CHAPTER 4
Drop Out
“DROP OUT SAJA”.
Tulisan itu tertulis jelas di lembaran kuis mata kuliah persamaan differensial biasa dan parsial yang kupegang.
Satu, dua, tiga.
Kemudian kuremas kertasnya dan kumasukkan ke dalam tas. Mungkin setelah keluar kelas nanti, akan kupindahkan ke tempat sampah organik.
“Gimana, Jav?” tanya June yang duduk di depanku sambil menolehkan kepala.
“Lumayan, lah.”
Lumayan buat nambahin isi tong sampah maksudnya, batinku.
Tiba-tiba Profesor Budi berbicara sebelum kelas bubar, mahasiswa yang tadinya riuh menjadi hening seketika. “Masih ada yang mengerjakan kuis saya dengan asal-asalan,” ucapnya dengan suara berat.
“Sangat mengecewakan. Sudah susah-susah masuk jurusan ini, tapi justru menganggap kuliah ini bercanda. Kalau begitu lebih baik minta drop out. Kasihan, calon mahasiswa lain yang menginginkan kursi Anda di sini, tapi gagal di ujian seleksi masuk. Karena itu, saya tidak memberi mahasiswi ini nilai, tapi saya tulis ‘drop out’ di kertas ujiannya.”
Beberapa mahasiswa mulai gaduh, dan sibuk mengecek kertas kuis satu sama lain. Kurasakan empat teman indekosku serta Ryo—dan mungkin beberapa teman lain—melempar pandangannya ke arahku. Tanganku mulai berkeringat dingin. Aku menundukkan pandangan, takut beradu pandang dengan Profesor Budi, karena aku yakin beliau hafal nama kami, apalagi mahasiswi di angkatanku hanya belasan orang. Kenapa Prof. Budi ngomong mahasiswi, sih? pikirku berkecamuk.
Setelah keluar kelas, Aya dan Tiar menggamit kedua tanganku agar mengikuti mereka menuju kantin. Sial, kertas itu tidak jadi kubuang. Jujur saja, kuis kemarin memang tidak ada harapan, aku mengerjakannya hanya sesuai dengan ingatan materi yang pernah aku dengar atau aku baca. Masalahnya, cuma dua puluh persen materi yang terbersit di ingatanku. Delapan puluh persennya, aku pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan begini hasilnya. Tidak ada nilai, tapi justru sebaris kalimat dari Prof. Budi. Apalagi teguran tersirat tadi itu, membuat pikiranku ke mana-mana. Takut juga.
“Nanti malem makan sate kelapa, yuk!” celetuk Wita yang berjalan beriringan dengan kami, sedangkan June sepertinya berjalan di belakangku sambil memainkan ponsel seperti biasa.
Untung saja mereka tidak menanyaiku atau membahas ucapan Profesor Budi saat di kelas tadi
“Iya, setuju. Kita lama enggak makan berlima di luar, lho.” Tiar mengangkat telunjuk kanannya.
“Lo bukannya diet, cuy?” Aya memutar kepalanya empat puluh lima derajat ke Tiar yang tengah menggandeng tangan kananku.
“Enggak, ini free-day. Gue bebas makan apa aja,” ucap Tiar bahagia.
“Padahal biasanya apa aja juga dimakan,” gumamku yang dibalas Aya dengan cekikikan.
Kantin sudah ramai karena memang jam makan siang. Kami berlima berpencar mencari menu makanan masing-masing. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada whatsapp dari Haris.
Haris
[Jav, lo ajak temen-temen lo makan di deket bangku gue, dong.]
Aku celingukan mencari Haris, tapi tidak kutemukan sosoknya karena terlalu ramai.
Haris
[Arah jam 9, dekat tangga.]
[Udah gue jagain bangku buat lo.]
Kulihat Haris melambaikan tangan, dia duduk sendirian dengan senyumnya yang superlebar. Kami memang tidak satu jurusan. Haris mengenal Tiar dari kelas mata kuliah bersama yang wajib diikuti oleh mahasiswa Jurusan Teknik Fisika dan Teknik Elektro. Kebetulan kami bertiga satu kelas. Haris maunya dekat dengan Tiar, tapi justru lebih dekat denganku karena Tiar terlalu jutek. Ujung-ujungnya, aku yang menjadi perantara Haris agar bisa dekat dengan Tiar. Laki-laki macam apa itu yang tidak berani PDKT sendiri!
Akhirnya aku berhasil menggiring empat penghuni indekosku ke bangku yang dijaga Haris. Tiar awalnya menolak, tapi karena tidak ada bangku kosong saat itu, dia menurut juga setelah kubujuk berkali-kali. Sebenarnya aku ini dibayar berapa, sih, sama Haris?
“Hai, Jav. Halo Tiar,” sapa Haris tanpa malu. Kemudian dia berpindah ke bangku di samping kami yang berisi enam mahasiswa laki-laki yang rela duduk berimpitan karena bangku ini harusnya cuma untuk empat orang. Dasar masokis!
“Oh, Javitri sama Tiar aja, nih, yang disapa, cuy?” Aya memulai ramah-tamahnya. Kalau ada yang belum mengenal Aya, pasti mereka mengira perempuan ini genit. Padahal dia memang kelewat ramah sama orang lain.
“Eh, iya. Hai Aya, Wita, June.” Haris sudah seperti Guru Taman Kanak-kanak yang mengabsensi siswanya. Karena sudah sering menitipkan sesuatu untuk Tiar, dia jadi mengenal tiga penghuni indekos yang lain. Lima teman Haris yang duduk juga ikut melambaikan tangan sok akrab ke kami.
“Lagi makan siang apa, Neng?” celetuk salah satu teman Haris yang menggunakan kemeja flannel bermotif kotak-kotak.
“Makan nasi rawon, nih, Bang. Habis gimana, makan harapan palsu enggak bikin kenyang,” jawab Aya meladeni mereka.
Kemudian bangku Haris menjadi gaduh. Aku melihat pengunjung lain sampai memalingkan wajah ke arah kami. Ya, Aya memang begitu. Bukan malu-malu kucing, tapi malu-maluin!
“Tiar, dapat salam dari Haris!” Sekarang, si kaus merah dengan kaca mata hitam yang bicara.
Delapan, sembilan, sepuluh.
Iseng, aku menghitung kecepatan respons Tiar. Ternyata dia hanya diam. Wita sudah menyikutnya sejak tadi, tapi Tiar justru sekarang sedang cosplay menjadi Haji Bolot.
“Dicuekin enggak, tuh. Duh, kasihan amat, sih, Haris ini,” ucap si kaus merah itu lagi. Haris pura-pura manyun.
“Sabar, ya, cuy.” Aya masih sempat bicara di tengah makan.
Aku sejak tadi hanya menyendok nasi pecel di hadapanku sambil mendengarkan celetukan mereka. Lumayanlah, hiburan gratis setelah mendapat sindiran dari Profesor Budi tadi.
“June, kapan main basket lagi? Gue mau jadi supporter, nih!” Haris mencoba menghibur diri karena dicuekin Tiar sejak tadi dengan mengajak bicara June.
“Kelar UAS kayaknya ada pertandingan piala rektor, deh.”
Tumben, June meladeni para penyamun ini, batinku dengan mulut sibuk mengecap nasi.
“Siap, abang bakal nonton neng June mainin bola di lapangan.” Entah siapa yang bicara karena pandanganku tertuju pada makanan yang tersisa seperempat porsi di hadapanku. Yang jelas itu bukan suara Haris.
“Gue punya tebakan, nih! Bola, bola apa yang bikin nangis?” celetuk laki-laki duduk paling ujung terjauh yang tiba-tiba main tebak-tebakan. Random sekali.
“Bola yang ketendang kena mata!” sahut Aya semangat.
“Salah!”
“Bola badminton nyangkut di pohon mangga!” Kali ini si flanel kotak-kotak yang menjawab.
Mau tidak mau aku menoleh karena mendengar ini.
“Badminton pakai shuttlecock, geblek!” Haris memukul lengan si flanel.
“Salah!”
“Bola lo kebentur meja!” ucap si kaus merah terlalu bersemangat.
“Ngaco, woi! Ngaco!” seru lima teman-temannya hingga dia mendapat pukulan, tamparan, dan hinaan yang bertubi.
Aku dan empat penghuni indekos tertawa terbahak-bahak. Kelakuan mereka tidak jauh berbeda dengan Ryo dan kawan-kawan, sampah banget!
“Nyerah? Kalian nyerah? Eneng-eneng cantik di podium sebelah nyerah?”
“Nyeraaah ….” jawab kami serempak kecuali Tiar.
“Bola yang bikin nangis adalah bolantakin hatiku, dan kamu tetap memilih pergi bersama yang lain.”
“Huuuu ….” Kami sontak mengarahkan jempol terbalik ke arahnya sebagai balasan atas pertanyaan dan jawaban tidak bermutu.
Tiar beranjak dari duduk.
“Tiar mau balik ke kos?” tanya Haris sigap.
“Iya,” jawab Tiar singkat. “Balik, yuk, Wit.”
Wita menggeleng. “Gue masih ada kuliah.”
Tiar memandang kami bertiga. “Jun? Jav? Aya?”
“Gue mau ke BEM, Yar,” ucapku.
“Udah, dianter abang Haris aja baliknya,” goda si kaus merah.
“Yuk, gue anterin, Yar.” Haris berdiri, sambil menggendong ranselnya.
“Ceilee, pucuk dicita ulam pun tiba, nih, yee. Suwit, suwit!” Teman Haris yang lain makin berani menggoda. Haris tampak bodo amat.
“Enggak usah, gue pesen gojek aja.” Tiar tentu saja menolak.
“Lho, sama gue aja. Gue sekalian pulang. Gratis lho,” sahut Haris masih usaha.
“Gue lebih pilih bayar, daripada yang gratis, tapi modus,” timpal Tiar sengit.
Semuanya terdiam.
“Abang Hariiis, yang sabar ya, Baang. Memang engkau lebih cocok dengan peribahasa bagai pungguk merindukan bulan,” celetuk si flanel memecah keheningan, diikuti gelak tawa teman-temannya yang lain. Haris hanya menanggapi dengan manyun.
Aku, Aya, June, dan Wita hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimana bisa, para laki-laki ini menjadi mahasiswa teknik fisika! Tiar sudah berpamitan pulang duluan. Pendekatan siang ini dinyatakan gagal total!
Setelah makan siang rusuh itu, aku celingukan mencari keberadaan Bang Dito di sekretariat BEM. Ruangan penuh, beberapa orang mengadakan rapat dengan duduk melingkar di bagian timur dan selatan sekretariat, jelas mereka beda kementrian. Ternyata sosok yang kucari sedang duduk di pojokon ruangan BPH1 dengan laptop di hadapannya serta headset sambil menggelengkan kepalanya pelan seperti mengikuti irama.
Aku menepuk bahunya pelan karena Bang Dito tidak menyadari kehadiranku di sana.
“Eh, Jav, gue kira lo masih entar sore datengnya.” Bang Dito melepas headset.
“Kuliahnya udah kelar, Bang. Ogi enggak ke sini?”
“Katanya, sih, ke sini sekarang,” ucap Bang Dito sambil melihat arloji di tangannya. Dia angkatan akhir, mengambil Jurusan Teknik Sipil dan kini menjabat sebagai Menteri Sosial Politik di BEM Universitas. Namun, berdasarkan pengakuannya, dia tidak mungkin lulus semester depan karena kuliahnya masih tersisa tiga puluh sks, apalagi Bang Dito belum sempro sampai akhir semester ini.
“Bang, sewa aula gedung K belum beres perijinannya yang buat kastrat besok.”
Bang Dito memandangku sejenak. Lalu mengalihkan pandangan ke seluruh area sekretariat BEM. “Kalau di sini enggak mungkin, ya?”
“Mungkin. Kalau perwakilan HMJ fakultas gue enggak ada yang dateng,” jawabku sambil terkekeh. Jurusanku termasuk dalam fakultas teknik, dan memiliki enam jurusan untuk tingkat sarjana dan dua jurusan vokasi untuk tingkat diploma, total ada delapan HMJ di fakultasku.
“Jangan, lah! Justru fakultas lo yang gue harepin biar banyak yang ikut aksi masa besok.”
“Bukannya aksi masa kali ini, anggota BEM SI2 juga diundang, Bang? Berarti ada universitas lain, kan?”
“Nah, masalah ini gue mesti rundingan lagi sama Pak Pres. Lo tahu, lah, Jav, gimana usaha birokrat buat jauhin ormek dari BEM? Takutnya malah ada penyusup yang jadi mahasiswa lain. Lebih susah kontrolingnya juga. Makanya gue butuh banyak cowok dari internal kita buat aksi masa besok.” Bang Dito menutup laptopnya.
“Kalau bisa, buat aksi masa besok jangan ada mahasiswi yang ikut, deh. Lo juga kalau bisa jangan ikut, deh. Soalnya yang dibahas sensitif,” lanjut Bang Dito.
Aku sontak mengerutkan kening. “Enggak bisa, dong, Bang! Gue, kan, Dirjen Kastrat, anak sospol juga. masa iya, dilarang ikut aksi masa?” sungutku.
“Tuh, kan. Gue udah bilang ke Ogi, lo pasti ngamuk-ngamuk kalau kita larang ikutan aksi masa. Kita cuma takut ricuh, Jav. Meminimalisir kemungkinan buruk yang terjadi, gitu.”
“Enggak, enggak, pokoknya gue ikut!” ketusku.
“Jav, lo, tuh, terlalu totalitas di sospol. Padahal lo cuma pegang satu sub-bidang doang. Lo nyalon jadi pengganti gue, gih! Bentar lagi, kan, pemilihan presbem, pasti mereka juga lagi cari TSK3, nah, biasanya TSK ini kandidat kuat jadi menteri kalau dia terpilih.”
“Emang bisa mahasiswa semester empat jadi menteri, Bang?” Aku mulai tertarik.
“Bisa aja kalau mampu. Gue rasa, sih, lo mampu, Jav.”
“Wah, boleh banget, nih, Bang!” Aku bersemangat.
“Mulai konsolidasi aja sama salah satu calon presbem. Keburu disikut sama Ogi, kayaknya Ogi juga berminat gantiin gue.”
“Konsolidasi?”
“Pendekatan, sokab gitu, lah!” Bang Dito mengibaskan tangannya sambil tertawa.
Tiba-tiba Ogi datang dan duduk di sebelahku. Rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Tapi kenapa Ogi malah kelihatan cakep kalau begini? Astaga, Ya Tuhan, tolong kembalikan kesadaranku sekarang!
“Bangun tidur lo?” tanya Bang Dito.
“Iya, nih, Bang.” Ogi menyisir rambutnya dengan jemari, lalu menguncirnya dengan karet hitam di tangannya, seperti biasa. Kalau dikuncir begini, jadinya lebih mirip preman.
“Lah, katanya kuliah?” sahutku heran. Karena semalam Ogi berkata bahwa dia akan menemuiku dan Bang Dito setelah kuliah siang.
“Ketiduran gue, baru tidur habis Subuh. Eh, malah bablas,” keluh Ogi setelah mengusap wajah agar kesadarannya utuh kembali.
Aku cengengesan.
“Nugas?” Pertanyaan Bang Dito ini retoris. Kalau Ogi tidur Subuh sudah jelas dia nugas, memangnya ngapain lagi?
“Iyalah! Gambar design. Lo kira gue ngapain, Bang!” jawab Ogi sengit.
“Yaa … kali aja lo ngegambar yang lain,” ucap Bang Dito sambil senyum-senyum. Ini, nih, yang enggak aku suka. Kalau Bang Dito sama Ogi ngobrol, aku merasa menjadi makhluk lain. Ya, karena aku enggak tahu apa-apa!
“Ngegambar lautan, gitu?” tanyaku bingung.
Bang Dito dan Ogi sontak memandangku bersamaan, lalu tertawa terbahak-bahak. “Tuh, kan. Javitri jadi kepo gara-gara lo, Bang!”
Setelah rapat dengan Bang Dito dan Ogi hingga Maghrib, sesuai keinginan para penghuni kos, kami makan sate kelapa bersama. Jangan bayangkan di restoran mahal, atau rumah makan. Bagi para perempuan cantik ini, aspek terpenting dari makanan adalah rasanya, bukan tempatnya atau harganya.
Beruntungnya, mereka bukan tipe perempuan yang sedikit-sedikit foto. Mau makan foto, makanan sebelum dimakan difoto, setelah makan foto, makanan setelah dimakan difoto, makan makanan juga foto. Tidak seribet itu.
Kami berlima duduk lesehan di trotoar yang telah disulap menjadi tempat makan oleh si penjual. Tidak peduli jika ada pejalan kaki yang sampai harus turun trotoar dan berjalan kaki di bagian bahu jalan raya. Para pembeli duduk beratapkan langit penuh bintang, ceileh! Ini bukan sok puitis, tapi memang di sini tidak disediakan tenda atau semacamnya. Jadi, kalau tiba-tiba hujan, ya, jadinya kami makan sate dengan kuah.
Butuh sembilan puluh menit tanpa waktu tambahan untuk makan. Setelah selesai makan yang dirangkap dengan mengobrol itu, kami beranjak.
“Aya, bayar pakai duit lo dulu, dong.” June menepuk lengan Aya. “Gue enggak bawa dompet, nih.”
“Lah, gue juga enggak bawa, cuy. Tadi buru-buru jemput Javitri di kampus, sih.”
Wita dan Tiar berpandangan. “Kita berdua juga enggak bawa, woi.”
Aku memukul dahi. “Mentang-mentang deket, kalian semua enggak bawa dompet? Untung aja, gue masih bawa tas gara-gara dari kampus.” Aku masih sibuk mengikat tali sepatu.
“Gue ambil, ya, Jav,” ucap June mendekati ransel yang sudah kukenakan.
“Iya, ambil aja. Di dalem resleting paling gede.”
Kurasakan June membuka tasku, lalu merogoh isinya. Tiba-tiba ….
“Jadi beneran lo yang disuruh drop out, Jav?” tanya June dengan suara yang beradu dengan deru kendaraan bermotor. Kurasakan tiga penghuni indekos lainnya memandangku. Suara June cukup keras saat itu, pasti didengar oleh orang di dekat kami juga.
June sialan!
[]
1 Badan Pengurus Harian : presiden BEM, wakil presiden BEM, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, wakil bendahara
2 BEM SI adalah BEM Seluruh Indonesia yang berbentuk aliansi dan terbagi menjadi beberapa teritorial dari Jakarta hingga Papua
3 Tim Sukses Kampanye
kaya gue yg nunggu ngisi air sambil main game WKWKWK
Comment on chapter Chapter 1 - Aku Javitri