Dari Diary Lutfi Nurtika
23 Mei 2020
Suara melengking itu menyadarkanku akan ingatan yang terjadi beberapa hari ke belakang. Di depanku, seorang wanita menampilkan raut kesalnya. Aku paham, ia begitu karena kecewa. Tentu saja aku memakluminya, lagi pula untuk apa berdiskusi dengan konsultan yang bahkan tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri?
“Maaf,” kataku tergagap.
“Bagaimana pendapatmu?” wanita itu mengulang pertanyaan ia sebelumnya.
Aku menunduk kepala. Tak sanggup berkata-kata. Kuyakin saat itu tatapanku kosong.
“Kalau tidak siap kerja, lebih baik tutup saja!” ia mengomel lalu bangkit. “Aku akan kembali lagi nanti!” serunya.
Aku menanggapi dengan membungkuk badan membiarkan wanita itu meninggalkan tempat kerjaku. Kemudian menyerahkan seluruh berat tubuh pada kursi seraya mengembus napas panjang.
Aku tidak boleh begini terus. Hatiku berbisik. Berusaha mengendalikan emosi yang telah cukup lama menggerogoti diri.
Tragedi sebelumnya bukanlah masalah sepele yang bisa dilupakan begitu saja. Apalagi setelah peristiwa menegangkan itu, tak ada kabar sama sekali tentang dia. Lebih-lebih otakku banyak memunculkan pertanyaan yang buatku ingin muntah.
Perasaan yang diubek-ubek akan kekhawatiran dan ketidakberdayaan menjadikan aku seperti sedang memakan buah simalakama. Walau aku yakin asam di darat, sementara ikan di laut bertemunya di belanga. Namun tidak melakukan apa pun sama saja percuma.
Setelah mengusap kepala dengan kasar, aku memejam. Membiarkan ribuan pertanyaan memenuhi otak. Sampai tak terasa air mataku menetes.
Aku harus gimana, Gilang?
***
9 Maret 2015
Pagi itu ada yang aneh dengan sekolah.
Tidak ada sapaan konyol dari Mamang Budi—satpam sekolah—seperti biasa, yang ada hanya sorotan mata menyelidik. Para siswa pun melihatku dengan pandangan serupa, meski kebanyakan terlihat sinis.
Halaman sekolah yang biasanya bersih dan asri, sekarang kotor seperti tidak pernah terawat. Beberapa bangunan tampak mengerikan. Tembok-tembok retak, banyak kaca pecah, juga genteng tercecer di sembarang tempat.
Ketika aku mencoba bertanya ke teman sekelas, mereka membisu lalu menjauh. Sekalipun Gyan—sahabatku—ia melakukan hal yang sama. Tak terkecuali Ateg—teman dekatku juga teman Gilang sewaktu SMP—ia ikutan bungkam.
Ada apa sebenarnya? Ada yang aneh dengan sekolah.
Merasa percuma mencari tahu, aku kembali ke tempat dudukku. Meraih ponsel, menghubungi Gilang. Dari sudut mataku aku tahu kalau Kelvin dan Arya seringkali melihat ke arahku, tapi aku bergeming dan mengalihkan pandanganku.
Telepon tersambung. Suara khas dari pria yang kucinta terdengar merdu dan melegakan hati. “Hallo,”
Belum sempat untukku menjawab, suara Bu Yuni—wali kelas X-10—terdengar mengerikan, jauh berbeda dari biasanya. “Lutfi, ke ruang Kepala Sekolah sekarang!”
Gelagapan, aku menaruh ponsel ke dalam saku lalu berusaha menyamakan langkah kakiku dengan bu Yuni.
“Duduk,” kata Bu Yuni setelah kami sampai.
Di ruangan ini selain aku, Bu Yuni dan Kepala Sekolah, ada juga guru BK, kesiswaan dan beberapa guru lain yang memandangku dengan tatapan tidak senang. Aku tak mengerti alasannya. Ini jelas ada yang aneh dengan sekolah.
“Lutfi Nurtika dari kelas sepuluh sepuluh, ya?” Kepala Sekolah mengawali pembicaraan. “Kamu sudah lihat kondisi sekolah?”
Aku lagi-lagi menanggapi pertanyaannya dengan anggukan kepala.
“Sabtu kemarin katanya kamu ke panti,” sambung guru BK sambil membolak-balik lembaran kertas di tangannya.
Aku mengiyakan dengan isyarat.
“Ada bukti?” tambah kesiswaan.
“Gimana Pak?” tanyaku memastikan.
“Ada bukti kalau Sabtu kemarin kamu ke panti?” tanggap Bu Yuni, masih pada nada datarnya. “Foto misalnya,”
Aku mengambil ponsel dari dalam saku. Belum sempat kutunjukkan hasil foto kegiatan dua hari lalu, kesiswaan merebut ponselku lalu menggertak, “Apa ini?!”
“Telepon siapa?” sambung salah seorang guru yang tak pernah kutahu ia mengajar mapel apa.
“Gilang Pak, tadi lupa belum dimatikan,”
“Gilang!” seru kesiswaan mengabaikan penjelasanku.
“Hai Pak,” sambung suara di telepon.
“Ke ruang Kepala Sekolah sekarang!”
“Dalam perjalanan.”
“Dasar bocah ini!” kesiswaan menggerutu. “Mana fotonya?”
Aku meraih ponsel yang dijulurkan, tapi lagi-lagi kesiswaan merebut ponselku paksa setelah aku menunjukan bukti yang diminta. Pria dengan kelebihan otot perut itu mengotak-atik ponselku lalu menunjukkannya ke para guru sebelum akhirnya dikembalikan.
“Kamu di sana sampai malam?”
“Iya Pak, tapi tidak sampai menginap,” aku menjawab pertanyaan guru BK.
“Masih bocah pacaran sampai malam,” gerutu kesiswaan.
“Aku di sana dengan keluarga,” jawabku cepat.
“Sama Gilang, kan?” sambungnya dengan nada sinis.
“Habis dzuhur, dia pulang,”
“Ke mana anak itu?” Bu Yuni menanggapi.
Aku mengangkat bahu lalu berkata, “Aku baru meneleponnya tadi,”
Kepala Sekolah berdeham, menghentikan para guru yang memberondongiku dengan sejuta pertanyaan. “Jujur saja, kau suka berhubungan dengan anak-anak nakal?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu.
“Sabtu kemarin anak-anak geng motor mencarimu,” salah seorang guru yang sedari tadi diam saja angkat bicara.
“Never Enough—”
“Pak Yeptha!” Bu Yuni memotong ucapan guru BK. “Kita dilarang memberitahu nama kelompok mereka,”
Kepala Sekolah menyela dengan mengangkat tangannya. “Tidak apa Bu, dia ini pelaku. Lanjutkan Pak,”
“Mereka membuat keluarga para guru juga semua murid sebagai sandera,”
Badanku menegap, terkejut. “Kenapa tidak—”
“Lapor polisi?!” kesiswaan menyerobot. “Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan pada anakku!” ia menggebrak meja. Air mata mulai menetes dari sudut matanya.
Kini aku tahu kenapa Pak Amin Makhruf yang selalu ceria mendadak emosional, juga alasan para guru mengintrogasiku. Namun aku masih belum mengerti penyebab mereka menduhku. “Terus, apa hubungannya dengan saya, Pak?”
“Karena mereka memanggil namamu!” kesiswaan membentak yang langsung ditenangkan oleh dua orang guru yang tak pernah kutahu siapa mereka.
“Tika. Mereka minta ketemu Tika,” imbuh guru BK.
Aku mengerut dahi. “Yang namanya Tika, bukan saya saja Pak,”
“Tapi cuma kamu yang ga ke sekolah Sabtu kemarin,” tanggap guru BK cepat.
“Tapi saya beneran ga tahu siapa mereka, Pak,” ujarku berusaha meyakinkan.
“Semua yang namanya Tika juga bilangnya begitu!” sentak Bu Yuni.
“Tapi Bu—”
“Mereka sudah ketemu semua yang namanya Tika, Sabtu kemarin,” Kepala Sekolah memotong kalimatku. “Tinggal kamu yang belum,”
Aku menunduk. Merasa semua yang kulakukan percuma. Rasanya ingin sekali aku berteriak dan pergi begitu saja.
“Salah tidaknya kamu, akan jelas nanti saat kamu ketemu mereka.” ucap guru BK makin buat hatiku perih.
***
Aku dan para guru—termasuk kepala sekolah—yang menginterogasiku sebelumnya, juga beberapa pengurus OSIS dikumpulkan di aula in door oleh geng Never Enough. Ada lebih dari 20 orang di sini, sementara lainnya menjaga semua pintu keluar aula, ruang guru, sebagian ruang kelas, parkiran, dan pos satpam.
Kebanyakan anggotanya masih seusia anak SMA, tapi tampang mereka menunjukan kengerian tersendiri, bagiku khususnya. Lebih-lebih bila memperhatikan tindakan mereka yang terstruktur dalam menyandera sekolah ini, jelas menunjukan kalau lebih baik tidak berurusan dengan geng Never Enough.
Aku masih belum mengerti alasan mereka berbuat sampai sejauh ini, melakukan tindakan yang berisiko tinggi dengan menyergap sebuah instansi. Namun aku lebih tidak mengerti kenapa para guru juga siswa tetap tidak mau meminta bantuan polisi.
Salah seorang keluar dari kerumunan. Aura intimidasi terlukis jelas melalui wajahnya. “Jadi kalian membawa Tika hari ini?”
Kepala Sekolah mengangguk lalu gelagapan berkata, “Ini siswa terakhir yang punya nama Tika,”
Dari sudut mataku aku bisa melihat jelas kalau kesiswaan berusaha menahan emosinya agar tidak meluap. Aku mengerti betapa terlukanya melihat pelaku tindak kekerasan—yang membuat keluarga tercinta terbaring tak berdaya—masih berkeliaran bebas dan tetap bisa tersenyum. Namun ia tekan rasa itu karena profesinya sebagai guru juga perlu mementingkan keselamatan anak didiknya.
“Hei bocah, maju kau!” sentak orang itu.
Aku gemetar. Selain karena takut berhadapan dengan gangster, hatiku pun mengalami luka mendalam sebab seluruh siswa mencurigaiku dan para guru tidak memercayaiku, bahkan pria yang kucinta entah di mana. Tidak ada di sisiku untuk mengenyahkan semua pernyataan menyakitkan itu.
“Hei maju cepat,” bisik Kepala Sekolah setelah orang itu kembali berteriak.
Aku menatapnya nanar. Apakah pantas Kepala Sekolah bertindak seperti ini? Kulihat ke arah semua guru juga pengurus OSIS di ruangan ini, mereka hanya membuang muka. Seolah tak peduli apa yang akan terjadi padaku.
“Lepas kerudungmu!” orang itu kembali membentak sesudah jarakku cukup jauh dari para guru.
Mataku terbelalak. Dalam beberapa detik aku sengaja menengok ke belakang, jelas dari raut mereka takkan ada yang menghentikan perintah pria di hadapanku. Dan orang itu beserta gengnya takkan mungkin berhenti sebelum apa yang mereka minta dipenuhi. Namun kenapa harus membuka kerudung? Apa Tika-Tika sebelumnya juga diperlakuan seperti ini?
“Kenapa diam?! Lepas kerudungmu!”
“Kenapa aku harus melepas kerudungku? Apa kamu ga lihat mukaku? Aku bukan orang yang kamu kenal!” aku mencoba bernegosiasi. Lebih kepada mempertahankan kehormatanku. Sesuatu yang telah kujaga sejak kelulusan SD.
Meski liriih aku masih bisa menangkap suara Kepala Sekolah, “Apa yang kau katakan? Itu hanya kerudung, lepas saja. Ini demi kebaikan kita semua,”
Mendengar itu rasanya seluruh air mataku akan tumpah, tapi masih kutahan. Aku tidak ingin terlihat lemah, terlebih di hadapan orang-orang lemah seperti geng Never Enough yang hanya bermodal kelompok dan kekerasan sebagai senjata mereka.
Bagiku jilbab bukan sekadar benda yang melingkar di kepala, atau kain yang hanya menutup leher dan rambut dari pandangan orang lain, atau semata-mata karena wajibnya muslim perempuan memakai hijab. Akan tetapi sudah menjadi martabat dan kesucianku, sesuatu yang penting bagiku.
“Ini bukan hanya kerudung!” aku menegaskan.
Sementara pria di hadapanku menunjukan kegeramannya. Setelah mengambil besi dari rekannya, ia melangkah penuh emosi.
Aku hanya bisa memejam, tidak tahu mesti berbuat apa. Berusaha menutup semua indra. Berharap semua hal buruk ini tak pernah terjadi, atau mimpi buruk yang bisa kutinggalkan dengan bangun.
Rasa takut berlebih membuat tubuhku bergetar hebat. Aku benar-benar tidak bisa lagi mendengar apa pun. Otakku terus memunculkan pertanyaan yang kian buatku terselimut oleh kehampaan dan kengerian.
Siapa pun, tolong aku!
Samar aku mendengar suara yang kukenal. Lama kelamaan makin jelas kalau itu suara pria yang kucinta. “Aku di sini. Tenanglah,”
“Apa semuanya baik-baik saja?” tanyaku tergagap.
“Ya. Semuanya baik-baik saja. Buka matamu,”
Aku menggeleng. Menolak melihat kenyataan yang terjadi. Aku begitu takut kalau-kalau semua prasangkaku benar. Aku tidak ingin lagi terluka.
Beberapa saat kemudian aku merasakan kehangatan yang bersumber dari kedua tanganku. Itu menghadirkan ketenangan sampai membuatku tak sadar membuka mata.
Kulihat senyum merekah di wajah tampan pria yang kucinta, kubalas seringai itu dengan mengangkat kedua ujung bibirku. Di belakangnya tampak geng Never Enough telah dalam kondisi terikat, yang mana di sekitar mereka banyak siswa SMAN Purwokerto membawa berbagai macam alat pemukul.
“Apa yang terjadi?”
Dia tidak berkata, hanya merespons dengan lirikan mata ke arah pintu aula di mana polisi berbondog-bondong masuk lalu mengamankan para gangster.
Pria yang sebelumnya meneriakiku memberontak hebat hingga lepas dari jagalan polisi, “Tunggu saja! Aku akan memburu kalian, bahkan dari dalam mimpi!”
Gilang menyungging bibir, kedua bola matanya terbuka lebar. Aku baru tahu kalau dia bisa berekspersi mengerikan seperti itu. “Kenapa harus menunggu? Aku akan terus mendatangimu sampai kau tidak ingin lagi hidup,”
Orang itu membisu, tubuhnya menggigil. Tanda jelas kalau ia takut.
“Kami tunggu di mobil,” kata salah seorang polisi pada Gilang sebelum akhirnya meninggalkan tempat ini dengan para pelaku tindak kriminal.
Aku menggenggam erat tangan dia.
Seakan tahu kegelisahan hati, Gilang menatapku penuh cinta. Muka iblis sebelumnya tak lagi tampak pada wajahnya, yang ada hanya kehangatan dan kenyamanan. “Aku pergi sebentar,”
“Ta-tapi,”
Gilang mengelus pelan kepalaku sambil tersenyum, “Tenanglah ... tidak semua hal buruk seperti sejuta pertanyaan yang muncul di sini,” katanya sembari mengetuk keningku dengan jari telunjuknya. “Kendalikan itu, dan kau akan lebih hebat dari Kate Warne[1],” tambahnya seraya melempar senyum. “Jangan lupa nanti sore kencan!” serunya lalu keluar dari aula.
Mendengar itu, apa yang terjadi sebelumnya bagai mimpi buruk belaka, seperti sesuatu yang mustahil terjadi. Di otakku sekarang hanya berisi ketenangan, kenyamanan dan beribu pertanyaan bahagia sebab aku akan kencan. Setelah sekian purnama, aku bisa kencan lagi dengan dia!
***
Aku membuka mata. Menyadari kesadaranku telah kembali pada tempatnya aku meraih ponsel. Terpampang jelas fotoku bersama pria yang kucinta yang diambil kala aku bertunangan, tepat sebelum aku pergi memutuskan pergi dari dia.
Benar. Aku harus tenang sekarang. Hatiku berbisik lirih.
-----------------------------------
[1] Detektif wanita pertama.