Saat sedang mencoba gaun pengantin, aku melihat seseorang di dalam cermin. Ia adalah diriku sendiri, seperti menjelma menjadi orang yang terasing. Gaun yang dipenuhi renda, glitter, dan tule itu membalut badanku seutuhnya. Membalut ragaku yang sudah mati sejak lama dan perlahan-lahan membangkitkanku kembali dari mati suri. Aku serasa hidup kembali dan entah mengapa aku lebih siap menanggung konsekuensi lainnya yang mungkin akan terasa lebih gelap.
Di luar bilik ganti, aku berhadapan dengan calon suamiku. Kami sama-sama menatap diri kami di dalam cermin yang besar dan kami dapat menangkap bayangan kami dengan penuh keharuan. Setelah membayar biaya sewa, kami pun pergi meninggalkan wedding house itu. Dia menggandeng tanganku dan pergi menuju tempat idenya. Sejujurnya, aku sangat penasaran ke mana tempat yang akan kami tuju selanjutnya. Namun, dia hanya menjawab bahwa dia ingin menyembuhkan luka yang telah bersemayam lama di dalam diriku.
Kami tiba di Jl. R.E.E Martadinata No. 11. Aku tidak tau kenapa ia membawaku ke sini. Namun, firasatku segera menunjukkan perasaan tidak enak. Ketakutan segera menggelayutiku untuk beberapa waktu yang terasa menyiksa. Tanpa sadar aku meronta. Aku tidak gila.
“Hei. Bukan kamu yang gila,” bisiknya.
Aku terus menatap calon suamiku itu dengan penuh tanda tanya.
Setelah dia berbincang-bincang dengan petugas resepsionis, seorang suster membawa kami ke taman belakang. Kami berjalan melalui lorong yang panjang dan berlika-liku. Di taman yang hijau dan lengang itu, sang suster membawa kami untuk mendekati seseorang yang duduk di sebuah kursi roda. Aku menatap suster dan calon suamiku itu dengan tatapan ragu-ragu. Dari belakang, aku tidak mengenali sosok pria yang duduk di kursi roda itu.
Namun, saat aku memandang wajahnya, aku segera terkesiap.
“Aksara?”
Kulihat wajahmu hancur lebur. Aku bahkan nyaris tidak mengenalimu lagi. Pipimu tirus dan cekung. Salah satu matamu tidak sanggup memandangku dan tertahan oleh selaput. Di sekujur tubuhmu, terdapat bekas luka bakar yang pernah sangat parah. Kakimu pincang. Jari-jemari yang pernah sangat kuat itu kini kaku. Kamu terlihat sangat menyedihkan.
Kemudian aku menangis tanpa suara.
*
“Kami menerima Aksara di RSJ ini sejak tujuh bulan yang lalu. Keluarganya menyerahkannya kemari. Menurut keterangan keluarga, kecelakaan yang merengutnya di Kalimantan saat sedang tugas telah membuatnya mengalami luka bakar derajat III. Proses pemulihannya pun bertahun-tahun. Setelah luka bakarnya sembuh, Aksara tidak mampu mengenali dirinya sendiri. Dia juga tidak pernah berbicara. Dia hanya terdiam seakan-akan jiwanya telah mati. Dia juga tidak berminat untuk melakukan apa pun,” terang sang perawat yang bernama Maria.
“Jadi Aksara nggak hilang di Kalimantan?” tanyaku spontan.
“Saya kurang tau persis gimana ceritanya, Mbak. Tapi, selama Aksara menanggung luka bakar yang luar biasa, Aksara sempat di rawat berbulan-bulan di rumah sakit. Beruntung dia masih selamat dan menjalani proses pemulihan yang sangat panjang sampai benar-benar pulih.”
“Lalu gimana dengan keluarganya?”
Wajah perawat itu memandangku ragu, “Hmm, kalau tidak salah empat bulan yang lalu, ayahnya meninggal dunia karena kanker hati. Kemudian ibunya pindah ke Surakarta. Pria malang itu dititipkan di sini sendirian, tanpa ada walinya yang menjenguk secara rutin.”
Dadaku tiba-tiba sesak.
“Oh, iya, Mbak Lenna. Sudah lama sekali ibunya pernah menitipkan sesuatu untuk Mbak. Tunggu sebentar, ya?” perawat itu kemudian pergi meninggalkan ruangan. Sesaat kemudian, dia membawa sebuah amplop dan menyerahkannya kepadaku. Aku menatap Aslan dengan ragu namun dia memintaku untuk membukanya dengan lapang dada.
Sebuah surat cinta, sepertinya ditulis dengan jemari yang bergetar hebat.
Dear, Lenna
Terima kasih telah memikirkan saya untuk waktu yang lama. Saat kamu membaca surat ini dan entah saya masih hidup ataupun telah mati, kamu harus berbahagia. Dan itu adalah bersama orang lain, bukan bersama saya. Saya akan selalu ingat, kamu pernah bilang satu hal kepada saya, bahwa kelak idealisme saya bisa menghancurkan saya. Sekarang saya sedang menanggungnya, Lenna. Kamu tidak boleh begitu.
Terakhir, sampaikan salam hormat saya untuk Mama dan Papamu. Sampaikan salam hormat saya untuk suami atau calon suamimu. Berbahagialah, Lenna. Hiduplah dengan akhir yang bahagia, seperti yang Mamamu selalu tuliskan di buku dongengnya dulu.
-A-
Pada akhirnya, orang-orang seperti kami akan sibuk menangkap momen. Orang-orang seperti kami akan mengingat setiap detail dengan sempurna. Setiap garis, siluet, hingga jeda yang muncul dalam setiap momen akan menjadikannya begitu sangat penting. Setiap detik yang berlalu menjadikannya sesuatu yang spesial, yang berwarna. Kami menangkap momen itu dan kami tidak ingin tertinggal sedetik pun. Kilasan peristiwa demi peristiwa menjadikan hidup ini unik dengan caranya sendiri. Tidak ada yang perlu disesali. Semua hal itu telah tercetak dengan sempurna. Sekarang adalah saatnya mencari momen lain untuk ditangkap. Momen untuk dinikmati pahit dan manisnya.
Seketika beban menahun dalam diriku terangkat oleh tangan-tangan perkasa.
***