Lika tahu siapa si pencuri ponsel dan itu rahasia. Masalahnya, dia tidak bisa membiarkan orang lain tahu siapa si pelaku. Kalau sampai si pelaku tertangkap, kehidupan SMA-nya yang normal bisa hancur. Atas kesialannya itu, Lika menamai dirinya benalu yang diganggu. Secara teori, harusnya dia yang merepotkan inang, bukan malah dia yang direpotkan inang. Namun, siapa yang peduli teori? Terkadang dalam realita, semua hal dapat terbalik dengan mudah.
Tragedi hilangnya ponsel terjadi tadi pagi di pergantian jam pelajaran ke tiga. Saat itu jam olahraga. Lika hendak mengganti baju di toilet umum, bukan toilet khusus wanita. Karena—tentu saja—toilet wanita lebih penuh dan sibuk dari pada toilet umum. Di tempat itu dilakukan berbagai kegiatan yang menunjang kehidupan cewek-cewek. Mulai dari buang air tapi bohong, berdandan sampai wajah seputih kapur, dan bergosip ini itu tanpa peduli orang lain menahan keinginan untuk buang air. Cewek memang sesuatu. Lika malas harus antre dan bergabung ke sana. Bisa-bisa jam olahraganya keburu habis sebelum sempat berganti baju. Toilet umum tidak terlalu antri. Ada beberapa cewek yang sepemikiran dengannya—tentang toilet perempuan—dan memilih memakai toilet umum. Jihan adalah satu di antaranya.
Lika dan Jihan berdiri di depan salah satu pintu toilet sambil menenteng tas kain berisi baju olahraga. Jika Jihan menyimpan tasnya ke depan, Lika menyimpan tasnya ke belakang. Dia memainkan kaki di tempat sambil menengok ke sana kemari, tanda mulai bosan. Cewek itu meraih ponsel dari saku seragam dan memindahkannya ke dalam tas. Pernah, dia lupa tidak memindahkan ponselnya dari saku segaram dan berakhir jatuh ke lantai toilet yang menjijikkan.
Tidak lama setelah itu, segerombolan cowok berjalan di belakangnya. Lika terpaksa mendempet ke depan pintu toilet untuk memberi celah. Dia melirik cowok-cowok itu sekilas, dan terkejut saat seorang cowok mendorongnya pelan.
"Sori," kata cowok itu sambil lalu.
Lika mengernyit tidak suka, dan memandang kepergiannya dengan mata menyipit.
Tepat saat gerombolan cowok itu berbelok ke lorong berikutnya, pintu toilet terbuka. Dua orang perempuan keluar dari sana. Lika dan Jihan segera masuk lalu menyampirkan tas jinjing ke paku. Saat Lika hendak mengambil baju, alisnya mengernyit. Jemarinya tidak menemukan keberadaan benda kotak bertekstur keras: ponsel. Lika segera merogoh tas itu lalu mulai was-was saat ponselnya tidak kunjung tergapai. Dia meraih tas jinjing dari paku lalu mengeluarkan semua baju yang ada di sana dan menyampirkannya ke pundak.
Tidak ada.
Ponselnya hilang.
Cewek itu memekik pelan lantas melirik Jihan kalut. "Ponsel gue hilang!"
Jihan terbeliak lalu memekik. "Serius? Coba cek ulang."
Lika menjejalkan kembali pakaian ke dalam tas lalu menyerahkannya pada Jihan. Jihan segera mengubrak-abrik isi tas. Di saat itulah, Lika ingat segerombolan cowok yang melewatinya. Dia segera keluar dari toilet dan berlari menyusul mereka ke arah lapangan olahraga.
Saat berbelok di lorong, Lika melihat 'rahasia' itu. Si pelaku ada di sana, dengan ponsel Lika berada di tangannya. Mereka saling tatap lantas terlibat percakapan singkat yang merujuk pada sebuah kesepakatan. Tepat saat itu juga Jihan melaporkan jika ponsel Lika hilang ke kesiswaan.
Lika menceritakan kejadian itu pada Delta di depan kelas. Namun, yang diceritkannya hanya sampai berlari ke lorong dan tidak menemukan apa-apa. Delta mendengarkan dengan serius. Sesekali bibir cowok itu terbuka, lalu kembali tertutup. Dia menahan satu per satu pertanyaan yang muncul di benaknya dan membiarkan Lika meneruskan pembicaraan sampai selesai.
Saat Lika selesai menjelaskan, Delta bertanya, "Siapa yang lo curigai?"
Kalau saja Lika tidak tahu si pelaku dan mereka tidak terlibat kesepakatan, Lika akan menjawab bahwa dia tidak mencurigai siapa pun. Namun karena situasi saat ini berbeda, dia memutuskan menjawab, "Lo."
Delta mengernyit sambil mengangkat satu alis. Ekspresinya seolah mengatai jika Lika konyol. "Gue?" ulang cowok itu.
"CCTV," balas Lika. Jawaban konyol. Kenapa malah mengungkit CCTV lagi. Lika merutuk dirinya sendiri tetapi mencoba untuk tidak terlihat kaku. Dia harus bisa mengendalikan emosi. Dengan begitu kata-kata baik akan keluar dari mulutnya dengan cantik.
Delta tersenyum miring. "Oke," katanya. Malas ikut permainan debat Lika kalau dia pelakunya. "Kalau selain gue, lo mencurigai siapa?"
Lika menatap mata jernih Delta lalu menelan saliva tanpa kentara. Saat inilah, dia harus menjalankan misinya. Cewek itu berdeham dan bersuara dengan nada yang bisa membuat Delta merasa penasaran. "Ada satu orang yang gue curigai."
Delta tampak tertarik. Matanya berbinar dan segera membenarkan posisi duduk. "Siapa?"
"Teman sekelas gue. Tapi lo jangan langsung tanya dia. Selidiki dulu."
Delta mengangguk mantap. "Siapa?"
Lika berpikir sejenak, lalu mengingat-ingat teman sekelasnya yang punya kebiasaan aneh dan dapat menimbulkan kecurigaan. Teman sekelas yang bergabung dengan gerombolan itu. Bibirnya melengkung saat berhasil mengingat seseorang. "Rafi. Gue lihat dia bareng gerombolan itu."
Delta menyipitkan mata, berpikir keras, kemudian berseru, "Gue tahu dia!" Sudut-sudut wajahnya mengerut tidak suka, seolah sulit mencocokkan fakta yang diketahuinya dengan apa yang Lika ucapkan.
"Lo kenal dia?"
Delta mengangguk. "Iya," katanya. "Kenapa lo curiga sama dia?"
Lika gelagapan. Dia memutar otak. Temukan hal yang dapat menimbulkan kecurigaan, pikirnya. Saat menemukan hal itu, Lika mengatur napas dan segera menjelaskan, "Soalnya dia sering pinjam uang ke semua orang. Dia kayak butuh uang banyak gitu. Nah, karena bulan ini banyak yang nggak mau minjemin, siapa tahu, kan, dia nekat dan malah mencuri?"
Delta tidak setuju. "Setahu gue, Rafi memang gitu orangnya. Dia minjam uang buat beli mainan antik lalu bayar pinjamannya di awal bulan. Dia selalu menepati janjinya buat bayar utang, kok. Dia orang baik. Nggak mungkin nyuri."
Lika tahu Rafi suka mainan antik dan fakta itu sudah menyebar. Namun, siapa yang mengira kalau Delta tahu fakta itu. "Siapa tahu dia mengidap Kleptomania."
Delta menggeleng tegas. "Enggak!"
"Kenapa lo seyakin itu? Lo, kan, nggak tahu kesehariannya gimana."
Delta tersenyum miring. "Gue satu SMP sama dia. Setahun sebangku sama dia. Kita juga masih sering main bareng waktu kelas sepuluh dan dia masih sering pinjam uang ke gue."
Lika menelan saliva. Gagal. Tuduhannya gagal total. Percakapan tentang Rafi resmi ditutup. Cewek itu menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu bertanya, "Kalau bukan Rafi, menurut lo siapa pelakunya?"
Delta mengangkat kedua bahu. "Mana gue tahu," sahutnya. "Tapi mungkin pelakunya adalah komplotan pencurian ponsel di sekolah."
Lika menyipitkan mata, agak bingung. "Bukannya mereka udah berhenti beroperasi sejak sebulan yang lalu?"
Delta mengangguk. "Siapa tahu sekarang mereka mulai beraksi lagi, kan?"
"Lo tahu nggak siapa mereka?"
Delta menoleh dan mengamatinya lamat-lamat. Lika mengangkat alis, menunggu respons cowok itu. Namun, Delta tidak kunjung mengatakan apa pun. Dia tetap menatap Lika dan membuat cewek itu tidak nyaman.
Apa sih, Delta?
Saat Lika hendak berdiri dan mengomel, Delta memalingkan muka. Cowok itu menatap lurus ke depan lalu mengangkat bahu. "Siapa yang tahu."
Lika mengernyit. Apa yang sedang dipikirkan cowok ini?
***