Hari yang ditunggu-tunggu oleh dua puluh delapan siswa kelas 2C telah tiba. Ustaz kesayangan mereka kembali masuk menemani belajar dan mengaji. Shafwan disambut sorak sorai dan pelukan murid-muridnya. Mereka berebutan ingin memeluk dan mencium tangan Shafwan.
Dengan sabar, Shafwan mengurai keriuhan di kelasnya. Ia duduk di kursi yang sudah ditinggalkannya empat hari itu. Beberapa siswa masih saja berkerumun di dekatnya.
“Ustaz sakit apa?” Faiq bertanya sambil memegang tangan kanan Shafwan.
“Ustaz sudah sehat?” Farel tak mau kalah bertanya sambil bergelayut di lengan kiri Shafwan.
Beda lagi dengan Thoriq, ia menempelkan tangannya langsung di kening Shafwan sambil berujar, “Ustaz masih panas?”
“Ustaz sakit gara-gara aku gak solih ya?” Wajah manyun Anisa menghiasai pertanyaannya.
Shafwan tak kuasa menjawab satu per satu pertanyaan mereka. Sampai akhirnya, ia berkata,”Alhamdulillah, Ustaz Shafwan sudah sehat. Terima kasih banyak ya sudah mendoakan Ustaz.”
Pelajaran hari itu, berlangsung lancar dan ceria seperti biasanya. Walaupun begitu, Shafwan masih harus menjaga kondisi badannya supaya tak banyak lelah. Ia harus menghemat energinya. Jangan sampai ambruk lagi. Apalagi, pelaksanaan outbond training kelas 2 tinggal satu pekan lagi.
Jam kepulangan berbunyi. Satu persatu siswa di kelas 2C dijemput. Shafwan berharap, Farel dijemput oleh tantenya, Azkadina. Sudah empat hari, Shafwan mengabaikan pesan pendeknya. Di sudut hatinya, Shafwan juga merasa rindu dengan gadis berhidung mancung dan berwajah oval itu.
Tapi ternyata, Sonya Irawan yang menjemput Farel. Mama Farel menyapa ramah dan menanyakan kondisi Shafwan. Dalam hati, Farel ingin bertanya kabar Azkadina. Maju mundur ia mau mengeluarkan suara, namun akhirnya diurungkan.
Ibu kepala sekolah, Lestari Andriani, memanggil Shafwan di hari pertama ia masuk. Shafwan memasuki ruang kepala sekolah berukuran 4x4 meter itu. Tanpa berbasa-basi, Bu Lestari menanyakan beberapa hal kepadanya. Pertama, Bu Lestari menanyakan kabar Shafwan, guru yang pernah menjadi guru teladan di sekolah. Shafwan menjawab detil semua yang dirasakan sampai hari keempat dia izin. Perempuan berkacamata itu juga menanyakan desas desus yang menyatakan hubungan Shafwan dengan Azkadina. Termasuk perihal berboncengan mereka berdua.
Shafwan tidak menampik kabar itu. Dengan perlahan, ia menyampaikan, saat itu tidak ada pilihan lain yang lebih aman dilakukan selain mengantarkan Azkadina pulang. Shafwan juga menceritakan kecelakaan Fir, siswa Rumah Belajar Ceria, serta keterlibatannya sebagai pengajar di sana.
Bu Lestari mengangguk-anggukkan kepala lalu melepas kacamatanya seraya berkata,”Terima kasih atas penjelasannya. Saya yakin, Ustaz Shafwan sudah paham dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Terlebih kita sebagai guru. Kita sebagai teladan untuk siswa. Kita memahamkan siswa untuk tidak pacaran, mengajarkan mereka tidak ber-khalwat dengan lawan jenis. Oleh karena itu, kita juga harusnya bisa melaksanakannya. Nanti kena surat Ash Shaaf ayat tiga ya.”
“Leres Ustazah. Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Shafwan menundukkan pandangannya. Ia merasa tertampar oleh nasihat Bu Lestari.
Semestinya aku bisa menjaga diri lenih baik.
“Sesuai dengan aturan sekolah, saya harus mengeluarkan Surat Peringatan untuk Ustaz Shafwan. Saya bisa memahami, namun tetap itu bukan akhlak guru yang bisa diteladani siswa. Mohon Ustaz bisa memperbaiki diri dan semoga tidak terulang.”
“Inggih Ustazah. Mohon doanya untuk saya, semoga diberikan jalan keluar yang terbaik.”
“Aamiin,” sahut kepala sekolah yang baru berusia 40 tahun itu.
“Tentang aktivitas Ustaz, boleh nanti kita kerjasama ya. Sedekah buku untuk Rumah Belajar Ceria begitu bagaimana?”
“Wah, terima kasih banyak Ustazah. Nanti saya sampaikan kepada Azkadina.” Menyebut nama Azkadina membuat pipinya memerah. Bu Lestari tersenyum kecil mengamati perubahan wajah Shafwan.
Setelah menemui ibu kepala sekolah, Shafwan beranjak perlahan melangkahkan kaki menuju parkiran sekolah. Sesampai selasar sekolah, ia bertemu Humaira. Shafwan hanya menyapa singkat. Begitu pula dengan Azhar dan Huda. Banyak hal yang ingin disampaikan Huda kepadanya, namun melihat wajah Shafwan yang belum secerah biasanya, Huda mengurungkan niatnya.
Shafwan masih belum bisa mengajar di Rumah Belajar Ceria. Kondisi kesehatannya masih belum pulih benar. Ia sudah mengirim pesan kepada Azkadina sejak tadi siang. Namun belum ada balasan. Hanya terbaca saja.
Kepala Shafwan pening. Satu hal yang ingin segera dilakukannya adalah berbaring di rumah. Istirahat sejenak. Memberinya jeda waktu dari hingar bingar dunia. Menemukan dirinya kembali dalam keheningan malam.
****
Selepas salat Isya, Humaira mengambil amplop coklat ukuran besar dari dalam tasnya. Dengan perasaan bergetar, Humaira mengeluarkan satu bundle proposal nikah yang berisi 6 lembar kertas berukuran folio.
Ada tiga foto seorang pria dengan berbagai pose. Foto pertama berukuran postcard menunjukkan foto seluruh badan si pria. Foto kedua berisi gambar si pria memegang mikrofon ketika mengisi sebuah seminar kesehatan. Dan foto terakhir, foto si pria sedang duduk dengan beberapa orang di sampingnya. Mereka memakai baju batik yang senada dengan latar suasana rumah.
Manis. Elegan. Sayang keluarga.
Tiga kesan pertama yang muncul di benak Humaira ketika meliha foto-foto itu. Kemudian, Humaira membaca biodata lengkap si pria, mulai dari data diri, hobi, pekerjaan, ciri fisik, penyakit yang diderita, sifat dan karakter.
Orang Jogja nih. Kalem sepertinya. Dokter umum dan sedang kuliah spesialis.
Dibolak baliknya proposal nikah itu. Berharap tidak ada satu informasi terlewatkan. Secara umum, tidak ada yang membuat Humaira mengerutkan dahinya. Pria berkacamata dan berambut ikal dengan tinggi 170cm. Secara fisik, sudah masuk kriteria jodoh Humaira.
Dua halaman terakhir proposal nikah itu, berisi visi misi rumah tangga si pria. Humaira membacanya dengan saksama. Tiap kata ia coba resapi sampai tak terasa bulir bening menghangat di sudut matanya. Ia merasa proposal nikah versi dirinya yang diberikan melalui guru mengajinya, tak selengkap ini. Tak sebaik proposal yang ada di tangannya. Humaira merasa belum layak mendapatkan suami sebaik Hanif, pria yang proposal nikahnya sedang ia baca.
Humaira merasa kerdil. Ia seakan sudah siap menikah, tapi ternyata masih jauh panggang. Selama ini, ia tenggelam dalam perasaan suka yang membuatnya lalai untuk memperbaiki diri. Perasaan suka kepada Shafwan yang membuatnya tenggelam dalam angan. Perasaan cinta yang masih mengalahkan cinta nomor satunya. Perasaan cinta yang membuatnya berharap kepada manusia.
Dirapikannya kembali proposal nikah itu. Humaira menuju kamar mandi. Segera dibasahinya sebagian anggota badannya dengan air wudhu. Humaira memakai mukena putih bermotif bunga kecil. Ia menghilangkan gundah di hatinya dengan salat sunnah dua rakaat. Dalam doanya ia berharap petunjuk Allah akan kegundahannya. Lanjut dengan membaca wirid Al Quran. Suaranya kembali terisak. Namun hatinya menjadi lebih sejuk.
Mata beningnya mulai meredup. Semakin lama semakin tak tertahan. Lantunan wiridnya terhenti perlahan. Humaira terlelap dalam tidurnya. Tangannya masih memeluk kitab suci. Dalam mimpinya, seorang pria berbaju putih memakaikan selendang keemasan kepadanya. Humaira tersenyum dalam mimpi indahnya.