POV Shafwan
Semalaman aku berkejaran dengan waktu. Bagaimana tidak, kami-aku dan Azkadina- harus mengurus beberapa hal dalam waktu bersamaan. Azkadina mengawal proses pengobatan Fir. Kepalanya harus di-roentgen untuk mengetahui ada tidaknya gegar otak. Bibirnya harus dijahit karena sobek. Beberapa kali aku melihat wajah Azkadina pucat karena tak tahan melihat darah dan peralatan medis. Gadis se-garang Azkadina ternyata punya titik lemah juga.
Di sisi lain, aku harus bernegosiasi dengan si penabrak yang ternyata masih usia SMA. Si anak SMA yang awalnya arogan, kini bersedia bertanggung jawab secara damai. Kami sepakat untuk tidak membawa kasus tabrakan ini ke kepolisian. Selain menguras tenaga dan waktu, juga ribet.
Setelah semua tertangani, aku dan Azkadina menghubungi orang tua Fir. Rumah orang tua Fir cukup jauh. Dekat jembatan Sepanjang. Ayah Fir kerja sebagai kuli bangunan di Gresik. Ibu Fir penjual gorengan. Saat itu aku hanya berhasil menjemput Ibu Fir. Wanita berbadan bongsor itu menangis tersedu-sedu mengetahui anak nomor tujuhnya kecelakaan.
Tepat pukul dua belas malam, urusan terkait Fir selesai. Fir dipindahkan ke kamar inap untuk observasi lebih lanjut karena ternyata Fir gegar otak ringan. Urusan administrasi juga sudah usai. Si penabrak pulang ke rumah dengan memberikan santunan rumah sakit sebesar lima juta rupiah. Uang itu aku berikan ke Ibu Fir. Semua urusan Fir, sudah aku serahkan ke Ibu Fir.
“Pak Guru, gak lapar?” tanya gadis itu. Ia menatapku dengan kelopak mata yang sudah separuh menutup.
“Ya Allah, kamu belum makan ya?”
Azkadina mengangguk.
“Ayo cari makan. Sepertinya tadi masih ada warung nasi goreng di depan.”
Dengan wajah kusut dan rasa lapar yang mendera, kami menuju warung terdekat. Untunglah nasi gorengnya masih ada. Tapi tinggal satu porsi. Dengan terpaksa kami berbagi sepiring nasi goreng.
“Pak guru suka makan lombok?”
“Gak seberapa. Kenapa?”
“Ayo kita balapan makan lombok. Seberapa banyak lombok yang bisa kita kunyah selama makan nasi goreng ini.”
“Kok gitu?”
“Takut kalah ya?”
Aku menggeleng kuat. Gengsi lah.
“Yang menang berhak mengajukan 3 pertanyaan atau permintaan.“
“Asal permintaannya gak aneh-aneh aku setuju.”
“Kagak lah. Ya yang rasional aja.”
“Oke setuju.”
“Mulai!”
Kami menikmati nasi goreng dengan tantangan makan cabe yang disediakan. Aku yang penggemar pedas, tak takut dengan tantangan gadis aneh ini. Namun ternyata, lawanku, si Azkadina, jauh lebih ganas. Ia sudah habis tiga cabai padahal baru 4 sendok nasi goreng yang masuk mulutnya. Wajahnya juga masih cool. Tak memerah kepedasan sedikitpun.
“Nyerah?”
“Gak dong!” kataku singkat. Aku mengambil tisu dan mengelap keningku yang basah oleh keringat.
Empat cabe sudah aku makan dan Azkadina telah menghabiskan enam cabe, sampai kemudian aku menyatakan bendera putih.
“I quit.”
“Yeaaay….aku menang!” teriak Azkadina kegirangan. Gadis ini memang aneh. Terbuat dari apa mulutnya kok gak kepedesan.
Aku masih berusaha mengondisikan diri akibat rasa pedas dan panas di seputaran bibir. Keringatku juga berjatuhan. Aku menyeruput habis es teh di gelasku.
“Oke. Azkadina mau tanya apa?”
“Siap jawab?”
Aku menggeleng.
“Kriteria istri Pak Guru apa?”
“Gak ada pertanyaan lain apa?”
“Suka-suka aku dong! Aku yang menang kok!”
Aku terdiam sejenak. Melihat wajah manis, gadis di depanku, hatiku menjadi berdesir.
“Kriteria jodoh saya cuma satu, perempuan ini bisa menjadi madrasatul ula untuk anak-anak kami. Menjadi madrasatul ula artinya ya akhlaknya baik, paham agama dan tentu saja menutup aurat.”
Azkadina menunduk setelah mengatakan dua kata terakhir. Aku terdiam. Sejenak hening menyelimuti kami.
“Harus menutup aurat?”
“Itu pertanyaan kedua lho ya..”
“Eh gak jadi deh…” Wajah Azkadina kembali manyun. Ia terdiam lagi.
“Yuk pulang pak guru. Sudah malam.” Azkadina berdiri dan berpaling dariku. Langkah kakinya perlahan menuju tempat parkir.
“Naik apa?” tanyaku. Kukeluarkan uang dari dompetku untuk membayar makan malam kami. Azkadina berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.
“Tega membiarkan aku naik ojek online tengah malam gini?”
Pertanyaan retoris. Aku tak menjawabnya. Kusambar jaket di kursi lalu kususul langkah gadis itu ke tempat parkir.
Aku mengantarnya pulang. Kali ini kami berboncengan lagi. Wajahnya masih tampak manyun, Mungkin ia kelelahan. Atau ngantuk.
Selama perjalanan, kami banyak mengobrol, mengomentari sudut-sudut pinggiran kota Surabaya. Wajah kantuknya sesekali berhias senyum. Entah kenapa aku jadi sering melihat kaca spion ya.
Aku menikmati lengangnya jalanan Surabaya yang biasanya sesak oleh kendaraan. Langitpun tampak cantik dengan ratusan bintang bertaburan. Secantik gadis di belakangku yang sedang menggenggam erat ujung jaketku.
Gadis ini, telah menjungkir balikkan duniaku. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah menumpahkan semangkuk mie panas, lalu rentetan peristiwa berikutnya. Sikapnya, gak ada lembut-lembutnya. Bukan tipe-ku banget. Tapi dia hangat dan bersahabat. Blak-blakan dan tulus. Entah mengapa gadis ini telah mengurai warna kelam di hatiku. Setelah lima tahun ini, aku tenggelam dalam keputusasaan, hidupku hanya berkutat urusan pekerjaan. Setelah ditinggal Aida menikah, aku tak berani jatuh cinta, apalagi menikah.
Azkadina dia datang bagai angin, yang menghalau semua luka.
Angin malam berhembus menusuk kulit. Namun dinginnya tak mengalahkan rasa hangat di hatiku. Ah, aku ingin perjalanan malam ini tak pernah berakhir.
***
POV Azkadina
Chat-ku masih centang dua hitam. Ini sudah jam 11 siang, tapi dia belum membalas sapaanku. Biasanya pak guru ini, responsif membaca dan membalas pesanku. Aku telpon lagi. Ringing. Tapi tetap tak terjawab. Begitu sibuknya pak guru? Sampai-sampai tak sempat membalas pesanku.
Atau, jangan-jangan dia marah? Marah karena semalam aku memaksanya lagi berboncengan berdua. Duh! Aku sudah melanggar prinsipnya. Harusnya aku bisa naik ojek online saja lalu dia mengawalku dari belakang. Mungkin akan lebih nyaman buat pak guru.
Aku harus bertemu!
Aku menelfon lagi, tapi bukan menelfon pak guru.
“Mbak, hari ini aku yang jemput Farel ya?”
“Tumben. Pasti mau ketemu gurunya Farel kan?”
“Ngawur! Tapi iya sih. Hahaha…”
“Jangan macam-macam sama Ustaz Shafwan ya. Beliau orang baik. Salih lagi.”
“Emang aku mau ngerusak apa?
“Ya enggak gitu. Dia kan guru.”
“Emang aku gak pantas buat Pak Guru?!”
“Eh nge-gas banget. Kalem dong Say. Ya wes ntar ngobrol lagi. Kamu makan malam di rumah Mbak ya.”
Klik! Telpon ditutup. Aku kesal dengan ucapan Mbak Sonya. Seburuk itu kah aku?
Dua mata kuliah yang kuikuti hari ini, seakan menguap percuma. Aku hanya bisa menopangkan dagu pada tangan kananku. Mencoret-coret sesuatu yang gak jelas di buku catatan. Bahkan aku sering memainkan smartphone-ku. Queen seringkali menegurku supaya konsentrasi belajar.
Azan Zuhur berkumandang. Sepuluh menit lagi, kuliah akan berakhir. Aku merapikan buku catatanku, lalu merapatkan hoodie-ku. Sepekan ini aku menutupi kepalaku memakai jaket hoodie kemanapun aku pergi. Lagi-lagi, Queen menegurku karena aku aneh. Siang-siang berjaket dan menutup kepala. Aku cuma menanggapinya dengan senyum.
Sampai kemudian, Queen berkomentar,”Kamu cantik kalau ber-hoodie. Apalagi berhijab.”
Ah, Queen. Kau tahu banget apa yang sedang bergemuruh di hatiku.
Tepat pukul 2 siang, aku melajukan motor menuju sekolah Farel. Kali ini, perasannku tidak seringan biasanya. Ada debaran yang berdegup kencang mengiringi. Debaran hebat seperti saat semalam aku bersama pak guru Shafwan.
Kulewati selasar sekolah yang bernuansa orens dan putih itu. Sepintas aku melihat wajah cantik Ustazah Humaira. Dia tersenyum tipis dan memandangku. Matanya menyiratkan tanda tanya. Aku hanya membalas senyum dan berlalu dari pandangannya.
Betapa terkejut aku melihat siapa sosok yang sedang ada di kelas Farel. Sosok perempuan berkerudung lebar berwarna senada dengan kerudung Ustazah Humaira. Aku celingukan mencari sosok pak guru. Tetap tidak kutemukan wajah manis itu.
Di mana dia?
Sampai kemudian Farel menghampiriku. Tanpa ditanya, dia sudah bercerita tentang pak guru.
“Aku sedih. Ustaz Shafwan tidak masuk hari ini.”
“Oh ya. Kenapa?”
“Kata Ustazah Anna, Ustaz Shafwan sakit panas.”
Oh, pantesan….
Aku segera mengajak Farel pulang. Percuma aku berlama-lama di sini, yang dicari tidak ada. Kembali pikiranku melayang memikirkan pak guru itu.
Pak guru sakit apa? Apa karena lomba makan cabai semalam? Atau kelelahan? Atau dia marah juga?
Puluhan pertanyaan bergema di kepalaku. I can’t stop thinking about him.
Dia, laki-laki yang sudah mengubah arah hidupku. Kupikir laki-laki yang paham agama macam pak guru itu semua sama. Omong doang, maksudnya hanya bagus dalam teori. Teori keislaman, paham dalil dan fiqh, tapi tidak down to earth. Pragmatis juga. Ternyata Pak Guru tidak.
Pak Guru, mau menjadi pengajar di Rumah Belajar Ceria. Tanpa bayaran! Padahal dia juga punya kesibukan selain mengajar. Menjadi penyampai kasih sayang Allah kepada mereka yang membutuhkan, begitu katanya.
Pak Guru menjelaskan padaku peran beberapa ustaz gaul, selain muncul di youtube, juga ikut bermain skateboard bersama para anak muda. Berdakwah langsung di taman-taman dengan caranya. Mereka juga punya bisnis sehingga tidak menghidupi diri dari dakwahnya. Justru menghidupkan dakwah.
Ah, kata dakwah itu awalnya kupikir hanya berupa ceramah di mimbar-mimbar lalu dapat uang. Semakin bagus ceramahnya, semakin tebal amplopnya. Semakin terkenal. Tapi ternyata dakwah bukan itu saja kata pak guru.
Aku sering mengintipnya ketika mengajar. Entah kenapa, ilmu agama yang diajarkan ke murid-murid rumah belajar itu terasa indah dan tidak terkesan hafalan saja. Pak Guru menjelaskan bagaimana mengenal Allah melalui ciptaan-ciptaanNya. Begitu hebatnya Allah menciptakan manusia dengan begitu detil mulai dari sel sampai sebesar sekarang. Lalu pak guru juga menceritakan kisah-kisah pemuda Islam yang begitu disayangi Allah sampai-sampai dijamin masuk surga. Permainan-permainan sederhana yang membuat murid-murid istimewa itu antusias. Bahkan Fir, konon katanya, saking semangatnya mau belajar ia berlari dan teledor sampai terjadi tabrakan itu.
Aku sering termangu mendengar kisah yang disampaikan pak guru. Mengapa Islam begitu indah ketika Pak Guru yang mengajarkan? Tidak seperti dulu ketika aku sekolah di sekolah Islam. Aku dijejali ilmu-ilmu praktis fiqh dan hafalan ayat tanpa tahu apa esensinya. Rukun Iman rukun Islam hanya dihafalkan dan diujikan secara tertulis. Aku tak pernah memahami rukun iman itu sampai kemudian Pak Guru yang menjelaskan kepada Jumadi kapan hari. Jumadi masih saja bertanya apa gunanya beriman jika masih tetap miskin. Dan Pak Guru, menjelaskan dengan lugas melalui simulasi rukun Iman.
Ah, pak guru. Kau istimewa sekali.
Dan aku sangat terkejut ketika aku bertanya bagaimana kriteria istri ideal baginya.
Perempuan ini bisa menjadi madrasatul ula untuk anak-anak kami. Menjadi madrasatul ula artinya ya akhlaknya baik, paham agama dan tentu saja menutup aurat.
Duh! Kenapa sulit banget? Kenapa gak cukup cantik saja?
Hahaha….seharusnya aku sudah bisa menduganya bukan? Sekelas Pak Guru yang paham agama, tentu saja tidak main-main dalam memilih istri. Aku saja yang tidak terima dan merasa bukan jadi kriterianya. Aku yang tak paham agama, aku yang bahkan tidak menutup auratku dengan benar. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi istri Ustaz Shafwan Pramudya?
Duh! Kenapa aku menjadi terobsesi untuk menjadi istri ideal pak guru?
Makin pening kepalaku. Tuhan, tolong aku!