendekam di dalam tumpukan baju ini. Huh!
Baru tadi pagi, tuh, Nilam sempat mengintip sedikit ke arahku. Tapi, lagi-lagi, dia terburu-buru pergi. Iya, aku tahu, hari ini jadwalnya Nilam dengan kelompok pencinta alamnya. Cuma, apa dia enggak kangen melakukan kebiasaannya yang dulu?
Nilam memang sudah lama enggak menuliskan cerita di atas kertasku ini. Aku juga belum tahu alasannya kenapa. Itu tuh, satu hal lagi yang pengin aku protes dari Nilam. Tapi, bagaimana caranya, ya? Aku kan, cuma sebuah buku harian yang enggak terdengar suaranya oleh Nilam?
Meski lama enggak ada cerita baru yang dibagikannya padaku, Nilam masih suka membuka-buka halamanku. Membaca tulisan-tulisannya sendiri. Terutama, halaman itu. Nilam senang sekali berlama-lama memandangi dan mendendangkan lirik lagu yang tercantum di sana.
Tapi, sekarang? Fiuh! Kenapa waktu terasa berjalan lebih lambat, ya? Aku enggak sabar menunggu kedatangan Nilam dari sekolah. Awas aja, kalau kali ini dia benar-benar enggak menengokku lagi! Aku akan … akan … hem, aku bisa apa, ya?
He! Itu suara langkah Nilam! Aku hafal sekali dengan tempo dan kedalamannya. Suara yang dihasilkan dari langkah-langkah yang panjang tetapi ringan. Bruk! Nilam pasti sedang meletakkan tasnya di atas meja belajar. Langkah-langkah itu mulai memendek, dan … terdengar semakin dekat!
“Yippie! Nilam! Buka lemarinya! Aku di sini!”
Nilam seolah bisa mendengar teriakanku. Kegelapan yang sedari tadi menemaniku, perlahan terkuak dengan masuknya sorotan cahaya dari luar. Pintu lemari sudah terbuka lebar.
“Nilam, peluk aku! Tolong ….”
Aku bisa merasakan suhu hangat tangan Nilam yang mulai menyibak satu per satu pakaian yang menutupiku. Dan, iya! Nilam mengambilku!
“Oh, Nilam! Aku kangen banget sama kamu! Nilam? Kamu enggak pengin memelukku seperti biasanya?”
Uh! Nilam cuma menggenggamku erat-erat. Lama sekali dia memandangi sampulku. Aku jadi grogi, deh. “Apakah aku tampak lebih lusuh sekarang, Nilam? Aduh, kenapa hari-hariku jadi penuh keluhan begini, sejak kamu tinggalkan?"
“Bunga putih? Jadi, diariku bergambar bunga putih. Apakah bunga ini sama dengan melati? Ada hubungannya enggak, ya, sama lagu yang dinyanyikan Kak Pay tadi? Apa ... aku punya kenangan tentang lagu itu?”
Aku bisa mendengarkan suara desis Nilam di hadapanku. Jadi, aku jawab aja meskipun tahu Nilam enggak dengar, “Ya, dari dulu, aku memang bergambar bunga putih, Nilam. Melati? Aku enggak tahu seperti apa bunga Melati. Lagu? Ya, ya! Kamu sangat suka lagu itu, kan? Yang di halaman favoritmu! Pay? Ah, mana kutahu. Kamu enggak pernah menuliskan namanya!”
Oh, Nilam. Aku sering gemas padamu gara-gara ini. Kamu punya halaman favorit, kamu sudah menceritakan padaku tentangnya, baik dalam halaman sebelum dan sesudah bagian kesukaanmu itu. Tapi, kamu enggak pernah sekali pun menyebutkan nama orang yang kamu maksud di situ!
Nilam yang biasanya berkisah dengan penuh detail padaku, kenapa sampai menyembunyikan sebuah data penting seperti nama? Yang bikin aku makin jengkel, kamu enggak lagi bercerita tentang dia! Padahal, dia masih sama kamu, kan? Kenapa?
“Nilam, aku ingin ceritamu. Buka dong, halaman favoritmu. Kamu pasti tahu di mana letaknya, kan?”
Eh, Nilam menurut, lo! Dia menarik pita pembatas berwarna biru berkilau yang memang selalu diselipkannya tepat di halaman itu.
“Baca! Bacalah, Nilam! Itu lagu ciptaanmu untuknya, kan? Setelah itu, tolong jujur deh, sama aku. Siapakah sih, dia itu? Gimana kabarmu sekarang dengannya? Kamu masih sering ketemu sama dia, kan? Kenapa enggak mau cerita?” Ups! Aku cerewet sekali, ya?
UNGKAPAN
Tahukah kamu, perasaanku? Gelisah bila jauh darimu
Tahukah kamu, perasaanku? Damai di dekatmu
Tak pernah ku merasakan seperti ini
Walau bukan yang pertama ku jatuh hati
Namun kuakui dirimu teristimewa
Akahkah damai ini kumiliki selamanya?
Seluruh hati kau bawa pergi, tak tersisa tuk yang lain
Kini hatiku hanya padamu
Jagalah dalam genggammu.
16-6-1996
“Ha? Kenapa aku menulis begini? Ini tentang siapa?” tanya Nilam tiba-tiba.
“Lah? Mana ku tahu? Kan, dari dulu aku tanya itu ke kamu!” semprotku ke Nilam enggak mau kalah, “Eh, sebentar! Kamu enggak tahu itu tentang siapa? Kamu lupa kenapa pernah menulis itu? Kok, kamu aneh, Lam?”
“Ya, ampun! Ternyata amnesiaku belum benar-benar sembuh. Aku enggak ingat siapa ini yang kutulis. Kalau aku bisa menulis begini, seharusnya dia orang yang spesial. Kenapa aku melupakannya? Duh! Gimana kalau dia sakit hati karena amnesiaku?” keluh Nilam sambil menutup kedua mata.
“Amnesia? Kamu amnesia, Nilam? Gawat! Bahkan, kamu sendiri sekarang enggak tahu dia siapa! Jadi, dari mana lagi aku bisa mendapatkan kelanjutan cerita ini? Hu hu hu ….”
Eh, kok, aku jadi egois begini, ya? Jelas-jelas, Nilam lebih menderita daripada aku gara-gara amnesianya.
“Lelaki ini, dia bisa membuatku gelisah jika jauh darinya, dan merasa damai saat dekat dengannya. Ini tentu sensasi yang luar biasa. Tapi, siapa lelaki ini? Siapa lelaki yang bisa membuatku merasa damai?” Nilam terus bertanya-tanya.
“Ya, ya, Nilam. Ingat-ingatlah lagi. Aku sudah lama penasaran, lebih lama darimu. Jadi, tolong temukan jawabannya!” seruku seolah lupa bahwa pendengaran Nilam enggak bisa menangkap teriakanku sekeras apa pun.
“Sejauh ini, enggak ada lelaki yang benar-benar dekat denganku. Paling-paling, ya cuma teman sesama pencinta alam. Apa … dia … Kak Pay? Aih! Kak Pay memang baik banget. Perhatiannya luar biasa. Sejak pertama aku menyadari kalau amnesia, hingga hari ini,” bisik Nilam kepadaku.
Semoga menang ya, ceritanya unik, dan aku suka diksinya
Comment on chapter Amnesia