Dari Diary Rizky Gilang Kurniawan
20 Mei 2020
Asap pekat masih bercampur udara, menghalau pandangan juga pernapasan. Dalam keremangan aku berusaha meningkatkan penglihatan dengan lengan menutup separuh wajah, mencegah debu memasuki rongga hidung. Setelah menyingkirkan reruntuhan tembok pada kaki kiri, aku menyapu pandang dan tampak si firma hukum merintih menahan lara. Belum sempat kulihat apa yang membuatnya mengerang, Agashi mengejutkanku dengan muncul dari balik tabun.
“Apa yang terjadi?” tanyaku sambil mendekat ke Yoshinori.
Pria itu bergeming, masih menampilkan muka kesal sebelumnya. Sedang di hadapanku Yoshinori menggenggam kencang perutnya. Lagi-lagi mataku terbelalak setelah tahu kalau luka yang diterimanya akibat tembakan. Dan….
DUAR!
Aku membalik badan, mendapati si intel telah terbaring di lantai, darah mengalir deras dari balik tubuhnya. Keterkejutan berlebih membuatku tak dapat merespons apa pun dalam beberapa detik sebelum akhirnya Yoshinori membuatku sadar. “Pergilah…. dia bukan lawanmu!”
Aku diam menerka ke depan. Berpikir mustahil untukku kabur kalau orang itu memakai senjata api.
“Jangan pikir kau bisa mengajaknya bicara,” Yoshinori kembali berkata.
“Kau lihat saja,” ucapku.
Aku bangkit, melangkah ke depan. Saat kabut mulai berbaur dengan udara sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya terlihat jelas, pria yang berdiri tepat di hadapanku dengan seringai yang berkilat adalah….
“Reo!”
***
Sepuluh tahun lalu, tepatnya saat aku duduk di bangku kelas 8 SMP, seperti kebanyakan pelajar seusia kami mempunyai sahabat, aku pun sama. Reo namanya.
Kami berteman sejak MOS, lalu dipertemukan lagi di kelas yang sama, duduk di bangku yang sama dan disibukkan dalam ekskul yang sama—pencak silat—membuat kami sering memiliki waktu bersama. Tak jarang orang menganggap kami sebagai sohib, atau parahnya pacaran. Sayangnya persepsi semacam itu keliru, karena diantara kami berdua tidak ada yang homo.
Pertengkaran kerap terjadi, sewajarnya bocah SMP. Namun semuanya menjadi besar tanpa pernah kutahu akar permasalahannya, dulu.
Aku masih ingat ketika Reo mengajakku sparing di halaman belakang sekolah, seperti biasa. Kali ini kami tak menggunakan body protector untuk persiapan pertandingan bebas yang akan dilaksanakan 3 bulan ke depan. Aturannya pun sama, yang kalah adalah dia yang keluar dari lapangan, menyerah atau pingsan, dan atau menyerang titik vital lawan secara sengaja.
Beberapa senior diajak sebagai wasit juga juri, sekaligus menghentikan pertandingan dengan paksa apabila pertarungan menjadi berbahaya.
Babak pertama berakhir dengan poinku lebih unggul, setelah aku berhasil menangkap tendangan Reo yang dilanjutkan sepakan tepat ke perutnya, membuat Reo jatuh dan berguling.
Di babak kedua serangan Reo lebih tajam. Beberapa pukulan dan depakkannya masuk. Namun sekali lagi, poinnya mesti lebih rendah saat ia hampir menyerah setelah aku melakukan guntingan pinggang yang disambung kuncian. Bila saja waktu masih tersisa sedikitnya 5 detik, pastilah aku menang RSC.
Berbeda dengan dua babak sebelumnya, di babak terakhir serangan Reo menggila dan tak terarah. Sering kali pukulan dan tendangannya mengenai wajah juga selangkangan. Aku tak tahu apakah itu sungguh tidak disengaja atau sebaliknya, tapi saat aku melirik ke arah wasit ia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang terencana. Merasa percuma berharap menang diskualifikasi, aku kembali ke tujuan awal. Aku harus menang angka.
Jadi seperti yang dilakukan Reo, aku pun melancarkan serangan habis-habisan dengan mengacuhkan pertahanan yang dari dua babak sebelumnya kulindungi mati-matian.
Pukulan dan tendangan saling balap mendarat pada permukaan badan lawan yang terkadang keduanya saling berbentur. Bagi orang yang melihat, tahu dengan pasti kalau siapa yang mundur itulah yang akan menjadi pecundang. Sedangkan bagi para petarung, stamina dan ketahanan sedang sangat diuji, hasrat untuk menang menepis segala rasa sakit, yang muncul di pikiran adalah bagaimana caranya membuat lawan tumbang.
Seperti yang kuperkirakan jauh sebelum pertandingan dimulai, dengan lebih berfokus pada pertahanan dibanding menyerang membuat staminaku unggul. Reo yang sejak awal menerjang dengan agresif, kini mulai kehabisan energi membuat tumpuannya goyah. Tepat ketika ia mengangkat kaki untuk melakukan tendangan, di waktu yang sama aku menyapu pijakannya. Kemudian dengan sigap melompat dan menahan bagian leher dan pergelangan tangan juga dagu Reo yang baru saja ambruk.
Pria itu memaksa melepaskan diri, tapi apalah daya tenagaku jauh melebihinya. Bahkan ketika ia berteriak tak menentu, Reo masih tak lolos dari kuncianku hingga pertandingan selesai.
Selagi wasit membariskan kami berdua untuk menunggu keputusan pemenang dari juri, lagi-lagi Reo berteriak. Dengan lari terpogoh-pogoh ia berusaha melancarkan bogemnya. Aku menanggapi cepat, sehabis menangkap pukulannya, tangan kananku menerjang tepat di ulu hati Reo. Membuatnya terduduk, mendekap perut dan mengerang menahan sakit.
“Brengseeek!” gerutunya.
“Apa yang salah denganmu?” tanyaku setelah bersimpuh di depannya.
Tatapannya tajam kepadaku. Kedua alisnya meruncing. Aku tahu, kalau dia marah. “Apa menurutmu?!” Tertatih-tatih pria itu bangkit lalu mencengkeram kerah bajuku. “Mending kau mati saja, number one!” Kemudian melangkah pergi dengan jalan terhuyung-huyung.
***
Esoknya di kelas. Reo menyalamiku seperti biasa, bagai tak ada permasalahan apa pun sebelumnya. Namun nadanya terasa sangat berbeda dari biasanya. “Maaf untuk yang kemarin,” ucapnya.
“Aku juga,” kataku akhirnya. “apa masalahnya?”
Reo menyender ke bangku, kepalanya menengadah lalu mengembus napas panjang. “Ayahku,” kemudian menatap tajam ke arahku. “aku sudah sering cerita kan, kalau si brengsek itu selalu menuntutku jadi nomor satu,”
Belum sempat menanggapi Reo kembali bicara, “Jangan buatku jadi pecundang dengan mengalah di lapang pertandingan!”
“Mana mungkin!” ujarku menepis keyakinannya yang tepat. Memang selama ini insting Reo tak pernah meleset. Aku sering berpikir, bagaimana bisa bocah SMP sepertinya melakukan itu?
“Aku tahu, kau selalu serius melakukan sesuatu. Itu terlihat jelas dari matamu,”
“Hanya dua hal, kau tahu,”
“Sekolah dan silat,” Reo menebak.
Sedang aku mengangguk setuju. “Tapi nyatanya, nilai biologi dan bahasa Inggrisku tak pernah membaik,”
“Bukan itu masalahnya!” tiba-tiba suara Reo meninggi, membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah kami.
“Tenang kawan,”
Dada Reo kembang-kempis, aku tahu kalau ia tengah berusaha mengendalikan emosi. Namun apalah daya anak seusia kami belum bisa mencapai apa yang sering orang dewasa sebut dengan ‘berpikir bijak’.
Sekali lagi Reo mencengkeram kerahku dan mengangkat tinggi-tinggi. “Kalau saja aku tak mengenalmu!”
Aku diam, hanya menatap ke arah matanya. Saat itu, aku sama sekali tak dapat menebak permasalahan seperti apa antara Reo dan ayahnya.
“Tidak! Andai saja sejak awal kau tak pernah ada di dunia!”
Saat kondisi makin tidak kondusif aku mencoba menenangkannya lagi. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik,”
“Bulshit!” teriaknya sambil membogem wajahku.
Aku terjungkal dan menubruk meja. Sementara teman yang lain menjagal Reo yang masih berteriak menyuruhku mati, aku bangkit lalu mendekat ke arahnya kemudian menunduk kepala dan berteriak. “Reo!”
Gemuruh suara yang memenuhi rongga telinga seketika lenyap. Aku menebak mereka terkejut kalau ternyata teriakanku sangat kencang.
“Kalau kau atau ayahmu punya masalah denganku, ayo selesaikan urusan ini di tempat lain. Sekolah bukan tempat buat gelut!”
Seringai Reo berkilat, sehabis itu tawanya pecah buat semua orang di sini—termasuk aku ketakutan.
“Aku akan menghancurkanmu di pertandingan bebas nanti!”
***
3 bulan berlalu. Selama itulah aku dan Reo tak lagi menjalin komunikasi.
Meski berulang kali mencari tahu, tapi tetap saja aku tak menemukan alasan kenapa Reo berubah brutal, lebih utama: memusuhiku. Yang kutahu kala itu hanya, ‘Ayahnya meminta Reo menjadi nomor 1 di segala bidang’.
Terdengar seperti candaan, atau kisah dalam komik. Namun itulah kenyataan yang harus dihadapi Reo.
Aku sadar, kalau beban itu sangatlah besar, tapi aku tak habis pikir kenapa ia sampai menaruh semua masalahnya kepadaku.
Pertandingan bebas pencak silat se-karesidenan berlangsung meriah. Seperti namanya, kompetisi kali ini tak memerhatikan usia dan tingkatan kelas. Ada banyak pesilat muda juga para pelatih yang berpartisipasi.
Awal pertarungan dimulai menggunakan sistem gugur yang dikelompokkan sesuai jenjang usia yang masing-masingnya terdiri dari 2 grup. Grup A dan B untuk usia pra-remaja, grup C dan D untuk usia remaja, grup E dan F untuk usia master-1, serta grup G dan H untuk usia master-2. Dari setiap grup akan diambil dua petarung terbaik untuk memasuki babak 16 besar.
Setelah melalui pertarungan yang melelahkan, aku berhasil masuk ke babak 16 besar dengan hasil pertandingan 12 kali menang dan 1 kali kalah. Sebagai catatan, kalah satu kali itu karena aku tak bisa mengikuti pertandingan akibat BAB yang tak kunjung selesai. Sementara Reo menjadi runner up grup B dengan hasil pertandingan tidak pernah kalah.
Seperti yang diperkirakan semua orang, lagi-lagi panitia mengelompokan petarung dalam usia mereka. Masing-masing runner up group akan melawan peringkat kedua di grup yang berbeda. Aku yang menjadi peringkat pertama di grup A berada di sisi kiri bagan, sementara Reo di sisi kanan bagan. Jadi kesempatan untuk kami bertemu hanya di final.
Sayangnya pertarungan kami di pertandingan bebas tak pernah terjadi. Reo harus gugur setelah gagal menumbangkan runner up group D. Sedang aku terus melaju hingga babak final melawan juara pertama grup F yang selama ini menjadi guru silatku setiap hari, Mas Yadi.
Seperti guru yang selalu paham akan muridnya, Mas Yadi berhasil membaca hampir semua seranganku. Meski banyak tinju dan tendangannya yang berhasil kutepis dan kutangkap, tetap saja seorang bocah SMP sepertiku akan kesulitan menghadapi pria dewasa sepertinya. Hingga gong akhir pertandingan kami hanya bisa saling balas serangan, elakan dan tepisan. Tanpa bisa melakukan guntingan, sapuan maupun kuncian.
Kompetisi berakhir dengan hasil di luar ekspektasi, aku keluar sebagai pemenang dengan selisih 1 angka dari Mas Yadi. Kebahagiaan menyelimuti diri, karena bisa muncul sebagai kuda hitam yang berhasil mengalahkan para seniorku. Namun perasaan itu seketika lenyap saat kedua mata mendapati ekspresi Reo yang tetap saja meruncingkan alisnya kepadaku.
***
Di sekolah, aku dikejutkan dengan kabar kalau Reo pindah ke Jepang karena urusan keluarga. Sehabis itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentangnya.
Dari kejadian itu aku sering berpikir: “Apa aku salah mengajak ia masuk ekskul pencak silat? Apa aku salah menganggap Reo sebagai sainganku? Apa aku salah selalu berusaha melakukan yang terbaik demi mengalahkannya?”
Aku kelu, bimbang tak menentu.
***
Di hadapanku, pria itu berhenti saat jarak diantara kami tak lebih dari 2 pria dewasa. Dengan tatapan tajam, ia mengacungkan senapan laras pendek ke arahku sambil berkata, “This not your place, number one.”
Ledakan menggelegar merenggut satu kehidupan.