Jum’at sore.
Usai adzan Magrib, Dirga cs duduk-duduk santai di teras rumah paman Santoso. Mereka menggelar tikar yang dilengkapi dengan kopi hangat dan singkong rebus. Mereka asyik makan minum sambil bercanda. Terutama tentang kejadian-kejadian lucu yang dialami selama kerja bakti. Sebentar-sebentar tawa mereka terdengar sampai di ruang tamu. Tawa itu berhenti saat pak Santoso datang dan langsung duduk di tengah mereka. Sesaat orang itu mendehem sebelum bicara.
“Jadi kalian akan pulang besok?” tanya pak Santoso setelah meneguk kopi yang dituangkan Didit untuknya.
“Ya Paman,” jawab Dirga.
“Kan Senin kami sudah masuk sekolah, Paman.” Dita ikut menambahi.
“Di samping itu, kami punya agenda menjenguk teman kami yang kena musibah,” ucap Dwi dengan nada sedih. Memang sih tadi ada seorang warga yang jualan ke kota dan sempat mendengar perihal Revita dan Ibunya Mitty yang masih dirawat di Rumah Sakit.
“Siapa?”
“Itu Paman, Revita dan Ibunya Mitty.” Dirga menjawabnya.
“Mitty … oh pantas, Paman kok gak melihat dia di antara kalian. Terus satunya?”
“Revita, Paman,” sahut Gino.
“Revita? Kok Paman belum tahu?” paman santoso bertanya sambil menatap mereka bergantian.
“Ya jelas Paman, dia kan murid baru.” Dirga menjelaskan.
“Oh.”
Paman Santoso manggut-manggut lalu katanya.
“Baiklah, kalau begitu Paman hanya bisa mendoakan semoga kalian akan baik-baik saja semuanya. Selalu sehat dan tambah pinter.”
“Amin … Terima kasih Paman,” jawab mereka kompak.
“Dan atas nama warga Selopuro, Paman ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi kalian yang telah turut membangun desa ini.”
“Sama-sama Paman, kami juga mengucapkan terima kasih pada warga desa yang telah menjamu kami dengan baik selama kami di sini,” ujar Dita mewakili semuanya.
“Yah … semoga kalian gak kapok ke sini lagi.”
“Tentu saja tidak, Paman.” Yang ini suara mereka semua.
“Sudahlah … sebaiknya sekarang kalian segera tidur. Biar besuk tidak kesiangan dan terburu-buru berkemasnya.”
“Baik Paman,” jawab mereka kompak lagi.
“Selamat malam,” salam pak Santoso segera berlalu dari situ.
“Malam ….” Serempak mereka membalas salam itu. Lantas satu persatu segera pula berlalu menuju kamar yang sudah disediakan.
Kini yang tinggal hanyalah Dirga dan Dita. Tapi keduanya juga ngobrol tak seberapa lama. Hanya sampai jam 21.00 kedua anak ini pun bergegas menyusul teman-temannya yang sudah pada terpejam.
****
Di lain tempat! Tepatnya di sebuah perumahan elit kawasan Surabaya Timur. Seorang wanita setengah baya sedang menerima interlokal dari seseorang yang tak dikenal sebelumnya. Dan wanita itu adalah nyonya Pratiwi.
“Hallo.”
“Hallo.”
“Bisa bicara dengan nyonya Pratiwi?”
“Ya, saya sendiri. Dari siapa ini?”
“Kami dari pihak kepolisian, Nyonya.”
“Kepolisian??” Nyonya Pratiwi jelas nampak terkejut.
“Benar.”
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
“Tidak satu pun Nyonya. Kami hanya ingin mengabarkan tentang putri Nyonya.”
“Putri saya, Revita maksud Bapak?”
“Benar Nyonya.”
“Ada apa dengan putri saya Pak? Apa yang terjadi di sana?”
“Tenang Nyonya. Putri Nyonya sekarang ada di Rumah Sakit.”
“Di Rumah Sakit? Kenapa?”
“Seminggu yang lalu putri Nyonya nyaris menjadi korban perkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan pengedar obat-obat terlarang.”
“Hah! Oh! Sekarang bagaimana keadaannya Pak?”
“Dia masih dirawat di Rumah Sakit. Bersyukurlah Nyonya, putri anda selamat karena pertolongan seorang temannya.”
“Siapa yang telah menolongnya, Pak?”
“Mitty Trihapsari, namanya.”
“Oh …”
“Karena itu sebaiknya Nyonya segera pulang untuk mengurus segala sesuatunya”
“Baik, Pak.”
“Oke, saya kira cukup Nyonya, saya masih ada tugas lain.”
“Tapi Pak?”
“Apa Nyonya?”
“Di Rumah Sakit mana, putri saya dirawat?”
“Oh ya maaf, saya lupa memberitahukannya. Putri Nyonya dirawat di Rumah Sakit Ngudi Waluyo.”
“Terima kasih. Satu hal lagi, Pak .”
“Apa?”
“Dari mana Bapak tahu nomor telepon saya?”
“Itu bukan satu hal yang sulit bagi polisi, Nyonya.”
“Ya, ya, saya tahu.”
“Kiranya cukup Nyonya. Selamat malam.”
“Malam Pak, terima kasih.”
“Sama-sama.”
Nyonya Pratiwi meletakkan handponenya. Bergegas langkahnya menemui sang suami yang masih berbaring di kamar, untuk membicarakan perihal putri mereka., Revita. Cemas juga hati Nyonya Pratiwi. Ibarat pepatah, segalak-galaknya harimau tak akan tega memangsa anaknya sendiri. Begitu juga Nyonya ini. Meski selama ini ia begitu keras sama Revita, tapi di saat sang anak terkena musibah begini, ia pun jadi tak samapai hati.
****
Kembali ke rumah pak Santoso. Keesokan harinya, atas kemurahan hati dan rasa terima kasih atas partisipasi Dirga cs, seorang anggota ABRI memberikan bantuannya. Dengan mengantar perjalanan pulang mereka pakai truknya pihak ABRI. Tentu saja mereka pada sorak-sorak bergembira. Bergembira semua. Kan jadi tidak usah naik bus yang masih harus oper dua kali angkotnya. Lagi pula dapat tumpangan gratis, asyik kan. Apa lagi bapak ABRI mengantarnya sampai depan Alon-Alon Kota. Jadi ya sudah dekat dengan rumah mereka semua.
Lihat tuh, semua pada duduk di bangku truk dengan riangnya. Mulutnya pada sibuk menikmati mie ayam instan yang dibekali bu Santoso. Untuk makan di perjalanan katanya. Ya sudah, lantas mereka pun memakannya di jalan raya. Hanya Dirga yang tidak melahap mie ayam istannya. Ia hanya minum air putih kemasan.
Mau tahu, air ini adalah pemberian gadis-gadis desa Selopuro. Sebagai tanda keakraban. Makanya gadis-gadis itu lantas pada urunan guna dibelikan air mineral ini. Gino tadi yang menerimanya dari wakil mereka. Triwin Ningsih namanya. Anak salah satu bapak RT di sana.
“Kau nggak suka mie ayam instan, Dirga?” tanya Gino melihat Dirga belum juga memakan mie miliknya.
“Kalau nggak suka, buat aku saja Dirga,” ujar Didit pula.
“Aku saja, Dirga.” Dwi ikut menyela.
“Aku Dirga.” Yang ini rayuan Dita.
Dirga diam saja. Tidak menanggapi ocehan mereka. Ia malah pindah duduk di bangku dekat teman-teman wanita. Biar tenang gitu. Kan ceweknya pada diam semua. Tak ada yang buka suara. Makan tapi diam. Cuma tahu-tahu habis lebih banyak daripada para cowoknya. Dasar rakus ya!
Sebentar Dirga mengamati plastik pembungkus mie ayam instannya. Bety yang ada di kanannya hanya meringis melihat ulah Dirga.
“Coba lihat Bet, kau baca tulisan ini.”
Tanpa menjawab Bety melongokkan kepala. Ikut memperhatikan bungkus mie ayam instan yang diperhatikan Dirga sejak tadi. Lalu mulai dibacanya tulisan yang ada. Mie Ayam Instan, diproduksi oleh Mitty Home Industries, produksi mie dengan berbagai varian rasa. Juga menerima pesanan. Alamat: jalan Kelud no.47 Kenongo - Wlingi.
“Nah, alamat siapa ini, Bet?” tanya Dirga kemudian.
“Ini kan alamat rumah Mitty.”
“Tepat, ini memang mie bikinan Mitty.”
“Terus kenapa Dirga?”
“Aku jadi ingat sama dia. Aku malu dan nyesal. Selama ini aku telah banyak menyakiti hatinya. Karena itu aku ingin menebus kesalahanku padanya. Aku ingin minta maaf dan memperbaiki kesalahanku selama ini.”
“Terus Revita mau kau kemanakan?”
“Entahlah, aku merasa tertipu olehnya.”
“Karena itu lantas kau ingin kembali pada Mitty?”
“Ya.” Dirga mengangguk mantap.
“Oo, jadi Mitty itu kau jadikan tempat pelarian saja.”
“Bukan begitu, Bet.”
“Lalu?”
“Ya seperti kataku tadi, aku ingin menebus kesalahanku. Untuk itu, jika kau ketemu Mitty, tolong sampaikan niat baikku ini, ya!”
Bety mengangguk. Dirga tersenyum lega. Terbawa oleh perasaannya, truk yang melaju dengan kecepatan sedang itu terasa sangat lamban. Sedang rindu Dirga pada Mitty sudah tak tertahankan. Kerinduan yang menggelegak. Kerinduan yang memuncak yang membuat dadanya jadi sesak. Ingin ia berlari dan berlari. Sedang truk itu tetap melaju dengan santai. Yang penting kan sampai.
Dirga tetap termenung sedang teman-temannya justru menyanyikan lagu Bangun Pemudi Pemuda sebagai pertanda bangkitnya semangat mereka untuk terus berjuang demi menegakkan nama generasi muda.