Pukul sembilan malam. Shafwan memasuki rumahnya dengan perlahan. Suara derit pintu yang terbuka mewarnai kehadiran Shafwan. Netra Mama Sinta yang asyik menikmati tayangan sinetron di televisi beralih melayangkan pandangannya ke Shafwan. Perempuan cantik berusia lima puluhan itu lembut memanggil putranya.
“Shafwan, kamu dari mana?” tanya Sinta.
“Eh.. Ma, belum tidur. Aku dari luar Ma” jawab Shafwan dengan setengah menunduk. Ia tak berani mendongakkan kepalanya karena pulang malam.
“Jelas kamu dari luar,”ujar Sinta, “Kamu ketemu lagi dengan Aida kan?” Senyum kecil menghias wajah awet muda itu.
“Hm.. Iya Ma” jawab Shafwan perlahan.
“Sini, Nak. Mama mau ngomong sama kamu.” Panggil Sinta. Kali ini tatapannya lembut. Shafwan mengangguk dan menghampiri ibu yang telah melahirkannya itu. Shafwan duduk tepat di samping kanan Sinta.
“Kamu senang ketemu Aida?”
Shafwan mengangguk. Mama Sinta menarik nafas dalam-dalam.
“Lalu Azkadina? Bagaimana kejelasan hubungan kalian?” Sinta bertanya tanpa tedeng aling-aling.
Shafwan terdiam.
“Aida memang pernah mengisi hari-harimu dulu. Menjadikan hidupmu lebih berarti. Tapi ingat, itu dulu. Lima tahun yang lalu. Dan dia sudah meninggalkanmu.” Papar Sinta. Tangannya lembut mengelus lembut lengan kekar anaknya.
“Tapi Aida kembali kepadaku, Ma. Ia tidak bahagia dengan suaminya.”
“Apa lantas dia akan bahagia bersamamu sekarang?” cecar Sinta.
Shafwan lagi-lagi terdiam. Ia kehilangan kata-kata.
“Shafwan, dia yang kembali sekarang, sudah tidak sama dengan dia yang dulu. Kita tidak pernah tahu, apa saja yang telah berubah darinya.”
“Tapi Ma. Aida membutuhkan Shafwan sekarang.” Shafwan kembali merajuk. Di hadapan wanita yang melahirkannya itu, ia tak pernah bisa berpura-pura. Kali ini ia merebahkan kepalanya ke pangkuan Sinta.
“Lalu, ke mana dia lima tahun ini? Butuh kamu juga? Peduli saja tidak.” Mama Sinta melengos. Mengalihkan pandangannya dari sulungnya.
“Tapi, Ma…”
“Shafwan. Kamu lupa siapa yang mengobati sayap-sayapmu yang patah? Kamu lupa, siapa yang menghapus luka hatimu dan membuatmu menata mimpi kembali? Kamu tahu siapa dia bukan?”
“Azkadina”
“Kamu sendiri pernah bilang ke Mama, Azkadina bagaikan angin yang menghalau semua luka. Betul?”
Shafwan mengangguk. Sinta membelai rambut Shafwan, memijit ringan kepala putranya.
“Lalu kamu akan pergi meninggalkan Azkadina setelah sayapmu sembuh? Kamu pergi ke orang yang telah membuatmu hancur?”
“Jadi, Mama ingin aku bersama Azkadina?” Shafwan mendongakkan kepala demi melihat ekspresi wanita yang dikasihinya itu.
“Bukan itu poinnya.”
“Lalu?”
“Kamu mau menikah dengan siapapun, itu pilihan kamu. Asalkan dia seiman. Itu saja. Mama hanya mau kamu, berpikir lebih jernih dan rasional. Azkadina dan Aida. Keduanya perempuan baik, namun yang terbaik untukmu hanya satu. Segera pastikan, kamu memilih siapa.”
Shafwan bangun dari pangkuan Sinta. Pening yang merambat di kepalanya sirna berkat pijatan lembut Sinta.
“Begitu ya Ma?”
“Kalau kamu pilih Azkadina, tinggalkan Aida. Jangan menambah beban emosi dalam pernikahanmu kelak. Yang kembali tidak selalu datang untuk bersama.”
“Kalau aku pilih Aida?”
Kali ini wajah Mama Sinta gusar. Tak berharap mendapat pertanyaan itu dari putranya.
“Kalau kamu pilih Aida, segera sampaikan ke Azkadina. Bebaskan dia dari segala rasa yang pernah hinggap diantara kalian. Biarkan Azkadina menemukan pengganti dirimu yang lebih baik. Jangan memberi harapan palsu.”
Shafwan mengangguk. Ia sudah tahu siapa yang kan dipilihnya.
“Shafwan..”panggil Sinta lembut,”Kamu pernah nasehatin Sherine untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap keputusan bukan?”
Shafwan mengangguk lagi.
“Kali ini kamu yang harus melaksanakan nasehatmu sendiri. Melibatkan Allah dalam keputusan besarmu ini.”
Shafwan menarik nafas panjang. Ia kembali bimbang dengan pilihannya.
***
Suasana restoran steak di kawasan Raya Menganti masih ramai. Dari dua puluh meja, tersisa hanya lima kosong. Aroma daging panggang berbalut saus blackpaper menggugah selera siapapun yang memasuki restoran itu.
Duduk berdua di meja nomor empat, Shafwan dan Aida. Keduanya menikmati santap malam setelah berbelanja kebutuhan rumah Aisyah. Dua hotplate berisi sirloin steak dan dua gelas minuman dingin terhidang di atas meja.
“Gimana rumah barumu?” tanya Shafwan kepada Aida.
“Bersih dan rapi. Aku senang tinggal di situ. Ya walaupun agak mahal sih.”
“Baguslah. Setidaknya kamu sudah mendapatkan rumah yang cocok. Rapi dan bersih.”
“Kau memang paling bagus dalam memilih, Shafwan.”
Shafwan tersenyum.
“Aku akan lebih senang jika kau sering mengunjungiku.”
“Maksudnya?”
“Shafwan, aku senang bisa kembali kepadamu. Aku belajar apa itu cinta ketika bersamamu.” Kerlingan mesra Aida memabukkan hati Shafwan.
“Mari kita lupakan kenangan pahit itu. Kita jalin kembali perasaan yang telah lama terkubur ini. “
Tangan Aida menyentuh lembut jemari Shafwan. Ia ingin meyakinkan Shafwan tentang kembalinya dia dalam kehidupan Shafwan. Sejenak Shafwan tenggelam dalam tatapan indah gadis berparas kuning langsat di depannya. Jiwa lelakinya bergejolak, hendak menyambut rengkuhan jemari Aida. Bagaimanapun, Aida adalah gaids impiannya. Pesonanya selalu memabukkan jiwa Shafwan.
Di sisi lain, pikiran logis Shafwan juga menyala.
“Tidak Aida! Kita tidak bisa begini.” Shafwan menarik jemarinya.
“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Aida.
“Tidak! Ini salah.Kamu masih istri orang.”
“Iya. Tapi aku sedang dalam proses perceraian. Ada yang salah?”
“Tidak. Ini tidak benar,” elak Shafwan,”Aku mencintai seseorang.”
“Azkadina maksudmu?” Mata Aida menelisik mencari tahu.
“Bagaimana kamu tahu?” Ganti, alis mata Shafwan yang tertaut.
“Apa yang aku tidak tahu tentangmu?”
“Ya sudah. Mari kita pulang. Ini sudah lewat Isya.” Ajak Shafwan. Ia mengambil jaket dan hendak berdiri dari kursi.
“Shafwan tenanglah. Ada apa denganmu? Mari, kita susun rencana bersama.”
“Apa maksudmu?”
“Aku selesaikan perceraianku dengan Bagas secepat mungkin. Kamu putuskan hubunganmu dengan Azkadina. Mudah bukan?”
“Aida, how could you?!” Mata Shafwan terbelalak mendengar ucapan ringan Aisyah.
“Ada apa? Sesimpel itu saja bukan? Lalu kita akan bersama kembali. Seperti dulu.”
Darah Shafwan mendidih mendengar celetukan Aida. Ada sesuatu yang tidak ia sepakati dalam kalimat itu. Dan itu membuat mata Shafwan terbuka lebar.
“Kamu, adalah orang yang tak pernah menghargai sebuah hubungan. Dulu kau putuskan hubungan kita demi laki-laki bernama Bagas. Lalu kamu kembali dan akan memutuskan dua hubungan sekaligus. Kau dengan Bagas, aku dan Azkadina.”
“Lha terus gimana? Aku sudah tidak cocok bersama Bagas.”
“Dan nanti kalau sudah tidak cocok denganku, pasti kamu akan mudah mematahkannya lagi, bukan?” Mata Shafwan semakin memerah. Ingin ia membanting gelas di tangannya.
“Eh, bukan begitu. Kenapa kita jadi bertengkar begini sih Shafwan?”
Shafwan menarik nafas panjang. Ia berusaha menenangkan diri. Diteguknya mojito lychee di depannya sampai tersisa potongan kecil es batu.
“Maaf. Aku mencintai Azkadina. Dia yang telah menghalau luka yang kamu hadirkan. Sesuatu yang kembali kadang tidak untuk saling bersama. Hubunganku dan dirimu, sudah selesai. Kita selamanya hanya ber-status mantan,” tutur Shafwan. Ia memberanikan menatap mata Aisyah dengan tenang.
“Tapi, Shafwan. Aku mencintaimu.”
“Aku tahu itu. Cinta membuat orang untuk saling melengkapi. Bukan justru meninggalkan hanya karena ada yang lebih sempurna. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu,” tukas Shafwan. Ia membuang tatapannya ke langit-langit ruangan.
“Shafwan…” Aida memandang Shafwan dengan mata berkaca. Ia menyadari, ada banyak kesalahan kalimat yang sudah diucapkan. Dan itu parah sekali.
“Aku antar kamu pulang sekarang. “
Gerak tubuh Shafwan cekatan mengambil jaket lalu berdiri menuju meja kasir. Keduanya pulang dengan mobil Shafwan.