Naga masih melukis bagian veil dari gaun putih gading di hadapannya saat Dara tiba-tiba masuk ke studio. Well, Naga tidak akan mengatakan studio ini miliknya. Pada kenyataannya, studio ini adalah paviliun milik Ayu yang ‘disewakan’ sementara agar Naga bisa fokus menyelesaikan lukisannya. Tentu saja ini bukan pertama kali bagi pemuda itu melukis di atas kain. Namun, ini pertama kali baginya menyiapkan gaun pernikahan edisi terbatas khusus untuk Dara. Man, perkara gaun pernikahan ini bisa jadi sangat sensitif untuk para mempelai wanita. Naga sangat berhati-hati dalam pengerjaannya.
“Udah H-7 dan gaunnya belum siap, ckckck....”
Naga melirik sinis ke arah suara perempuan yang datang bersama Dara tadi. Siapa lagi kalau bukan Ayu. Pemuda itu melempar kuas kecil yang masih berlumur cat ke arah Ayu, tetapi meleset karena jarak yang terlalu jauh. Naga mendengkus kesal, sementara Ayu membalas dengan memeletkan lidah.
“Nggak apa-apa,” sela Dara. “Gue malah ngeri rusak, ini gaun kalau kelar sekarang.”
Ucapan Dara justru membuat Naga menghentikan gerakan tangannya, kemudian mendecak. “Jadi maksudnya, lo ngeraguin kualitas lukisan gue?”
“Yang mau nikah tuh gue atau elo, sih? Sensi amat.”
Ayu tertawa mendengar kalimat pamungkas yang dilontarkan Dara. Tanpa suara dia mengejek Naga, “Sukurin.”
Sekali lagi Naga melempar kuas. Kali ini lebih besar dan Naga sudah memastikan kekuatan lemparannya sampai ke tempat Ayu berdiri. Pemuda itu nyaris melonjak saat melihat ujung gagang kuas tepat mengenai kepala Ayu. Rambut gadis itu kini terciprat cat kuning yang ada di kuas.
Ayu mengentakkan kaki saat melihat Naga bersembunyi di balik punggung Dara. Bibir gadis itu mengerucut, kesal karena tidak bisa membalas kejailan Naga. Naga menjadikan tubuh Dara sebagai benteng, sementara Ayu tetap berusaha mencari celah untuk menyerang Naga.
“Jadi, kalian itu sebenernya pacaran atau enggak, sih?”
Pertanyaan Dara membuat Naga dan Ayu berhenti saling menjaili. Naga pura-pura mencari kuas yang tadi dia lempar pada Ayu. Saat Ayu menyodorkan kuas itu, Naga nyengir. Tangannya terangkat mengusap tengkuk dengan canggung.
“Cinta emang nggak harus pacaran, kok. Tapi cewek juga butuh kepastian, Ga. Suka atau enggak, lo harus bilang. Kayaknya dulu lo blak-blakan banget nembak cewek. Kenapa sekarang jadi melempem?”
Naga melirik Ayu, saat gadis itu balik meliriknya, Naga mengalihkan pandangan. “Lo bisa nggak sih, nggak bikin malu gue, Ra?”
“Lho, kenapa lo malu? Suka sama seseorang kan bukan kesalahan. Lo boleh malu kalau lo ngelakuin kesalahan.”
Pemuda itu berbalik dan menghadap Dara. Mau tak mau, matanya kembali bertemu dengan mata Ayu. Kali ini Naga tidak lagi menghindar. Dengan nekat, pemuda itu justru menatap lekat mata cokelat gelap yang membuatnya nyaris tenggelam itu. “Masalahnya, cewek yang gue suka itu punya segalanya. Cantik, pinter, punya talenta, punya kerjaan bagus, masih bonus dari keluarga kaya. Gue...” Naga menunduk sebelum melanjutkan, “...masih berusaha naikin level gue biar pantes bersanding sama dia.”
Dara terperangah. Dia sama sekali tak menyangka, pemuda yang selama ini dikenalnya pecicilan, ternyata berpikir sejauh ini. Dia tahu Naga penuh kepercayaan diri, tetapi pemuda itu juga bisa merasa insecure di waktu yang sama. Mengabaikan Ayu yang masih membeku, Dara memeluk Naga, menepuk-nepuk punggung ringkih itu demi bisa menyalurkan setitik semangat.
Naga membalas pelukan Dara tanpa mengalihkan tatapannya dari mata Ayu. Gadis itu lantas memalingkan wajah demi menyembunyikan matanya yang berair. Naga tersenyum. Dua gadis yang bersamanya sekarang adalah muse-nya. Potret inspirasi yang terus membuatnya semangat berkarya.
Setelah Dara pamit dan keluar dari studio, Naga dan Ayu duduk bersisian dengan canggung. Ayu memainkan kuas yang dipegangnya seolah-olah tengah melukis di udara. Cat di kuas tersebut sudah mengering, cat kuning yang sama dengan yang terciprat ke rambutnya tadi.
“Gue tahu lo pengin nanya banyak hal soal yang tadi. Lo bukan tipe cewek yang suka ngambil kesimpulan sendiri sebelum tanya, tapi buat yang tadi, gue harap lo bisa simpulin sendiri.”
Canggung di antara keduanya tak juga hilang. Bahkan setelah Naga mengucapkan kalimat panjangnya, Ayu tak juga menanggapi. Naga tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di kepala gadis itu. Dia juga tidak ingin menebak-nebak. Setelah hening mengambil alih waktu di antara keduanya, Naga memutuskan untuk berdiri, berniat keluar dari studio untuk mencari udara segar. Sambil bergumam, pemuda itu berpamitan.
“Gue nggak keberatan kok nunggu sampai lo percaya sama diri lo sendiri.” Ucapan Ayu menghentikan langkah Naga, membuat pemuda itu berbalik dan kembali menghadap gadis yang kini ikut berdiri mengikis jarak mereka. “Bahkan kalau itu butuh waktu yang lama. Gue baru nggak akan nunggu lagi kalau lo yang nyuruh berhenti.”
Antara sadar dan tidak, Naga mengangkat tangan untuk menyentuh pipi Ayu, mengusapkan ibu jarinya di sana. Saat Ayu menumpukan tangannya di bawah tangan Naga, pemuda itu merasakan sesuatu mendesak-desak di dalam perutnya. Bergolak, seperti ingin mengeluarkan seluruh isinya.
**
Hari pernikahan Dara dan Dimas akhirnya tiba. Naga menatap hasil karyanya dengan bangga. Orang yang tidak mengenalnya pasti mengira dia tengah mengagumi Dara. Yah, memang sih, Dara seratus kali lebih cantik hari ini. Namun, bukan itu fokus Naga sekarang. Sudah lama sekali dia melupakan perasaannya pada Dara. Jauh sebelum akhirnya gadis itu memutuskan mau menikah dengan Dimas.
Naga menunduk demi menyembunyikan senyumnya. Barusan, pandangannya bertemu dengan Ayu yang berjalan di belakang Dara sebagai pengiring pengantin. Gadis itu tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap bagian belakang tubuh Dara. Naga berani bersumpah melihat binar kagum di mata itu. Padahal, jika diingat kembali, hubungan Ayu dengan Dara tidak pernah dekat. Ayu bahkan cenderung tidak menyukai Dara dulu.
Dada Naga menghangat. Pemuda itu ingat, Ayu berhenti tidak menyukai Dara saat Naga berkata tidak lagi menyukai Dara. Salahkah dia karena tidak pernah menyadari perasaan Ayu selama ini? Tentu tidak. Naga bahkan kesulitan menyadari perasaannya sendiri, bagaimana mungkin dia akan lebih mudah memahami perasaan orang lain?
Seluruh prosesi pernikahan Dara dan Dimas berlangsung lancar dan khidmat. Kini, seluruh tamu menikmati sajian, termasuk Naga dan Choky yang hampir kalap mencicipi semua makanan yang tersedia. Dua pemuda itu duduk mengelilingi sebuah meja bulat kecil yang ada di sudut dekat dengan photobooth. Acara makan mereka tenang sebelum Ayu datang dan mengambil tempat di antara keduanya.
“Gaun Mbak Dara jadinya bagus banget, Ga,” ucap Ayu sambil menyuapkan sepotong semangka. Mulutnya masih mengunyah semangka tersebut saat ucapannya berlanjut, “nanti kalau gue nikah, lukisin gaun gue juga ya. Gue bayar dua kali lipat dari Mbak Dara, deh.”
Naga mengernyit, lalu mendesah pelan. “Dara enggak bayar, kok. Itu hadiah dari gue.” Dengan tenang, pemuda itu menyuapkan potongan daging berlumur saus krim ke mulut Ayu. “Cobain dagingnya. Lo perlu asupan protein juga, jangan makan buah doang.”
Ayu mengerjap, lalu membuka mulutnya dan menerima suapan Naga. Sambil mengunyah, gadis itu kembali berbicara. “Beneran itu hadiah? Gila lo, ya. Itu bisa jadi barang mahal banget kalau lo jual.”
“Gue tahu, kok. Abis ini Palette juga bakal produksi masal itu gaun. Tapi enggak handmade, lukisannya.”
“Sejak kapan Palette produksi gaun pengantin juga?” Ayu kembali membuka mulut saat Naga menyodorkan sepotong daging lagi.
“Sejak Dara sama Dimas nikah,” sergah Choky. “Apa cuma gue di sini yang nggak tahu kalau kalian udah jadian?” Pemuda itu bertanya dengan kesal.
“Kita nggak pacaran, kok,” jawab Ayu dengan ekspresi innocent andalannya. “Ya kan, Ga?” Gadis itu mengerling pada Naga yang kini tersenyum kemudian menunduk dan berpura-pura sibuk memotong daging di piringnya.
“Nggak pacaran, tapi suap-suapan. Udah gitu lihat muka lo, Ga. Jijik gue lihatnya.” Choky pura-pura ingin muntah. “Ajaib kalian tuh emang. Nggak ngerti lagi gue.”
“Gue juga nggak ngerti, kok, Chok.” Naga meneguk jus jeruk di sebelah kirinya, milik Ayu, lalu mendengar protes gadis itu dan terkekeh. “Ada gitu cewek yang minta calon suaminya ngelukis gaun pengantin buat pernikahan mereka nanti?”
Choky tersedak, bukan pura-pura kali ini. Sementara Ayu, mendorong lengan Naga pelan agar menghadap padanya. Sambil tersenyum, pemuda itu menatap mata gadis yang tengah bertanya-tanya tersebut.
“Apa?” tanyanya, menanggapi pertanyaan tersirat dari Ayu. “Emang lo nggak mau nikah sama gue, nanti?”
Salah tingkah, Ayu memukul lengan kurus pemuda di hadapannya itu. Gadis itu lantas menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum. Namun sayang, senyumnya sudah telanjur melebar. Naga terkekeh melihat senyum itu. Sial, Naga merasa dadanya hampir jebol karena desakan jantung yang tidak tahu diri. Mengabaikan Choky yang masih melongo, Naga menggenggam tangan Ayu dengan berani, kemudian melanjutkan makan.
Naga tidak yakin apa yang barusan itu disebut lamaran, hanya melihat reaksi Ayu barusan sudah membuatnya senang. Dara benar. Perempuan memang butuh kepastian. Naga sudah memutuskan sejak mendengar pernyataan Ayu seminggu lalu. Pemuda itu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, jika dia melepaskan Ayu, penyesalan seumur hidup bisa jadi akan menghantuinya. Naga tidak ingin itu terjadi, tentu saja.
Setidaknya, selama ini, dia mengenal Ayu sebagai seorang teman yang terus berada di sisinya. Baik di saat Naga sedang berada di atas, maupun saat pemuda itu tengah terpuruk. Apa lagi memangnya yang dicari laki-laki selain mendapat pendamping yang bisa menemaninya melewati masa-masa bahagia sekaligus sulit?
Nanti, Naga berjanji pada dirinya sendiri, dia akan belajar tentang memahami dan mencintai perempuan yang sama selama bertahun-tahun dari Dimas. Kesetiaan dan kesabaran Dimas menunggu Dara tidak ada duanya. Naga memang tidak ingin mencintai Ayu seperti Dimas mencintai Dara. Dia hanya ingin belajar memahami Ayu dengan lebih baik dan tidak membuat kesimpulan sendiri seperti yang selalu dia lakukan selama ini.
Naga mengeratkan genggaman, hingga membuat Ayu menoleh. Saat melihat senyum di bibir Naga, Ayu ikut tersenyum dan balas mengeratkan genggaman. Tentu saja hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang. Tidak perlu menuntut, Ayu sudah berjanji akan menunggu berapa lama pun waktu yang dibutuhkan pemuda di sampingnya ini.
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE