Dari Diary Rizky Gilang K.
27 Mei 2020
Aku sama sekali tak dapat menebak apa yang terjadi sebelumnya. Saat mata kembali melihat, aku cuma bisa meyakinkan diri kalau aku telah dipenjarakan ke dalam white room. Area yang hanya memiliki 1 akses untuk masuk juga keluar. Ruang seluas 6×6 meter ini tidak dibenahi apa pun selain satu meja yang warnanya juga putih. Yang paling membuatku bertanya-tanya adalah untuk apa aku sampai dimasukkan ke tempat ini?
Dalam beberapa artikel meyebutkan bahwa metode white room adalah metode penyiksaan mental yang paling berbahaya. Semua yang ada di ruangan—termasuk makanan—semuanya berwarna putih. Selain itu tak ada suara yang bisa didengar dari sekitar ruangan selain suara yang dihasilkan oleh tahanan itu sendiri. Sasaran utama dari metode white room ini adalah kerusakan pikiran yang tujuannya untuk menanamkan rasa takut meski hasilnya jauh lebih berbahaya daripada sekadar ‘tahanan yang ketakutan’.
Hasil penyiksaan metode white room adalah hilangnya identitas dan mati rasa indra. Selain itu, si tahanan juga akan memiliki trauma mendalam terhadap warna putih dan kehilangan kemampuannya untuk mengenali orang-orang yang diketahuinya. Penyiksaan semacam ini adalah penderitaan psikologis berkelanjutan bahkan setelah tahanan berhasil keluar. Umumnya penderitaan itu tanpa akhir dan mustahil kembali normal. Bisa disimpulkan bahwa orang yang memasuki white room akan mengalami kehancuran seumur hidupnya.
Meski telah berkunjung ke berbagai negara dengan kondisi yang beragam, nyatanya mengatasi claustrophobia[1] tak semudah meredam xantofobia[2], apalagi waktu itu ada dia yang membantuku. Sekarang dengan hanya aku seorang diri, aku harus memutar nalar demi menjaga kestabilan emosi ketimbang memunculkan fantasi-fantasi semu yang mustahil terjadi. Dan berpikir rasional adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk saat ini. Ya, setidaknya keputusan ini yang terbaik untukku sekarang.
Setelah menghabiskan banyak menit tersungkur di dekat meja, samar aku mendengar pintu berderit, sangat lirih—bila saja sedari tadi aku tidak memfokuskan pendengaran mustahil suara itu kukenali. Dari getaran lantai aku bisa membenarkan kalau si penjaga melangkah, jalannya tanpa suara karena sepatu yang ia pakai berlapis baja.
Hawa keberadaan si penjaga makin terasa dekat, bahkan embusan napasnya tak begitu jauh dari mukaku. Ketika semuanya mulai tak berjarak, aku membuka mata.
Kosong.
Tak ada siapa pun di sekelilingku.
Kusapu pandang ke tiap sudut ruangan, hasilnya sama: nihil.
Aku menengadah kepala. Otak bertanya-tanya, Apakah aku mulai terpengaruh white room ini? Kalau tidak, mana mungkin aku mengalami itu? Apa aku bermimpi? Tapi aku yakin kalau aku masih bangun. Terus kapan aku ketiduran? Sialan! Kalau aku tidak bisa mengatasi semua ini, aku akan benar-benar sinting.
Tanpa desingan suara ac apalagi gemeradak kipas angin mendadak suhu di sekitarku menjadi dingin. Ralat, sangat dingin. Sampai membuatku meringkuk bagai kucing kelaparan. Mulut seketika kering, aku bisa merasakan kalau tubuhku mengalami panas dalam. Dehidrasi karena suhu dingin mungkin terdengar konyol, tapi ini terjadi akibat sel-sel yang memaksa diri untuk membuat tubuh menjadi hangat, dari pembakaran itulah yang membuat orang kedinginan menjadi dehidrasi.
Jemari mulai terasa kaku digerakkan, seperti mengenakan sarung tangan yang sangat tebal. Aku juga melihat ujung jemariku mulai membiru, aku kelu karena tahu apabila ini terus berlanjut akan membuatku mengalami kematian jaringan dan lebih parahnya adalah—sesuatu yang sangat tidak ingin kusebutkan.
Namun aku masih sanggup bertahan, tak sedikitpun mengeluarkan kata yang barang kali mereka tunggu. Meski berulang-ulang bayangan penjaga menghampiri, membuatku muak dan ingin muntah.
Tak seperti yang muncul dalam dunia perfilman, dinginnya ruangan ini makin menggila. Tubuh yang sedari tadi menggigil, kini berhenti. Dan seperti yang pernah kubaca, aku mulai mimisan. Ini adalah gejala tingkat lanjut saat tubuh tak lagi bisa menahan suhu dingin. Satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan tetap menjaga kesadaran. Meski kewarasan menjadi hal yang patut dipertanyakan, tapi tidak pingsan apalagi ketiduran adalah cara terbaik yang bisa kulakukan untuk saat ini. Mungkin inilah keputusan terbaik untukku sekarang.
***
Ada momen dalam hidup semua orang. Momen yang mengubah hidup mereka, momen yang ingin mereka ulang sebelum mati. Tapi kenapa aku mengatakan ini? Apa aku akan benar-benar mati kali ini?
***
16 Maret 2015
Peristiwa semalam yang membuat Rangga dan beberapa siswa SMA lainnya kritis menyebar dengan cepat ke seluruh warga SMAN Purwokerto, secepat penyebaran Black Death[3]. Selain menjauh, para siswa melempar pandangan dengan tatapan takut, geram juga jijik, sejijik ketika melihat psikopat memakan mangsanya. Pada meja kelasku sudah banyak coretan ‘psikopat’.
Beberapa berandalan yang sok berkuasa berlalu-lalang sambil berseru: “Sebrengsek-brengseknya kami, ga lebih brengsek daripada lo!”; “Dasar ga tahu malu, masih berani ke sekolah!”; “Pergi ke penjara dasar berandalan!” dan makian lainnya. Namun ketika aku beranjak dari tempat duduk, mereka mengambil langkah seribu.
Dewan guru yang selalu berusaha menjaga keamanan sekolah mengambil aksi cepat dan bijak, menurutku, dengan memanggil aku ke ruang guru, diiringi juga oleh 2 orang guru yang terkenal paling galak di sekolah. Andai dibiarkan lebih lama, aku bisa saja dikeroyok satu sekolahan.
Di kantor, semua guru berkumpul—kecuali mereka yang diberi tugas menjadi wali kelas—termasuk Kepala Sekolah. Selain memberondongiku dengan pertanyaan yang lebih terdengar seperti tuduhan, sesekali ada yang mengancam kalau aku akan dijebloskan ke penjara. Lebih parahnya adalah mereka membuat kesimpulan di luar nalar: menaruh semua kesalahan hanya padaku tanpa mau tahu kejadian sebenarnya. Aku juga dipaksa mengakui tindakan yang bisa dikatakan memang karenaku. Aku tak menyangkal pun tidak membenarkan, hanya diam.
Putus asa? Tentu saja! Tragedi yang hampir menewaskan banyak siswa SMA, bukanlah perkara wajar bagi seorang pelajar sepertiku. Semuanya masuk ke rumah sakit, beberapa bahkan masih tak sadarkan diri. Mana mungkin aku tidak disalahkan? Karena kenyataannya memang salahku. Dan apalagi yang bisa kuperbuat saat dunia tak lagi memercayaiku? Ini sama halnya dengan ada nyawa ada ikan.
Gema sirine menyeruak ke tiap sudut sekolah membuat semua orang terkejut, tak terkecuali aku. Polisi masuk dan menunjukkan surat penangkapanku. Setelah kedua tangan diborgol, aku diminta naik ke mobil polisi. Aku menurut tanpa memberontak. Namun ada satu langkah yang sengaja kuhentikan hanya untuk memandang ke belakang. Mencari tahu apakah dia ada di sana, dan ekspersi apa yang akan ditunjukkan kepadaku. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.
Pertanyaan yang wajar muncul adalah, “Bagaimana mungkin anak yang baru berusia lima belas tahun menghadapi permasalahan dengan polisi, apalagi perihal kasus pembunuhan?”
Di kantor polisi aku diinterogasi yang pertanyaannya nyaris sama persis seperti sebelumnya, jawaban yang kulontarkan pun tak jauh berbeda. Setelah dimintai pernyataan, si polisi berkata kalau akan memeriksa para pelaku juga korban supaya mendapatkan titik temu yang lebih nyata. Yang menjadi pertanyaan adalah, ‘Siapa yang mereka maksud dengan pelaku dan korban?’ lalu ‘Apakah aku sudah dikategorikan yang pertama?’.
Selanjutnya aku diantar ke sel khusus pelajar, yang dalam kondisinya tak jauh berbeda dari sel pada umumnya, menurutku. Perbedaannya hanya, ruang 2×6 meter ini cuma dimasuki para berandalan SMA, dan aku termasuk salah satunya.
“Hei bocah tengik!” Terdengar suara dari ruang tahanan sebelah yang memang diisi narapidana dewasa. “Masih SMA udah masuk penjara, bangor bener lo!”
Aku tak memberi respons. Namun kalimat berikutnya menyusul cepat. “Kalau diajak ngomong orang yang lebih tua, jawab yang sopan!”
Ujaran dari para terpidana saling saut. Kendati polisi memaksa diam, setelah pergi mereka kembali bersua. Mirip para anjing yang melolong-lolong. Terus mengintimidasi bocah SMA yang sedang jatuh-jatuhnya. Kian buat hati dan otakku terpuruk dan hancur.
Memang, selepas aku tidak juga menemukan dia di sekolah—apalagi setelah tragedi malam itu. Aku memilih menyerah. Pasrah akan segala hal.
Mana mungkin tidak? Satu-satunya orang yang selama ini memihakku pun masih menghilang. Tanpa peduli bagaimana kondisiku sekarang.
***
Sepekan berlalu, aku akhirnya kedatangan pengunjung. Dia datang dengan masih mengenakan seragam sekolah. Raut wajah dan tatapannya setajam ketika kami pertama kali bertemu.
“Duduk,” katanya. “Aku sudah dengar semuanya. Tapi aku tetap mau dengar langsung dari kamu,”
“Aku tak mau menyalahkan siapa pun. Di sini memang aku yang salah,”
Tak ada respons selain tatapan tajam. Ini sudah sering terjadi, dan aku mengerti bahwa dia tak peduli apa pun selain jawaban yang dibutuhkan. Dan ini artinya aku harus berkata apa adanya.
Aku mengatur napas sebelum akhirnya berkata, “Kamu ingat Rangga dari kelas sepuluh empat?”
Wanita di hadapanku mengangguk.
“Dia bayar preman buat gebukin anak SMA Baturaden, Niko namanya,”
“Alasannya?”
“Motor,” Aku diam, sengaja ingin melihat reaksi apa yang dia tujukan padaku. Nyatanya, wanita itu masih bergeming. Jadi aku melanjutkan, “Gara-gara kalah taruhan buat jadi pacarmu, big bike-nya mesti ilang,”
“Hubungannya sama kamu?” sambungnya cepat.
“Karena ini berhubungan denganmu,” kataku akhirnya. “Aku khawatir, kalau-kalau menghilangnya kamu juga gara-gara Rangga,”
“Bukan!” tukasnya.
Aku diam. Menyadari kalau kepergian dia beberapa waktu lalu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang lain, apalagi Rangga.
“Sudahlah, ini masalahku. Aku yang bakal tanggung jawab. Lagi pula, sebelum kenal kamu, aku sudah terbiasa sendiri, jadi—” kalimatku terhenti di situ karena dia memotong.
“Terbiasa sendiri bukan berarti kamu mampu menyelesaikan semua masalah seorang diri,” sambungnya.
“Lalu aku harus gimana?! Kamu menghilang dalam waktu yang lama!” Aku berkata hampir berseru.
“Aku menghilang bukan berarti aku meninggalkanmu, tapi aku hanya tak terlihat olehmu,”
Kalimat itu membuat hatiku terpukul. Aku sadar, bahwa aku telah bertindak ceroboh.
“Akan kujelaskan alasanku menghilang,” katanya seakan menjawab apa yang menjadi keluhan selama ini. “Empat hari tiga malam, aku menginap di rumah sakit,”
Aku tak bisa menutupi keterkejutanku. “Opname?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk. “Kamu ingat waktu kita marahan hari Senin kemarin?”
Aku mengiyakan dengan isyarat.
“Aku drop, sampai pingsan di bus. Bangun-bangun sudah di rumah sakit,” Dia melanjutkan. “Semua barang bawaanku hilang, hp-ku juga. Jadi aku ga bisa hubungi kamu, pun aku ga diizinin pakai hp,”
Mendengar itu aku kelu. Hati rasanya mau pecah. Bagai manik putus talinya, air mataku tumpah ruah tanpa lagi bisa dikontrol. Rasanya aku kian jatuh ke jurang penyesalan paling dalam. Aku sangat bodoh, bak mengail kucing yang hanyut.
Mulut hanya bisa terkatup, tak sanggup berkata meski hanya untuk bilang ‘maaf’.
“Aku tahu kamu menyesal. Aku sudah memaafkanmu,” ucapnya sambil menyeka wajahku.
“Kau harus ingat,” lanjutnya. “Jika sesuatu tidak berjalan sesuai harapanmu, itu bukan berarti kamu gagal. Barang kali itu lebih baik untukmu,”
“Lebih baik apanya?! Kamu ga lihat aku di mana sekarang?! Aku juga membuatmu—”
Dengan gerakan cepat, tangannya mendekap wajahku. “Jangan sok kuat. Sok kuatmu itu bikin masalah makin runyam. Aku masih ada buat kamu. Jangan nyerah! Kita bisa pecahkan masalah ini, kita pasti bisa menyelesaikannya berdua. Bersama. Aku percaya kamu bukan pelakunya. Jadi kamu juga harus percaya padaku kalau semua ini akan baik-baik saja.”
Kalimatnya tepat mengenai hatiku, sampai tak sadar air mata kembali mengalir. Bukan kesedihan melainkan kebahagiaan yang tiada bisa dituliskan oleh apa pun.
***
Itu kali pertama seseorang memihakku. Itu kali pertama aku memercayai seseorang. Itu kali pertama aku kembali bangkit dari keterpurukan.
---------------------------------
[1] Rasa takut yang tidak beralasan terhadap kondisi ruangan sempit (terbatas).
[2] Rasa takut terhadap suatu warna, biasanya warna kuning dan merah. Dalam hal ini yang dimaksud penulis adalah si tokoh takut terhadap warna kuning.
[3] Black Death/Wabah Pes: pandemi hebat yang melanda Eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14 dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa atau diperkirakan 75.000.000 - 200.000.000 orang meninggal.