Read More >>"> Lenna in Chaos (Malam Pameran Ezme (Bagian 2)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU 0
About Us  

Aku duduk di tepian air mancur, sementara Nirvana berputar-putar di hadapanku sembari menyaksikan langit malam berwarna hitam legam keungu-unguan. Dia kemudian mendekap dirinya sendiri sambil meratapi bahwa dirinya begitu bodoh dan begitu naif. Gelagatnya menyatu dengan suara percikan air dan serangga malam.

Nirvana yang kulihat kali ini berbeda dengan Nirvana tahun 2003 yang pertama kutahu. Bahkan, dia yang kulihat saat penggusuran lahan kemarin-kemarin pun berbeda seratus derajat dengan yang kulihat hari ini. Kali ini tatapannya diliputi perasaan linglung yang luar biasa. Berbeda dengan Nirvana di masa lalu yang menatap sesuatu atau seseorang dengan innocent, kali ini ada kekosongan di sana yang telah melekat selama beberapa waktu. Seperti meteor yang melesat bebas tanpa tahu tujuan pasti. Naasnya, meteor itu lama kelamaan akan hancur atau hanya pemikiranku saja.

“Apa kamu akrab dengan ibumu?” tanyaku pelan.

Dia menatapku dan mengangkat bahu.

Aku sendiri enggan terlibat begitu jauh dengan konflik keluarga semacam itu. Pak Shaheer yang malang, Ibu Ezme yang galak tapi rapuh, serta Nirvana obsesif tapi tidak pernah memiliki apa-apa. Semakin lama aku memikirkan keluarga hancur Nirvana, semakin mengingatkanku pada keluargaku sendiri. Luka batinku tahu-tahu menyembul kembali ke balik permukaan.

“Sudahlah. Gelas yang sudah pecah tidak bisa disusun lagi menjadi gelas yang mulus dan sama persis bentuknya. Lupakan saja. Pikirkan dirimu sendiri,” nasihatku kemudian. Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Tanpa ada nada atau niatan menghiburnya. “Menjadi dewasa itu rumit. Terlalu banyak kontradiksi, argumen, dan pemikiran-pemikiran yang memusingkan.”

Tapi tampangnya yang menyedihkan membuatku semakin mengingat masalah keluargaku yang sebenarnya. Aku benci bagaimana caranya menyebarkan kesunyian di sekitarku. Bahkan tanpa dia berkata pun, dia berhasil membunuhku secara perlahan-lahan. 

Dia menatapku tajam dan kembali berpaling.

Aku membelokan topik dengan cepat, “Ngomong-ngomong, kayaknya untuk menuntaskan kegalauanmu, kau harus lebih banyak membaca buku. Sepertinya Simone de Beauvoir akan cocok dengan selera dan gayamu,” usulku lagi.

Dia masih diam saja.

“Atau kamu mau melukis seperti ibumu? Biasanya profesi orang tua cenderung menurun kepada anaknya. Lukisan S. Sudjojono, Affandi, atau Hendra Gunawan mungkin bisa kamu terjemahkan dan kamu interpretasikan sendiri ke dalam gaya lukisanmu sendiri. Sepertinya itu akan cocok dengan kepribadianmu,” lanjutku lagi, “yang aneh itu.”

Dia mendesis kesal dan menatapku dengan tajam. “Kamu sendiri, kenapa nggak jadi seorang dokter atau politikus? Atau pendongeng kayak ibumu?” Lalu dia kembali berputar-putar, meracau dalam hati, dan bertingkah konyol sendirian.

Lama kelamaan aku juga menjadi kesal dengan tingkahnya yang menyebalkan itu. “Kenapa sih kamu nggak duduk saja dan menikmati apa saja yang ada di sekelilingmu daripada kamu berdiri nggak jelas dan menggerutu kesal dalam hati?” tanyaku sambil menepuk-nepuk tepian kolam di sebelah kananku.

Dia menatapku ragu-ragu. Aku membuang muka dan menatap lampu sekitar yang bergeming. Beberapa pengunjung pameran terlihat keluar dari gedung dan hendak pergi meninggalkan galeri. Salah satu di antaranya adalah Abbyasa Pramita yang tadi kulihat di dalam. Pria kaya raya itu terlihat ditemani oleh beberapa anggota keluarganya yang sama-sama borju pecinta estetik. Samar-samar terdengar lagu jazz dari tahun 1940-an dari dalam galeri. Aroma glamor melebar ke seluruh penjuru, entah mengapa begitu saja mengingatkanku pada prosesi lelang lukisan Ruth Levinson dalam film The Longest Ride yang diadaptasi dari novel penulis tersohor Amerika, Nicholas Sparks.

Nirvana kemudian duduk di sebelahku.

“Nah, kamu kan sudah tau semua tentang keluargaku. Bagaimana dengan keluargamu sendiri?”

Lidahku kelu. Aku tidak ingin menjawabnya. Dan aku berharap perempuan itu bisa menghargai keputusanku untuk tidak menceritakannya padanya. Biarlah ingatanku soal keluarga kusimpan dengan rapi di dalam rak memoriku agar aku bisa melihatnya dari sudut pandang yang rapi dan teratur. Karena semuanya sudah terlanjur hancur.

Dia masih menunggu jawabanku.

Aku menghela nafas dan menaikkan kedua bahu. “Sudahlah, Nir. Lupakan saja. Kalau kamu bertanya-tanya apa ada seseorang yang bernasib sama denganmu, tentu saja jawabannya adalah aku,” tolakku halus.

“Yang benar? Bukannya kamu itu gadis paling bahagia di dunia ini? Anak Pak Dokter dan Ibu Penulis?”

Aku mendelik kesal. “Kamu nggak tahu apa-apa.”

Dia terkekeh, meremehkanku.

Dari kejauhan, aku melihat seseorang datang memasuki tempat pameran. Tidak hanya satu, bahkan dua. Mataku memicing. Nirvana yang penasaran pun mengikuti arah pandangku. Aslan datang mengenakan kemeja hitam polos dengan potongan rambut yang baru. Sementara itu, di sebelahnya terdapat seorang pria yang mirip dengannya. Berpakaian kaos hitam yang ditutupi dengan jas hitam.

“Oh, itu calon ayah tiriku,” celutuknya.

Aku menelan ludah tidak menyangka. “K-kapan ibumu dan dia akan menikah?” bisikku dengan tegang.

“Enam bulan lagi? Tujuh bulan lagi? Entahlah.”

“Apa kamu menyayangi calon ayah tirimu?”

“Ya. Dia adalah sosok yang luar biasa.”

“Lalu gimana hubunganmu dengan Aslan?”

Nirvana menyeringai menyebalkan sembari mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.

Seketika ada sesuatu dalam diriku yang mendesak-desak untuk pergi. Tapi tatapan Nirvana yang terlanjur obsesif terus memaksaku untuk berdiam diri di sini dan meratapi semuanya dalam percikan air mancur yang menenangkan sekaligus diliputi kepasrahan yang mendalam.

 

*

 

Malam sudah tergelincir dan serangga malam terdengar bernyanyi di antara kesunyian. Pameran sudah usai setengah jam yang lalu. Aku masih duduk di pinggir kolam air mancur tidak jauh dari Nirvana berada. Kami masih juga belum selesai memperbincangkan hubungan masa lalu kami yang rumit. Kami saling membuang muka sembari menikmati udara malam dengan perasaan sedikit harap-harap cemas.

“Len, aku minta maaf atas kesalahanku dulu. Nggak tau kenapa, dulu sewaktu kecil aku memiliki kecenderungan untuk merasa nggak senang melihat orang lain senang. Aku bahkan dijuluki psikolog yang menanganiku sebagai anak yang berbahaya. Kamu pasti sudah tahu itu.”

Aku menoleh padanya. Percakapan ini tidak membuatku nyaman. “Lalu?”

“Kamu pasti masih membenciku karena aku mencelakai Langit sampai dia harus hilang ingatan. Aku ini jahat sekali, Len.”

“Kamu baru sungguh-sungguh menyadarinya?”

Dia mengangguk kecil. Wajahnya datar. Matanya menatap sekitar dengan kosong. Lantas bagiku, pernyataan itu tidak membuatnya terlihat menyesal sedikit pun. Aku pun kembali tidak memercayai ucapannya.

“Ya, asal kamu tahu kalau kamu membuat teman pertamaku pergi,” tegurku lagi.

“Teman pertamamu atau teman ‘pria’ pertamamu?” tanyanya balik sambil mengutip kata pria dengan jemari telunjuk dan tengahnya. Bibirnya tersenyum nakal sembari menampakkan deretan giginya yang rapi.

Aku memilih untuk tidak menghiraukannya.

Aku bisa melihat ada amarah dalam diri masa kecil perempuan itu. Setiap kali dia berbicara, aku hampir selalu mendapatkan pernyataan kontradiktif yang meluncur darinya, seperti misalnya dia memilih mendorong Langit dari ayunan karena dia menyukainya. Dia juga meminta maaf namun pernyataan yang mengikutinya seakan membela dirinya sendiri. Raut wajahnya tetap asertif dan menolak untuk dikonfrontasi olehku. Aku tidak mendapatkan setitik pun rasa penyesalan. Namun, hebatnya aku, aku tidak luput memerhatikan sesuatu yang menyedihkan di dalam sana. Sesuatu yang begitu rentan.

Dia menghela nafas lagi. “Sebenarnya, waktu aku mendorong Langit hingga dia terjatuh dan kepalanya membentur dengan keras, aku merasa sangat takut, Len. Aku sangat takut kalau aku nggak bisa melihatnya lagi. Mungkin kamu berpikir aku berpura-pura histeris saat itu, tapi sungguh aku sangat menyesalinya. Langit sudah menjadi teror di kehidupanku sejak aku kecil.”

“Jangan merasa menjadi korban,” cemoohku. “Aku menyaksikan semuanya dan nggak akan pernah lupa berbagai macam detailnya. Terlalu menyedihkan untuk diingat.”

“Kamu nggak tahu gimana rasanya menanggung dosa sejak masih kecil,” tuduhnya.

“Kamu nggak tahu gimana rasanya dilupakan selamanya karena amnesia. Langit hilang ingatan,” selorohku mencoba untuk bersabar. “Itu gara-gara kamu. Sadar, nggak?”

“Ya, semua yang terjadi saat itu adalah gara-gara aku. Dan kamu tahu, Len? Dari dulu aku nggak tahu bagaimana caranya aku harus memperbaikinya. Aku nggak tahu. Semuanya seperti jalan buntu dan setiap pagi saat aku terbangun, aku merasa terjebak di antara labirin yang nggak berujung.”

Poor you.”

“Len…,”

“Kamu selalu mengambil apa pun milikku,” gumamku sambil membayangkan pelukan di depan gedung PTUN itu. “Kamu akan selalu menjadi pemenang.”

“Lenna…,”

Dari kejauhan, aku bisa melihat Ezme, Aslan, dan seorang pria dewasa berjalan menghampiri kami. Pria dewasa itu mendorong kursi roda Ezme dengan gelagat yang tenang. Namun, yang kutatap sesungguhnya hanyalah sepasang mata elang milik Aslan yang tengah menatapku juga. Jantungku kemudian semakin terpacu dengan kencang.

Oh, rasanya sudah lama sekali kami berdua tidak berjumpa!

“Kenapa kalian berdua di sini?” tanya Aslan sambil kebingungan menatap kami.

Ezme dan pria di sampingnya menatap kami dengan tatapan datar. Ezme kemudian menyela, “Lho, kamu bukannya yang tadi datang bersama Shaheer?” tanyanya.

Aku menggeleng dan tersenyum tipis. “Oh, tadi kami tidak sengaja bertemu di dalam. Sebelumnya saya pernah mewawancarai Pak Shaheer untuk artikel saya. Sekali.”

“Kamu wartawan?”

Aku mengangguk.

Aku bisa lihat guratan ekspresi khawatir di wajah sang pelukis “hopelessly in love” itu. Kemudian pandanganku beralih kepada pria dewasa di sampingnya. Dari dekat, pria berumur hampir paruh baya itu benar-benar mirip dengan Aslan. Bahkan, dia terlihat jauh lebih muda dibandingkan bapak-bapak seusianya. Dia terlihat seperti pria usia tiga puluh tahunan yang segar bugar dan seksi. Aku bisa memahami mengapa Ezme tergila-gila kepada pria ini dan mencampakkan Shaheer begitu saja.

“Lho, kalau nggak salah, saya pernah melihatmu. Di mana, ya? Apa kamu pernah datang bersama Aksara di pesta ulang tahun Partha empat tahun lalu?” pria yang mendorong kursi roda Ezme itu menatapku dengan tatapan hangat.

Lalu suara-suara itu muncul di benakku. Suatu hari, di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari rumah Ambu, semua orang bersyal hijau berkumpul mengelilingi sebuah tumpeng nasi kuning yang besar. Di sana, aku bisa melihat semua orang bersukacita dan mereka merayakan ulang tahun komunitas mereka dengan wajah bahagia dan penuh syukur. Di posisi sentral, anggota angkatan paling senior berjajar sembari memimpin doa. Semoga Partha selalu jaya. Semoga Partha menciptakan para penerus yang tabah. Sadar atau tidak sadar, aku melihat pria yang bersama Ezme ini merokok di sudut dan menatap takzim para juniornya yang sedang bersukacita. Lalu musik city pop diputar. Semua berdansa.

“Apa kabar Aksara?” tanya pria itu kemudian.

Aku menggeleng putus asa, ingin segera pergi meninggalkan mereka. “M-mungkin Anda belum tahu, tapi Aksara hilang,” jawabku dengan suara bergetar.

Pria itu melangkah mendekatiku dan bertanya, “Hah? Kenapa Aksara bisa hilang?”

Mereka berempat menatapku dengan tatapan intimidatif seperti hendak memakanku hidup-hidup. “Eee… Hmm…Waktu liputan investigasi illegal logging di Kalimantan, dia menghilang dan nggak pernah pulang,” jawabku mencoba tegar.

Tiba-tiba aku merasa sangat capai. Kemudian aku turun dari tepian kolam air mancur dan mengatakan sesuatu yang sedari tadi ingin aku katakan. Aku ingin segera menyudahi malam ini, “Sudah malam. Saya pamit. Sekali lagi, selamat Ibu Ezme atas pamerannya,” pamitku seraya melemparkan senyum.

Saat aku dan Aslan berpapasan tanpa saling memandang, hatiku kemudian terasa sangat perih dan sesak.

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
START
275      180     2     
Romance
Meskipun ini mengambil tema jodoh-jodohan atau pernikahan (Bohong, belum tentu nikah karena masih wacana. Hahahaha) Tapi tenang saja ini bukan 18+ πŸ˜‚ apalagi 21+πŸ˜† semuanya bisa baca kok...πŸ₯° Sudah seperti agenda rutin sang Ayah setiap kali jam dinding menunjukan pukul 22.00 Wib malam. Begitupun juga Ananda yang masuk mengendap-ngendap masuk kedalam rumah. Namun kali berbeda ketika An...
KEPINGAN KATA
406      269     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!
Are We Friends?
3305      1024     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
The Last Blooming Flower
7275      2261     1     
Romance
Di ambang putus asa mencari kakaknya yang 20 tahun hilang, Sora bertemu Darren, seorang doktor psikologi yang memiliki liontin hati milik Ianβ€”kakak Sora yang hilang. Sora pun mulai menerka bahwa Darren ada kunci untuk menemukan Ian. Namun sayangnya Darren memiliki kondisi yang membuatnya tidak bisa merasakan emosi. Sehingga Sora meragukan segala hal tentangnya. Terlebih, lelaki itu seperti beru...
Love Al Nerd || hiatus
112      88     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
graha makna
4474      1551     0     
Romance
apa yang kau cari tidak ada di sini,kau tidak akan menemukan apapun jika mencari ekspektasimu.ini imajinasiku,kau bisa menebak beberapa hal yang ternyata ada dalam diriku saat mulai berimajinasi katakan pada adelia,kalau kau tidak berniat menghancurkanku dan yakinkan anjana kalau kau bisa jadi perisaiku
Hujan Paling Jujur di Matamu
6513      1700     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...
Hyeong!
149      128     1     
Fan Fiction
Seok Matthew X Sung Han Bin | Bromance/Brothership | Zerobaseone "Hyeong!" "Aku bukan hyeongmu!" "Tapiβ€”" "Seok Matthew, bisakah kau bersikap seolah tak mengenalku di sekolah? Satu lagi, berhentilah terus berada di sekitarku!" ____ Matthew tak mengerti, mengapa Hanbin bersikap seolah tak mengenalnya di sekolah, padahal mereka tinggal satu rumah. Matthew mulai berpikir, apakah H...
I'm not the main character afterall!
1083      570     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
ETHEREAL
1452      651     1     
Fantasy
Hal yang sangat mengejutkan saat mengetahui ternyata Azaella adalah 'bagian' dari dongeng fantasi yang selama ini menemani masa kecil mereka. Karena hal itu, Azaella pun incar oleh seorang pria bermata merah yang entah dia itu manusia atau bukan. Dengan bantuan kedua sahabatnya--Jim dan Jung--Vi kabur dari istananya demi melindungi adik kesayangannya dan mencari sebuah kebenaran dibalik semua ini...