Tahun sudah berganti dan bumi semakin renta. Papa duduk di sana dengan tatapan menunduk dalam. Kemudian dengan lantang, Yang Mulia Hakim membacakan hasil akhir persidangan. Delapan tahun penjara. Suara ketukan palu kemudian terdengar membahana. Papa kemudian dibawa oleh beberapa petugas. Sekilas dia melihatku dan kembali berjalan. Kuanggap itu adalah ucapan selamat tinggal.
Saat aku bangkit dan berbalik, aku mendapati Luna sedang berdiri dan menatapku. Kakakku. Rambut coklatnya pendek sebahu, memakai kemeja putih dan rok batik panjang warna biru dongker serta sepatu sendal. Ada kekuatan magis darinya yang membuatku berjalan menghampirinya.
“Lenna, aku menonton apa saja yang kamu lakukan. Kamu adikku yang luar biasa.”
“Luna?”
“Kita terlahir dari orang tua brengsek. Tapi setidaknya, mereka tau apa yang mereka inginkan. And love is full of consequences.”
“Kamu ke mana aja?”
“Kenapa kamu pura-pura bodoh? Kenapa kamu nggak ikut kabur?” balasnya.
“Oh… ya ampun,” aku hanya geleng-geleng kepala. “Kamu sudah tahu ini dari lama dan kamu menyembunyikannya dariku, kan?”
Aku tercenung cukup lama sampai ketiga kawanku, Maia, Yuka, dan Ian berlarian memelukku di ruang sidang. Tidak lama kemudian, Luna angkat kaki dan pergi kembali untuk yang kedua kalinya. Punggungnya menghilang di balik pintu. Bahkan lidahku kelu untuk memintanya agar tidak meninggalkanku sendirian kembali.
*
Mama menatapku dan kami sama-sama menyadari bahwa kami terjebak di dalam masa-masa sulit. Kini kami hanya bertahan berdua. Sesuatu dalam diriku kemudian berubah menjadi lebih lunak. Mama kemudian merentangkan tangannya, menepuk kedua pahanya, kanan dan kiri, dan memintaku untuk berbaring di sana walau sekali saja.
Kemudian aku berbaring dengan ragu.
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Nggak apa-apa,” balasnya.
“Benar nggak apa-apa?”
Kemudian Mama menceritakan bagaimana perasaannya saat menerjang hawa dingin sendirian di rumah mendiang Ibu Tresna. Kemudian dia mengungkapkan rasa syukurnya bahwa rasa dingin itu berhasil mendinginkan otaknya dari rasa-rasa terbakar yang tidak masuk akal. Mama juga mengutarakan bagaimana hamparan kebun teh sebelum matahari terbit seutuhnya menjadi sebuah obat. Hamparan hijau itu mengubah cara pandangnya menghadapi kehambaran yang menahun.
“Len,” panggilnya.
“Hm?”
“Di akhir perpisahan Mama dengan Aldric puluhan tahun yang lalu, dia mengatakan sederet hal penting yang selalu menjadi pegangan Mama sepanjang sisa hidup Mama.”
“Apa itu?”
Kemudian meluncurlah kata-kata itu. “Lupakan tentang malam kemarin. Kamu tau, saya selalu jatuh karena cinta. Sekarang saya akan menjadi orang bodoh yang bermimpi. Cobalah saya kapan pun kamu ingin, karena kamu tau, kan? Kamu akan selalu menjadi pemenang dan saya akan menjadi pendosa. Saya akan selalu kalah lagi, lagi, dan lagi sampai kamu menyadari bahwa kamu adalah penjara saya. Jika kamu lelah, beristirahatlah. Pintu saya akan selalu tertutup tetapi tidak pernah terkunci. Jika kunci itu tersendat, kamu tau di mana kamu dapat menemukan kunci lainnya yang sama, di tempat terakhir kali aku meninggalkannya.”
“Berjanjilah pada saya. Satu, saat kamu senang, jangan berjanji. Dua, saat kamu marah, jangan bicara. Tiga, saat kamu bersedih, jangan memutuskan sesuatu. Pesan terakhir, jangan membiarkan seseorang tau ini kecuali dirimu sendiri. Dunia tidak layak untuk mengetahui tentang hal ini. Biarkan neraka membakarnya dan langit jatuh sebagai dirinya sendiri. Biarkan hubungan antara langit dan neraka itu hancur, dengan damai.”
Aku menahan nafas.
“Mama nggak ingin membuka pintu itu ataupun mengambil kunci yang dia tinggalkan. Kami nggak layak untuk satu sama lain. Ada alasan-alasan yang nggak mungkin untuk dijelaskan, Len. Tapi, hubungan kami sudah berakhir sejak sangat lama. Kami memilih untuk berdamai dengan cara kami masing-masing. Meskipun Mama seorang pemenang dan dia terpenjara, ataupun malah sebaliknya.”
“Jika Aldric nggak mengizinkan Mama untuk memberitau ke orang-orang tentang cerita kalian berdua, kenapa Mama menceritakan itu padaku?”
“Selama menyimpan rahasia itu sendirian, rasanya hambar. Terlalu hambar. Mama nggak kuat menahan kehambaran itu sendirian.”
Benar, rasanya sangat hambar. Kata sifat itu lagi yang akhir-akhir ini sering kami berdua rasakan. Kini kami mencoba menghayati kehambaran itu dengan kesetiaan. Kehambaran mengajari manusia untuk tetap setia. Sebagian besar mungkin tidak kuat, dan sebagian kecilnya mungkin tetap bertahan. Ada keinginan yang mustahil di antara kami. Mama memilih untuk melepaskannya. Aku memilih untuk membantunya sedikit meringankan beban.
Setelahnya, aku kembali menyusuri jalanan yang membentang dan mencoba bertekad kuat untuk menghidupi kembali kehidupanku yang sudah lama mati. Bulan merangkak, bintang muncul setitik. Aku percaya, aku dan Mama akan berjumpa kembali di surga yang lain dalam keadaan lebih saling memahami dan menyayangi satu sama lain.
*
Dan aku akan terus terbang. Terbang di ruang hampa.
***