Naga merokok di bawah pohon randu, tempat favoritnya untuk menggalau. Kedua orang tuanya belum pulang dari warung. Begitu pula dengan Dara. Dirinya sendiri sudah berada di rumah karena Choky memiliki deadline pekerjaan yang harus diselesaikannya malam ini juga. Sebagai teman yang tahu diri, Naga tentu tidak ingin menyita waktu Choky yang berharga hanya untuk mendengarnya berkeluh kesah.
Sudah hampir satu jam pemuda itu duduk di sana. Tadinya dia ingin membuat lagu baru, tabungannya harus segera diisi kembali. Namun, gitarnya malah hanya tergeletak begitu saja. Otak Naga terasa kosong. Perasaan suka yang sebelumnya dia rasakan menggebu-gebu pada Dara, sejak beberapa hari lalu seperti menguap tanpa sisa. Sebagai gantinya, kalimat tidak masuk akal yang dia lontarkan secara iseng pada Ayu waktu itu terus-terusan terngiang.
“Lo kesambet apa gimana, sih?”
Naga tersenyum saat mendengar suara Ayu yang menghardiknya kembali terdengar. Sejak waktu itu, Naga sudah mendengar pertanyaan dengan nada sinis itu berulang kali seperti lagu yang sengaja diputar dalam mode repeat.
“Kira-kira dong, Ga, kalau mau bercanda, tuh. Capek gue lama-lama main sama kalian.”
Ini bukan kali pertama Ayu ngambek karena dijaili oleh Naga maupun Choky. Namun, sepertinya kali ini Ayu benar-benar marah. Naga tidak tahu karena memang tidak pernah mencari tahu. Selama ini, jika Ayu atau Choky tidak menghubunginya lebih dulu, Naga juga tidak akan menghubungi mereka. Kecuali jika dirinya butuh bantuan atau memang dalam keadaan darurat.
Jika dipikir-pikir lagi, benar kata Ayu. Hubungan mereka lebih cocok dikatakan sebagai rekan kerja, alih-alih sahabat.
Naga kembali tersenyum. Kepalanya mendongak, menatap jauh ke langit yang saat ini terlihat gelap dan polos. Langit seperti ini sering kali disalahpahami oleh manusia, dianggap akan turun hujan atau malah akan datang badai. Sama seperti Naga. Cemerlang, baik, kesayangan dosen. Hampir semua mahasiswa yang mengenalnya di kampus dulu menganggap Naga memiliki seribu privilese yang bisa memuluskan jalan kariernya.
Pemuda itu mengisap rokoknya dalam, sebelum akhirnya mengempaskan batang penuh nikotin itu ke tanah dan menginjaknya. Matanya kemudian memejam, berusaha menggali semua hal yang tidak pernah dilihat orang pada dirinya.
Pasif, terlalu takut mengambil risiko, insecure.
Tiga hal yang memengaruhi nyaris semua aspek dalam hidupnya hingga hari ini, termasuk di antaranya mengenai perasaan. Sejak pertama kali mengenal Ayu, Naga menekankan benar-benar dalam dirinya. Bikin batasan, jangan sampai jatuh cinta. Karena itu, selama ini dia tidak pernah benar-benar melihat Ayu sebagai perempuan. Batasannya sudah jelas, jadi teman saja, jangan lebih.
Naga cukup tahu diri, jarak levelnya dengan Ayu sangat jauh. Bukan berarti dia tidak pernah memiliki perasaan pada gadis itu. Ada masanya Naga tidak bisa mengendalikan perasaannya pada Ayu. Salah satunya, beberapa waktu lalu. Pemuda itu terkejut karena sanggup mengucapkan kata-kata yang selalu dia hindari sejak bertahun-tahun lalu.
“Lo ngapain di sini?”
Bayangan Ayu seketika lenyap dari kepala Naga, berganti dengan wajah Dara yang tengah mengernyit. Gadis itu menenteng dua termos nasi besar di kedua tangannya. Sementara itu, Ibu berdiri di sampingnya dengan bawaan yang tak kalah banyak. Naga lekas berdiri, menghampiri ibunya, lalu mengambil alih semua bawaan sang ibu. Perlakuan itu membuat ibunya tersenyum, kemudian mengusap kepala Naga penuh sayang.
“Heh! Punya mulut nggak, sih?”
“Apa sih, Ra?” Kini, Naga dan Dara berdiri saling berhadapan. “Harus banget ya, gue jawab pertanyaan lo? Suka-suka gue lah, mau ngapain kek, di sini.”
Dara menghela napas, kemudian melongok ke arah gitar dan rokok Naga yang masih teronggok di bangku kayu di bawah pohon randu. “Gue mau ngomong sama lo, abis ini.”
“Besok aja ngobrolnya.” Bapak menghentikan motornya perlahan saat melewati Naga dan Dara yang masih berhadapan. “Mbak Dara pasti capek, baru juga pulang kerja.”
Mendengar itu, Dara tersenyum. “Nggak apa-apa, Pak. Sebentar, kok, nggak lama.”
“Ya udah, kalau gitu biar termosnya Bapak yang bawa masuk, ya. Kalian ngobrol aja sekarang, daripada bolak-balik, kan.”
Naga menghalau tangan Bapak yang mau mengambil alih termos dari pegangan Dara. “Nggak perlu, Pak. Nanti biar Naga yang ngurusin. Bapak masuk aja dulu, terus istirahat.”
Gurat lelah di wajah bapaknya, membuat Naga semakin diliputi perasaan bersalah. Hingga saat ini, dia bahkan belum memiliki gambaran pekerjaan yang bisa dipakainya untuk menopang kehidupan dan masa depannya. Naga juga tidak yakin dengan langkah yang diambil Ayu untuk Nokturnal. Selama ini, Naga hanya menganggap Nokturnal sebagai hobi dan sarana untuk bersenang-senang. Jika tiba-tiba Nokturnal menjadi mata pencaharian tetapnya, Naga tidak yakin mereka sanggup bertahan lama di dunia hiburan.
“Mau ngomong apa?” Naga mendahului Dara, duduk di bangku yang sudah didudukinya sejam terakhir. Tangannya dengan cekatan menyalakan rokok dan menyesapnya dalam.
Melihat Dara yang ragu-ragu duduk di sampingnya membuat Naga kembali merasakan ada kembang api yang menyala di hatinya. Keberadaan Dara di dekatnya, membuat pemuda itu yakin jika perasaannya pada Ayu hanya rasa kagum sesaat.
Siapa memangnya yang tidak kagum pada sosok perempuan seperti Ayu? Orang tuanya kaya, tetapi dia berhasil membuktikan dirinya bisa bersinar tanpa embel-embel nama keluarga. Ayu adalah satu dari sedikit orang yang mau mengakui privilese yang dia miliki dan memanfaatkannya dengan baik. Tidak sekali dua kali Naga merasa iri pada Ayu. Selama ini, Ayu adalah satu-satunya orang yang benar-benar memperjuangkan Nokturnal agar memiliki masa depan cerah. Sesuatu yang tidak bisa Naga lakukan untuk dirinya sendiri.
Naga mengernyit, Dara tidak lekas bicara seperti yang diinginkannya tadi. Gadis itu justru sibuk memilin ujung kemeja seragamnya yang sedikit kusut. Wajahnya tampak bimbang. Naga bisa merasakan kegelisahan yang menguar dari pancaran ekspresi gadis di sampingnya itu. Tak ingin membuat Dara merasa semakin tidak nyaman, Naga memilih untuk berbicara lebih dulu.
“Hari ini gue mixed feeling banget. Ayu sama Choky sukses nampar gue bolak-balik. Pas gue pulang, nyampe rumah Milky udah nggak ada. Harusnya gue seneng, ya, karena nggak perlu tidur di tempat Mas Sakti lagi? Tapi anehnya gue malah sedih. Selama beberapa hari terakhir, Milky satu-satunya yang dengerin keluhan gue tanpa bales ngehakimi. Ya sih, dia meang-meong, tapi gue yakin maksudnya bukan buat nge-judge gue.” Pemuda itu terkekeh.
Curhat bersama Milky yang Naga maksud adalah: Milky di dalam kandangnya di depan kamar yang ditempati Dara, sementara Naga ada di kamarnya sendiri. Kadang sambil melukis, lebih seringnya sambil rebahan. Pintu kamarnya sengaja dibuka agar bisa mendengar suara Milky yang mengeong nyaring. Naga tidak tahu arti suara Milky, apakah dia lapar, atau haus? Naga tidak ingin tahu. Sesuai perjanjian, pemuda itu tidak akan menyentuh Milky. Alasan utama tentu karena alerginya, yang selanjutnya karena Naga tidak ingin tercipta ikatan antara dirinya dengan kucing itu. Baru begini saja dia sudah melow saat tidak melihat Milky di rumah tadi.
“Iya, Milky gue anterin ke pemiliknya. Nggak enak gue kalau lama-lama bawa dia di rumah lo.” Dara kembali diam, kemudian berdeham tak lama kemudian. “Ga, kalau misalnya Palette mau nerima lo kalau lo ngelamar lagi, apa lo mau apply CV lagi ke sana?”
“Hah, gimana?”
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE