Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Magenta Write Their Destiny
MENU
About Us  

Blok 25-Benita

Semesta Benita

Fritz melambaikan kertas berisi tulisan Braille. Wajah bulenya luar biasa girang.

“Yeeeeay! Aku bisa tulis namaku di sini! Lihat ini, Fritz Wongsonegara!” serunya jumawa.

Yuke bertepuk tangan. Erika tersenyum simpul memperhatikan gerak-gerik calon suaminya. Tak puas, Aini merebut kertas di tangan Fritz.

“Ih, lo salaaaah! Ini huruf D bukan F, bodoh!” cercanya.

Secepat kilat Fritz kembali merampas kertas dari tangan Aini. Matanya menyipit, memastikan huruf yang ditunjuk Aini keliru.

“Bukaaan! Ini jelas-jelas huruf F! Bentuknya memang mirip!”

Jelas saja mereka berdebat. Aku, yang belum begitu hafal simbol-simbol Huruf Braille, tak bisa menengahi. Sosok putih pucat di sampingku tertawa pelan. Dia terlihat senang berada di antara kami semua.

“Yuke, jangan dengerin mereka, ya. Bikin polusi suara aja, pagi-pagi udah teriak-teriak di rumah orang.” Gabriel berkata pelan pada Yuke seraya melepas reglet dari kertas.

“Kayaknya Aini yang salah, deh. Sini pinjem kertasnya, Fritz.” Kdengar Gabriella mencari penyakit. Seperti biasa dia senang mengkonfrontasi Aini.

“Ah, udah. Aku mau nulis lagi. Mana kertas kosong?”

Fritz mondar-mandir mencari kertas kosong di penjuru rumah makan. Saat itulah dia lewat begitu dekat dengan Zakaria. Dan ... Fritz berjalan menembusnya! Kuamati Fritz bergidik. Diprotesnya Marina-si pemilik rumah-karena menyetel AC begitu dingin. Marina jelas tak terima.

“Dingin apaan, sih? Tuh liat, gue setel di angka 23!” protesnya sebal.

Dahi Fritz terlipat. “Trus kenapa di sini lebih dingin, ya? Merinding disko gue.”

“Kamu ... kamu baru aja jalan nembus dia, Fritz,” sahutku takut-takut.

Mata Fritz membola. Ia berjengit seolah aku mendatanginya dengan pistol terangkat.

“Ya, ampun. Maaf, maaf Zakaria,” ujarnya ngeri.

Kami tertawa. Memang tidak enak saat kita berjalan menembus hantu.

“Apa dia bisa mendengar kita sekarang?”

Pertanyaan Erika tak sempat kujawab. Saat itu Om Calvin datang membawakan menu sahur untuk kami semua. Raut wajah pria 45 tahun itu begitu bahagia karena rumahnya jadi tempat kami berkumpul.

Sambil menyantap daging lapis, memoriku memutar kembali pertemuan dengan Marina di taman sehari sebelumnya. Marina memergokiku menangis sesenggukan. Dia memaksaku bercerita. Perlahan, kebenaran pun lahir. Aku membuka rahasiaku di depannya tentang Zakaria. Kuceritakan sejak kemunculan Zakaria di rumahku hingga kami melihat Yuke di Istana Villa.

“Aku takut dia meninggal, Marina.” Kuakhiri cerita dengan wajah sendu berurai air mata.

Kupikir Marina akan menertawakanku. Atau dia bakal menghinaku karena menjalin kisah cinta dengan hantu yang masih beristri. Ternyata dia ikut tersedu. Dia mendekapku kuat sekali.

“Benita, kecemasan kita sama,” ungkapnya seraya menyeka mata.

“Dari dulu, hal yang paling gue takutkan adalah ditinggal mati Ayah. As you know, gue sama Ayah beda usia 25 tahun. Gue takut banget Ayah meninggal karena usia. Gue sangat, sangat mencintainya. Makanya sejak sekarang gue kepikiran buat nggak kawin lagi nanti atau cari pengganti Ayah kalau memang waktunya udah tiba.”

Penuturan Marina begitu menyentuh. Cintanya amat besar untuk Om Calvin. Air mataku membanjir mendengarnya.

“Ben, lo percaya nggak sama kekuatan doa? Senjata manusia hanya doa,” sambung Marina setelah diam sebentar.

“Gue punya satu doa. Doa yang nggak pernah alpa gue panjatkan tiap salat dan tiap kesempatan. Doanya gini: ya, Allah, aku ingin didampingi Ayah Calvin selamanya. Dari doa itu gue merasa kuat. Doa sederhana itu bikin gue tenang. Dan gue percaya Allah Maha Pengabul Doa. Lo bisa coba itu, Ben.”

Aku tergetar. Sebuah kekuatan besar mengaliri batinku. Ya, aku masih punya Tuhan. Satu-satunya senjataku saat ini adalah doa. Hanya doa yang bisa menyatukan kembali jiwa Zakaria dengan tubuhnya.

Pikiranku berangsur tenang. Marina membujukku untuk terbuka dengan Magenta. Aku mau saja, tapi aku tak sanggup bila harus menceritakannya lagi. Alhasil Marinalah yang mengumpulkan Magenta dan bercerita pada mereka. Erika, Gabriella, dan Aini amat berempati dengan keadaanku. Mereka berjanji akan mendukungku. Maka, di sinilah kami sekarang: berkumpul di rumah Marina bersama pasangan masing-masing demi mensuportku.

“Wah, Yuke bisa potong daging sendiri. Pintar ....”

Pujian Aini melintas di telingaku. Kutolehkan kepala. Tidak, Yuke tidak bisa memotong daging sendiri. Zakaria telah berpindah posisi. Semula ia di sebelahku, kini ia di samping Yuke. Tangan Zakarialah yang bergerak memotongkan daging. Namun, aku diam saja. Tak kusampaikan hal ini pada Aini.

“Lebih baik kalian semua tidur,” suruh Om Calvin setelah salat Subuh.

“Ya, ampun. Enak banget, ya, kita di sini. Cuma makan tidur,” celetuk Gabriella.

Om Calvin tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Saya senang kalau rumah ini banyak tamunya.”

Hampir semua anak Magenta tidur kecuali aku. Kutemani Zakaria naik ke lantai dua. Ia mengunjungi kamar Yuke. Kuharap Aini tidak marah karena aku masuk kamar lelakinya.

“Kakak sangat merindukannya, ya?” Kulontarkan pertanyaan retoris.

Ia mengangguk samar. Zakaria duduk di pinggir ranjang, menatap wajah damai Yuke. Dia terlihat tampan sekaligus imut di saat bersamaan. Pemuda setampan ini telah banyak menderita. Kutahu lika-liku hidupnya yang pahit.

Tangan pucat Zakaria mendarat pelan di rambut Yuke. Ia mengelusnya. Belaian seorang kakak pada adiknya. Awal mereka bisa menjadi kakak-beradik tanpa ikatan darah karena rasa sepi. Yuke sepi karena merasa tak dimengerti dan dicintai. Zakaria sepi karena terlahir sebagai anak tunggal dan merindukan saudara yang bisa menemani. Tak disangka, seorang pria Indonesia yang jauh dari kata metroseksual bisa begitu menyayangi pemuda blasteran Korea yang tampan sekaligus cantik. Putra Dokter Kamal menjadikan Yuke bin Steven, anak pemilik PT Larasati Healthcare itu, sebagai saudara.

Oh, iya. Sebelum ke sini, Zakaria minta dibelikan kain dan mesin jahit tangan. Gegas aku beranjak menuju kamar tamu yang kutempati dan mengambilnya. Apakah properti menjahit ini untuk Yuke? Entahlah.

“Ini yang Kakak minta.” Kusodorkan peralatan menjahit itu ke dekatnya.

Zakaria tersenyum tipis dan menggumamkan terima kasih. Dengan takjub, kuamati dia mulai membuat pakaian untuk Yuke. Pujaan hatiku memang multitalenta.

Dia membuatkan pakaian untuk Yuke. Kucubit tanganku sendiri. Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Dia benar-benar bisa membuat baju. Hidup bersama pria ini, aku tak perlu khawatir. Bila pun dia bangkrut dan kekayaannya habis, dia masih bisa menghidupi dengan memasak dan menjahit. Astaga, mikir apa aku ini? Dia saja belum bercerai dengan Sabila. Dari tempatnya, Zakaria tersenyum-senyum memandangiku. Isi hatiku telah terbaca olehnya.

“Kamu memang tak perlu risau kalau hidup bersamaku, Benita,” bisiknya.

“Tapi, bagaimana kita akan hidup bersama kalau jiwa Kakak masih terpisah dari raga?”

Senyumnya memudar. Zakaria kembali menekuri jahitannya. Semoga dia mau kembali ke tubuhnya setelah ini.

**     

Hatiku berselimut ragu saat memasuki gedung bercat kuning pupus dengan garis-garis hijau. Sudah lama aku tak ke rumah sakit. Tepatnya sejak Zakaria menjadi hantu penunggu rumahku.

Siang ini, berbekal suport Magenta, aku datang lagi. Tangan kiriku menenteng sebuket bunga lily putih. Di punggungku, tersandang sebuah tas hitam besar berisi keyboard. Ya, aku membawa alat musik ke rumah sakit. Terlalu riskan untukku membawa piano. Tak ada piano, keyboard pun jadi.

Anak Magenta menunggu di cafetaria rumah sakit. Bukan untuk makan tentunya, mereka hanya memastikanku tak sendirian. Mereka paham aturan rumah sakit yang melarang banyak pengunjung untuk pasien rawat inap. Aku lega karena berhasil masuk setelah melalui tes dan skrining yang panjang.

Aku melangkah lambat di sepanjang lorong rumah sakit. Keraguan meraupi kepalaku. Apakah rencana ini akan berhasil? Biasanya, aku hanya melihat Zakaria dari depan kaca yang membatasi ruang VIP dengan ruang tunggu. Kali ini aku akan masuk bersama jiwanya.

Kulirik sosok seputih-mutiara di sisiku. Dia meremas tangannya gelisah. Apakah dia takut rencana ini gagal? Kata Zakaria, selama ini dia tak mampu menyentuh tubuhnya sendiri. Saat dia bisa menyentuh raganya, itu berarti dia dapat kembali menyatu. Hatiku ribut mendaraskan doa. Doa agar aku didampingi Zakaria selamanya.

Di unit pulmonologi, aku berpapasan dengan Dokter Kamal. Dia tersenyum ramah padaku.

“Siang, Benita. Mau jenguk Zakaria, ya?” sapanya hangat.

“Iya, Dok. Tante Yvonne ada?”

“Tante Yvonne di rumah, istirahat sebentar. Kecapekan dia.”

Kulihat Dokter Kamal pun tak lebih baik. Wajahnya kusut kurang tidur. Lingkaran hitam terpeta di bawah matanya. Garis-garis keletihan tergurat jelas.

“Maskernya jangan sampai turun, ya.” Dia mengingatkan sebelum pergi meninggalkanku.

Kumasuki kamar VIP 309. Tubuh Zakaria terbaring lemah dikelilingi kabel warna-warni dan belalai plastik. Elektrokardiograf berpacu lemah. Selang putih di hidungnya mengalirkan oksigen. Miris hatiku melihatnya. Sementara itu, figur putih pucat di sampingku terenyak. Takutkah dia melihat raganya sendiri?

Bunga segar yang kubawa kini tergeletak manis di meja samping tempat tidur. Kubuka tas keyboard. Instrumen musik di dalamnya berpindah ke pangkuan.

“Aku rindu Papa,” kata Zakaria lirih.

Aku urung bermain musik. Kutatap matanya dalam-dalam.

“Kalau gitu, Kakak harus bangun. Mau ketemu Papa, ‘kan” bujukku menyemangati.

Setelah berkata begitu, aku mulai memainkan lagu. Suaraku mengalir jernih di udara. Di sisiku, Zakaria ikut bernyanyi.

Saat semua menghilang

Kau tetap setia menjaga

Kau berkorban tanpa suara

Demi senyum yang lain

Saat semua tertidur

Kau terjaga sepanjang waktu

Lupakan lelah ragamu

Demi raga yang lain

Kulayangkan tatapan ke jendela, berharap suaraku dan Zakaria didengar Dokter Kamal. Ah, rupanya dia tak benar-benar pergi. Ayah kandung Zakaria itu masih ada di sini. Apakah hanya suaraku yang terdengar?

Dunia t'lah tersenyum

Melihat kau bertaruh nyawa

Tak pedulikan yang kau punya

Demi raga yang lain

Engkau pahlawan dunia

Tuhan yang 'kan membalas semua

Jerih lelah yang tak ternilai

Demi raga yang lain

Lagu itu cocok sekali untuknya. Biarkan aku egois sekali ini saja. Biarkan aku merobek ketenangan di rumah sakit dengan nyanyianku. Anehnya, Dokter Kamal kelihatan tak terganggu. Dia sangat menikmati nyanyianku di luar sana.

Walau hampir tiada sudut

Untukmu menghela nafasmu

Teriring doa untukmu

Suara ini untukmu (Yessiel Trivena-Demi Raga yang Lain).

Tepat ketika aku menutup laguku, pintu mengayun terbuka. Dokter Kamal menghampiriku.

“Bagus sekali,” pujinya tulus.

Dan hatiku bergetar kuat saat dia bicara lagi.

“Saya seperti mendengar suara Zakaria.”

Oh, Tuhan. Apakah tak perlu menunggu Lebaran untuk membuatnya sadar kembali? Dokter Kamal saja bisa mendengar suaranya. Suara dari jejak jiwa yang terpisah dari raga.

Bibirku terkatup rapat. Lidahku kelu. Aku tak sanggup mengungkap kebenaran. Cukup dengan Magenta aku membuka diri.

Aku membungkuk, menatapi tubuh Zakaria yang terlentang seperti mayat hidup. Kugenggam tangannya. Mungkin aku sudah gila. Ibadahku sudah batal sepertinya, karena sekonyong-konyong kutanggalkan maskerku. Dan ... aku mencium kening Zakaria. Ciuman yang dalam dan hangat tak terperi.

“Bangunlah, Kak. Aku mencintaimu.”

Beberapa jurus kemudian, aku meraih tangan dari hantu penunggu rumahku. Kusatukan tangan si hantu dengan tangan dari raga yang terbaring koma. Semoga tubuh yang terpisah kembali menyatu.

Dokter Kamal yang tak melihat apa-apa, tak bergeming. Dia hanya tahu bahwa aku baru saja mencium putra tunggalnya. Sedetik kemudian, kurasakan udara dingin menyapu tajam. Hantu tampan yang selama ini membersamaiku telah hilang.

 

T A M A T

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
(Un)Dead
865      453     0     
Fan Fiction
"Wanita itu tidak mati biarpun ususnya terburai dan pria tadi一yang tubuhnya dilalap api一juga seperti itu," tukas Taehyung. Jungkook mengangguk setuju. "Mereka seperti tidak mereka sakit. Dan anehnya lagi, kenapa mereka mencoba menyerang kita?" "Oh ya ampun," kata Taehyung, seperti baru menyadari sesuatu. "Kalau dugaanku benar, maka kita sedang dalam bahaya besar." "...
Tentang Hati Yang Mengerti Arti Kembali
858      535     5     
Romance
Seperti kebanyakan orang Tesalonika Dahayu Ivory yakin bahwa cinta pertama tidak akan berhasil Apalagi jika cinta pertamanya adalah kakak dari sahabatnya sendiri Timotius Ravendra Dewandaru adalah cinta pertama sekaligus pematah hatinya Ndaru adalah alasan bagi Ayu untuk pergi sejauh mungkin dan mengubah arah langkahnya Namun seolah takdir sedang bermain padanya setelah sepuluh tahun berlalu A...
Dream of Being a Villainess
1422      809     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Pulang Selalu Punya Cerita
1203      767     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
Memories About Him
4328      1830     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Bisikan yang Hilang
70      63     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Mesin Waktu Ke Luar Angkasa
142      125     0     
Romance
Sebuah kisah kasih tak sampai.
Bimasakti dan Antariksa
220      170     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Semu, Nawasena
9891      3121     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Aku Biru dan Kamu Abu
818      479     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?