Pernah ga sih lu, lagi jalan-jalan gitu terus ngeliat bule atau orang asing yang lagi kesusahan karena dia terlihat bingun? Terus lu pengen bantu ,tapi karena terbentur bahasa jadi lu pun ikutan bingung? Gua pernah di posisi itu, tapi gua jadi si orang asing yang lagi kebingungan.

Cerita ini terjadi saat gua sekeluarga sedang mengunjungi kakak yang sedang berkuliah di Italia, dan rencana nya sesampainya di sana gua sekeluarga akan bepergian ke beberapa negara lainnya. Aji mumpung gitu, gua lagi libur sekolah dan abang gua yang berkuliah di Australia juga lagi liburan. Semenjak masuk SMP, kita sekeluarga jarang banget ngumpul, jadi bisa di bilang ini adalah pertama kali ngumpul setelah hampir tiga tahun. Kami akan memanfaatkan ini dengan sebaik-baiknya.

Tidak terasa kami sudah satu minggu berada di Milan, besok adalah hari di mana kami sekeluarga akan berangkat ke Amsterdam. Sampai saat ini semuanya berjalan sangat lancar, tidak ada kendala sama sekali dalam tutur maupun bahasa. Ujung tombak kami dalam berbicara ada kakak dan abang gua, karena mereka fasih dalam berbahasa Inggris. Gua? Yah cuma sebatas yes, no, thankyou, punten, dan hal-hal basic lainnya. Untungnya sampai saat itu belom ada saat di mana gua harus benar-benar berbicara dengan orang asing. Bukan berarti tidak akan ada.

“Besok pesawat kita terbang jam 1 ya, jadi kalau bisa kita jam 11 udah di sana ya.”

“Ih kecepetan Pa, bandaranya ga jauh kok,” jawab kakak gua.

“Bukan gitu Wen, kalau ada apa-apa jadi enak gitu ga buru-buru,” jawab nyokap gua sembari memasukan baju-baju ke dalam koper.

“Pokoknya kita sahurnya sekarang ya, jadi tidurnya cukup.” Pada malam itu kami makan sahur lebih cepat dari biasanya, agar tidur cukup dan tidak terlambat ke bandara.

Tapi anehnya sampai jam 12 malam tidak ada satu pun dari kami yang bisa tidur kecuali gua, keluarga gua bener-bener ga bisa tidur sampe-sampe bokap memutuskan untuk tidak tidur sekalian, jadi ntar dia tidurnya di pesawat.

“Udah kaya anak kecil ya kita, kaya mau tamasya gitu, ga bisa tidur gara-gara gak sabar mau jalan-jalan.”

“Iya ya lucu juga ya Ma, padahal mata ngantuk banget. Oh iya pake baju yang agak tebel ya. Soalnya nanti di Amsterdam itu dingin. Yah, beranginlah,” jawab kakak gua.

“Padahal di sini panasnya sama aja kaya di Pekanbaru loh, lebih panas malah,” jawab gua.

“Iya kalau Italia emang gitu dek, tapi kalau Belanda walaupun summer dia tetep berangin yang dingin gitu. Pake jaket ya.”

Jam menunjukan pukul 8, dan kami sudah siap untuk berangkat, bener-bener udah siap padahal kami memesan taksinya di jam setengah 11. Kita duduk di ruang tengah Airbnb kami, dengan keadaan hening. Ini benar-benar kejadian supranatural karena tadi keluarga gua bener-bener ketawa-ketawa dan ga bisa berhenti ngomong, pada saat semua kerjaan selesai tiba-tiba mereka semua diam dan terlihat di muka mereka bahwa mereka ngantuk, terutama bokap.

Dan gua yang kemarin malam sukses tidur dengan pulas, sama sekali tidak merasakan kelelahan, laper doang itu juga gara-gara puasa.

“Kita berangkat sekarang aja gimana?” tanya gua.

“Kecepetan dek, masih jam 9. Di bandara nanti pelanga-pelongo.”

“Iya, nanti dikira yang engga-engga lagi.”

“Ya abis ga ada kerjaan gini, kalau ga Papa Mama tidur aja dulu, nanti di bangunin.”

“Ga usah lah, takut kebablasan. Gimana kalau kita turun aja dulu biar seger gitu, ngeliat orang.” Gua ga ngerti apa hubungan ngeliat orang dengan membuat kita segar, tapi di karenakan membantah orang tua adalah tindakan tercela jadi kami iya kan saja. Dan atas dasar saran nyokap kami pun turun ke jalanan. Azeh.

Memang saran dari seorang ibu adalah yang terbaik, tanpa terasa kami sudah berjalan-jalan ga jelas selama satu jam lebih, kami pun balik ke Airbnb karena sebentar lagi taksi kami datang. Dari tempat kami menginap ke airport hanya membutuhkan sekitar 15-20 menit. Dan yang aneh nya lagi walaupun mengantuk dan lelah, tidak ada satupun dari keluarga gua yang tidur di taksi. Hmm.

Singkat cerita, kami sudah mengantri di barisan pemeriksaan visa, antriannya tidak terlalu panjang, jujur gua sedikit deg-degan kalau sedang mengantri pengecekan visa begini, karena yang gua denger kalau jawaban kita tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh si pengecek bisa aja kita tidak diperbolehkan berangkat, kan panik yak. Mana tadi malem gua buat contekan di kertas ga di bolehin sama kakak gua lagi, dasar murid teladan.

“Inget ya Dek, kalau di tanya jawab aja sesuai yang mereka tanya, kalau ditanya mau ngapain kesana jawab aja mau liburan sama keluarga. JANGAN NGIDE,” tegas kakak gua yang sepertinya tau kalau otak dan mulut gua sering ga sinkron.

“Iya tenang aja, udah di hapal jawabannya kok,” jawab gua yang sama sekali tidak tau sebenernya apa yang harus dihafal.

“Hah? Hafal apa?” tanya kakak gua yang berdiri di belakang gua.

“Jawabannya.”

“Udah-udah pokoknya jangan ngide ya, inget JANGAN NGIDE.” Sip gua akan mengingat nya.

Akhirnya sampai di giliran bokap gua yang maju ke bilik pengecekan, gua berada tepat di belakang bokap gua jadi setelah dia selesai giliran gua yang maju, dalam hati gua mengingat apa yang di bilang kakak gua tadi.

“Jawab aja sesuai apa yang di tanya, kalau ditanya mau ngapain jawabannya liburan, kalau di tanya sama siapa ke sana jawab aja sama keluarga. HARUS NGIDE, sip.” Fix gua di kirim ke Pekanbaru dengan paksa.

“Hello,” adalah kata-kata pertama gua setelah berjalan ke bilik pengecekan, sambil meletakkan passport gua, sejauh ini berjalan lancar.

“Hmm,” idih cuek, yg ngecek visa gua adalah seorang bule yang sudah cukup tua, yang sepertinya sudah jago di bidang ini, beberapa kali dia melihat ke arah gua lalu melihat ke arah passport gua.

“Where are you from?”

“I from Indonesia,” otak gua pengen jawab ‘dari Tuhan yang maha esa.’

“Alone?”

“No, I’m with my family,” otak gua pengen jawab ‘gua sama khodam gua nih, mau kenalan?’

“Are you studying here?”

“I’m sorry?” gua budeg.

“Are you studying here? or just visiting someone?”

“Pardon?” doi ngomong cepet banget.

“Hufft never mind, here.” Si bule cape kayanya, dan memberikan passport gua. Gua jadi ke Amsterdam.

“Yes!!! Thank you, Sir.” Gua langsung mengambil passport gua dan langsung ke wc, karena gua deg-degan.

Kita pun berhasil melewati rintangan pertama, dan duduk di ruang tunggu sambil menunggu pesawat kami tiba.

“Wen, dari sini ke sana berapa jam?”

“Kalau ga salah cuma 2 jam Pa, ini kan kita duduknya di belakang, jadi nanti masuk pesawatnya belakangan aja ya biar ga cape berdiri.”

“Hmm ga rame ya orang yang naik pesawat di Italia, di ruang tunggu nya sepi banget. Pada suka naik bus mungkin ya?” tanya gua.

“Yoi, lebih suka naik kendaraan umum orang Eropa,” jawab abang gua sotoy.

“Lah emang pesawat bukan kendaraan umum ya?” tanya gua.

“Lah iya juga ya, kendaran umum bukan ya? Hmmm.”

“Hmmm,” kita berdua mikir, walaupun gua yakin dia juga tau ga ada gunanya kita mikir gini.

Gak lama dari percakapan ga penting di atas pesawat kami pun tiba, dan kami bersiap untuk memasuki pesawat. Kita berlima dapet kursi yang jauh di belakang, ke empat dari belakang. Dikarenakan kami berlima dan kursi di setiap sisi cuma ada tiga, mau ga mau kami harus terpisah. Nyokap, kakak dan abang gua duduk bareng sedangkan gua dan bokap duduk di sisi yang lain. Fix bakal caur banget.

Saat tiba di tempat duduk kami, sudah ada seorang cewe bule yang duduk dengan headphone beats berwarna putih di dekat jendela, dan dua kursi kosong di sebelahnya adalah kursi gua dan bokap gua. Fix caur.

“Adek duduk di tengah ya,” kata kakak gua.

“Iya biar kalau Papa tidur ga ganggu cewe itu,” kata abang gua. Ini hanya sekedar trivia ya, bokap gua itu lebih ganggu saat tidur dari pada bangun.

“Haduh iya deh,” jawab gua pasrah dengan keadaan.

Gua pun duduk di tengah dengan jaket gua yang lumayan tebel, si cewe tadi cuma melihat ke arah luar jendela, ya ngapain juga ya tiba-tiba dia nanyain kabar gua, ada-ada aja dah gua. Dalam hati gua saat itu berharap doi ga ngajakin gua ngomong, karena pada saat itu, gua bener-bener ga jago dalam cakap-bercakap, dalam Bahasa Indonesia aja gua ga bisa, ga kebayang dalam Bahasa Inggris kan? Lindungi lah aku, ya Allah.

Gua udah pasang seat belt, dan memalingkan muka gua ke arah bokap gua yang duduk di sebelah gua. Belom ada kami duduk 10 menit tapi bokap gua udah tidur, untung nya doi ga ngorok. Yah gimanapun juga dia tadi malem ga tidur sih, jadi gua biarin aja dia tidur. Saat sudah diumumin bahwa pesawat akan segera berangkat, gua pun merogoh backpack yang gua letakkan di bawah kaki untuk mengambil earphone.

Saat merogoh-rogoh ke dalam tas, gua sadar bahwa gua lupa bawa earpho, ini kenapa gua sial banget yak. Dua jam perjalanan, tanpa musik, tanpa hiburan, tanpa novel, tanpa game, dan dengan mata yang super segar. Ga kuat aku tuh.

Sebagai orang yang ga bisa diam, perjalanan dua jam tanpa ada sesuatu yang bisa dilakukan adalah sebuah uji nyali, kalau ada kamera gua bakal melambaikan tangan pasti, sayang kamera gua juga ketinggalan. Gua bener-bener ga ada kerjaan woi. Gua melihat ke arah row tempat nyokap dan kakak-abang gua duduk, mereka bertiga pun tertidur pulas. Gua pun mulai mengambil buku panduan yang ada di kantong depan gua.

‘Sama aja lagi sama di pesawat Indonesia,’ pikir gua, lalu meletakkannya kembali. Gak lama kemudian gua ambil lagi buku tadi dan membacanya dari awal. Kata-kata di dalam buku tersebut tetap tidak berubah, gua berharap itu buku tiba-tiba jadi novel Raditya Dika atau novel comedy lainnya. Namun sayang itu semua hanyalah angan-angan.

Gua pun melihat lagi ke arah keluarga gua, mereka berempat masih tidur dengan pulas, gua pun melirik ke arah si kakak yang duduk di sebelah kanan gua. Ternyata doi lagi isi TTS!!! Gokil sih, gua kira yang namanya TTS itu cuma di kerjakan oleh bapak-bapak yang lagi bosen, ternyata mbak-mbak bule bosen juga main TTS!

‘Gua harus lihat isi TTS-nya,’ pikir gua. Gua penasaran banget sama pertanyaannya, mana tau ada yang bisa gua bantu kan ya, gua pun berusaha memiringkan badan gua ke arah si mbak supaya isi dari TTS nya bisa gua baca. Setelah berhasil ngintip kedalam TTS-nya, eh tulisannya pake bahasa yang ga gua kenal, sepertinya itu bahasa Belanda. Gua pun gagal membantu si mbak mengisi TTS. Huuft.

Gua pun kembali bercengkrama dengan rasa bosan gua tadi, dan mulai membuka kembali buku petunjuk tadi untuk yang ke 20 kali nya, ini tidak di lebih-lebihkan, gua yakin gua buka tu buku lebih dari 20 kali. Dan pesawat baru terbang kurang lebih 20 menit, tapi udah berasa 3 hari buat gua.

Gua udah coba membuka kacamata lalu mencoba tidur, tapi ga bisa, bener-bener ga bisa, mungkin karena gua terlalu semangat untuk pergi ke Belanda dan tidur yang cukup tadi malam. Ah sial tau gitu kan gua bisa aja tadi malem temenin bokap gua begadang yak, main gaple gitu kita di pengkolan depan. Ah sial.

Gua sama sekali ga bisa duduk diam, sampe beberapa kali gua ga sengaja menyenggol si mbak bule di sebelah gua. Tapi dia sama sekali tidak bergerak dari posisi dia, masih mendengarkan headset-nya sambil mengisi TTS di tangannya. Saat gua mau mengambil buku panduan terkutuk tadi untuk kesekian kalinya, tiba-tiba si kakak bule melepaskan headset-nya dan mengambil sesuatu dari dalam tas yang ada di pangkuannya.

“Excuse me,” sapa dia ke gua.

“Hehe, yap.” Yap? YAP APAAN SEH?! KENAPA GUA KETAWA MULU DAH.

“Is this the first time you are traveling with airplanes?” sepertinya memang dia berasal dari negara yang bahasa utamanya bukan Inggris, karena dia pun punya logat yang jarang gua denger.

“Ehh no, why?” jawab gua.

“Ohhh I thought this is your first time, because I can tell that you are bored right now, right?”

“Yes I am, ehh because I forgot to bring my book and my earphones.” Mantap gua ngobrol sama bule.

“Would you like to borrow one of my books?” tanya dia sambil mengambil sebuah majalah dari dalam tasnya.

“Pardon?” gua budeg.

“Here, just read this book,” dia menyodorkan majalah tadi ke muka gua.

“Why?” jujur aja pada saat itu gua ga mau ngambil buku doi gara-gara di Indonesia lagi marak banget kasus hipnotis di bus-bus dan kereta api. Saya tau apa yang anda pikirkan.

“Nothing, I just feel itchy when you read the same book over and over again.”

“Book? Which one? I don’t have any book,” jawab gua yang mulai keringetan takut di hipnotis cewe bule.

“That one,” sambil menunjuk ke buku manual yang memang sudah gua baca lebih dari 20 kali.

“Ahhh you see that, huh?” ternyata gerak-gerik gua sudah di perhatikan dari tadi, hmm.

“Of course I see that, just read this one. At least you don’t feel bored anymore.” Lah marah si mbak, fix tukang hipnotis ni orang.

“No thanks, I don’t understand Dutch.”

“Huh Dutch? What Dutch?”

“Ehh Dutch is a language from Netherlands.”

“ I know that! I mean why do you tell me you don’t understand Dutch?” gua siap-siap teriak.

“I don’t understand Dutch, so I can’t read your book.”

“First of all, this book is in English. Second of all, I also don’t understand Dutch.”

“Wait, what?” gua berasa di pilem-pilem komedi.

“I don’t understand Dutch, because I’m not Dutch!” gua mulai menyenggol-nyenggol bokap gua.

“What???”

“I’M NORWEGIAN, I’M FROM NORWAY, NOT NETHERLANDS.”

“I SEE, I’M SORRY MAM!”

“SO DO YOU WANT READ THIS BOOK OR NOT?!”

“YES I AM, THANKYOU MAM!” fix gua baru aja di hipnotis.

GUA PUN MENGAM. . . Sorry caps lock nya lupa di matiin. Gua pun mengambil majalah yang dia perintahkan untuk gua baca, baru kali ini gua di bentak mbak-mbak bule, ga asyik.

Dia pun diem dan mulai mengisi TTS yang ternyata berbahasa Norwegia bukan Belanda, gua pun mulai membuka majalah tadi dan benar ternyata itu majalah pake bahasa Inggris. Majalah yang doi pinjemin ke gua adalah majalah sports gitu, sejujurnya majalah itu lumayan menarik, isi olahraga di dalamnya sangat beragam. Ga cuma ngebahas olahraga mainstream seperti bola kaki, bola basket atau bola bekel, isinya ada banyak seperti handball, ice hockey, dan lain-lain.

Saat itu gua berfikir untuk mengucapkan terimakasih sama dia karena sudah meminjamkan majalah ini, dan ingin berkenalan sama doi, kan keren yak balik-balik ke Indo bisa pamer gua ke temen-temen gua.

“Thank you for the book, I’m Rizki from Indonesia by the way.” Mantap otak gua lagi akur sama mulut gua, setelah gua ngomong begitu tapi doi diem aja. Pas gua lirik ke dia ternyata dia sudah memakai headset-nya lagi. Pengen gua panggil tapi takut di hipnotis lagi, jadi gua memutuskan membiarkan doi di bubble-nya sendiri.

Tanpa terasa pilot sudah memberikan pengumuman bahwa kami akan segera mendarat, gua ngelirik ke arah keluarga gua cuma kakak gua yang sepertinya sudah bangun, gua melirik lagi ke mbak penghipnotis, doi ternyata lagi tidur dengan headphone yang masih di gunakan. Gua pengen balikin tapi dia tidur, gua kepikiran buat langsung masukin ke tas dia, takutnya langsung di kirim balik ke Indonesia. Sepertinya menunggu dia bangun adalah pilihan bijak.

Sesaat sebelum mendarat ternyata dia bangun dan membuka headphone-nya.

“Excuse me,” sapa gua.

“Yap,” ngeledek ni bule.

“Thank you for the book, I really appreciate it.” Formal amat gua yak.

“Haha no problem.” Dia pun mengambil majalahnya dan memasukan ke dalam tas.

Setelah gua menyerahkan majalahnya, pesawat pun mendarat tanpa masalah, gua ga berani buat nanyain nama dia dan meminta maaf atas perbuatan gua tadi yang sepertinya membuat dia kesal. Kami pun turun dan mengantri untuk pengecekan passport, gua sempet beberapa kali melihat dia ada di bagian depan barisan.

Gua sempat berfikir setelah selesai pengecekan passport untuk nyamperin dia buat sapa-sapa ga jelas aja, tapi saat sampai di bagian depan barisan gua mulai gugup lagi karena harus ngomong Bahasa Inggris dan menjawab pertanyaan dari si petugas visa, dan melupakan tujuan gua untuk nyamperin dia. Ini lah pentingnya mengajari Bahasa Inggris kepada anak sedari dini.