“Pak guru mau kondangan? Resmi banget…” celetuk Azkadina saat melihat Shafwan memakai kemeja lengan pendek warna kombinasi violet dan abu-abu. Shafwan hanya tersenyum menanggapi respons Azkadina.
Pandangan Shafwan tertuju kepada rambut Azkadina yang biasa tergerai kini tersisir dan diikat rapi. Topi baret coklat muda menghiasi kepala Azkadina.
“Ustaz assalamualaikum,” sapa Farel dari balik kaca mobil yang dibuka.
“Wa alaikum salam, ini baru anak salih. Menyapa dengan senyum dan salam.” Tangan Shafwan mengelus lembut rambut Farel.
“Iya deh. Assalamualaikum Pak guru Shafwan…” sapa Azkadina setengah melengos. Shafwan tertawa sambil menjawab salam Azkadina. Ia membuka pintu belakang dan duduk di sebelah Farel.
Setelah menjemput Shafwan di depan minimarket tepi jalan, Azkadina melajukan Avanza putih menuju jalan besar Wiyung. Shafwan sengaja minta dijemput di tepi jalan, tidak di depan rumahnya. Ia tak mau orang lain tahu tentang kehidupannya. Azkadina tak berani bertanya lebih banyak, walaupun dalam hati ia bertanya-tanya.
Sepanjang perjalanan, Farel bercerita banyak tentang hobi berenangnya kepada Shafwan. Farel suka berenang di Ciputra Waterpark bersama ayahnya. Namun sekarang, sang Ayah jarang sekali mengajaknya berenang. Farel juga suka bermain di Water Fun Plaza Marina. Walaupun lebih kecil, tapi sekalian Farel bisa ke restoran favorit keluarganya. Farel ingin nanti bisa berenang bersama Shafwan di kolam renang Atlas.
Sesekali Farel menceritakan cita-citanya kelak yang ingin menjadi perenang. Shafwan menyimak dan menanggapinya dengan antusias. Shafwan juga menyelipkan pesan-pesan singkat kepada Farel untuk tetap mengaji dan salat ketika cita-citanya tercapai.
Azkadina menghentikan laju mobilnya. Mereka sudah tiba di parking area Transmart Ngagel. Farel bersorak kegirangan dan segera menggandeng Shafwan untuk masuk. Entah berapa kali Shafwan mengingatkan Farel untuk bersabar ketika berjalan.
Suasana pusat perbelanjaan masih cukup lengang. Begitu pula dengan pusat permainan keluarga. Farel menunjuk satu persatu wahana yang ingin dia mainkan.
“Farel, Tante sudah top up. Cukup 200 ribu saja ya. Kalau habis, no nambah. Oke?”
“Siap Tante Azka cantik…”
“Hm…kecil-kecil pintar merayu.”
Wahana pertama yang dicoba Farel adalah memancing. Tentu saja bukan memancing di atas kolam air sungguhan. Memancing dengan alat pancing dan layar virtual. Beragam warna ikan virtual tampak seakan hidup berenang di lautan. Dengan bantuan Shafwan, Farel berhasil mendapatkan “ikan” banyak. Tentu saja poin yang dihasilkan juga banyak.
Setelah berpuas bermain memancing, Farel beralih bermain crazy cab coaster. Mereka berteriak saat wahana melaju dengan kecepatan maksimal pada tikungan. Selanjutnya Farel memilih bermain sky rider.
Wahana terakhir yang dimainkan adalah bermain basket. Ia melompat dan memasukkan bola satu persatu ke dalam keranjang berjarak satu sampai dua meter di depannya. Tak banyak bola yang bisa Farel masukkan ke dalam keranjang. Poin yang didapatkan juga sedikit. Azkadina mencoba menghibur dengan ikut bermain pada ronde berikutnya. Shafwan juga membantu di samping Azkadina. Melihat tante dan ustaz-nya bekerja sama memasukkan bola ke dalam keranjang, membuat Farel melompat-lompat memberi semangat. Poin yang didapatkan keduanya menjadi puluhan kali lebih banyak.
“Fiuh….Ustaz capek…” Shafwan mengatur nafasnya yang tersengal.
“Cuma gitu aja capek?” goda Azkadina. Kedua matanya usil
Shafwan hanya melirik gadis di sampingnya. Ia masih mengatur nafas.
“Farel haus?”tanya Shafwan. Farel mengangguk.
“Ayo kita cari minum. Yang gak capek, tidak perlu ikut minum gak pa-pa ya,” ujar Shafwan sambil menggandeng Farel. Lagi, ia melirik gadis di sampingnya.
“Iya, tante main lagi aja…biar poinnya banyak..” celetuk Farel.
“Gundulmu, Rel…” Azkadina mengoyak-oyak kepala Farel.
Setelah memesan makanan dan minuman, mereka duduk bertiga di kursi dengan meja bundar di tengahnya. Mereka menguraikan keseruan yang baru saja mereka lewati lalu menghitung poin yang mereka dapatkan.
“Dua ratus poin. Ayo Tante, main lagi.”
“Nggak deh. Kamu aja yang main. Tante tunggu di sini.”
“Katanya gak capek?”
Azkadina kembali memonyongkan bibirnya. Shafwan tertawa.
“Aku boleh main sendiri?” tanya Farel kepada Azkadina.
“Farel bisa?”
“Bisa dong.”
“Tante dan Ustaz di sini ya…Jagain dari jauh. Bisa?”
Farel mengangguk. Ia lalu menuju wahana permainan yang lain.
“Tidak banyak yang bisa dekat dengan Farel.”
“Oh ya?”
“Bahkan ayahnya juga tidak dekat,” ujar Azkadina,” tapi dengan Ustaz Shafwan, Farel bisa sedekat itu.”
“Alhamdulillah.”
“Mbak Sonya terlalu over protektif. Banyak aturan untuk Farel. Bahkan sekedar berteman saja harus dibatasi sekali.”
“Saya bisa memahami apa yang Bu Sonya rasakan. Farel anak yang paling dinantikan, bukan?”
“Tapi itu salah! Gak logis sama sekali.”
“Apa yang bisa dilogikakan dari cinta?”
“What?!”
“Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.”
“Hahaha lagunya Agnes Monica. Ustaz tahu aja. Kirain taunya qasidahan…”
Shafwan tertawa lalu berhenti dan tersenyum.
“Ustaz kalau tertawa jelek,”celetuk Azkadina,”tapi kalau senyum jadi manis.”
Shafwan terdiam. “Maksudnya?”
“Ya jangan ketawa. Apalagi ngetawain aku. Jelek banget!”
Shafwan tertawa lagi.
“Tuh kan jelek lagi.”
“Eh Ustaz pernah jatuh cinta kah? Kok tahu kalau cinta itu tidak ada logika?”
Shafwan menghentikan tawanya. Ia menyeruput habis es teh di depannya.
“Ah, gak penting.”
“Halah…pasti ada sesuatu. Crita dong.”
“Apa pentingnya buat Mbak Azka?”
“Kepo aja.”
“Jadi tidak perlu dijawab juga gak pa-pa kan?”
“Hm….”
“Kapan Bu Sonya dan suami pulang dari umroh?”
“Masih lima hari lagi. Kenapa?”
“Kok Farel gak diajak umroh?”
“Awalnya begitu. Sudah didaftarkan juga. Tapi karena Farel sakit, gak jadi ikut.”
“Sayang sekali. Farel kehilangan kesempatan bersama mama papanya.”
“Iya betul. Tapi setidaknya dia sudah dapat perhatian dari pak guru-nya yang baik hati ini.”
“Saya hanya guru. Beda dengan orang tuanya.”
“Justru karena “hanya” itu, ketika Farel nyaman dan dekat maka itu tidak sekadar “hanya”.”
“Senang kalau bisa dekat dengan anak-anak. Mereka jujur, unik dan polos.”
“Gak seperti orang dewasa ya Taz. Banyak tipu-tipu. Hahaha…”
Shafwan tersenyum. Tetiba ia sosok di masa lalunya muncul di benaknya. Senyumnya menipis bahkan sirna lalu ia menunduk. Azkadina sempat melihat perubahan raut muka itu. Ia juga terdiam.
Brrraaakkkkkk…..
Tiba-tiba lamunan mereka terhenti oleh suara Farel.
“Huaaaaaa……..”
“Farel….”
Shafwan dan Azkadina bergegas ke sumber suara.
“Ya Allah Farel….”
Farel terjatuh. Ia berlari-lari dan tidak mengikat tali sepatunya yang kendor. Bibirnya membentur lantai. Darah bercucuran keluar dari hidung dan mulutnya. Azkadina panik dan pucat. Ia setengah berteriak melihat Farel kesakitan.
“Farel…tenang ya. Kita ke kantor. Nanti diobati.” Tangan Shafwan sibuk mengusap lembut darah yang bercucuran di mulut Farel. Tangis Farel mereda. Begitu pula dengan kepanikan Azkadina.
Shafwan segera menggendong Farel menuju kantor pelayanan. Seorang pengunjung yang juga dokter tampak ikut dan memeriksa kondisi Farel.
Bibir Farel sobek terkena gigi saat terbentur. Harus dijahit jika tidak darah akan mengucur terus. Gigi Farel tidak ada yang tanggal. Hidung Farel agak bengkak, ada darah sedikit keluar dari lubang hidungnya.
Setelah penanganan pertama, Shafwan menggendong Farel menuju lokasi parkir. Mereka bergegas menuju rumah sakit terdekat untuk penanganan lebih lanjut.
Farel yang tidak tahan sakit, berteriak kencang saat dokter menautkan benang dan jarum di bibirnya. Shafwan memegang kening Farel dan membacakan Al Fatihah menenangkan Farel. Azkadina hanya melihat dari kejauhan. Tak berani mendekati Farel. Tak tega tepatnya.
Sejenak Farel lebih tenang dan kooperatif saat proses menjahit luka bibirnya. Dokter merawat luka memar di hidung Farel. Ia juga menyarankan untuk foto roentgen kepala, memeriksa bilamana ada bagian kepala yang retak atau bagaimana. Shafwan bersyukur, hasil roentgen baik-baik saja. Shafwan menebus obat-obatan dan di kasir. Ia juga menyimak penjelasan dokter tentang perawatan lukanya.
“Kamu tadi lari ya? Harusnya gak pakai lari. Tuh kan jatuh sekarang. Lain kali hati-hati ya..” Azkadina memarahi keponakannya.
Farel tak menjawab. Ia meringis kesakitan.
“Nanti kalau Mama Sonya tahu gimana? Tante bakal dimarahi habis-habisan. Tahu gitu tadi gak main ke Transmart.” Azkadina masih kesal dan mengomel. Sesekali ia memegangi kepalanya yang cenut-cenut.
Mengetahui hal tersebut, Shafwan memberi kode Azkadina untuk tenang dan diam. Azkadina menghentikan omelannya.
Perjalanan pulang ke rumah, Shafwan menawarkan diri untuk menyetir mobil. Lagi-lagi Azkadina manut. Ia tak pernah punya alasan untuk menolak perintah Shafwan.
Farel tertidur di kursi tengah. Azkadina duduk di samping Shafwan yang sedang menyetir. Raut muka Azkadina masih saja terlipat cemas. Hampir tak ada senyum.
“Gimana nanti kalau Mbak Sonya tahu? Pasti marah,” racau Azkadina.
“Marah itu pasti.”
“Tuh kan. Gimana dong Ustaz…”
“Pertama, Mbak Azka jangan panik. Kalaupun Bunda Sonya marah, Mbak Azka jangan ikutan emosi. Juga jangan membela diri ataupun menyalahkan Farel. Sampaikan dengan tenang bahwa ini adalah bagian dari kecelakaan. Kedua, Farel sudah kita bawa ke dokter. Penanganan sudah berada di tangan yang tepat.”
Azkadina mengangguk.
“Ketiga…” Shafwan berhenti melanjutkan perkataannya.
Azkadina menoleh penasaran.
“Ketiga … saya ikut bertanggung jawab. Farel tidak hanya bersama Mbak Azka. Farel bersama kita berdua.” Shafwan memandang Azkadina dengan tersenyum. Sepersekian detik mata keduanya bertatapan.
Sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang sulit dijelaskan, terjadi di hati Azkadina. Entah apa itu, Azkadina tak paham. Yang jelas, semua terasa indah.