Hal pertama ketika aku bangun tidur bukannya cuci muka, malah langsung cek HP. Isinya cuma gibahan platform di grup literasi. Bosan. Enaknya hari ini ngapain?
Aku hari malas kerja. Tepatnya malas ketemu Adrish dan Taqi. Aku kirim WA di grup TRIO AL.
Oiii @adrish @taqi hari ini nggak masuk kafe ya. Lagi dapat. Kalian slow nggak? Gantiin aku jaga kasir dong. Kalau kalian sibuk, aku minta Aruna atau Renaldy aja.
Selang lima menit. Adrish membalas chat WA-ku.
Aku aja. Kebetulan sudah libur semester.
Lega. Jadi nggak harus ketemu mereka dulu. Aku turun ke bawah. Ada Mama dan Papa.
"Tumben bangun jam segini? Nggak ke kafe?" Papa bertanya. Matanya tetap terpaku ke gadget di tangannya. Pasti baca berita di portal online. Papa dulu langganan koran. Sejak dunia digital merajai bumi, Papa mulai beralih baca digital.
"Lagi males aja sih. Lagi dapet juga. Daripada ngamuk-ngamuk ke pelanggan mending rebahan," jawabku santai.
"Nah, gitu dong. Sekali-kali ada waktu untuk diri sendiri dan keluarga," sahut Mama yang lagi bikin nasi goreng.
"Eh, gimana persiapan nikahan Aryan?"
"Lancar. Kamu tenang aja. Pokoknya ntar kamu tinggal dateng ke gedung bawa pasangan aja." Mama menimpali.
Aku menyeruput teh melati, seketika tersedak mendengar kalimat terakhir Mama. "Uhuk."
Mama panik bergerak ke arahku. Mama menepuk punggungku. "Makanya pelan-pelan minumnya. Atau ada cowok lagi kangen kamu?"
"Ma, aku tuh kesedak gara-gara permintaan Mama nyuruh aku bawa pasangan ke nikahan Aryan. Aneh banget. Biasanya juga kalau ada acara, nggak pernah bawa pasangan tuh."
"Mau sampai kapan kamu terus sendiri tanpa pasangan? Udah lama banget loh, kamu nggak ngenalin pasangan ke kami. Lihat noh, pas nentuin lamaran Aryan, tante-tantemu pada julid."
"Udah kebal tuh. Aku nggak peduli sama julidan mereka. Toh, aku nggak makan dari uang mereka," jawabku santai
"Mama yang nggak rela kamu dijulidin. Kesannya kamu perawan tua banget. Satu sisi, mereka bener sih. Cewek tuh ada masa monopausenya. Mama juga pengen dikasih cucu sama kamu."
"Ya nggak papa kali, Ma. Tinggal bilang aja ke mereka, 'Nggak apa Allura nggak nikah asal dia kaya raya dan bahagia lahir batin. Daripada nikah, tapi nggak bisa ketawa lagi.' gitu. Soal cucu, kan bisa ntar dikasih Aryan," timpal Papa.
Aku berdiri seraya memeluk Papa. "Ah, makin sayang deh sama Papa. Cuma Papa yang paling ngerti aku."
Mama manyun. "Udah deh, Mama kalah kalau Papa udah belain Allura. Terserah kamu ajalah."
Mendadak aku teringat Tante Liana. Entah kenapa aku ingin berbagi kisah dengannya. Aku ambil HP dari saku piyama, lalu mengirim chat WA ke Tante.
Aku:
Tan, sibuk nggak hari ini?
Tante Liana:
Sama kayak biasa sih.
Aku:
Kalau aku ajakin makan siang bareng bisa? Tante plis jangan ajak Taqi.
Tante Liana:
Bisa sih, tapi di gudeg Bakso Kalipolo aja ya. Soalnya biar enak deket tempat kerjaku.
Aku:
Oke. Beres.
Hidangan nasi goreng Mama sudah jadi. Aromanya aja sudah bikin ngiler. Aku tiup-tiup dulu baru melahapnya. "Enaknya nampol."
Kami pun sarapan bareng. Entah kapan terakhir sarapan bareng. Aku sendiri lupa. Indahnya kebersamaan.
***
Tante Liana sudah duduk cantik di kursi paling depan. Aku cipika-cipika dulu sama Tante. "Duh, Tan. Maaf banget ya telat. Aku ketiduran lagi. Terus bangun jam 11."
"Nggak apa. Tante juga baru datang. Eh, tumben banget kamu ngajakin Tante keluar. Ada apa?"
Pelayan datang membawa buku menu. Aku dan Tante Liana bolak-balik menu. Lalu memilih mau makan Bakso Beranak dan Es Jeruk aja.
Aku pun akhirnya mengaku bahwa Taqi sebenarnya bukan calon suamiku. Melainkan sudah jadi mantan dan sebatas partner kerja. Aku juga menceritakan lagi kesal sama kedua mantanku itu gara-gara Renaldy.
"Menurut Tante siapa yang salah?"
Pelayan datang mengantarkan es jeruk untuk kami.
"Tante mencoba netral nih, Tante rasa kalian nggak ada yang salah. Semua mempertahankan versi terbaik di mata masing-masing. Dua mantanmu mungkin benar ingin melindungimu biar gimana pun kamu mesti hati-hati sama orang baru." Tante menyeruput es jeruknya. "Kamu juga nggak salah, coba membantu dan berkhusnuzon ke karyawan sendiri. Jadi ya tunggu waktu akan membuktikan Renaldy nggak beres atau hanya kecurigaan mereka aja," jawab Tante Liana.
Aku sedikit tercerahkan begitu mendengarkan pendapat Tante Liana. Itu artinya nggak seharusnya aku marah bahkan sampai malas ketemu Adrish dan Taqi.
Tante Liana mengaduk es jeruk menggunakan sedotan. Lalu menyeruput es tersebut. "Kamu kenapa lebih percaya Renaldy dibanding sama dua orang yang jelas sudah lama kenal sama kamu?"
"Gimana ya, Tan. Ini menyangkut rasa nyaman. Hadirnya Renaldy itu kayak mengisi sisi hatiku yang kosong. Nggak dipungkiri, Renaldy itu selalu ada di saat dua makhluk astral sibuk."
"Hmmm … susah kalau menyangkut kenyamanan."
Pelayan satunya datang membawa bakso pesanan kami. Ketika aku menyuap satu sendok, tiba-tiba datang sepasang kekasih. Aku menyipitkan mata. Sepetinya aku mengenal dia.
Kulambaikan tangan. "Leci!"
Orang yang kupanggil menoleh. "Eh, Kak Allura. Makan di sini juga?"
"Iya nih. Bosen makan siang di kafe sendiri mulu. Kamu sama siapa?"
"Kenalin ini Kak Rizaldi. Pacarku."
Aku rada kaget sih Leci memperkenalkan pacarnya. Pasalnya Leci itu kan penampilannya kayak hijabers banget. Aku pikir dia sama kayak para ukhty, enggan pacaran.
"Ciyeee … yang sudah punya pacar. Berarti kamu nggak nulis senandika atau qoutes galau lagi dong."
Wajah Leci tersipu. "Ih, Kak Allura bisa aja."
Memperhatikan wajag Rizaldi aku teringat sesuatu. "Eh, kamu yang kemarin ngelamar jadi waiters di A2T Cafebook, kan?"
"Ah, Bu Allura masih ingat saja sama saya."
Berhubung Bakso Kadipolo ini penuh, mereka berdua makan baksonya satu meja denganku dan Tante Liana.
***
Aku menatap layar laptop sambil mengacak frustrasi. Belum ada satu paragraf berhasil kutulis. Padahal sudah dua jam melolotin laptop. Mana syarat dan ketentuan Lomba Cabaca mesti upload 50% dari total bab sampai tanggal 9 September. Sekarang sudah tanggal 25 Agustus, sedangkan novelku baru 4 bab.
Gini nih kalau nekat menuliskan karakter baru. Biasanya aku selalu menggunakan katakter novel memakai orang terdekatku. Terbukti lancar jaya bak jalan tol.
Aku coba telepon si tokoh utamanya, Renaldy. Novel buat Cabaca Renaldy tokoh utamanya, tapi dia sebagai Deni Arman. Siapa tahu dengan menelepon Renaldy muncul ide.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi."
Sial, malah Mbak-mbak operator yang menyahuti panggilanku. Kenapa dia menolak panggilanku? Apa lagi sibuk?
***
Berhubung aku bosan di rumah, nulis novel juga ngeblank. Akhirnya pukul 18.00 ke kafe aja.
Kafe nggak sepi, tapi nggak begitu ramai. Hanya dua pasangan yang makan serta minum kopi di sini.
Aku heran meja kasir diisi oleh Renaldy. "Hay, Ren. Kok kamu bisa di sini? Adrish sama Taqi mana?"
"Mereka lagi salat di musala terdekat dari kafe ini. Berhubung Mbak Allura sudah datang, saya permisi balik layanin pembeli dulu."
Aku heran, layanin pembeli? Orang dua pasangan di kafe ini saja sudah pada makan menu yang di hadapan mereka. Itu artinya fix, dia menghindariku. Pasti ada apa-apa dengan Renaldy selama aku nggak ada di kafe ini. Itu berhubungan dengan Adrish dan Taqi. Aku harus tanya mereka.
Bertepatan dengan itu datang seorang cowok penampilan rocker banget bawa gitar. Pasti musisi jalanan.
Taqi dan Adrish datang. "Eh, Allura. Udah nggak sakit lagi nyeri datang bulannya?" ceplos Adrish.
Wajahku kayak kepiting rebus ketika dia mengucapkan hal itu. "Nggak usah di sini juga kali nanyain gituannya. Malu didengar pelanggan."
"Maaf kemarin aku marah-marah bahkan hari ini aku ngambek sama kalian."
"Iya udah biasa kami menghadapi cewek PMS."
Pandanganku tertuju ke Renaldy yang sibuk curi-curi pandang ke kami bertiga. "Eh, dia kenapa? Kok kesannya hari ini menghindariku? Pasti ulah kalian nih."
"Terkadang sadar diri akan status itu penting," celetuk Taqi.
"Maksudnya?"
"Mungkin jin gentong di diri Renaldy sudah keluar makanya Renaldy langsung sadar bahwa mendekati bos demi keuntungan pribadi itu adalah sebuah kesalahan."
"Maksudnya Taqi itu kami nggak lakuin apa-apa hari ini ke Renaldy." Adrish buru-buru menimpali ucapan Taqi.
Aku yakin mereka berdua pasti bohong. Jadilah aku ke ruang ganti menanyakan langsung ke karyawan yang lain.
Kebetulan ada Imel dan Ira.
"Mbak Allura kok baru datang?"
"Tadi sakit perut. Biasa cewek. Gimana kafe selama saya nggak ada?"
"Aman."
"Nggak ada drama-drama?"
"Nggak dong."
"Dua Pak Bos ada ngomelin Renaldy nggak?"
Imel berpandangan sama Ira.
"Tadi siang kafe rame banget. Ada Tiktokers review menu kafe ini. Jadi kami nggak sempet liat Dua Pak Bos ngomelin Renaldy atau nggak."
Aku menatap mereka curiga. "Bener? Nggak boong?"
"Suer. Nggak bohong. Kalau ketauan boong, rela deh gaji Mbak Diani dipotong."
Diani tahu-tahu muncul di sebelah pintu. "Enak aja gajiku yang dipotong. Gajimu aja yang disunat Mbak Allura."
Terjadilah cekcok adu mulut. Diani sama Imel memang bagai minyak dan air. Susah disatukan. Padahal aku tahu mereka saling sayang. Ya kalau dipikir-pikir tanpa drama berantemnya mereka kafe ini suasananya jadi sepi.
Sukses, Mbak Arini
Comment on chapter Chapter 1 (Kinari Allura)