Read More >>"> Lenna in Chaos (Memburu Papa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU 0
About Us  

Hatiku retak, dan Aslan mungkin dapat mendengar bunyinya. 

Suara kendaraan yang berseliweran di sepanjang jalan kini terdengar seperti dengungan lalat. Tak ada lagi cahaya matahari yang hangat ataupun hujan yang diberkahi. Gedung-gedung tua seperti sedang tertidur pulas selama ratusan tahun dan udara yang dihasilkan oleh kota semi metropolitan ini berhasil menciptakan sebuah ruang yang dipenuhi kehampaan. Aku masih belum juga ingin bicara. Beberapa kali sudut mataku menangkapnya tengah menatapku juga, seperti sedang menunggu sesuatu yang akan segera datang dariku. Tapi aku masih memilih untuk bungkam, bukan seperti pacar manja yang bungkam untuk menunjukkan bahwa ia ingin perhatian atau ingin sesuatu dari pasangannya. Aku memilih bungkam hanya tidak ingin terlalu berlebihan dalam berbagi sesuatu pada pria itu. Aku takut oversharing dan kelak akan menyesalinya. Aku tidak ingin.

“Gimana kabar ibumu?”

Aku diam saja enggan menjawab. Saat seorang pengamen mendekati kami, aku segera menepisnya.

Matanya menatapku dengan sabar. “Hm?”

“Mama udah di Pangalengan. Mau rehat lagi, katanya.”

“Kamu sendiri tinggal di mana akhir-akhir ini?”

“Beberapa malam ini aku menginap di kosan Mbak Maia. Sebenarnya aku merasa nggak enak. Tapi, dia bersikeras untuk menampungku. Kadang-kadang juga aku menginap di Rumah Ambu.”

Pria itu tertegun lalu mangut-mangut kemudian kembali menyantap baksonya.

Omong-omong, aku suka tampilan rambutnya dan wajahnya yang jauh lebih terawat akhir-akhir ini. Satu-satunya yang kuinginkan adalah terus berkelana bersama-sama – di waktu-waktuku yang sangat sulit. “Kamu yakin kamu nggak tahu di mana Papamu sekarang?” tanya Aslan kemudian, di sela-sela ia mengunyah potongan bakso.

Aku tercenung lalu menggeleng. “Dia udah nggak pernah pulang ke rumah lagi dan nggak pernah menampakkan wajahnya. Memangnya kamu tahu Papa ada di mana sekarang?” tanyaku balik.

Dia mengangguk dengan matanya yang menatap mataku juga.

Mataku membulat. “Sungguh?”

“Sekarang, saya ingin bertanya serius padamu. Apa kamu benar-benar mau melakukan wawancara itu dengan Papamu? Atau kamu ingin aku saja yang mewakilimu untuk bertemu dengannya?” tawarnya.

Pilihan yang sungguh berat. Kali ini aku sangat malu mendapati fakta bahwa Aslan lebih tahu keberadaan Papa saat ini dibandingkan denganku yang notabene anak tunggalnya di Bandung. Aku juga malu menerima kenyataan yang sudah lebih dulu disadari olehku bahwa aku ini ternyata anak koruptor yang menjelma menjadi orang paling lemah, tertindas, dan tersakiti. Hal ini semakin menguji kredibilitasku sebagai wartawan. Sungguh.

Pria itu masih menatapku, menuntut sebuah jawaban.

“Aku sangat ingin,” gumamku dengan suara yang bergetar. Aku tak yakin jika Aslan dapat mendengarku tapi dia semakin mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Tapi aku takut apa yang aku perbuat akan semakin menghancurkanku. Dari dulu aku nggak pernah bisa mengalahkan Papa.”

Pria itu memandangku begitu lama tanpa bicara. Pikiranku menjadi kosong kembali.

“Nggak ada pilihan lain, Lenna. Anggap saja ini adalah kesempatan terakhirmu untuk berjumpa ayahmu,” dia kemudian memintaku untuk segera menghabiskan makananku. Aku masih bertanya-tanya dalam hati sekaligus memastikan apakah aku siap atau tidak. “Aku akan menemanimu. Kamu nggak usah khawatir.”

Setelah itu, kami pergi menuju kantor ayah pria itu, Juan, dan menukarkan motor yang dia pakai dengan mobil milik ayahnya. Oh, sungguh, pesona pria seperti Juan benar-benar ajaib dan menawan. Aku sama sekali tidak percaya bahwa sosok pria sepertinya tidak main perempuan. Serius.

Saat aku dan ayahnya berhadapan, beliau hanya menampakkan sebersit senyuman, yang segera dapat kumaknai sebagai senyuman yang lembut, penuh semangat, sekaligus rasa kasihan.

 

*

 

Perjalanan kali ini luar biasa panjang disertai kemacetan yang cukup parah. Kami pergi menyusuri Jalan Dago di saat-saat jam pulang kerja. Aku sangat menyukai jalanan itu. Sore hari akan terasa berbeda ditemani dengan kedamaian yang berseliweran. Pepohonan di samping kanan-kirinya seakan-akan memanggil-manggil namaku dan nama siapa saja yang kesepian di hari itu.

Kami terus menelusuri jalan menanjak, melewati jalanan Dago Giri yang menanjak dan berkelok-kelok. Kami bahkan melintasi rumah Pak Shaheer yang sepi, seperti tidak berpenghuni. Mobil yang kami naiki terus menyusuri jalanan menanjak dan berkelok menuju arah Lembang. Aku jarang melewati jalan ini, namun yang kutahu, kami semakin meninggalkan Bandung menuju arah utara.

Hatiku semakin tidak menentu saat Aslan memutar beberapa lagu di sepanjang perjalanan. Lagu karaoke pasaran, Maroon 5 dan Katy Perry. Aku tidak tahu sejauh apa perjalanan yang akan kami tempuh. Namun, berbanding terbalik dengan perasaanku, pria itu tampak tenang. Bahkan dia tidak berbuat apa-apa namun tetap bisa menimbulkan efek psikologis yang positif padaku. Kebebasannya berhasil menulariku. Itu hal yang hebat nan ajaib.

“Len.”

“Hmm?”

“Selama ini kamu lebih banyak cerita tentang Mamamu. Gimana dengan Papamu? Apa kamu dekat?”

Aku menggeleng. “Itulah kenapa aku ngerasa nggak sreg ketemu Papa lagi.”

“Apa yang membuatmu nggak sreg?”

“Dia lebih pilih Kamila dibanding Mama, atau aku, atau Luna. Dulu, waktu Luna pergi ke Bali, Papa nggak peduli. Katanya kami semua bukan penerus yang baik. Nggak ada satupun dari kami yang meneruskan jejaknya menjadi seorang dokter. Papa marah pada kami dan menganggap kami nggak pernah berguna.”

“Apa kakakmu tahu kejadian ini?”

“Seharusnya dia tahu.”

“Len…,” ujarnya seperti tidak tahan. “Jadi selama ini kamu berpijak sendirian? Nggak ada keluargamu yang benar-benar mendukungmu?”

Aku menyeringai dan tersenyum bulan sabit.

Di Lembang, matahari sudah terbenam seluruhnya. Tangannya meraih tanganku. Darahku mendadak jadi beku. Aku menatapnya tak percaya tapi dia hanya tersenyum kecil dan tetap menatap jalanan yang terbentang di hadapan kami.

Jalanan lintas kota yang kami lewati terus menanjak dan mengantarkan kami ke arah Subang. Tahu-tahu hujan deras yang disertai dengan kabut turun saat kami melewati jajaran hutan pinus. Aku menatap wajah Aslan dengan ragu dan aku hanya bisa bilang padanya, “Ini adalah perjalanan yang paling menakutkan.”

            “Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu sendiri. Ada saya di sini.”

           

*

 

Momen-momen kecil yang hilang itu adalah momenku bersama Papa.

Aku dan Papa mempunyai banyak alasan untuk saling memusuhi. Pertama, aku lebih menganggap Mama berharga. Kedua, Papa melakukan segalanya dengan cara yang terlalu rasional dan bahkan cenderung kasar. Ketiga, Papa pernah mengataiku anak jalang saat aku pulang ke rumah jam sepuluh malam.

Usiaku belum genap dua puluh satu saat aku mendapati Papa pulang ke rumah dalam keadaan mabuk parah. Saat ia tergeletak begitu saja di lantai ruang keluarga, aku mendapati sehelai rambut panjang berwarna coklat yang menempel di serat-serat jas putih milik Papa. Seketika aku merasa bahwa aku harus membenci Papa.

Seperti Mama, aku bahkan merasa hambar terhadapnya. Berkali-kali saat aku bertanya mengenai apa yang Mama rasakan akhir-akhir ini, tapi Mama selalu mendefinisikan perasaannya dengan kata sifat “hambar”. Kata itu merujuk kepada segala sesuatu yang tidak pernah cukup.

 

*

 

Aku tidak tahu ini di mana. Jalanan sudah semakin sempit dan berbatu. Permukaan luar mobil bahkan sudah menyentuh semak-semak yang tumbuh subur di pinggiran jalan setapak berbatu. Yang jelas, perjalanan yang telah kami tempuh hingga saat ini yaitu selama dua jam penuh. Tahu-tahu mobil kami berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terletak di sekitaran kebun teh yang diselubungi oleh gelap. Menara sutet ada di puncak kebun teh dan membentang begitu tinggi seakan menyentuh langit. Rumah itu sendiri hanya disinari satu lampu remang. Mungkinkah Papa tinggal di sini?

Aslan menatapku. Aku balik menatapnya dengan cemas. Dia memegang punggung tanganku dan berbisik, “Ada saya. Jangan takut.”

“Aku nggak sekuat yang kamu bayangkan,” balasku lirih.

Dia memegang pipiku sejenak lantas keluar dari mobil. Aku juga. Kami langsung disusupi perasaan dingin yang menusuk-nusuk. Suara berbagai jenis macam serangga malam langsung menyambut kedatangan kami dengan nyanyian-nyanyian menyedihkan, seperti misa kematian. Dia kemudian menunjuk rumah kecil itu dengan tatapan lunak. Pandangannya seolah-olah menyatakan ayo-masuk-ke-dalam-rumah-itu. Namun, aku masih bergeming di tempatku berpijak. Aku bahkan tidak percaya jika Papa bersembunyi di sini.

Namun, seseorang membuka pintu rumah itu dari dalam. Suara itu begitu mengagetkan dan terlalu mendadak. Deritannya begitu menakutkan. Kami bahkan nyaris tersentak. Kulihat sosok Papa yang hancur lebur ada di sana, berpakaian kaos oblong sederhana dan sarung, serta menatap kami dengan tatapan menyedihkan. Sangat menyedihkan sampai-sampai aku menjadi iba.

“Lenna? Apa itu kamu?”

Kami masuk ke ruang tamu sempit dengan alas tikar sederhana. Bahkan, rumah ini hanya berlantaikan semen dengan sudut langit-langit yang dipenuhi debu. Seorang wanita yang sama-sama hancurnya seperti Papa muncul dari belakang dengan keragu-raguan. Niatnya, aku ingin tersenyum kepada wanita itu dan menginformasikan kepadanya “hei, aku Lenna. Aku berhasil memergoki ayahku selingkuh” atau “hei, aku ini wartawan, lho!”.

Namun aku tidak bisa. Kemarahan itu dengan cepat naik hingga ke ubun-ubun. Aku bahkan tidak mampu untuk menatap matanya yang memikul kesedihan itu. Bagiku, itu adalah jenis dari kesedihan sepihak yang mengada-ngada. Sekarang ayahku bertingkah seolah-olah menjadi korban. Itu semua memuakkan.

“Coba jelaskan padaku apa yang terjadi, Pa,” todongku dengan nada yang tinggi.

Aslan segera memegang bahuku dengan lembut dan menahanku.

Papa kemudian bertanya dengan suaranya yang tercekat, “Dari mana kamu tahu Papa tinggal di sini?” Tak butuh waktu lama, dia kemudian menyimpulkan sendiri, “Kau,” gumamnya sambil menatap Aslan dengan tatapan kosong.

“Kamu bisa tulis apa pun di media tentang Papamu sendiri, Len. Toh, hidup Papa sudah hancur begini,” ucapnya pelan dengan nada kepasrahan yang menyelimutinya. Papa menatapku seolah-olah dengan tatapan penuh yakin. Bibirnya sedikit bergetar, entah karena menahan dingin ataukah harap-harap cemas. Namun keyakinan itu berubah dengan cepat menjadi sebuah penyesalan yang terlambat. Aku tahu dia pun tak ingin menyakitiku juga. Andai saja kami tidak terikat hubungan biologis secara langsung. Mungkin dia akan berbuat semena-mena padaku, bahkan membunuhku di tempat ini juga.

“Apa maksudnya kasus suap itu? Apa maksudnya perselingkuhan ini? Apa Papa tidak sadar kalau Papa sudah bertingkah banyak terhadap kami? Apa maksudnya? Apa kami nggak pernah cukup untuk Papa?”

Wanita tidak tahu diuntung yang katanya anggota dewan itu kemudian menatapku jijik. Dia meremehkanku dan aku tidak terima. Aku betul-betul sangat mempermasalahkan hal ini. Wanita Jahannam itu seharusnya malu karena di periode selanjutnya, dia tidak dapat berbuat banyak untuk menarik hati simpatisan dan akan sulit dengan label “tukang selingkuh” yang terlanjur melekat di dalam dirinya itu. Atau, jangan-jangan uang yang akan bertindak? Klise.

“Ya, benar. Nggak usah dijawab. Kami memang benar-benar nggak akan pernah cukup untuk Papa,” sahutku kemudian.

Papa membuka mulutnya, “Soal kasus suap itu, Papa hanya korban. Papa dibujuk,” jawab Papa singkat. “Ini semua bukan sepenuhnya salah Papa.”

“Oke. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan isu politik semacam itu. Lalu?”

“Papa tersandung dua kali, oke? Tidak seharusnya ini semua menimpa Papa. Pak Wahyu dan Pak Siregar yang meminta Papa untuk mengambil jatah vaksin yang banyak demi keuntungan rumah sakit. Lalu nama Papa tercatat begitu saja. Suap itu bukan urusan Papa.”

“Oke, dunia ini memang kejam pada Papa. Menurut Papa mungkin itu tidak salah. Selanjutnya, apa itu selingkuh? Wanita ini?” aku menuding wanita yang menatapku dengan geram. “Memang kenyataan menunjukkan banyak orang selingkuh di dunia ini. Bukan hanya Papa. Tapi banyak sekali. Mereka nggak puas dengan apa yang mereka dapatkan. Ingat, Pa. Catatan internet tidak akan pernah hilang. Menyedihkan.”

Papa kemudian mencoba untuk meraih tubuhku dan menarikku dalam pelukannya. Namun, aku mengelak dengan cepat. Aku datang bukan untuk berdamai dengannya ataupun melindunginya. Aku datang hanya untuk memastikan bahwa Papa mengakui kesalahannya. Jika tidak berani pun, setidaknya gelagatnya dapat menunjukkan perasaan bersalahnya padaku.

“Lenna,” panggil Papa lagi dengan sabar. “Kenapa kamu nggak tanyakan saja pada Mama? Mengapa kamu menyalahkan Papa sementara Mamamu juga melakukan hal yang sama. Apa Papa lebih membuatmu malu karena Papa viral? Sedangkan kenyataannya adalah Mamamu yang memulai permainan ini lebih dulu?”

“Setidaknya Mama meminta maaf padaku,” gumamku.

“….,”

“Sudahlah, bukan salahku yang terlahir dari orang tua egois macam kalian berdua.”

Aslan kemudian membuka mulutnya, “Lenna, sudahlah. Sudah cukup.”

“Ayo kita pergi,” ujarku pada Aslan. Saat kami berdua bangkit, aku kembali menoleh dan menatap Papa sekali lagi. “Jika benar Papa merasa tidak bersalah, setidaknya Papa ikuti proses hukum yang ada. Jangan dulu kabur. Jangan jadi pengecut.”

Aslan segera menarikku pergi meninggalkan gubuk tua yang terletak di antara hamparan kebun teh itu.

Sepanjang jalan menurun, aku tak henti-hentinya menangis. Malam sudah gelap gulita. Cahaya kendaraan mobil dari berlawanan arah begitu menyilaukan mata. Aslan tetap terdiam dan fokus menyetir sementara tangan kirinya menggenggam tangan kananku. Aku membiarkan perlahan-lahan telapak tangan kami semakin berkeringat dan basah. Aku tidak peduli akan hari esok. Aku hanya peduli tentang sisa sepanjang malam ini.

 

*

 

Aslan masih terlelap di sampingku sementara cahaya matahari sudah mulai menembus celah-celah gorden seperti tengah mengintip-intip. Langit-langit dengan corak kecoklatan bekas tetesan hujan yang bocor menyambutku dan memperingatiku bahwa hidup ini belum juga selesai. Semuanya seakan hanya tertunda karena kami terlalu lelah dan jatuh lelap semalam. Waktu seakan-akan berubah menjadi penyihir yang mengutuk orang-orang sepertiku. Orang-orang yang berharap agar amnesia.

Aku mengecup kening Aslan sejenak. Aku lega aku dapat melakukannya tanpa harus merasa takut ataupun segan. Wajahnya yang pulas terlihat begitu polos dan diiringi kedamaian. Nafasnya naik turun secara teratur, menimbulkan suara deru yang membuatku sangat ingin memeluknya. Lantas aku mendekatkan tubuhku pada tubuhnya dan aku pun benar-benar memeluknya erat. Aku bisa rasakan dia mendekapku serta telingaku menjadi menempel di dadanya. Di jantungnya. Aku bisa merasakan ada sebuah kehidupan yang begitu hijau di sana. Di dalam dirinya. Aku berharap aku dapat bersemayam dalam tubuhnya, menyerap kedamaian itu, dan kembali menjadi manusia yang manusiawi.

“Selamat pagi,” gumamnya.

“Pagi.”

“Tulislah apa pun yang ingin kau tulis.”

Hari sudah beranjak siang dan aku duduk di atas pangkuannya seperti seorang gadis kecil yang bergelayut manja di pangkuan bapaknya. Aslan menunjukkan padaku foto-foto serta rekaman audio yang diam-diam diambil saat kemarin kami mendatangi papaku. Aku sendiri agak surprise dengan kemampuannya yang nyaris seperti FBI. Sementara aku menatap layar Microsoft Word-ku yang masih kosong, dia bersenandung lagu yang terputar, Bizarre Love Triangle-nya New Order. Liriknya begini: Every time I see you falling / I get down on my knees and pray / I'm waiting for that final moment / You say the words that I can't say //.

Lalu mengalirlah kata-kata itu. Bahwa papaku hanyalah korban. Bahwa papaku dibujuk. Bahwa sesungguhnya, ada hal lain yang lebih besar daripada itu. Bahwa segalanya sedang tidak baik-baik saja.

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebelas Desember
3781      1183     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Call Me if U Dare
4369      1424     2     
Mystery
Delta Rawindra: 1. Gue dituduh mencuri ponsel. 2. Gue gak bisa mengatakan alibi saat kejadian berlangsung karena itu bisa membuat kehidupan SMA gue hancur. 3. Gue harus menemukan pelaku sebenarnya. Anulika Kusumaputri: 1. Gue kehilangan ponsel. 2. Gue tahu siapa si pelaku tapi tidak bisa mengungkapkannya karena kehidupan SMA gue bisa hancur. 3. Gue harus menuduh orang lain. D...
Seiko
506      386     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Bus dan Bekal
2450      1149     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...
START
275      180     2     
Romance
Meskipun ini mengambil tema jodoh-jodohan atau pernikahan (Bohong, belum tentu nikah karena masih wacana. Hahahaha) Tapi tenang saja ini bukan 18+ 😂 apalagi 21+😆 semuanya bisa baca kok...🥰 Sudah seperti agenda rutin sang Ayah setiap kali jam dinding menunjukan pukul 22.00 Wib malam. Begitupun juga Ananda yang masuk mengendap-ngendap masuk kedalam rumah. Namun kali berbeda ketika An...
Kungfu boy
2641      1022     2     
Action
Kepalanya sudah pusing penglihatannya sudah kabur, keringat sudah bercampur dengan merahnya darah. Dirinya tetap bertahan, dia harus menyelamatkan Kamalia, seniornya di tempat kungfu sekaligus teman sekelasnya di sekolah. "Lemah !" Musuh sudah mulai menyoraki Lee sembari melipat tangannya di dada dengan sombong. Lee sudah sampai di sini, apabila dirinya tidak bisa bertahan maka, dirinya a...
Memories About Him
3401      1608     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Konspirasi Asa
2467      837     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Interaksi
406      282     0     
Romance
Ada manusia yang benar benar tidak hidup di bumi, sebagian dari mereka menciptakan dunia mereka sendiri. Seperti halnya Bulan dan Yolanda. Bulan, yang terlalu terobsesi dengan buku novel dan Yolanda yang terlalu fanatik pada Korea. Dua duanya saling sibuk hingga berteman panjang. Saat mereka mencapai umur 18 dan memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, perasaan takut melanda. Dan berencana u...
HIRAETH
395      273     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...