“They said, love is blind. Oh, Baby, you so blind.”
—G-Dragon, That XX—
**
Seperti yang sudah Dara perkirakan sebelumnya, membujuk Dimas adalah perkara mudah. Dara membawa Milky bersamanya saat berangkat menemui Dimas di apartemen pemuda itu. Sebenarnya dia suka berdekatan dengan Milky, tetapi tempat tinggalnya sekarang tidak mendukung untuk terus memelihara kucing jenis American shorthair itu. Dara terkekeh saat mendengar Milky mengeong seolah merespons pikirannya.
“Tinggal sama Papi Dimas lebih enak, Mil. Nanti deh, kalau Mami udah nggak numpang di rumah Om Naga, kamu ikut Mami lagi.” Dara tertegun. Bukan karena kebiasaannya berbicara dengan Milky yang membuat sopir taksi online yang ditumpanginya terang-terangan menatap dengan tatapan aneh lewat spion depan. Namun, panggilan Mami-Papi yang tidak sengaja Dara ucapkan membuat wajahnya memanas.
Selama ini, Dara selalu mengatai Dimas alay karena membiasakan Milky memanggilnya Papi dan memanggil Dara dengan sebutan Mami. Namun, kenapa sekarang Dara malah bertingkah seolah-olah dia setuju dengan pemberian nama panggilan tersebut. Seolah-olah, gadis itu menyetujui ide Dimas menjadikannya Mami Milky.
“Gue pasti kelamaan tidur tanpa AC,” gumamnya frustrasi.
Sepanjang perjalanan, Dara terus memikirkan alasan yang membuatnya menolak Dimas. Sejauh apa pun ingatannya menelusuri isi kepala, Dara tidak ingat pernah menolak Dimas. Tidak menolak dan tidak menerima, tepatnya. Dara tak habis pikir, apa yang membuat Dimas merasa yakin untuk terus bertahan di sisinya. Status yang tidak jelas, usia yang kian bertambah, seharusnya bisa menjadi alasan untuk Dimas menyerah. Namun, lelaki itu tidak melakukannya.
Tidak satu pun pertanyaan di kepala Dara yang terjawab bahkan hingga dirinya tiba di apartemen Dimas. Lelaki itu menyambutnya dengan kening berkerut. Apa kini ekspresi Dara mengatakan semua pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dalam kepalanya?
“Bisa jelasin kenapa itu bibir dimanyun-manyunin?” Dimas meraih Milky yang sudah Dara keluarkan dari kandangnya. Kucing cokelat itu mengeong, mengendus-endus wajah Dimas, lalu menjilat pipinya beberapa kali. Dimas meringis, lalu memutuskan untuk melepas Milky. Kucing itu segera berlari mengejar Dara yang tengah menuangkan dry food ke dalam tempat makan bulat berwarna hijau.
Setelah mengelus kepala Milky, Dara gegas duduk di sofa bersisian dengan Dimas. “Enggak, tadi lagi mikir sesuatu aja.”
“Jadi, ada masalah apa sampai kamu nanyain berkas lama? Kamu tahu kan, saat ini posisimu bukan lagi salah satu staf direksi. Nggak semudah itu buat ngasih berkas informasi pribadi karyawan.” Dimas mengesampingkan rasa penasarannya dan memilih fokus pada tujuan awal pertemuan mereka.
“Mantan calon karyawan,” ralat Dara. “Dia nggak kerja di tempat kita, jadi itu bukan lagi informasi rahasia perusahaan.”
“Justru karena dia nggak jadi kerja di Pallete makanya informasi pribadinya nggak boleh disebar-sebarin.” Dimas menjentikkan jemarinya ke dahi Dara, membuat gadis itu menjerit tertahan. Lelaki itu malah tertawa melihat bibir Dara yang semakin manyun.
“Nggak boleh nih, jadinya?” Dara berdiri, lalu mengambil tasnya di meja. “Ya udah kalau gitu, aku pulang.”
Sebelum gadis itu sempat melangkah, Dimas sudah menahan tangannya lebih dulu. Dengan satu sentakan, Dimas membuat Dara duduk di pangkuannya. “Aku nggak bilang gitu, jangan suka bikin kesimpulan sendiri,” bisiknya.
Dara tertegun. Untuk beberapa saat, gadis itu seolah tidak sadar sedang berada di dalam kungkungan lengan seorang laki-laki. Suara degup jantung Dimas yang seperti memukul-mukul rongga dada itu membuat Dara tersadar. Dengan panik, gadis itu melepaskan diri dari pelukan yang memang sudah dilonggarkan oleh Dimas. Sedikit bertanya-tanya, bagaimana bisa suara degup jantung manusia terdengar begitu keras hingga ke telinga orang lain? Dara yakin sekali itu bukan degupan miliknya. Jantungnya bersuara normal, hanya milik Dimas yang tidak.
“Aku bakal kasih apa pun yang kamu minta, selama kamu bisa kasih alasan yang tepat. Bukannya selama ini kayak gitu?”
Dimas terlihat biasa saja, Dara masih tidak habis pikir, bagaimana lelaki itu bisa menyembunyikan rasa gugupnya? Dara mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Dimas. Tangannya bergerak spontan untuk menyentuh dada kiri lelaki itu. Gadis itu tetap merasa terkejut saat detak jantung Dimas menyapa telapak tangannya.
“Kamu kenapa, sih?”
Sambil menelan ludah, Dara nekat menatap mata Dimas. “Kamu sakit, Dim?” Gadis itu kembali fokus mendengar detak jantung Dimas seperti seorang dokter. “Apa detak jantung orang normal sekeras ini? Dari jarak segini aja aku bisa denger, lho.”
Dimas masih mengerutkan keningnya saat matanya kembali bertemu dengan mata polos Dara. Gadis itu menarik tangannya, kemudian menggerutu saat Dimas tertawa, menertawainya.
“Kenapa tiba-tiba ngomongin jantung, sih?” Dimas memiringkan tubuhnya hingga mereka kembali berhadapan. “Kira-kira, jantungmu bunyinya sekeras itu juga, nggak?”
Tanpa sadar, Dara mengangkat tangan untuk menyentuh dadanya sendiri. Kemudian menggeleng dan menjauhkan tangannya. “Oke, fokus. Apa tadi kamu bilang? Alasan yang tepat?” Dara mengelus dagunya, berpura-pura berpikir, mengabaikan seringai di bibir Dimas yang entah mengapa membuatnya kesal.
“Hm, alasan. Buat apa kamu nanyain soal Bintang? Apa kalian ketemu lagi akhir-akhir ini?”
Dara menggeleng sebagai jawaban pertanyaan terakhir. “Bukan Bintang, aku ketemu sama orang yang bisa jadi berhubungan sama Bintang dan idenya tentang desain tie dye.”
Dahi Dimas kembali berkerut. “Itu kan udah lama banget, Ra.”
“Justru karena itu. Aku mau mastiin sesuatu.” Dara mengeluarkan sebuah USB. Sebelum mengembalikan CD presentasi Naga ke tempatnya semula, Dara sudah menyalin isinya ke USB itu. “Laptopmu mana?”
Dimas berdiri untuk mengambilkan laptop yang diminta. Kemudian bersedekap sambil memerhatikan gadis di sampingnya itu menancapkan USB ke tempatnya. Beberapa saat berlalu hingga sebuah slide Power Point muncul di layar.
“Ini file presentasi punya orang yang tadi kubilang ‘mungkin’ ada hubungannya sama Bintang. Dia pernah ngelamar di Pallete dengan presentasi ini, tapi ditolak.”
“Pantes ditolak....”
“Yap. Presentasinya ngebosenin. Tapi bukan itu yang mau kutunjukin.” Dara langsung membuka video presentasi di slide paling akhir. “Coba perhatiin video ini, terus bilang ke aku apa yang kamu pikirin.”
Beberapa menit berlalu dengan suara Naga dari dalam video yang mendominasi. Di menit kelima, Dimas mengumpat. Dara susah payah menahan senyumnya. Dimas pasti mengingat sesuatu dari video ini.
“Kamu kenal anak ini di mana?”
“Dia anak Pak Mahdi.” Jawaban Dara sontak membuat Dimas membelalakkan mata. “Nggak percaya, kan? Aku juga awalnya.”
Dengan gusar, Dimas berdiri dan berjalan masuk ke kamarnya. Tak berapa lama, lelaki itu kembali keluar dengan sebuah map cokelat di tangannya. Beberapa kertas tampak menyembul dari map tersebut. Sambil kembali duduk di samping Dara, Dimas membaca beberapa informasi dasar dari Bintang.
Dara juga tak membuang waktu. Dia segera mengeluarkan beberapa informasi dari berkas milik Naga yang berhasil dia foto. Ijazah, piagam, hingga curicullum vitae yang terlihat sedikit kusut di fotonya.
“Bintang kuliah di IKJ, fakultas seni rupa, lulus sekitar tahun 2020, magang di tempat kita sebelum dia lulus.” Dimas mengalihkan pandangannya ke laptop yang menampilkan foto ijazah Naga. “Sastra Nagara, fakultas seni rupa IKJ, lulus pertengahan 2018.” Lelaki itu beralih membaca tanggal di foto CV yang ditampilkan Dara. “Ngelamar di Pallete paruh terakhir 2019.”
“Bulan apa Bintang masuk ke Pallete?”
Dimas membolak-balik berkas di tangannya. “Hanya berselang tiga bulan dari tanggal cowok itu—”
“Namanya Naga,” potong Dara.
“Ah, oke. Tiga bulan setelah Naga diwawancara, Bintang masuk ke Pallete. Terus, sebulan kemudian dia ngasih video presentasi tie dye kanvas itu ke tim kita.” Lelaki itu menggaruk rambutnya asal. “Kamu bisa pastiin, mereka saling kenal atau enggak?”
“Akan kuusahain.” Dara menunduk, memainkan ujung kausnya. “Aku ngerasa bersalah sama dia. Sampai sekarang dia nggak kerja, milih main band. Dia pasti ngerasa dikhianati karena idenya kita pakai dan rilis secara komersil.”
“Kamu mau aku bantuin dia masuk Pallete?”
Dara mengerjap. Apa sekarang Dimas memiliki kemampuan membaca pikiran?
Nggak ada notifnya
Comment on chapter TWICE