Kalau biasanya Arik akan mengirim pesan lalu datang ke kelasnya untuk mengajak ke kantin, maka kali ini Lika yang melakukan hal itu. Setelah mendapat satu pekerjaan rumah untuk mengetahui apa kesepakatan antara Delta dan Pak Dodi, Lika merasa saraf-saraf di kepalanya tegang. Dia butuh Arik, dan lelucon cowok itu. Perihal pesan tempo hari, paling hanya candaan antar teman cowok. Lagian setelah dicari tahu, judul screenshoot grup komplotan Thi yang tersebar tempo hari berjudul “Pencuri”, sementara nama grup di ponsel Arik berjudul “Komplotan Thi”. Pasti Arik bukan Komplotan Thi. Bukan. Bukan. Bukan. Lika menekankan kalimat itu di kepala. Arik harus bukan Komplotan Thi agar kehidupannya tetap normal.
Cewek itu melihat ke kelas XI MIPA 5 yang ramai dari pintu kelasnya. Beberapa siswa berkumpul di depan kelas dan sebagian lainnya berlalu-lalang keluar masuk pintu. Lika berjalan mendekat dengan keyakinan penuh, lalu melongok ke dalam kelas. Belum sempat dia menanyakan keberadaan Arik pada seseorang, seruan lantang yang memanggil namanya terdengar dari dalam kelas. Arik. Cowok yang sedang menghapus papan tulis itu melambai heboh, terlihat super senang. Kelakuannya berhasil menarik perhatian orang-orang. Lika kaget sendiri dengan reaksi itu dan berdiri tidak nyaman di tempat saat sadar orang-orang sedang memperhatikan. Arik segera berlari mendekat.
“Kenapa di sini? Nggak marah lagi sama gue?” katanya sambil memasang raut senang.
Lika mengernyitkan alis. “Siapa yang marah?”
Arik menunjuknya, masih dengan senyum lebar. “Lo.”
“Gue nggak—“
“Oke. Nggak usah bahas lagi, entar lo malah beneran marah,” potongnya sambil menahan senyum. “Lo ke sini mau ajak gue ke kantin, kan?”
Lika mengangguk. “Kalau lo mau, sih.”
“Jelas mau! Tunggu bentar.” Arik melempar penghapus papan tulis ke atas lemari dekat meja guru, berjalan ke kursinya untuk membuka tas dan mengambil dompet, lalu kembali mendekati Lika. “Yuk!”
Lika tersenyum geli melihat kelakuan cowok itu. Dia mengangguk dan mereka jalan bareng menuju kantin. Berbaur dengan siswa lain yang juga pergi ke tempat yang sama.
“Berarti mulai sekarang gue boleh ajak lo makan bareng lagi, kan?" tanya Arik, di tengah perjalanan.
Lika mengangguk.
"Bagus," seru Arik. "Nggak akan ada acara bohong soal makan bareng Jihan atau pulang dijemput papah?"
Lika terdiam dan menatap cowok itu saksama. "Lo ... tahu?"
Arik tersenyum lebar dan tatapannya seolah mengatakan, "Apa sih yang nggak gue tahu tentang lo?".
Lika mendelik dengan senyum tipis. "Gue nggak akan gitu lagi."
"Serius?"
"Serius."
Mereka berbelok menuju pintu kantin. Tempat itu sangat ramai di jam istirahat. Beberapa kursi mulai terisi penuh. Arik membimbing Lika menuju kursi yang tak jauh dari koperasi. "Untung kebagian tempat," kata cowok itu setelah berhasil duduk. Lika mengangguk lalu mengeluarkan tisu kecil dari saku rok dan mengelap meja yang kotor karena bekas dipakai orang sebelumnya. Ada sedikit remah makanan yang tersisa di sana.
“Mau pesan apa? Gue pesenin, sekalian mau ke toilet dulu," kata Arik.
“Kwetiau sama teh manis pake es.”
“Kwetiaunya pake cabe?”
“Dikit.”
“Oke.”
Arik menyimpan ponselnya di atas meja. "Gue titip ponsel gue bentar, ya. Saku celana gue bolong."
Lika meraih ponsel Arik. Cowok itu langsung berjalan ke stan kwetiau, melesak di antara beberapa murid, memesan, lalu berjalan menuju toilet sekolah yang letaknya tidak jauh dari kantin. Lika melirik ponsel Arik dan teringat pesan tempo hari. Cewek itu merasa tindakannya sekarang benar. Lupakan grup percakapan itu, dan fokus ke kehidupan normal yang diinginkannya. Akan tetapi...
Drttt.
Getaran pada ponsel Arik yang diikuti dengan layar menyala menarik perhatiannya. Sekali, dua kali, tiga kali. Getaran di ponsel Arik ramai sekali, diikuti pesan-pesan masuk. Lika menggulir fitur notifikasi dan melihat banyak pesan masuk dari grup percakapan Komplotan Thi. Lika seketika ditarik pada dua pilihan sulit. Mengabaikan pesan itu, atau membacanya.
Jika Lika mengabaikannya, maka dia akan tidak tahu kebenaran tentang grup percakapan ini. Itu artinya, dia akan terus merasa penasaran dan curiga pada Arik.
Jika Lika membacanya, maka dia akan menemukan kebenaran tentang grup percakapan itu. Itu artinya, kalau grup itu adalah bohong, maka dia bisa percaya penuh pada Arik dan hubungan mereka akan lancar.
Lika mempertimbangkan matang-matang, dan getaran ponsel Arik makin menjadi, seolah mengolok-okok karena Lika tidak bertindak cepat. Penasaran, dia akhirnya melihat layar ponsel dan membaca pesan dari grup itu melalui fitur notifikasi.
Anonim 2-2: Gue mau jual barang nih, ada yang mau beli?
Anonim 2-7 : Barang apa?
Anonim 2-2: Jam tangan.
Anonim 2-7 : Up.
Anonim3-1: Coba jual ke Bang Mu.
Anonim 2-2: Gue coba deh, ya. Semoga dia mau nerima.
Mata Lika menyipit, fokus membaca karena gerakan notifikasi pesan itu lumayan cepat. Tangannya yang menggenggam ponsel dengan erat sedikit gemetar. Saat ini, Lika merasa gugup bukan main. Jantungnya seolah dipompa dengen kecepatan super. Takut apa yang dibayangkannya benar. Sesekali, dia melirik ke arah toilet, lalu membaca lagi. Ketika layar ponsel itu padam, dia kembali menyalakannya dan membaca dengan saksama. Sadar kalau dugaannya benar -bahwa grup ini benar-bener grup komplotan Thi, Lika mengeluarkan ponselnya dari saku rok, lalu merekam setiap pesan yang masuk.
Anonim2-7: Btw, kapan kita mulai beraksi lagi? Gue butuh duit, nih.
Anonim3-1: Jangan gegabah. Tunggu arahan dari ketua.
Anonim2-7: Sial. Pencuri ponsel Lika mengacaukan rencana kita. Semua orang percaya kita pelakunya.
Anonim 1-1: Siapa sih, pencuri ponsel itu? Jelas buka kita. Ketua gak kasih nama Lika di list target bulan lalu.
Anonim2-7: Iyalah. Anak baik-baik macam dia nggak akan masuk list target Komplotan Thi.
Anonim3-1: Tenang. Kita tunggu sampai Delta dan Lika berhenti mencari pencuri ponsel itu atau sampai pelakunya tertangkap dan sekolah mulai tenang.
Anonim2-7: Kapan itu? Masih lama. Sial. Gue jadi harus cari cara lain buat dapat duit.
Anonim 3-5: Bang Mu juga sering nanya apa kita berhenti beroperasi karena nggak pernah jual barang lagi ke dia.
Anonim 3-1: Kalau mau aman, jangan ada yang beraksi. Apalagi sampai beraksi diam-diam tanpa sepengetahuan tim. Kita ikut suruhan ketua. Cari mati namanya kalau lo gerak sendiri.
Anonim2-7: Oke.
Jelas sudah. Grup percakapan ini milik Komplotan Thi. Topik yang dibahas membuktikan hal itu. Tidak mungkin grup ini iseng dibuat dengan nama Komplotan Thi. Mungkin, setelah screenshot percakapan mereka tersebar tempo hari, Komplotan Thi mengganti nama grup. Itu hal yang sangat mungkin. Demi keamanan. Lika menengadah lagi, menatap koridor menuju toilet. Sosok Arik tidak terlihat. Dia segera menghentikan rekaman saat merasa cukup lalu menyimpan kembali ponselnya ke saku rok dan tetap membaca pesan yang masuk di ponsel Arik.
"Lo ngapain?" Ponsel di tangan Lika dirampas seseorang. Cewek itu terlonjak ke belakang dengan pekikan nyaring. Saat kepalanya menengadah, ekspresi keras Arik tertangkap kedua bola mata. Deg. Lika merasa jantungnya mau copot. Cewek itu mengerjap, linglung, lalu mencoba mengendalikan diri dengan deham singkat. Dia menelan saliva, dan mengatur napas agar tetap tenang.
Tenang Lika, tenang.
Arik menatap layar ponsel dan mukanya berubah keruh. Urat leher cowok itu menegang, tercetak jelas di lehernya yang putih. Dia melirik Lika dengan sorot mata tajam. "Lo baca pesan yang masuk?"
Lika harusnya menjawab tidak, atau menggeleng. Namun, dia terlalu syok dengan semua fakta yang didapatnya di lapangan. Arik, cowok super baik, manis, perhatian, ternyata anggota Komplotan Thi, sekumpulan orang jahat, tidak punya hati, dan hanya memikirkan keuntungan pribadi. Semua bayangan dan imaji di kepalanya tentang cowok itu hancur seketika. Maka, cewek itu bertanya tanpa pikir panjang, "Apa benar itu grup percakapan Thi?"
Lika melihat sudut bibir Arik berdenyut, dan cowok itu memaksakan seulas senyum. "Bukan. Itu cuma iseng. Lo tahu, kan, cowok sering bikin hal-hal nggak guna semacam ini."
Akan tetapi, ekspresi Arik jauh berbeda dengan nada suaranya. Lika menggeleng dan tatapannya terarah tajam ke arah Arik.
"Te-terus, siapa Bang Mu?"
Pelak. Wajah Arik pucat pasi. Napasnya terdengar memburu. Tanpa diduga, Arik meraih salah satu lengannya dan menariknya menuju lorong sepi ke dekat pembangunan laboratorium. Itu adalah tempat yang jarang dilewati orang-orang. Lika mulai merasa resah, dan dia menarik tangannya dari genggaman Arik, tetapi cowok itu tidak mau melepaskan.
"Arik! Kita mau ke mana? Lepasin."
Arik tidak menyahut sama sekali, lalu menyudutkannya ke tembok bagian belakang laboratorium fisika yang lembap dan penuh lumut. “Lo baca sampai sejauh mana?” Suaranya terdengar mengandung amarah.
Ekspresi Arik sekarang memperjelas kalau dugaan Lika benar dan grup percakapan itu nyata. Arik padahal bisa tetap berkilah kalau dia bukan anggota Komplotan Thi dengan berbagai macam alasan. Semua harapan Lika tentang cowok ini luluh lantak tanpa sisa. Arik hanya ilusi.
"Jawab!" sentaknya.
Lika mencoba mengendalikan emosi dengn tetap mengangkat kepala. Akan tetapi, banyak emosi yang menguasai dadanya. Dia merasa marah, kecewa, sedih, takut. Semua hal bercampur dan memperkeruh keadaan. Dia membuka mulut, hendak melawan Arik dan menjauh darinya. Akan tetapi, bibirnya gemetar dan suaranya tidak keluar dengan jelas.
"Gu-gu-e…." Lika terkejut karena suaranya jadi gagap. Cewek itu menatap Arik takut-takut. Ini pertama kalinya dia gagap di depan Arik.
Alis Arik bertaut, dan tatapannya mengancam. "Gue apa?! Lo baca sampai mana, sialan!"
Lika mundur ke belakang, merapatkan diri ke tembok. Amarah Arik baru kali ini dilihatnya. Dia tampak ... menakutkan. Lika mengatur emosi, mencoba mengendalikan ucapannya agar tidak putus-putus.
"Gu-ge baca semuanya! Lo-lo komplotan Thi!"
Lika merasa mulutnya dibekap. "Jangan ulangi kalimat itu lagi!" kata Arik sambil celingak-celinguk ke sekitar. Lika berontak sekuat tenaga sampai bekapannya terlepas. Dia menarik napas banyak-banyak.
"Lo jangan bilang siapa-siapa!" ancam Arik. “Ingat! Kalau lo bilang siapa-siapa, gue akan bikin hidup lo hancur. Kalau sampai ada rumor soal ini, lo yang akan pertama celaka."
Lika merasa matanya memanas dan menggigit bibir untuk mengendalikan emosi. Arik yang ada di depannya sangat jauh berbeda dengan versi Arik sebelumnya. Cowok itu terus menekannya dan membuat emosinya berantakan.
Arik menyugar rambut sambil berkacak pinggang. "Kita jangan berhubungan lagi," katanya. “Sialan. Nyesel gue deket sama lo. Bukannya untung, malah buntung.” Dia melirik Lika dari atas sampai bawah. “Lo juga nggak terlalu menarik. Ngebosenin banget.”
Lika menasa tertampar. Emosi meledak dalam dirinya. Dia membuka mulut, ingin menghandik cowok di depannya. “A-a-a-a-r-r-r-i-i-k. Gu-gu-gu-gu-e....“
Satu alis Arik terangkat. “Lo kenapa?”
Lika menutup mulut dan mengigit bibir bagian bawahnya. Cewek itu menunduk, matanya memanas, dan napasnya memburu. Dia merasa sangat marah, tetapi tidak bisa meluapkannnya dengan benar.
“Lo lagi apa?”
Arik tersentak dan menoleh cepat ke asal suara. Cowok itu menatap tajam Delta yang kini sedang menatapnya tajam. "Sial," umpat Arik. Dia menjauh dari Lika, dan menatap tajam ke arah Delta. "Ini bukan urusan lo,” katanya, lalu menunjuk ke koridor menuju kantin. “Lo boleh pergi.”
Alih-alih menurut, Delta menatap kondisi Lika lalu menyipit. "Lo baik-baik aja?" tanyanya pada cewek itu.
Arik menempatkan tubuhnya di antara Delta dan Lika, menutupi pandangan dua belah pihak. "Gue bilang ini bukan urusan lo!"
Lika mengangkat kepala, dengan wajah memerah dan perasaan kacau. Dia menatap Delta sambil memelas, "Gu-gue-e nggak ba-baik-ba-baik aja!"
Delta menatap Arik sangar. "Kayaknya lo yang harus pergi."
Arik mendecih, dan menatap Lika tajam. “Ingat kata-kata gue! Kalau lo buka mulut, gue bersumpah, hidup lo akan hancur."
Delta mendorong Arik menjauh. "Bacot. Cepet pergi!"
Arik memandang Delta sinis lalu berbalik pergi sambil mengumpat. Delta melirik Lika yang kembali menunduk. Rambut cewek itu menutupi wajah, terlihat berantakan. Tangan Lika gemetar, dan tubuhnya terlihat lemah.
"Lo baik-baik aja? Arik ngelakuin apa sama lo?”
Lika berjongkok, mengabaikan pertanyaan Delta. Cewek itu menutup wajah dan menelusupkannya ke antara lutut. Suara sedu sedan terdengar.
Lika benci ketidaknormalannya, ketidakmampuan meluapkan emosinya, dan tatapan Arik barusan. Lika benci semua orang.
Perkataan Arik kembali menguasai benaknya. “Lo juga nggak terlalu menarik. Ngebosenin banget.”
Semua perasaannya pada cowok itu luntur, dan menyisakan rasa perih. Saat ini, Lika resmi patah hati.
***