Naga merasa hari ini sedikit tidak biasa di rumahnya. Bapak dan ibu libur jualan, sesuatu yang sangat langka dan nyaris tidak pernah terjadi. Meski tidak jualan, Bapak tetap memintanya untuk bangun pagi. Sementara itu, pemandangan tidak biasa lainnya ada di dapur. Dara yang biasanya hanya menganggap rumah ini sebagai tempat singgah, sekarang terlihat serius membantu ibu menyiapkan sarapan. Naga menarik kursi makan dengan gerakan sedikit lebih keras, kemudian membuat suara batuk yang disengaja untuk menarik perhatian Dara.
“Tumben lu jam segini di rumah?” Sambil duduk di kursi yang sudah ditariknya tadi, Naga melirik pada Dara. Seingatnya, minggu lalu gadis itu sudah bekerja di shift malam. Seharusnya minggu ini jadwal shift pagi untuk Dara.
Dara meletakkan sepiring tempe goreng tepung di meja, tepat di hadapan Naga. “Hm, gue mau resign.”
Tangan Naga mengambang di atas piring berisi tempe goreng, kemudian perlahan tertarik kembali, urung mengambil makanan di hadapannya tersebut. Dengan tergesa, anak itu memutar tubuhnya demi bisa menghadap Dara yang sudah kembali di samping ibu. “Hah? Kenapa resign?”
Belum sempat Dara memberi jawaban, ibu sudah lebih dulu memukul pelan lengan Naga. Tentu saja dia ingin mengeluh, tapi kemudian, tatapan ibunya membungkam keluhan yang sudah di ujung mulut tersebut.
“Sarapan dulu, nanya-nanya kayak gitu pamali di meja makan.”
Naga tidak pernah bisa membantah perkataan orang tuanya. Begitu pula dengan ucapan ibunya kali ini. Anak itu menurut dan makan dengan tenang, meski hatinya dipenuhi jutaan pertanyaan. Dara yang ingin keluar dari pekerjaannya mengusik ego dalam diri Naga. Anak itu merasa Dara tidak bersyukur telah memiliki pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Apa dia tidak memiliki keluarga yang perlu dibantu keuangannya? Apa dia dari keluarga berkecukupan sampai berani mengambil keputusan seperti itu?
Begitu selesai makan, Naga segera menarik Dara keluar dari rumah. Dia tidak bisa leluasa menginterogasi perempuan itu jika berada di satu tempat yang sama dengan orang tuanya. Sementara, rasa penasaran sudah memenuhi kepalanya dan siap meledak jika tidak segera dituntaskan.
“Sekarang, bilang sama gue. Kenapa lo mau resign?” Naga membawa Dara hingga ke bawah pohon randu, tempat mereka bertengkar tiga hari lalu. “Lo nggak jadi perek simpanan pejabat, kan?”
Dara memejam, kemudian menghela napas dalam-dalam. “Sampai kapan lo mau anggap gue kayak gitu? Pipi lo masih sanggup ditampar sekali lagi?”
Naga meringis. Filter dalam mulutnya memang terkadang lepas begitu saja. Sering kali, egonya yang berbicara lebih dulu dan mengatakan semua hal dalam kepalanya. Saat ini, Naga tidak bisa memikirkan hal lain yang mungkin bisa menjadi alasan Dara keluar dari pekerjaannya. Bagi Naga yang tidak memiliki pekerjaan, menjadi kasir jauh lebih menjanjikan daripada harus mengamen dari satu kafe ke kafe yang lain seperti yang selama ini dia lakukan. Dia juga tidak ingin mengatakan hal buruk tentang Dara, tapi pada akhirnya, Naga tidak sanggup mengendalikan pikirannya sendiri.
“Dara!”
Belum sempat Dara memberikan jawaban yang membuat Naga bisa menerima keputusan gadis itu, seseorang kembali menginterupsi mereka. Naga menghela napas, berusaha menahan diri untuk tidak langsung mengumpat ketika tahu siapa laki-laki yang baru saja memanggil Dara. Meski kesal sekali, setidaknya, di area rusun ini, Naga harus bisa menjaga nama baik orang tuanya.
“Oh, Dimas?”
Naga hanya memperhatikan saat Dara menelengkan kepala dan terkejut karena kehadiran laki-laki bernama Dimas itu di sini. Bagus! Itu artinya mereka memang tidak ada rencana untuk bertemu di tempat ini. Naga menyeringai tipis, membiarkan asumsi liarnya menurun perlahan.
“Ngapain ke sini? Kan kita janjiannya masih sejam lagi.”
Gestur yang diberikan Dara sangat jauh berbeda dengan kalimatnya barusan. Gadis itu tersenyum lebar, menanggalkan ekspresi terkejut yang hanya muncul beberapa detik tadi. Anehnya, hal itu tidak membuat Naga marah atau kecewa. Naga yang biasanya, pasti akan marah jika ekspektasinya tidak terpenuhi.
“Sekarang aku ke sini buat ketemu sama Naga dan orang tuanya, bukan buat jemput kamu.” Jawaban Dimas mau tak mau menarik perhatian Naga.
“Buat apa lo nyariin gue?” sahut anak itu ketus.
“Bapak sama Ibu ada di rumah, kan? Gimana kalau kita ngobrolnya di rumah aja, sekalian ketemu sama orang tua lo?”
**
Akhirnya Naga tahu, alasan orang tuanya tidak berjualan hari ini. Dia juga akhirnya mengerti, hal tidak biasa yang terjadi di rumahnya hari ini karena Dara dan Dimas. Laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai CEO Palette, perusahaan merek sepatu lokal yang sebenarnya sangat ingin Naga hindari. Naga jelas tidak memiliki keinginan untuk kembali terlibat dengan perusahaan tersebut. Namun, melihat hari ini CEO-nya datang langsung seperti ini, membuat Naga harus mempertimbangkan kembali semuanya.
“Mewakili perusahaan, saya pengin meminta maaf secara langsung sama Naga serta Bapak dan Ibu. Kami tahu, permintaan maaf ini sudah sangat terlambat dan mungkin Naga juga nggak bersedia memaafkan. Tapi izinkan saya menebus semua kesalahan itu dengan menawarkan posisi yang dulu diinginkan Naga di Palette.”
“Bapak sama Ibu nggak bisa memutuskan soal ini. Semuanya terserah sama Naga. Kami hanya bisa mendukung semua keputusan Naga, apa pun itu.”
Naga menghela napas. Sejujurnya, dia juga ingin ditekan seperti anak-anak lain. Orang tuanya terlalu memanjakan Naga selama ini, tentu saja Naga tahu. Bukan dia tidak bersyukur karena menerima semua perlakuan manis dari orang tuanya. Namun, Naga tahu dirinya tidak seperti yang diharapkan orang tuanya selama ini. Bapak selalu menganggap Naga adalah sosok dewasa yang pasti bisa memutuskan yang terbaik untuk hidupnya sendiri. Pada kenyataannya, karena terbiasa dimanjakan, Naga bahkan tidak sempat memikirkan hal terbaik itu. Dia membiarkan hidupnya mengalir begitu saja, tanpa tekanan, tanpa rintangan, tanpa tujuan.
Anak itu melirik Dara yang ternyata juga tengah menatapnya terang-terangan. Sejak mengenal gadis itu, hidup Naga yang semula lurus, berubah jadi sedikit berkelok-kelok. Naga tidak terbiasa dengan penolakan. Karena itu, penolakan Dara menjadi kelokan yang membawanya pada kelokan-kelokan yang lain. Tentang Palette, Naga sebenarnya sudah mengubur impiannya menjadi desainer dalam-dalam sejak ‘pengkhianatan’ yang disebut Dimas sebagai sebuah ‘kesalahpahaman’ itu. Namun, Dara kembali mengorek luka lama itu dan menawarkan tangan untuk Naga gapai tepat di saat anak itu sudah nyaris tenggelam.
Dara menolongnya di saat yang tepat. Seberapa pun Naga memungkirinya, itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Namun, egonya yang tinggi lagi-lagi menolak pertolongan itu. Naga menepis tangan yang terulur di hadapannya itu dengan keras.
“Gue nggak tahu tujuan lo apa dengan nawarin pekerjaan ini.” Naga mengangkat kepalanya congkak, memandang lurus pada Dimas yang sama sekali tidak terlihat terganggu dengan kalimat yang baru saja didengarnya. “Lo sendiri tahu, betapa terlambatnya kalian melakukan ini. Gue nggak yakin lo nawarin gue pekerjaan semata-mata karena rasa bersalah kalian. Kalau lo bilang ngelakuin semua ini demi Dara, justru gue bakal lebih percaya.”
“Dari mana lo bisa bikin kesimpulan kayak gitu?”
Mendengar Dimas yang akhirnya memutuskan untuk bicara dengan lebih santai, Naga menyeringai tipis. “Gue bukan orang bego yang bakal jatuh ke lubang yang sama dua kali.”
“Maksud lo apa?” sergah Dara. Hm, Naga terkekeh melihat alis Dara yang nyaris bertaut. “Lo pikir, Palette bakal ngejebak lo buat ngasih ide baru, gitu?”
“Bukan gue yang ngomong, ya.”
Dara sudah hendak berdiri dan mengangkat tangannya untuk menampar Naga, tapi Dimas menahannya. Lelaki itu menahan tangan Dara, kemudian menghela napas panjang sebelum berbisik, “please, don’t make any scene.”
“Gue pernah kehilangan ide karena hal yang kalian bilang ‘kesalahpahaman’ itu. Wajar dong, kalau sekarang gue nggak bisa memercayai kalian lagi?”
Dimas tersenyum menanggapi kalimat Naga barusan. Jenis senyuman yang membuat lawan bicaranya segan dan mau tidak mau jadi menjaga sikap. Naga berdeham demi menyembunyikan rasa groginya. Dia yang cowok saja bisa merasa berdebar-debar melihat senyum Dimas, apalagi Dara yang cewek.
“Sangat wajar, Ga. Semuanya emang salah gue. Seharusnya waktu itu kami bisa crosscheck sejak awal, bukannya langsung setuju hanya karena melihat presentasi Bintang yang tajam dan meyakinkan. Tapi, Ga, sampai kapan memangnya lo mau terus hidup di masa lalu? Gue nggak minta lo buat langsung memaafkan gue dan Palette. Gue juga nggak minta lo buat langsung setuju dan nerima tawaran gue.”
Naga terkesiap. Secara halus, Dimas seolah mengatakan padanya bahwa semua yang terjadi di masa lalu bukan hanya salah Palette. Ada andil kesalahan juga dari Naga yang seharusnya anak itu sadari sejak awal. Dimas menghakiminya. Untuk semua kesalahan yang memang Naga lakukan, Dimas memaksa Naga membuka mata dan menerima. Namun, anehnya, kalimat Dimas sama sekali tidak membuat Naga tersinggung.
Dimas lantas mengeluarkan sebuah kartu nama dan meletakkannya di meja. Lelaki itu menyorongkan kartu namanya hingga berada tepat di hadapan Naga. “Lo boleh mikirin tawaran gue sampai bener-bener yakin. Lemme know, kalau lo udah bikin keputusan. Apa pun itu, gue bakal menghormatinya. Sama kayak orang tua lo, gue menyerahkan semua keputusan pada lo. Pasti lo tahu kan, orang tua lo melihat lo sebagai orang dewasa yang bisa dengan bijak ngambil keputusan?”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE