Semalaman penuh aku tidak tidur dan sibuk menyalahkan Luna. Sesekali aku membanting kembali pigura berisi fotonya yang pecah. Serpihan kaca itu semakin hancur menjadi kepingan yang terkecil, seperti debu.
“Luna brengsek! Luna brengsek! Luna brengsek!”
*
Saat usiaku menginjak sepuluh tahun, aku tak keberatan sewaktu Mama mengirimku tiap sore ke rumah Bu Annisa, ustadzah yang terkenal di daerah rumahku, untuk belajar mengaji. Papa tidak tahu jika hampir setiap sore aku pergi mengaji karena Papa akan pulang malam untuk membedah pasien. Tadinya Mama ingin mengirim Luna juga pada Bu Annisa, tapi Luna menolak mentah-mentah dan memilih untuk bermain bersama Nath dan kucing-kucingnya yang lucu.
Bu Annisa berusia hampir paruh baya. Wajahnya teduh, memakai jilbab berwarna lembut, dan gamis panjang bercorak. Matanya minus empat dan silindris dua – aku bahkan masih ingat – membuatnya harus mengenakan kacamata dengan bingkai persegi. Bu Annisa tak pernah memarahiku kalau aku salah membaca panjang dan pendek huruf Quran. Ketika itu, Murottal Quran yang dikumandangkan Bu Annisa selalu membuat hatiku tentram. Perlahan-lahan setelah aku mulai lancar mengaji, beliau akan mengajariku bagaimana caranya mengaji dengan nada.
“Pelan-pelan, Lenna. Tak usah buru-buru membacanya,” tegur Bu Annisa dengan lembut.
Bu Annisa memiliki anak semata wayang perempuan yang bernama Tessa. Tessa berusia enam tahun lebih tua dariku. Wajahnya bulat, pipinya cabi, matanya berbinar, dan telapak tangannya lembut sekaligus selalu mengeluarkan keringat. Awalnya gadis itu akan mengamatiku mengaji dari ruang tengah. Kadang aku risih diperhatikan terus olehnya. Tapi, setelah beberapa kali datang ke rumahnya, aku mulai terbiasa dan bahkan kami berbincang tentang apa saja. Tentang lukisan. Tentang sulaman benang di atas permukaan kain blacu. Tak hanya itu, biasanya setelah selesai belajar mengaji kami akan bermain scrabble magnet, meskipun kosakata yang digunakan bahasa Indonesia bukan bahasa Inggris. Selain itu, gadis itu juga akan mengajariku bagaimana caranya membuat ketupat dari pita, membuat bintang-bintang dari kertas majalah bekas yang dipotong memanjang, dan merangkai bunga dari kertas krep. Di sela-sela itu, Tessa akan mendongengiku kisah nabi dan rosul. Nabi Yusuf yang tampan, Nabi Ibrahim yang tak hangus ketika dibakar, juga Nabi Isa yang lahir tanpa ayah.
Saat itu aku berpikir, pasti dunia ini terlampau rumit sekaligus terlalu ajaib.
Jika aku kembali mengingat itu semua, aku merasa Bu Annisa dan Tessa adalah bagian terbaik dari masa kecilku. Semakin dewasa, aku merasa seperti botol kaca yang diisi setengah pasir. Setengah pasir itu sudah lebih dahulu dituangkan oleh mereka berdua ke dalamnya. Tapi, aku hanyalah botol. Aku tetap harus mencari pasir yang lain untuk memenuhinya.
Bagian terburuk dari mengaji di rumah Bu Annisa adalah saat aku pertama kali merasa harus menangis karena memang sesuatu yang gawat menimpaku. Saat itu, toa masjid di sekitar komplek rumah kami beriringan menggaungkan puji-pujian menjelang magrib. Tepatnya, aku baru saja tiba di rumah setelah mengaji di rumah Bu Annisa. Aku berjalan menuju kamarku untuk rebahan, tapi tiba-tiba Luna muncul di dekat tangga dan menghadangku. Aku menoleh padanya dan melenggang pergi naik tangga. Sebelum aku naik, Luna tiba-tiba mengulurkan kakinya di hadapanku dan itu membuatku tersandung jatuh. Kepalaku menghantam ujung tangga dan seketika banyak darah.
“Lenna?! Ya ampun, Luna! Lenna kenapa, Sayang?!” Mama tergopoh-gopoh meraih badanku untuk melihat keningku.
“Ya ampun!” samar-samar aku bisa melihat Mama berkaca-kaca. Tapi semuanya semakin buram. Semakin berwarna abu-abu. “Lenna! Sabar ya, Sayang? Kita ke rumah sakit ya, Nak!”
“Tadi Lenna pulang ke rumah terus lari-lari, Ma. Taunya dia jatuh kesandung tangga,” suara Luna terdengar begitu polos.
Sampai saat ini, suaranya masih menjadi gema di ruang yang sepi di dalam hatiku.
Tak hanya sampai di situ saja. Setelah itu, Mama membawaku ke rumah sakit tempat Papa bekerja yang terletak di pusat kota. Papa tergopoh-gopoh mendatangiku saat luka menganga di keningku hendak dijahit dokter IGD. Mama masih shock dan tak bisa berkata banyak. Tapi, Luna dapat menceritakan semua kejadiannya dengan sangat lancar dengan matanya yang berbinar-binar. Ceritanya dimulai dari ajakan Mama untuk mengaji di rumah Bu Annisa, lalu ia bilang bahwa aku bersedia dengan berat hati (padahal itu tidaklah benar) sementara itu Luna menolaknya, dan juga peristiwa jatuhnya diriku di tangga itu terjadi sepulang aku dari rumah Bu Annisa. Mama masih melipat kedua tangannya dan bersandar, enggan berkata sepatah kata pun.
Di antara rintihanku yang terasa menyakitkan jika diingat kembali, aku dapat mendengar Papa berbicara kecil pada Mama, “Jangan kau paksa anakmu untuk melakukan hal-hal yang tak dia inginkan.”
Setelah luka di keningku sembuh, Papa lebih suka pulang cepat dan mengalihkan perhatianku dengan hal-hal yang menyenangkan. Bahkan, aku sampai lupa jika seharusnya aku pergi ke rumah Bu Annisa dan mendengar dongeng tentang Nabi Muhammad dari Tessa. Karena kata Tessa, itu adalah bagian cerita yang terbaik dari semua para nabi.
Tapi aku tak pernah kembali datang. Aku melewatkan saat-saat terbaik.
*
“Seharusnya aku membalasnya,” gumamku sambil membayangkan wajah kakakku, Luna.
***