Azkadina dalam perawatan dokter terbaik dan penjagaan keluarganya. Kondisi kesehatannya berangsur lebih baik. Ahmad Irawan, ayah Azkadina, memilih menuntaskan perawatan putri bungsunya di rumah sakit, sampai benar-benar pulih.
Siang itu, Azkadina baru saja menyelesaikan separuh porsi bubur halus dengan kuah sayur bening. Ayah, Ibu serta keluarga kecil Sonya masih setia mendampingi Azkadina. Sesekali mereka menggoda Azkadina, putri ragil Ayah Ahmad.
Terdengar suara ketukan dari pintu kamar VIP tempat Azkadina dirawat. Perlahan, Sonya melangkahkan kaki lalu membuka pintu. Matanya terbelalak saat melihat sosok pemuda berkaus putih dengan simbol tangan saranghae berpadu dengan jas hitam.
“Ustaz Shafwan..” sahut Sonya.
Sontak semua mata memandang ke arah pintu. Tak terkecuali Azkadina. Matanya tak berkedip menatap sosok rupawan itu. Dengan sigap, Azkadina memasang kerudung instannya. Ia tak mau main-main lagi dengan bab aurat.
Shafwan tersenyum ramah dan menyapa Sonya.
“Silakan masuk, Ustaz. Kebetulan kami sedang berkumpul. Saya kenalkan dengan Ayah Ibu ya,” sahut Sonya. Ia membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Shafwan masuk. Sonya mengenalkan Shafwan kepada seluruh anggota keluarga yang ada.
“Oh, ini Pak guru Shafwan yang sudah membuat putri saya sakit itu ya,” ujar Ayah Ahmad.
Shafwan menunduk, wajahnya terlipat. Ia tak berani memandang laki-laki yang rambutnya sudah memutih semua itu.
“Saya ingin bicara dengan Anda. Kita boleh bicara di luar?” ajak Ayah Ahmad kepada Shafwan. Suasana mendadak tegang. Termasuk Azkadina. Ia tak menduga, Ayahnya akan mengajak bicara Shafwan langsung secara pribadi.
Shafwan mengangguk. Bersama Ayah Ahmad, ia berjalan ke luar kamar. Suasana di dalam kamar menjadi hening. Azkadina menggigit kuku jemari tangan kanannya. Ia kuatir, ayahnya akan marah kepada Shafwan dan berkata yang tidak-tidak.
“Tenang, Nduk. Ayahmu, tahu apa yang akan dilakukan untuk melindungi putrinya,” lembut Ibu Azkadina menenangkan putrinya.
Azkadina mengangguk. Ia merapal doa-doa untuk menenangkan dirinya.
Sepuluh menit kemudian, kedua laki-laki yang dicintai Azkadina itu kembali masuk ke dalam kamar. Wajah Shafwan tampak lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Ayah memberikan kode kepada semua keluarga untuk ke luar kamar dan membiarkan Shafwan berbicara dengan Azkadina.
“Hai Azkadina,” sapa Shafwan lirih. Ia mendekati ranjang Azkadina. Melihat wajah kikuk Azkadina, Shafwan semakin salah tingkah.
“Azkadina,” ujar Shafwan,”maafkan aku.” Ia menundukkan wajahnya di hadapan perempuan berhidung mancung itu.
Azkadina membuang muka. Ia bingung harus bersikap. Pikirannya berisik, ribuan kata hendak ia muntahkan kepada pria di depannya. Ia menarik nafas panjang lalu perlahan menatap Shafwan.
“Aku kecewa dengan sikap Pak Guru. Pak guru seakan melupakan diriku saat masa lalu pak guru kembali. Seolah aku tidak pernah ada. Emang Pak guru pikir, aku barang apa? Bisa dibuang begitu saja.” Azkadina mengeluarkan semua yang ia rasakan selama ini.
“Aku memang bodoh. Aku sudah menemukan tujuan hidupku kembali saat mengenalmu, Azkadina. Namun aku malah terbuai oleh masa lalu. Aku salah.”
“Pak guru, Maaf itu mudah. Melepaskan maaf juga mudah. Tapi, satu hal penting dalam cinta, jangan berikan ruang di hati pak guru kepada seseorang yang bahkan Pak guru tak berusaha untuk tinggal di dalamnya."
“Tidak, tidak begitu,” sanggah Shafwan. Suaranya mulai bergetar.
“Awalnya, aku menjadikanmu bagian dari pilihan-pilihan hidupku. Tapi aku salah. Azkadina bukan sebuah pilihan, tapi tempat hatiku berlabuh,” lanjutnya.
Hati Azkadina bergetar hebat mendengar kalimat puitis Shafwan. Sudut matanya membening. Namun ia menyekanya cepat-cepat. Tak ingin tampak lemah di hadapan Shafwan.
“Tumben Pak guru puitis. Pasti sudah disiapkan dari rumah ya?” tanya Azkadina.
“Iya,” jawab Shafwan sambil meringis.
Azkadina tergelak mendengar pengakuan Shafwan.
“Ayolah, aku sudah melankolis begini, kamu malah tertawa.” Wajah Shafwan berubah kecut melihat Azkadina.
Azkadina menghentikan tawanya.
“Aku mau tanya sesuatu…” ujar Shafwan kemudian.
“Tentang malam itu?” potong Azkadina cepat.
Shafwan mengangguk.
“Mike itu mantan pacarku. Aku bersama Mike malam itu untuk membalas dendam. Pak Guru bisa kembali ke mantan, masa’ aku tidak bisa. Rencanaku, aku mau share foto berdua bersama Mike. Aku ingin Pak guru tahu gimana rasanya dikhianati.”
“Astaghfirullah… sampai harus buka kerudung dan ke tempat dugem?”
“Ya club itu memang tempat Mike dan aku dulu bertemu. Masa jahiliyah jaman SMA dan sekarang balik jahiliyah. Hahahaa…” Azkadina menertawakan dirinya.
“Astaghfirullahal azhim,” seru Shafwan. Ia menunduk. Wajahnya terlipat.
“Aku sempat tak mengenalmu. Azkadina yang baik dan salihah, berubah dalam semalam.”
“Iya iya aku salah, puas? Pak guru tak tahu bagaimana diriku saat itu. Pikiranku berantakan. Aku tidak tahu harus kemana dan ngapain lagi. Dunia seakan buram karena pengkhianatan pak guru. Mungkin tidak tepat jika disebut pengkhianatan, karena toh kita tidak terikat apapun,” cecar Azkadina dengan mata memerah. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya.
“Tapi aku sudah terlalu menumpahkan semua rasa indah kepada Pak guru. Aku lupa, Pak guru hanya manusia biasa. Aku membenci diriku yang terlalu cinta kepada pak guru. Dan… saat itu aku hanya bisa membalas rasa sakit kepada Pak guru. Aku tak menyangka, Mike akan menuangkan minuman beralkohol di gelasku. Sampai akhirnya aku mabuk. Semakin berantakan,” tambah Azkadina. Ujung matanya yang membening akhirnya tumpah ruah. Semua ledakan di hatinya, sudah disampaikan secara lugas. Azkadina terisak.
“Maaf, aku tak menyangka sampai sejauh ini efeknya,”sesal Shafwan. Pandangan matanya masih menunduk. Situasi tak nyaman mendera hatinya.
“Maafkan aku juga, memberi masalah baru kepada Pak guru setelah malam itu.”
“Masalah yang aku hadapi itu tak sebanding dengan rasa geramku saat melihat Mike yang menyentuh dan mencoba mencium Azkadina. Darahku mendidih saat itu. Dan hanya pukulan yang mampu menghentikannya.”
Azkadina makin terisak.
“Baiklah… jadi begini, pak guru inginnya bagaimana? Terus terang, aku tak bisa memaksa pak guru memilih sesuatu yang bukan pak guru inginkan. Apalagi sikapku yang keterlaluan kemarin. Merokok, mabuk dan dugem. Itu bukan sikap perempuan baik,” racau Azkadina. Ia menghapus air mata dengan tisu pemberian Shafwan.
“Aku sadar diri, tak lagi berharap kelanjutan hubungan kita. Jangan karena aku sakit begini, terus pak guru kasihan dan berbalik memilihku. Aku tak mau dikasihani,” lanjut Azkadina. Ia mengambil segelas air minum.
“Tidak. Aku kemari bukan karena kasihan. Aku tahu, Azkadina perempuan kuat,” sanggah Shafwan.
Dahi Azkadina berkerut sejenak.
“Aku ingin, kita bertaubat atas kesalahan dan dosa. Lalu menulis ulang takdir cinta,”pinta Shafwan.
“Maksudnya? Ah, pak guru semakin melankolis sepertinya,” goda Azkadina.
“Apapun masa lalu kita, biarlah tetap berlalu. What’s in the past is in the past. Masa lalu cukuplah menjadi pelajaran. Kita sama-sama hijrah ya,” ucap Shafwan.
“Aku sepakat dengan masa lalu itu. Tapi hijrah? Maksudnya pindah rumah?”
Shafwan tersenyum geli.
“Maksudnya mari kita lanjutkan kisah kita kembali dengan diri kita yang lebih baik. Kita halal-kan rasa cinta yang telah menguat ini.” Kali ini Shafwan menunduk.
“Pak guru yakin?” Dahi Azkadina semakin berkerut.
“Azkadina mau kan? Aku akan melamarmu, Azkadina.”
“Lalu Aida?”
“Dia adalah masa lalu. Seperti halnya Mike.”
“Nanti kalau Aida datang lagi ke tengah kita?”
“Akan selalu ada Aida dan Mike lain yang hadir di tengah kita. Azkadina, ingat satu hal, setia itu bukan berarti tidak pernah tergoda tetapi tahu tempat di mana harus kembali.”
“Jadi, ada rencana untuk tergoda lalu insaf lagi?” Azkadina kembali bertanya untuk menepis keraguannya.
Shafwan menggeleng kuat.
“Aku tidak menjanjikan apa-apa kepada Azkadina. Aku juga tidak bisa menyampaikan sedalam apa perasaanku kepada Azkadina. Satu hal yang aku pahami, dirimu, adalah perempuan yang tepat untuk menjadi partner membangun cinta sampai surga.”
Hati Azkadina gerimis mendengar pengakuan Shafwan. Ingin ia memukul laki-laki itu sekuat tenaga. Mencubit keras-keras pipi Shafwan.
“Apa yang membuat pak guru yakin jika aku perempuan yang tepat?”
“Satu pekan lebih, aku berusaha melepaskan rasa yang menguat. Lalu aku terombang-ambing bertemu Aida. Sampai di satu titik, aku merasa yakin bahwa Azkadina adalah orang yang tepat. Aku terus memohon petunjuk, sampai kejadian malam itu terjadi. Sampai detik ini, aku merasa tenang dan tidak ada keraguan tentangmu.”
“Tapi, aku tidak sesempurna muslimah-muslimah lain. Ustazah Humaira misalnya. Dia lembut, keibuan, hafal Al Quran, cantik lagi. Aida juga beda tipis dengan Ustazah Humaira. Sedangkan aku? Kemudian, keluargaku berantakan. Aku anak broken home.”
“Apa aku laki-laki yang sempurna?”
“Tentu saja tidak. Pak guru manis tapi kadang menyebalkan.” Azkadina memonyongkan bibirnya. Shafwan tersenyum melihat pemandangan yang tak asing baginya.
“Lalu kenapa memasang kesempurnaan pada diri sendiri?” Shafwan menatap Azkadina. Pandangan mereka bertemu.
“Kita tidak akan menemukan orang yang sempurna. Namun ketidaksempurnaan kita akan saling menyempurnakan satu sama lain, dengan izin Allah,” Lanjut Shafwan. Ia kembali mengalihkan tatapannya.
Suasana hening sejenak. Pikiran kedua anak manusia itu sejenak bergemuruh lalu kembali tenang.
“Aku sudah menjauh, lalu berbuat beberapa hal yang tak patut. Kupikir, Pak guru tidak akan kembali lagi. Aku sudah mengikhlaskan jika Pak guru memilih Aida,” ujar Azkadina.
“Seringkali, Allah justru memberikan sesuatu ketika kita berserah diri kepada takdirNya. Ketika kita dalam kondisi zero.”
“Seperti yang aku bilang tadi, rewrite our love, menulis ulang semua rasa indah berdasar ketaatan kepada Allah. Azkadina bersedia?”
Tanpa ragu lagi, Azkadina mengangguk setuju. Ia memegangi pipinya yang memerah malu. Ia seperti mimpi melihat Shafwan di kamarnya saat ini.
“Kamu suka bunganya bukan?” tanya Shafwan mengubah topik obrolan.
“Biasa aja. Aku lebih suka orangnya.”
Shafwan terdiam, lalu tersenyum memerah.
“Tuh gantian pak guru yang blushing. Hehehe…” goda Azkadina sambil menunjuk wajah Shafwan.
Tak berapa lama, Mbak Sonya masuk ke kamar. Diikuti oleh Zaka, Ayah dan Ibu.
“Duu…yang senyum-senyum. Sudah gak berantem lagi?” ujar Sonya.
Azkadina dan Shafwan tersenyum. Mereka jadi salah tingkah.
“Azkadina, kamu sudah benar-benar baikan dengan Shafwan?” tanya Ayah seperti biasa, to the point.
Azkadina mengangguk.
“Kalian berdua sudah menyelesaikan masalah kalian dengan baik?” tanya Ayah lagi.
Azkadina dan Shafwan saling melirik lalu kompak mengangguk.
“Lalu, kapan Shafwan akan melamar Azkadina?” kali ini panah melesat ke arah Shafwan. Wajahnya memucat, kedua tangannya ditautkan erat-erat. Keringat dingin mulai menjalar di pelipisnya. Cepat-cepat Shafwan bisa menguasai diri. Ia menarik nafas panjang seraya berkata, “Jika berkenan, saya akan melamar Azkadina sekarang.”
“What?!” pekik Azkadina dan Sonya bebarengan.