Read More >>"> When Magenta Write Their Destiny (Blok 18: Marina) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Magenta Write Their Destiny
MENU
About Us  

Blok 18-Marina

Semesta Marina

Di mana kamu?

Apakah kau rindu?

Sungguh susah buat lupa

Hati tak bisa berdusta

Kira-kira sopan nggak, ya, kalo gue nyanyiin lagu itu di depan Ayah dan Tante Alea sekarang? Dari tadi gue nahan diri buat mengeraskan permainan piano gue. Sambil ngintipin mereka di balik kaca partisi, gue terus main piano pelan-pelan.

Walau kutahu

Kau bukan untukku

Tapi tetap kau terindah

Cinta tak salah

Aku yang salah (Mahalini ft Nuca-Aku yang Salah).

Hampir pukul empat sore. Udah setengah jam Tante Alea ada di sini. Ayah sengaja mengundangnya ke rumah untuk bicara hal serius. Walaupun nggak dikasih tau apa sebenarnya, sedikit-sedikit gue bisa nangkep apa yang mereka omongin.

“Aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri, Alea. Aku mencintai putriku,” ujar Ayah serius.

Gue bayangin Tante Alea tetap duduk anggun di tempatnya. Kedua tangan menangkup di pangkuan. Wajahnya tenang walau guratan luka mulai nampak. Kalo aja gue nggak cinta sama Ayah, dengan senang hati gue terima dia jadi bunda gue. Siapa juga yang nolak punya bunda sesempurna itu? Udah cantik, baik lagi.

“Aku mengerti.” Hanya itu dua kata yang digumamkan Tante Alea.

“Maaf, aku benar-benar minta maaf.”

Ayah segitunya nggak mau nyakitin perempuan. Sebagai sesama cewek, gue tau pasti berat buat Tante Alea mengakhiri kedekatannya dengan Ayah. Mungkin Tante Alea udah terlanjur menanamkan hatinya untuk Ayah begitu dalam.

Nggak lama, Tante Alea minta diri. Gue berjalan mengantarnya ke halaman. Tante Alea urung melangkah ke mobil. Dia peluk gue erat. Pipinya yang mulus menyentuh lembut pipi gue.

“Semoga selalu bahagia, ya, Dear.” Tante Alea berucap tulus.

“Doa yang sama buat Tante.”

Ayah dan gue melambai saat Vios hitam itu meluncur pergi. Gue berdoa agar Tante Alea mendapat pengganti Ayah. Dia pasti akan dapat pria terbaik.

“Ayo, Sayang.”

Suara lembut Ayah membuyarkan lamunan gue. Kami menaiki motor yang telah dipenuhi berkantong-kantong makanan. Semua makanan itu akan dibagikan untuk duafa.

Inilah kebiasaan kami tiap sore. Gue dan Ayah akan berkeliling Narcissa Regency untuk membagikan makanan sebelum berbuka puasa. Nggak sulit menemukan duafa di sekitar sini. Ada penyapu jalan, peminta-minta, pemungut sampah, dan orang kurang beruntung lainnya. Di sini kerasa banget jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Gue peluk pinggang Ayah. Tatapan gue membentur langit sore yang cerah. Langit biru tampak seperti karpet yang dibentangkan Tuhan. Sengaja kami berbagi makanan naik motor alih-alih mobil. Selain karena Ayah lagi excited, berbagi makanan dengan mobil hanya akan memperlihatkan kesenjangan sosial.

Motor berdecit di depan dua orang pemulung. Kami berikan makanan untuk mereka. Nggak kebayang senangnya hati mereka waktu terima makanan dari gue dan Ayah. Menu makanan sore ini adalah sepaket nasi lengkap dengan daging dan sayuran, buah apel, dan seporsi puding karamel. Kata Ayah, berilah yang terbaik saat kita ingin berbagi pada orang lain. Jangan berbagi makanan sisa atau makanan yang tidak layak. Gue belajar banyak dari Ayah.

Sekali lagi gue mendekap erat pinggang Ayah. Pria yang tetap tampan di usia 45 tahun. Dan Ayah selalu wangi. Gue suka wanginya. Satu lagi target di bulan suci yang sedang diusahakan untuk tercapai: berbagi makanan untuk duafa tiap hari. Kenapa nggak menargetkan hafalan Quran misalnya? Nggak, karena gue lebih mementingkan spiritual sosial ketimbang sikap spiritual yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri. Makanan yang dibagikan akan terasa langsung manfaatnya oleh penerima.

Semua makanan telah dibagikan. Ayah melarikan motornya menuju jalan raya. Kami nggak pulang ke rumah. Malam ini kami akan menginap di suite room Zilvia Hotel. Kami mau bikin pesta kecil untuk merayakan beberapa kabar bahagia yang datang di waktu berdekatan: naiknya saham PT Zilvia Persada di lantai bursa, kesepakatan ortu gue yang ngebolehin gue dan Ayah menjalani hubungan lebih serius, kesembuhan Gabriel, dan kerjasama baru antara Zilvia Hotel dengan My Mocktails, sebuah merk penyedia minuman dari buah-buahan. Magenta dan pasangan mereka diundang. Kasihan, cuma Benita yang nggak ada pasangan. Beberapa kali gue mikir dengan serius buat cariin dia pacar. Tapi si ibu peri pasti nggak mau. Dia, ‘kan bucin sama Zakaria.

“Ayah, aku senang kita bisa bersama,” ungkap gue di tengah perjalanan.

Lampu menyala merah. Refleks Ayah menginjak rem. Kami bertatapan sekilas lewat kaca spion.

“Iya, Sayang. Akhirnya orang tua kamu kasih lampu hijau buat kita.”

“Tapi, Ayah selamanya akan tetap jadi ayahku. Walaupun kelak nanti kita menikah.”

Ayah mengangguk mantap. Benar, nggak akan ada yang berubah. Pria berjas Gucci ini tetap ayah gue. Ikatan cinta gue dan Ayah Calvin memang unik. Saat jadi ayah, dia penyayang. Saat jadi pasangan, dia penuh cinta. Saat jadi teman curhat, dia bijaksana. Ayah Calvin itu Mr. Limited Edition, makanya perlu dilindungi agar tidak punah. Jarang banget, ‘kan, ada pria yang mau jadi ayah sekaligus jadi pasangan?

**   

Purnama Grup memiliki beberapa lini usaha. Zilvia Hotel di bawah naungan PT Zilvia Persada salah satunya. Zilvia Hotel memiliki dua belas cabang di seluruh Pulau Jawa. Mudahnya PT Zilvia Persada melantai di Bursa Efek Indonesia karena prestasi dan manajemennya yang baik. Sejak hotel ini diberi penghargaan oleh pemerintah karena konsisten membantu relawan Covid-19, reputasi hotel ini seterang Bintang Sirius. Jadilah PT Zilvia Persada IPO.

Lini usaha Purnama Grup lainnya adalah Rinabox Creative Hub. Sebuah gedung yang disewakan untuk co-working space dan tempat kumpul para pekerja kreatif. Jenis usaha ini lebih mengarah pada socialpreneur. Ayah tak banyak menyerap keuntungan dari sana. Tujuan Ayah mendirikan Rinabox Creative Hub semata demi kesenangan dan menolong sesama.

Anak perusahaan yang terakhir adalah PT Marina Investama. Sesuai namanya, perusahaan ini bergerak di bidang investasi. PT Marina Investama menyuntikkan dana segar bagi perusahaan-perusahaan yang potensial agar bisa lebih berkembang. Tak hanya perusahaan baru dan kekurangan dana yang dibantu. Terkadang perusahaan besar pun kena suntikan dana. Tak seperti Rinabox Creative Hub yang berdiri demi tujuan sosial, PT Marina Investama bukan badan amal. Ayah tak segan menghentikan investasi pada perusahaan yang nakal atau kurang progresif dalam kurun waktu tertentu.

Semua anak perusahaan Ayah dinamai sesuai dengan nama gue. Zilvia adalah nama depan gue. Dan Marina adalah nama belakangnya. Hal itu nunjukkin betapa besar rasa sayang Ayah ke gue, putri tunggal sekaligus calon istrinya.

Nggak kayak keluarga gue yang lebih sayang ke Angelina, Ayah percaya banget ke gue. Gue didapuk jadi penerusnya. Ayah mulai libatin gue di perusahaan. Misalnya sore ini. Sambil nungguin Magenta di suite room, Ayah memperlihatkan beberapa proposal perusahaan yang masuk.

“Menurut kamu gimana?” Ayah menanyai pendapat gue seraya membuka proposal dari PT Angelina Karyatama.

Gue meneguk saliva. Itu perusahaan kakak gue. Apa dia kekurangan dana sampai harus minta suntikan dari Ayah Calvin? Oh tidak semudah itu, ferguso.

“Kalo yang ini enggak,” tegas gue.

Kedua alis Ayah bertaut. “Apa karena dia kakakmu?”

“Itu salah satunya. Ayah, ‘kan, tau. Dia udah ngerebut semuanya dari aku. Tapi bukan hanya itu pertimbanganku. Coba liat AD/ART perusahaannya. Trus ini, prospeknya. Nggak banget. Lagian, si Angelina juga nggak urus perusahaannya sendiri. Dia terlalu sibuk urus Ugly Baby.”

Ugly Baby adalah sebutan gue untuk Grace. Keponakan gue yang makin menyudutkan posisi gue di hati ibu kandung gue sendiri. Anak bayi jelek yang hanya bisa menangis, marah, rewel, dan menyusahkan orang tua gue yang udah mulai uzur.

Ayah Calvin menghela napas. Dia pun menyingkirkan lembar proposal itu ke pinggir. Gue senang. Artinya, Ayah nggak berminat membantu perusahaan kakak gue.

“Kalau ini?” Kami beralih pada proposal berikutnya.

Profil perusahaannya menarik. Sebuah perusahaan baru yang bergerak di bidang produk perawatan kulit. Nama pemiliknya bikin gue senyum-senyum sendiri: Fritz Wongsonegara. Ah, rupanya temen gue udah dilamar orang yang pekerja keras. Masih mahasiswa S1 aja Fritz udah punya perusahaan sendiri. Dia memang serius membangun masa depannya sama Erika. Masa depan cerah ada di tangan mereka.

“Setuju,” pungkas gue tanpa keraguan.

“Oke. Alasannya?”

“Perusahaan ini potensial. Walau masih tergolong baru, progresnya bagus. Kalau kita bantu, ada peluang perusahaan ini bisa bikin produk perawatan sesukses Loreal.”

Senyum Ayah melebar. Dia bilang kalau dia dan gue sepemikiran. Proposal Fritz berpindah dari arsip proposal masuk ke proposal diproses. Saat kami akan melanjutkan ke proposal lain, Magenta berdatangan. Cepat-cepat Ayah menyingkirkan semua proposal. Biar bagaimana pun, ada Fritz di sini. Kurang pantas kalau kami bicarakan pertimbangan investasi perusahaan di depan orangnya. Ini pembicaraan internal.

“Hai semuanya!” sapa gue riang.

Gue peluk Magenta satu per satu. Gini nih kalo cewek-cewek udah ngumpul. Pelukan, teriak kegirangan, cipika-cipiki. Tentunya setelah cuci tangan.

Magenta datang bersama pasangan masing-masing. Erika dan Fritz gandengan lengket banget kayak kutil dan plester. Cowok ganteng berkulit putih di samping Gabriella pastilah Gabriel yang udah dioperasi. Gue sampai pangling. Aini terpaksa lepasin tangan Yuke karena tuh bocah berhambur ke pelukan Gabriel, Ayah Calvin, dan Fritz. Cuma Benita yang datang sendirian. Anehnya, gue liat Benita sering mengulurkan tangan kirinya kayak lagi gandeng seseorang yang nggak kelihatan. Beberapa kali gue mergokin dia ngomong sendiri. Dia frustrasi karena dengar rencana pencabutan alat penunjang hidup di tubuh Zakaria atau lagi berkomunikasi sama makhluk penunggu hotel, ya?

Tak lama setelah kedatangan Magenta, waktu berbuka tiba. Pelayan room service mengantarkan berbagai menu. Ada risol mayo, tart karamel, pai buah, dan pastry sebagai kudapan ringan. Ada salad segar dengan mayonaise berlimpah, salmon steak, dan aneka cake sebagai makanan penutup. Kami mendapat minuman segar dari My Mocktails berupa lime mojito dan strawberry mojito.

“Kayaknya pulang dari sini berat badan gue langsung naik,” komentar Gabriella setelah menandaskan potongan kue terakhirnya.

Aini menjitaknya gemas. “Lebai! Benita yang model aja nggak kayak gitu. Iya, ‘kan, Ben?”

Benita tak menjawab. Aini melambaikan tangan tak sabar di depan wajahnya.

“Helloooo, anybody there?”

“Oh ... ap-apa, Aini?” gagap Benita, sedikit tak fokus.

“Benita lagi sedih. Lo jangan barbar ke dia kenapa, sih?” kata gue maklum.

Kepala Benita yang cantik sedikit tertunduk. Sedih tak berujung tak dapat tertutupi lagi. Gue tepuk-tepuk punggungnya.

“Mudah-mudahan makanan berlimpah dan kemewahan hotel ini bisa menghibur hati yang lara.”

Mata gue bersirobok dengan Gabriel yang lagi ngumpul sama para cowok.

“Dan menghibur yang baru selesai operasi.” Gue menambahkan, tersenyum penuh arti.

Gue bisa rasain perbedaan emosi di antara Magenta. Gabriella dengan kebahagiaannya bersama Gabriel. Benita yang patah hati karena Zakaria akan segera pergi. Erika yang nggak banyak bicara seperti biasa. Tapi dari tadi tatapannya mengekori Fritz. Dan Aini, yang gue sadari, memandang gue tajam sejak lama.

“Ada yang sedih, ada yang bahagia.” Gue angkat bicara lagi.

“Dan ada yang bohong,” ketus Aini tiba-tiba.

Gue menegakkan diri. Kami beradu tatap. Aini kayak mau melubangi gue.

“Bohong apa?” tanya gue, mengernyit kebingungan.

Aini tersenyum sinis. “Iyaaa. Dia bohong terus sama kita. Bilangnya anak tunggal, tapi nggak taunya punya kakak dan keponakan.”

Darah gue mendidih. Tangan gue menggebrak meja.

“Maksud lo apa, sih?” bentak gue naik pitam.

“Siapa lagi pembohongnya kalo bukan Marina Kandouw Wan!” damprat Aini penuh dendam.

Hati gue mencelos. Mendadak gue berharap lantai marmer di bawah sini membuka dan menelan gue. Enggak, nggak boleh. Mereka nggak boleh tahu rahasia gue.

“Lo jangan asal nuduh! Beraninya lo nyebar hoax!” Gue berusaha membela diri. Yakin gue kalo Aini nggak punya bukti.

Betapa ngerinya gue pas liat Aini melempar iPad-nya ke gue. Di sana, terpampang foto gue sama Angelina dan Ugly Baby. Aliran darah naik ke kepala.

“Masih mau nyangkal?” Nada suara Aini meninggi.

Gue tatap anak Magenta yang lain. Gabriella tampak ngeri. Erika menekap mulutnya. Raut wajah Benita tak terbaca. Di ruang sebelah, para cowok masih belum sadar ketegangan di antara Magenta.

“Aini, lo kira lo udah makin bijak setelah ketemu Yuke. Taunya sama aja. Gue kecewa!” hardik gue marah.

“Harusnya kami yang kecewa sama lo! Berani lo bohongin Magenta?”

Kami bangkit. Aini lebih tinggi dari gue. Dalam kemarahan, sosoknya menjulang menakutkan. Gue memang paling mungil dan paling muda di Magenta. Kirain dia bakal mengayomi gue kayak kakak ke adik.

“Aini, udah! Lo nggak denger omongan gue kemarin, ya?” lerai Gabriella keras.

Mendengar itu, gue melotot. Gue bertepuk tangan.

Good job. Kalian ngomongin gue di belakang, ‘kan? Terus, terus aja gitu. Marina nggak ada kok,” tukas gue sarkastik.

Muka Gabriella memerah. Dia melirik sebal pada Aini sebelum menggumam.

“Aini yang mulai. Dia duluan yang nunjukkin foto itu ke gue.”

“Ke gue juga.” Erika bersuara.

Lonceng kemarahan berdentang di kepala gue. Ini yang dilakukan Magenta di belakang? Mereka ngomongin gue, bongkar kebohongan gue.

“Ini yang namanya sahabat? Nggak ada sahabat yang ngomongin sahabatnya di belakang!” teriak gue.

“Ya udah! Sekarang kita ngomongin lo di depan! Lo sama fake-nya kayak Miss Fake!” Aini balas berteriak dengan kejam.

Nggak tahan, gue berlari meninggalkan suite room. Hati gue dipagut kecewa sama Magenta. Teganya mereka ngomongin gue di belakang. Mereka nggak tau alasan gue merahasiakan soal Angelina dan Ugly Baby.

Gue berlari, terus berlari. Karyawan hotel yang berpapasan heran liat gue tampak kacau. Samar gue dengar derap langkah kaki lekat mengikuti. Tiba di teras hotel, gue kecapekan. Salah gue juga lari pakai high heels.

“Marina!”

Suara lembut itu merubuhkan benteng kekuatan gue yang udah rapuh. Benita mengejar gue. Dia kesusahan berlari dengan sepatu hak tinggi dan gaun panjang menyapu lantai. Sahabat yang baik luar biasa.

“Boleh peluk?” pinta Benita halus.

Gue mengangguk tanpa kata. Dia bawa gue ke pelukannya. Ah, hati gue adem banget dipeluk ibu peri. Dia memang peri berwujud manusia: cantik, lemah lembut, dan bijaksana. Dia satu-satunya yang nggak ikut jadi kompor di Magenta.

Benita elus kepala gue. Sikapnya benar-benar melindungi dan menenteramkan di saat bersamaan. Tubuhnya yang wangi dan selalu cantik, menciptakan kesan sederhana sekaligus mewah. Benita menebarkan pesona layaknya sesosok peri.

Gue banjir air mata dalam rengkuhannya. Dia nggak berkata apa-apa. Tangannya nggak berhenti hapus air mata gue.

“Marina, aku Cuma mau bilang.” Benita menghela napas dalam dan meneruskan.

“Tiap orang berhak punya rahasia.”

Tangis gue mengeras. Gue terharu banget dengar kalimatnya. Dia nggak menghakimi, nggak nyuruh gue belajar dari kesalahan, atau nasihatin macam-macam. Dia malah tenteramin hati gue pakai kalimat pemakluman. Benita menjadi bijak dengan caranya sendiri.

“Aku, kamu, Gabriella, Erika, dan Aini pasti punya rahasia. Rahasia yang nggak berhak diketahui siapa pun kecuali diri kita sendiri dan Tuhan. Adanya rahasia menunjukkan kalau kita berhak punya privasi.”

Kayaknya pabrik air mata udah ekspansi ke netra gue. Likuid bening berebutan keluar dari sana. Gue dengar berisik tapak langkah kaki di belakang punggung Benita. Di balik mata yang terpejam, gue rasakan sosok-sosok berlutut di sekeliling kami.

“Ini dari Aini,” kata Aini sambil peluk gue.

Gabriella berjongkok dan cium dahi gue. “Ini ciuman dari Gabriella.”

Erika genggam tangan gue dan berbisik, “Ini dari Erika.”

Gue paham ini cara mereka minta maaf. Pelukan, ciuman, dan genggaman tangan mereka gue balas sambil sesenggukan.

“Maaf, maafin kita. Nggak seharusnya kita menjudge lo,” lirih Aini penuh sesal.

“Tap-tapi, boleh nggak kita tahu kenapa lo sembunyiin ini?” tanya Erika takut-takut.

Susah payah gue hentikan tangis. Setelah agak tenang, gue jawab rasa penasaran mereka.

“Gue terlalu kecewa sama keluarga kandung gue. Bokap-nyokap yang nyerahin aset dan perusahaan gue ke Angelina. Lahirnya Grace yang makin melemahkan posisi gue. Selama ini, gue menikmati pura-pura jadi anak tunggal. Karena gue senang, jadi anak tunggal artinya cinta orang tua nggak terbagi. Nggak ada yang namanya sibling rivalry. Gue iri sama Angelina yang dapetin semuanya. Pernikahan bahagia, kasih sayang orang tua, kebanggaan keluarga, dan privilege karena dia udah ngelahirin keturunan.”

Magenta terenyak dengar penuturan gue. Bergantian mereka elus punggung gue.

“Hey, lo juga beruntung. Lo cantik, pinter, baik, berbakat, dan punya belasan buku,” ujar Gabriella.

“Gue aja sering minder kalo foto sama lo. Abisnya lo cantik banget.” Ucapan Aini ngingetin gue sama Angelina.

“Apa yang lo punya, nggak semua orang lain punya. Misalnya pendamping hidup. Lo punya ayah angkat sekaligus pasangan. Ikatan cinta kalian tuh keren banget.” Erika menimpali.

Benita menatap lembut mata gue. Gue merasa terhanyut, terhanyut dalam lautan ketenangan begitu membalas tatapannya.

“Marina, aku tahu cita-cita besarmu pengen jadi CEO. Kalo keluarga kandung kamu nggak kasih kesempatan itu, kamu udah punya gantinya. Liat gimana sayangnya Om Calvin sama kamu. Semua perusahaannya aja pakai nama kamu. Om Calvin adalah pengganti dari Tuhan setelah kamu kehilangan kesempatan dari keluarga kandungmu.”

Di bawah langit penuh sinar bintang, magenta berpelukan. Hati kami sedamai lantunan tadarus Alquran dari masjid besar di samping hotel.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kau Tutup Mataku, Kuketuk Pintu Hatimu
4269      1662     0     
Romance
Selama delapan tahun Yashinta Sadina mengidolakan Danendra Pramudya. Laki-laki yang mampu membuat Yashinta lupa pada segudah masalah hidupnya. Sosok yang ia sukai sejak debut sebagai atlet di usia muda dan beralih menekuni dunia tarik suara sejak beberapa bulan belakangan. "Ayah sama Ibu tenang saja, Yas akan bawa dia jadi menantu di rumah ini," ucap Yashinta sambil menunjuk layar televisi ke...
Bifurkasi Rasa
92      79     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Teman
1294      597     2     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Unlosing You
354      243     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Kutunggu Kau di Umur 27
3719      1695     2     
Romance
"Nanti kalau kamu udah umur 27 dan nggak tahu mau nikah sama siapa. Hubungi aku, ya.” Pesan Irish ketika berumur dua puluh dua tahun. “Udah siap buat nikah? Sekarang aku udah 27 tahun nih!” Notifikasi DM instagram Irish dari Aksara ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Irish harus menepati janjinya, bukan? Tapi bagaimana jika sebenarnya Irish tidak pernah berharap menikah dengan Aks...
RISA (Adik Abang Tersayang)
922      519     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.
Run Away
7029      1589     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Coretan Rindu Dari Ayah
617      431     1     
Short Story
...sebab tidak ada cinta yang lebih besar dari cinta yang diberikan oleh keluarga.
Surat untuk Tahun 2001
3431      1824     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
WEIRD MATE
1411      674     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...