Read More >>"> Titip Salam (Chapter 6 - Aksi Masa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titip Salam
MENU
About Us  

               Baru kali ini aku merasa sangat bersyukur bertemu Haris. Biasanya, aku akan marah-marah atau mengomel karena dia sering memanggilku hanya untuk menitipkan makanan, tapi kali ini aku sungguh bahagia menemukan sosoknya yang sedang makan sendirian di McD. Tubuhku sudah terlalu lelah karena keliling kampus sejak pagi hingga sore untuk mengurus kastrat. Ada bala bantuan untuk mengawasi Salam sementara aku bisa makan sambil bersantai.

               “Kak Aris, Salam mau ayam yang ada mainannya, boleh?” bisik Salam ketika kami sudah duduk di pojokan store. Dia mengarahkan mulutnya ke telinga Haris, padahal aku bisa mendengar ucapannya.

               “Boleh, yuk!” Haris berdiri dengan tangan terulur.

               “Mau ke mana lo?” tanyaku sambil menyantap chicken burger tanpa selada yang baru kugigit sekali.

               Salam memberi isyarat diam dengan telunjuk ditempel di bibirnya sambil menghadap ke Haris.

               “Salam, jangan minta aneh-aneh,” tegurku lembut berusaha sabar.

               Bocah di depanku itu hanya menanggapinya dengan menjulurkan lidah.

“Biarin, lah. Lo mau makan apa lagi?” ucap Haris menengahi.

               Aku menggeleng. Ketika tengah melanjutkan makanku, kulihat Ryo mendorong pintu kaca di depan store, dia sendirian sambil membawa ransel. Mata kami berserobok, kemudian Ryo melambaikan tangan sambil menyunggingkan senyum.

               “Ngapain?” tanya Ryo begitu mendekati mejaku.

               “Ngepel. Makan begini, masih aja ditanyain. Gue enggak sama June.”

               Ryo tertawa. “Iya, gue tahu. Makanya gue ke sini.” Tanpa dosa, diambilnya cup medium berisi cola yang kupesan tadi. Lalu menyedotnya tanpa berpikir dua kali.

               Aku mendelik. “Beli sendiri, kek!” Tanganku sudah bersiap memukul keras lengan Ryo, tapi dia dengan gesit mencegah dengan tangan kirinya. “Jangan dibiasain. Lo enggak takut kalau misalnya ternyata gue punya hepatitis atau penyakit menular gitu?”

               Tangan Ryo menggantung setelah menjauhkan sedotan dari mulutnya, lalu mengerjap sebentar. “Serius? Gue turut prihatin, Jav.”

               “Misalnya, woi. Mi-sal-nya!”

               Minumku diletakkannya kembali di atas meja. “Lagian gue begini juga enggak ke semua orang, lah! Cuma, gimana, ya. Lo, tuh, sasaran empuk gue,” ucap Ryo sambil terkekeh.

               “Empuk, empuk. Lo kira gue kerupuk seblak?”

               Salam datang dengan Haris setelah memesan Happy Meal di counter. Bocah itu makin mirip Ryo yang minta makanan seenaknya, padahal dia baru bertemu Haris hari ini.

“Eh, ada Kakak Om!” sapanya ceria sambil menggenggam tokoh Gru yang duduk di atas motor jetnya.

“Kak Ryo, bukan Kakak Om! Kalau ada yang denger gimana, dikira aku udah tua, tahu!” protes Ryo dengan nada tinggi. Ucapan bocah saja dia permasalahkan.

               Salam tidak memedulikan protes Ryo. Dia sudah sibuk menggerak-gerakkan motor Gru di dinding dan meja.

               “Hai, Bro. Mau makan?” Haris juga mengenal Ryo. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa saling kenal, karena setahuku mereka juga tidak pernah sekelas saat mata kuliah bersama.

               “Gue maunya cari joki ujian, sayangnya di sini enggak ada.”

               Aku melirik Ryo yang duduk di sebelahku. “Enggak lucu banget.”

               “Lo ada ujian besok?” tanya Haris sambil memandangku dan Ryo bergantian.

               “Iya, mulai besok. Resek banget, kan, bagian TU gue. Jumat, tuh, hari pra-weekend, malah dibikin ujian hari pertama!” Ryo melepas ranselnya dan mengeluarkan macbook serta lembaran HVS dan bolpoin.

               “Eh, ya, udah. Lo belajar aja sama Jav. Salam biar gue jagain. UAS jurusan gue masih besok senin, kok.”

               “Siapa bilang gue mau belajar!” sahutku cepat. Iya, karena rencanaku setelah makan adalah bersantai. Bukan belajar.

               “Hah? Hidup lo selow amat, Jav,” jawab Haris heran. “Kalian belajar aja. Oh, ya, ini gue titip kayak biasa.” Laki-laki itu menyodorkan kantong plastik berisi paperbag dan sekotak ayam padaku sembari menggerakkan alis naik-turun. Aku sudah tahu maksudnya.

               Tiba-tiba Ryo meraih cup berisi cola milikku yang tadi diseruputnya. Dengan santainya, dia menghabiskan minumanku hingga mengeluarkan bunyi ‘sroot! sroot!’ karena sedotan sudah tidak menemukan apa-apa lagi di dalamnya.

               “Lo habisin?” seruku kesal. Burgerku tinggal dua gigitan dan aku tidak punya minum.

               “Nanti gue beliin yang large plus ayam kalau perlu, tapi sekarang dengerin gue jelasin materi ujian besok dulu. Lo butuh ini buat lulus,” kata Ryo tanpa cengengesan seperti biasanya. Dia memandangku tegas, bahkan terlalu serius. Aku jadi bingung.

               “Good luck, guys!” Haris mengepalkan tangan sebagai isyarat memberi kami semangat. Kemudian dia mengajak Salam duduk di bangku lainnya. Haris juga biasanya tidak semurah hati seperti sekarang.

               Ryo menjelaskan kerapatan fluks listrik, hukum gauss dan divergensi yang sama sekali tidak kumengerti. Namun, dia mengucapkannya dengan pelan, menulis rumusnya di kertas dengan sabar, dan memberi tahu contoh soal dengan telunjuknya yang mengetuk layar macbook sambil menyelesaikannya. Aku mendengarkannya bukan karena berharap satu cup cola ukuran large, tapi Ryo menjelaskannya tanpa merasa sok pintar.

               Hanya sekali itu aku belajar dengan Ryo, tidak mungkin aku mengganggunya dalam tujuh hari selama ujian. Aku masih tahu diri walau aku dan Ryo berteman akrab. Akhirnya seminggu penuh keluhan selesai. UAS berakhir, kastrat juga telah dilaksanakan. Kini, aku tinggal mempersiapkan keberangkatan aksi masa besok pagi. Kami melakukan briefing dengan peserta aksi, dan memberi reminder berkali-kali bahwa tidak ada yang boleh melempar kalimat provokasi. Isu yang dibawa aksi kali ini sensitif perihal evaluasi pemerintahan dengan tujuh tuntutan. Aku, Ogi, dan Bang Dito juga terus melakukan pengecekan ulang latar belakang tiap peserta, memastikan mereka benar-benar mahasiswa dan bukan oknum yang menyusup karena memiliki kepentingan.

               Esoknya, aku dan Bang Dito ternganga karena ternyata peserta aksi tampak lebih banyak dari yang seharusnya. Mungkin sekitar tiga ratus orang yang berkumpul di meeting point yang telah disepakati. Bahkan, sepertinya lebih dari itu karena mahasiswa dari universitas terus berdatangan.

               “Pak Pres, ini beneran banyak peserta yang di luar list pendaftaran!” seru Bang Dito ketika kami harus rapat dadakan di pinggir jalan bersama seluruh Presiden BEM yang tergabung dalam BEM SI sebagai perwakilan universitas masing-masing. Aku dan Ogi yang sebagai panitia pelaksana juga ikut berkumpul dengan mereka.

               “Oke, gue juga sebenernya kaget, guys. Kalau begini, mau enggak mau tiap BEM universitas harus ambil kendali atas mahasiswa masing-masing. Gue, Dito, Ogi, Javitri, dan temen-temen sospol lain, enggak mungkin mengawasi mereka semua,” ucap Mas Pandu yang lebih sering dipanggil Pak  Pres karena jabatannya sebagai Presiden BEM di kampusku.

               Enam Presiden BEM yang menggunakan jas almamater universitas masing-masing mengangguk paham.

               “Sekalian, gue usul. Yang naik podium kita tentuin dari sekarang, biar enggak diserobot oknum,” kata Mas Imron, Presiden BEM Universitas U yang menggunakan jas almamater berwarna kuning.

               Karena sudah berkali-kali komunikasi dengan enam Presiden BEM ini, aku jadi mengenal mereka semua. Berkat Bang Dito, karena aku selalu menempel dengannya ke mana-mana, kalau tidak, aku juga tidak akan mengenal mereka.

               “Gue setuju. Tiga Presbem, Bang Dito, sama satu anak sospol kayaknya cukup. Lainnya nanti ikut interaksi penyampaian aspirasi dengan perwakilan pemerintah kalau mereka buka gerbang buat kita,” imbuh Mas Wahyu sebagai Presiden BEM Universitas T.

               “Oke, dari kampus gue, biar Dito sama … Ogi mau nyoba orasi?” tawar Mas Pandu. Aku diam saja, kukira Mas Pandu akan langsung menanyaiku. Ternyata tetaplah laki-laki lebih didahulukan untuk masalah politik seperti ini.

               “Enggak, deh, Pak. Lebih baik gue jaga peserta aksi takut tiba-tiba enggak kondusif.” Ogi melambaikan tangan.

               “Javitri aja,” tunjuk Bang Dito cepat sambil menatapku seolah mengisyaratkan sesuatu.

               “Serius?” ucap Mas Imron dan Mas Wahyu serempak, diikuti pandangan dari sembilan pasang mata ke arahku.

               “Janganlah, masa cewek. Cowok aja, selain O—“

               “Gue mau!” potongku cepat. Sebelum Mas Pandu yang penganut patriarki sejati ini menawari orang lain. Aku justru menunggu kesempatan seperti ini. Kalau bukan Bang Dito yang membantu membuka jalan untukku, siapa lagi?

               “Lo yakin, Jav? Udah punya materi?” Mas Pandu mengernyit dengan tatapan kurang percaya.

               “Ada, Pak. Lagian, gue udah paham betul tujuh tuntutan yang kita bawa hari ini.” Aku mengucapkannya dengan mantap.

               “Oke, gue setuju kalau Javitri yang orasi! Sekarang lebih baik kita kembali ke posisi masing-masing.” Mas Imron menepuk tangannya sekali, menandakan bahwa dia sudah menyetujui semua keputusan di rapat dadakan.

               Beruntung, sudah lebih dari setengah hari aksi masa dilakukan dan situasi masih aman terkendali. Aparat kepolisian tetap berjaga dan membuat  Tiga Presiden BEM termasuk Mas Imron, sudah naik ke podium untuk orasi. Setelah ini giliranku lalu Bang Dito sebagai penutup. Suasana demonstrasi makin terasa hiruk, lagu Totalitas Perujuangan, Buruh Tani, dan Darah Juang terus dinyanyikan bergantian.

               Aku berdiri di ujung, dekat undakan di pinggir pagar kantor wali kota yang dianggap sebagai podium siang ini. Dari sini, aku bisa melihat Ogi yang berada di barisan depan, dan anggota kementerian sospol lain yang berjaga di tengah, belakang dan kanan-kiri barisan. Mas Pandu dan dua Presiden BEM lain sudah masuk ke kantor wali kota untuk menyampaikan tuntutan aksi. Cuaca makin terik, tidak ada tempat untuk berteduh, aku juga lupa mengenakan topi. Rambut sebahuku aku kuncir dengan karet gelang agar tidak makin gerah. Beberapa kali aku mengusap dahi yang dipenuhi keringat. Suaraku hampir habis padahal aku belum orasi.

               “Naik, Jav!” teriak Bang Dito memberiku instruksi.

               Aku mengangguk sekali lalu kunaikkan kaki kananku ke undakan yang agak tinggi. Tangan kiriku mencangklong tali pengeras suara, kuarahkan megafon dekat bibirku. Jantungku berdegup kencang, memicu adrenalin dan membuatku sangat bersemangat. Sebelum bicara, aku sempat melihat beberapa mahasiswa menatapku kagum. Mereka mengacungkan jempol tangan untuk memberiku apresiasi.

               Seperti kata Bang Dito kemarin, semua calon presbem hadir di aksi masa dan kini mereka tengah memandangku, bahkan ada yang menyoraki untuk menyemangati karena kami berasal dari satu almamater. Baru kali ini aku merasa bangga dengan diriku sendiri. IPK-ku memang hanya dua koma dua, tapi keberanian untuk berdiri di sini, tidak semua orang memilikinya, termasuk empat penghuni kosku yang kini pasti tengah menikmati liburan. Ya, inilah diriku dengan wajah biasa saja yang juga bisa mendapat atensi banyak orang karena kemampuan.

               “Kami mahasiswa juga mampu membuat pergerakan dan sebagai pengeritik sistem pemerintahan yang belum berjalan sesuai janjinya di awal! Kami tidak akan tutup mata terhadap penyalahgunaan kekuasaan, karena itu kami semua datang membawa tujuh tuntutan!” teriakku berapi-api.

               Kemudian kulihat barisan tengah mulai saling dorong, Ogi dan lainnya yang berada di barisan depan mulai kewalahan. Nyanyian sudah berhenti sejak tadi. Tiba-tiba suara seseorang terdengar entah dari mana. “Setuju! Wali kota anjing! Turun dari jabatan sekarang juga!”

               Aku terbelalak mendengarnya. Kakiku gemetar karena mahasiswa lain ikut latah dan menyerukan makian kasar. Tiga orang dengan almamater biru menerobos aparat, memaksa masuk kantor wali kota dan aku yang berdiri di podium menjadi saksi mereka dipukuli oleh kerumunan petugas menggunakan tongkat. Bentrok terjadi dengan cepat. Bang Dito yang awalnya berdiri di bawah podium sudah tidak tahu ke mana. Para perempuan digiring oleh seseorang dari kementerian sospol menjauhi kerumunan anarkis.

               Baru saja aku hendak turun dari podium, seseorang mendorongku, aku terjatuh dengan lutut menyentuh aspal lebih dahulu. Pengeras suara yang kubawa mengeluarkan bunyi sirine karena tidak sengaja terpencet. Seseorang yang menguasai podiumku kini, terus mencaci maki, mengeluarkan kata-kata kotor. Dari arah barisan mahasiswa melempar benda-benda yang sengaja dibakar lalu melemparnya ke aparat. Batu dan botol berterbangan di udara. Aku menutupi kepalaku dengan kedua tangan. Aku bingung harus ke mana karena posisiku terjepit di ujung barisan depan. Sebuah kerikil mengenai rahangku, nyeri bercampur ngilu. Kuusap dengan telapak tangan ternyata berdarah. “Berengsek!” umpatku di tengah aroma plastik dibakar.

               Akan tetapi, ketika aku baru akan melangkahkan kaki menjauhi barisan depan, aku merasakan kerah jas almamaterku ditarik paksa oleh seseorang dengan kuat dari belakang. “Kamu, kan, yang orasi tadi!” teriak seorang pria. Aku hampir mati tercekik jika tidak ada Ogi yang menendang tangan aparat tersebut hingga terlepas.

               “Ini cewek, Pak! Jangan kasar, anjing!” maki Ogi kasar.

               Aku ingin menghindar, tapi tangan aparat masih berusaha meraihku lagi.

               “Ikut saya! Kamu yang tadi provokasi!” petugas itu tidak mengindahkan ucapan Ogi dan sekarang beganti mencengkeram pergelangan tanganku dengan kencang. Sakit sekali rasanya.

               Buukkh!

               Ogi memukul rahang petugas dengan keras, menimbulkan suara seperti yang kulihat di film-film laga. Lalu Ogi menarikku dan menyembunyikanku di belakang punggungnya. Namun, percuma.

               “Woi, tangkap dua provokator ini!” seru petugas pada teman-temannya.

               Dalam sekejap, aku dan Ogi sudah dikelilingi petugas. Ogi terus memaki, dan berusaha menghindar, tapi lagi-lagi percuma. Tangan kami diborgol, lalu aparat menggelandang kami menuju garnisun. Ternyata di sana sudah banyak mahasiswa yang tertangkap. Beberapa wajah yang kulihat tampak lebih tua, seharusnya mereka bukan mahasiswa.

               Aku hanya diam sejak tadi. Rahangku perih, masih terasa ada darah yang keluar, tapi hanya bisa kuusap dengan bahu.

               “Jav, duduknya deketan gue,” suruh Ogi ketika kami sudah di atas truk. Petugas duduk di bangku mengelilingi kami, sedangkan para mahasiswa duduk di bawah seperti kambing.

               Hanya anggukan yang kuberikan untuk menjawab pertanyaan Ogi.

               “Sorry, ya,” ucap Ogi lagi sembari memandangku. Kening dan pelipis Ogi berdarah, rambutnya sudah semrawut, lepas dari kuncirnya. “Semua bakal baik-baik aja, kok,” lanjutnya menenangkan.

               Aku mengangguk lagi. Kuncir rambutku juga hampir lepas. Wajah kami sama-sama dipenuhi keringat, debu, dan luka. Aku menekuk lutut, membenamkan wajahku di sana. Untuk menangis atau tidak saja aku bingung memutuskannya. Siang ini aku hanya merasa konyol sebagai mahasiswa. []

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • moonmaker

    kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK

    Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri
Similar Tags
KILLOVE
3053      1038     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Potongan kertas
652      304     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Let's See!!
1367      663     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
746      550     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
Sweet Equivalent [18+]
2738      773     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Ethereal
1100      519     6     
Romance
Ada cowok ganteng, imut, tingginya 173 sentimeter. Setiap pagi, dia bakalan datang di depan rumahmu sambil bawa motor matic, yang akan goncenging kamu sampai ke sekolah. Dia enggak minta imbalan. Dia cuma pengen lihat kamu bahagia. Lalu, ada cowok nggak kalah ganteng dari sebelumnya, super tinggi, cool, nyebelin. Saat dideket kamu dia sangat lucu, asik diajak ngobrol, have fun bareng. Ta...
Anak Magang
25      23     0     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
ARSELA: Perjodohan si Syar'i dan Ketua Geng Motor
96      89     3     
Romance
Memiliki hutang budi dengan keluarga Dharmendra, Eira mau tidak mau menyetujui perjodohan dengan putra sulung keluarga itu, Arsel, seorang ketua geng motor tersohor di kampusnya.
Memento Merapi
4333      1730     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Love Arrow
364      236     2     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.