Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Magenta Write Their Destiny
MENU
About Us  

Blok 24-Benita

Semesta Benita

“Ramadan ini ... bulan yang sangat indah. Panjatkan doa atas Allah semata.”

Atrium Danish & Monalisa Square dipenuhi tepuk tangan. Para pengunjung mall seperti terhipnotis permainan piano dan suaraku. Sore ini, kuhibur mereka dengan lagu-lagu religi.

Jelang waktu berbuka puasa adalah prime time. Mall kami penuh sesak oleh pengunjung karena mereka biasanya berbuka bersama atau sekedar ngabuburit. Mama dan Papa berinisiatif menghibur pengunjung dengan live music dan tausyiah dari ustadz-ustadz kondang. Sering kali aku turun tangan membawakan lagu religi dengan pianoku.

Di antara sorot mata kagum, kurasakan pandangan menusuk seorang ibu berhijab panjang. Dia menatapku tajam selama aku bernyanyi. Bagai cakar elang tatapan matanya saat aku menyebut kata ‘Ramadan’ dan ‘Allah’ dalam nyanyianku. Ada apa gerangan? Turun dari panggung, aku berpapasan dengannya. Si ibu berhijab hitam berkata nyinyir.

“Nggak pulang kampung? Ada, ya, orang Cina bawa-bawa nama Allah. Dasar pembawa virus!”

Aku tertampar. Lebih baik aku dipukul martil tinimbang mendengar ucapan setajam siletnya. Hinaan seperti ini bukan baru pertama kali kudengar. Sejak pandemi Virus Corona, cacian semacam itu berkali kudapatkan. Sentimen terhadap orang berkulit putih dan bermata sipit makin masif sejak beberapa tahun terakhir.

Kurasakan genggaman dingin di tanganku. Ah, dia. Kenapa aku hampir lupa? Sosok putih pucat itu mendampingiku sejak tadi. Ia ikut naik panggung bersamaku saat main piano. Siangnya, dia pun menemaniku membawa berkas gugatan cerai ke pengadilan agama. Zakaria membersamaiku dalam perjalanan ke bank untuk menarik dana berjumlah besar dan saat aku ke kantor pengacara. Sengaja aku menggunakan jasa kuasa hukum kepercayaan keluargaku untuk memastikan Zakaria dan Sabila bercerai. Kusiapkan langkah antisipasi. Siapa tahu keluarga Sabila juga menyewa pengacara. Itu pun kalau mereka mampu. Teringat rentetan perjalananku sepanjang hari ini, aku tersenyum ringan. Satu permasalahan besar telah selesai.

“Abaikan saja mereka, abaikan saja mereka,” gumam Zakaria seperti bernyanyi.

Aku mmbuang napas panjang. Dia benar. Tak seharusnya kupikirkan celaan ibu-ibu berhijab itu.

“Abaikan saja mereka ... uhuk.”

Zakaria terbatuk di sela kalimatnya. Ia terbatuk lagi, lebih parah. Kupapah ia memasuki pintu bertuliskan “Just for Owner”. Di dalamnya, terdapat sebuah ruangan panjang penuh sofa empuk dan karpet. Dengan cemas, kulihat ia muntah di wastafel.

Aku baru tahu kalau hantu bisa muntah. Sudah beberapa hari dia begitu. Firasatku mengatakan dia sedang menyatu dengan tubuhnya. Di awal-awal kemunculannya di rumahku, Zakaria tidak menunjukkan pertanda sakit. Hanya wajahnya yang terlihat amat pucat. Kini, dia seperti kembali ke tubuhnya saat sakit.

“Maaf,” lirih Zakaria, bersandar di dinding dengan tangan membekap dada.

Aku bergerak mendekat. Tak sengaja aku berjalan menembusnya. Udara dingin menyapu seketika. Ups, seharusnya aku tak boleh berjalan menembus sosok tak kasat mata ini.

“Nggak apa-apa. Mungkin Kakak akan segera menyatu kembali dengan raga Kakak di rumah sakit,” hiburku.

Zakaria mengangkat bahu. “Aku tidak yakin.”

Perbincangan kami disela derit pintu. Ada pintu yang terhubung ke ruang kerja direktur mall. Mama berjalan masuk. Ruangan dipenuhi jeritan Mama saat ia melihat bekas muntahan di wastafel.

“Niiish! Daniiish! Muntahan siapa ini?”

Hatiku mencelos. Zakaria terbelalak. Mama berteriak-teriak memanggil Papa, sampai tak peduli dengan kehadiranku. Apa yang harus kulakukan?

Papa muncul dari ruangan lainnya tak lama berselang. Dia berdeham, terbatuk, dan mencengkeram perutnya. Raut muka Mama tampak panik.

“Oh sorry, Monalisa. Itu aku ... maaf, ya. Kayaknya aku kurang enak badan. Jadi ....”

Tak kudengar lagi percakapan mereka. Hatiku dibanjiri kelegaan. Papa menyelamatkan kami berdua!

Untunglah Mama percaya. Tak berselang lama, Mama pamit ke lantai atas untuk membeli makanan. Tinggallah aku, Papa, dan sosok Zakaria di dalam ruangan.

“Benita, sini Sayang.” Papa memanggilku lembut, melambai ke arah sofa.

Aku mendudukinya dengan canggung. Sepersekian detik kami bertatapan. Kutahu aku akan diinterogasi sebentar lagi.

“Benita-ku, Papa mungkin bisa berpura-pura sakit di depan Mama kamu. Tapi kamu tidak bisa bersembunyi dari Papa. Ada apa sebenarnya, Nak?”

Benar, ‘kan? Dadaku berdegup kencang. Telapak tanganku lembap karena keringat. Aku bertambah kalut saat Papa menunjukkan layar iPad-nya.

“Ini akan dirahasiakan dari Mama. Tapi izinkan Papa tahu, kenapa kamu memindahkan dana sebesar ini dari rekening perusahaan ke rekeningmu?” tanya Papa menyelidik.

Aku adalah pewaris tunggal perusahaan retail Danish & Monalisa Corp. Sejak awal, aku punya akses ke rekening perusahaan. Mama dan Papa sering kali membimbingku untuk menjadi penerus mereka di masa depan. Dana itu kuperlukan untuk membayar pengacara. Namun, bagaimana aku mengatakannya?

“Ayo, Sayang. Cerita sama Papa. Papa janji nggak akan marah,” bujuk Papa halus.

Kesabaran Papa membuat air mataku mengalir. Aku menjatuhkan diri bersimpuh di kakinya. Tangan kokoh Papa menarikku berdiri. Sekarang aku berpindah ke pangkuannya. Ah, sudah lama aku tak begini.

“Apa ini ada kaitannya dengan hantu di rumah kita?”

Pertanyaan Papa bagai petir yang menyambar telingaku. Dari mana Papa bisa berspekulasi begitu? Jangan-jangan Papa bisa melihat Zakaria juga.

“Tidak, tidak. Papa tidak bisa melihatnya. Tapi, Danish Rorimpandey tidak bodoh, anakku. Papa sering lihat anak Papa bicara sendiri. Anak Papa juga keberatan dengan ritual pengusiran hantu. Dan ....”

“Hantu itu yang mengobati lukaku,” ungkapku sejujurnya.

Papa tercengang. Selapis perban putih menyembul dari lengan gaunku. Sebaris air mata meluncur dari netra Papa. Pria yang kukasihi sejak kecil itu memelukku erat sekali. Membisikkan permintaan maaf karena dialah yang menurunkan riwayat mental itu padaku, putri satu-satunya.

**    

Kasur empuk memanjakan tubuh rampingku. Berjam-jam sudah aku terlentang di atasnya. Zakaria mondar-mandir di kamarku. Dia nampak bersalah.

Hampir putus asa aku meyakinkan dia jika semua ini bukan salahnya. Papa pun tidak mempermasalahkan. Niatku untuk membantunya bercerai datang dari diriku sendiri.

“Kamu sangat ingin aku bercerai, ya?” tebak Zakaria perlahan.

“Aku sangat ingin Kakak bahagia,” sahutku tulus.

Kamar tidur mewah berpendingin udara itu hening. Zakaria kembali melanjutkan hilir-mudiknya. Aku mengubah posisi setengah telungkup menjadi berbaring datar. Kusetel Netflix. Malam ini aku ingin menonton lanjutan Vincenzo.

“Mau nonton drakor lagi?” Zakaria menginterupsiku.

“Iya. Movie marathon, yuk.”

Sengaja aku menonton banyak series bersamanya. Kupikir jika ia meninggal nanti, sisa hari di bulan mulia akan menjadi momen berharga bagi kami berdua. Karena tak ada yang bisa memastikan bahwa dia akan kembali ke tubuhnya saat Lebaran.

Telah banyak series yang kami tonton: Vagabont, Vincenzo, Mouse, Lawschool, Startup, Taxi Driver, hingga series lama seperti Fullhouse dan Winter Sonata. Tak kusangka pria yang jauh dari kesan metroseksual dan fanboy itu menyukai k-drama. Katanya, dia menonton semua itu karena kangen Yuke.

Tengah asyik menonton, perhatianku teralih oleh dering ponsel. Ada WA dari Tante Yvonne. Saat kubuka, isinya sebuah foto. Ponselku terlempar begitu melihat fotonya.

Sebuah nisan mewah terpampang di layar. Nisan terbuat dari batu alam dengan dua batu kijing berlapis emas dan berbentuk bunga padma. Pada keramik hitam yang melingkupi nisan tersebut, terukir sebuah nama. Bahkan tanggal kematiannya telah diukir. Seolah benar-benar memastikan si pemilik nama sungguh akan mati di tanggal itu.

“Astaghfirullah.” Aku bergumam sambil menekap wajah.

“Ada apa, Benita? Ada apa?” Zakaria sedikit panik melihatku histeris.

Dia memungut gawaiku yang jatuh. Kukira dia akan sedih karena mamanya menyiapkan hal seperti itu untuknya. Namun, prediksiku keliru. Ekspresi wajahnya luar biasa tenang.

“Nisan yang indah,” ujarnya.

Ya, Tuhan, kenapa dia bisa setenang itu? Aku meremas rambutku. Bulir bening merembes dari kelopak mata.

aku mencinta

Tulus dan sepenuh hati

Seperti ombak di lautan

Tiada pernah berhenti

Berikan ku kekuatan

Agar cinta terus bertahan

Setia ku bagaikan karang

Tiada pernah berhenti

“Kalau Kakak pergi, siapa yang akan memberiku kekuatan?” ratapku.

Dalam hitungan detik, aku telah berpindah posisi dalam rengkuhannya. Ia mendekapku kuat-kuat. Air mata terjun bebas tanpa henti.

“Aku tidak benar-benar pergi, Benita. Aku ada di sini, di hatimu.” Zakaria berkata lembut.

Tak bisa kubayangkan bagaimana aku hidup tanpa dirinya. Pelangiku akan berwarnakan kelam. Hari-hariku tak lagi indah. Bahkan, matahari pun takkan sanggup menghangatkan hatiku yang ditinggal pergi.

“Jangan berpikir begitu, Benita. Lanjutkan hidup setelah aku pergi. Pemikiran seperti ini yang memberatkanku.” Zakaria memohon sedih.

“Kalau begitu, jangan pergi!” teriakku frustrasi.

Mungkinkah terjadi tuk terakhir kali

Sekali lagi mengulang kembali

Namun kusadari tak mungkin terjadi

Cinta takkan kembali

Apakah melodi tak lagi bernyanyi

Terasa sunyi saat engkau pergi

Namun kusadari tak mungkin terjadi

Cinta takkan kembali

Cinta takkan kembali (Natasha Wilona-Cinta Takkan Kembali).

“Apakah tidak ada harapan lagi untuk kita?” Aku berbisik parau.

“Jangan tanyakan padaku. Karena bukan aku yang mendata jatah hidup manusia.”

“Tahukah Kak Zakaria kalau aku sangat mencintaimu? Kita pernah berbagi tubuh dan jiwa. Jiwa Kakak pernah merasukiku. Lalu, secepat ini harus kulepaskan orang yang kucintai?”

Aku tidak siap saat Zakaria menyentuhkan keningnya ke keningku. Terpancar kesedihan di matanya yang bening. Hatiku berdenyut nyeri.

“Bukan seberapa singkat waktu yang kita punya, tapi bagaimana kita saling mencintai dalam sempitnya waktu.”

**    

Pagi ini, Zakaria ingin bertemu Yuke. Aku pun mengantarnya ke Istana Villa. Sempat aku menawarkan tubuhku untuk ia rasuki. Tapi dia tak ingin membebaniku. Dirasuki memang tidak enak. Melihat Yuke dari jauh saja baginya sudah cukup.

Mobilku terparkir di Istana Villa. Aku belum bilang pada Aini tentang kedatanganku. Belum sempat kami turun, seseorang lebih dulu menjejaki teras villa. Ia menghampiri Yuke yang terduduk di kursi teras. Dari wajah dan bentuk tubuhnya, kutahu kalau dia adalah Gabriel.

“Bukankah itu Gabriel?” Zakaria menunjuk ke arah Yuke dan Gabriel dengan tatap matanya.

“Iya. Dia memang dekat sekali dengan Yuke.”

Kami perhatikan mereka dari jauh. Terlihat Yuke menyodorkan alat tulis Braille pada Gabriel.

“Aku nggak bisa nulis pakai ini, maaf. Yuke mau ajarin aku?” Terdengar Gabriel berkata amat lembut.

Keduanya mulai belajar menulis Huruf Braille. Zakaria menyeka ujung mata. Kurasa dia bisa menangkap ketulusan Gabriel.

“Aku lega. Melihat dia begitu disayangi. Dengan begini, aku bisa pergi dengan tenang.”

Kucengkeram tangan Zakaria erat. “Tidak, Kak. Gabriel tidak bisa jadi pengganti Kakak.”

“Aku yakin dia bisa.”

Mungkin saja Yuke bisa merasakan kehadiran Zakaria di dekatnya. Sebab tak berapa lama ia berteriak-teriak histeris. Melempar kertas dan alat tulis Braille begitu saja. Yuke meneriakkan Hyung, panggilan kakak untuk Zakaria. Jelas saja Gabriel kalang kabut. Dia tak tahu apa-apa.

“Yuke, Yuke kenapa? Hyung itu siapa? Cerita sama Gabriel,” kata Gabriel sambil berusaha menenangkan Yuke.

“Aku mau Hyung!” Yuke terisak, memukuli kepala dengan tinjunya sendiri.

Aini dan kedua orang tuanya tergopoh menuju teras. Mereka membantu Gabriel menenangkan Yuke. Zakaria mengajakku pergi. Dia tak sanggup melihat ini semua lebih lama lagi.

Kami pergi. Di taman kompleks, kuhentikan mobilku. Aku keluar dari mobil dan menjatuhkan diri di ayunan. Ekspresi terluka di wajah Yuke terus terbayang. Kematian Zakaria akan membuat banyak hati terluka.

Aku lelah menangis, amat lelah. Namun, hanya ini yang bisa kulakukan. Aku bahkan mengusir Zakaria saat ia ingin menemaniku. Terlarut aku dalam kesedihan hingga tak mendengar derit pagar taman dan derap langkah kaki.

“Benita?” Sebuah suara memanggilku.

“Pergi, Kak! Aku mau sendiri!” isakku, masih menutup wajah dengan kedua tangan.

“Ini aku, Marina. Ibu perinya Magenta kenapa?”

Aku tergamam. Perlahan kuturunkan tangan. Marina berlutut di depanku, mata birunya menisbikan tanya.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinderella And The Bad Prince
1464      992     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Tembak, Jangan?
261      218     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Love Never Ends
11903      2508     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Novel Andre Jatmiko
9669      2117     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Our Different Way
5453      2090     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
413      298     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Gray November
3821      1314     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Sekotor itukah Aku
409      311     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
After School
3317      1362     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Heliofili
2717      1190     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama