"Jadi, HP lo udah balik atau belum?"
Lika tidak suka perkumpulan ini. Formasinya tidak normal. Biasanya dia hanya duduk bersama Jihan tanpa embel-embel siapa pun lagi. Ini karena situasi sekarang menjadikannya pusat perhatian. Semua gerak-gerik dan perkataannya seolah sangat penting dan mempengaruhi alur percakapan. Hanum, Zahra dan Dinda duduk di dekatnya dan bersikap sok akrab. Padahal gestur Lika jelas-jelas terlihat tidak nyaman. Teman-teman tidak dekatnya itu menatap iba dan terus mencerocos ini itu. Kalau Lika dalam keadaan normal, dia akan mengkritik mereka dalam hati; cewek biang gosip. Namun, kondisi sekarang membuatnya lebih memilih diam tanpa berkomentar. Kepalanya dipenuhi banyak hal yang lebih penting, dan percakapan ketiga orang ini tidak masuk di dalamnya.
"Gue heran kenapa Delta mencuri HP lo. Setahu gue keluarganya mapan, kok," lanjut Hanum.
"Mungkin dia mengidap kleptomania?" tebak Zahra.
"Klepto—apa?" tanya Hanum.
"Kelainan suka mencuri barang orang. Masa nggak tahu, sih?"
"Nggak mungkin, ah. Delta baik kok orangnya."
"Memangnya lo kenal dia?" sahut Dinda.
Hanum menggeleng sambil cengengesan. "Enggak. Tapi gue pernah satu SD sama dia."
Dinda mendengus kemudian menimpali. "Setahu gue dia gak pernah bawa HP ke sekolah. Mungkin dia emang nggak punya HP makanya curi HP Lika."
"Punya kok. Cuma dia nggak mau bawa aja ke sekolah," balas Hanum.
"Kata siapa?" tanya Dinda.
"Teman-teman sekelasnya."
"Palingan cuma alasan. Mungkin dia memang nggak punya HP."
"Tapi akun Line-nya aktif kok tiap malem. Dia juga sering chat di grup kelas."
"Berarti dia mengidap kleptomania," sahut Zahra, menegaskan dugaannya.
"Bisa juga,” putus Dinda.
"Nggak mungkin!" Zahra tetap membelas.
Dinda mengusap-usap lengan atasnya. "Ih kok gue merinding.”
Lika melirik jemarinya yang gemetar, lalu menautkan satu sama lain. Dia menatap Hanum, Zahra dan Dinda yang sedang berspekulasi ini itu. Mereka duduk di bangkunya yang berada di pojok ruangan. Lika bisa melihat tatapan ingin tahu orang-orang. Namun, mereka tidak berani mendekat karena paham kalau sekarang adalah waktunya Dinda dan kedua temannya menggali gosip.
Jihan—teman sebangkunya—sedang pergi entah ke mana. Lika jadi terjebak di sini sendirian. Karena itu dia harus terlihat normal. Jangan gugup. Lupakan kejadian tadi siang, kata hatinya. Kejadian tadi siang yang dimaksud bukan tentang kehilangan ponsel. Namun, kejadian setelah ponsel menghilang. Lika menarik napas dalam-dalam. Tidak mau bibirnya kelu lalu huruf yang menyebalkan keluar berulang kali.
"Lo kenapa diam aja, Lik? Syok banget, ya?" tanya Dinda.
Lika tersentak lalu jantungnya bertalu-talu. Bibirnya hendak terbuka dan—dan apa? Susunan kata yang baik tidak akan keluar dari mulutnya saat sedang gugup seperti sekarang. Jika dipaksakan berbicara, suara yang keluar pasti, "A-a-a-a-k-k-k-u-u-u."
Tidak boleh. Kalau sampai satu kata tersendat itu keluar, hidupnya bisa hancur. Ketiga orang ini akan menyebarkan gosip tidak menyenangkan.
"Lika?" Kali ini Hanum yang bersuara sambil mengibaskan tangan di depan wajah.
"Lo nggak apa-apa?" Itu suara Zahra.
Lika menelan saliva lalu menunduk. Kepalanya menggeleng. Ini trik kecil yang selalu berhasil membuat orang lain bungkam. Masa bodoh mereka menganggap aneh atau menyebalkan. Yang penting kehidupan SMA-nya tetap berjalan dengan normal.
"Perlu diantar ke UKS?" tanya Dinda.
Lika menggeleng lagi. Tolong kalian pergi dari sini. Kepalanya sedang tidak bersahabat. Kalau sampai dia lepas kendali, hancur sudah hidupnya. Tolong pergi!
Zahra ikut kepo. "Kenapa diam aja? Wajah lo juga pucat."
Lika menggeleng lagi. Ketiga cewek itu saling tatap lalu semakin mendekat. Tangan mereka menyentuh pundaknya. "Hei, tenang aja. Jangan nangis."
Perlakuan kepura-puraan ini sungguh menyebalkan. Lika ingin berteriak tetapi tidak bisa. Dia masih sayang kehidupan SMA-nya yang normal. Sebelumnya ketiga cewek ini tidak pernah peduli. Melirik pun tidak. Hanya karena menjadi korban dan dapat menjadi sumber gosip, mereka mendekat. Orang-orang memang tidak pernah tulus pada apa pun.
Gue butuh penolong! Pintanya putus asa.
"Hei!" Seruan hangat itu datang dari arah pintu kelas. Keempat cewek itu menoleh ke asal suara. Seorang cowok dengan senyum berlesung pipit berjalan mendekat. Matanya melengkung dengan binar hangat. Dia berdiri di depan Lika lalu sebelah tangannya terurur untuk mengacak rambut lurus cewek itu. "Nggak apa-apa, kan?"
Mendapat perlakuan spontan di tengah kegugupan membuat Lika terbeliak, lalu mengangguk kaku. Penolong datang. Sudut bibirnya perlahan terangkat. Sangat bersyukur cowok ini datang tepat waktu.
Hanum, Zahra dan Dinda melongo di tempat. Arik menatap ketiga cewek itu sambil menyipitkan mata.
"Bisa pinjam Lika sebentar?" Ada tekanan tajam di ujung kalimatnya.
Ketiga cewek itu saling tatap, kemudian berdiri. "Oke."
Mereka berjalan ke sudut kelas bagian lain lalu Arik duduk di sampingnya. Cowok itu menyengir dan menyerahkan sebuah benda yang ditunggu-tunggu Lika; ponselnya.
"Lain kali hati-hati. Tadi gue bawa ponselnya dari ruang kesiswaan."
Lika tersenyum tipis. Kegugupan yang bergerumul di benaknya mulai pudar. Arik selalu memberikan efek menenangkan. Cowok itu seolah menjadi obat untuk ketidaknormalannya.
Lika menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, berusaha mengatakan kalimat dengan normal. "Makasih," cicitnya pelan. Aneh. Berbicara dengan Arik selalu lancar. Lika tidak perlu membuat usaha lebih agar kalimat yang keluar dari mulutnya tidak putus-putus.
Tangan Lika meraih ponsel. Mata sipitnya mengamati benda krusial itu. Ada satu guratan di layar. Tidak pecah. Untung lah, rusaknya tidak terlalu parah. Lika menatap Arik lalu jantungnya bertalu. Arik sengat memesona, seperti biasa. Senyum riang ditambah binar senang di matanya menjadi perpaduan paling pas yang pernah Lika lihat. Semua hal tentang cowok itu terasa hangat.
Arik Maulan.
Cowok kelas XI MIPA 5 itu mulai dekat dengannya sejak class meeting. Saat itu mereka dipertemukan menjadi lawan di perlombaan catur. Selama permainan, Arik mengajak bicara tetapi kebanyakan diabaikan Lika. Namun, cowok itu terus mencorocos ini itu sampai akhirnya Lika bersedia ikut serta dalam percakapan. Mereka beberapa kali tertawa dan mengundang peringatan panitia.
Arik menyenangkan dan jago bermain catur. Di awal permainan, Lika babak belur tetapi akhirnya menang. Arik mengalah, tentu saja. Lalu setelahnya, mereka sering bercakap-cakap di aplikasi pesan. Semakin lama semakin intens dan Lika yakin sebentar lagi mereka akan memasuki fase 'itu'.
"Pelakunya beneran Delta?" Arik bertanya serius. Ada titik-titik khawatir di wajah cowok itu.
Lika menghela napas lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu. Tapi katanya bukan."
Gosip beredar seperti itu. Delta bukan pelakunya.
Alis Arik bertaut. "Kalau bukan Delta, terus siapa?"
Lika terdiam sejenak, tampak bergulat dengan isi kepala. Sosok yang mengancamnya di belakang gedung mampir di kepala. Dia menatap Arik lamat-lamat, lalu menggeleng di depan mata jernih cowok itu. "Nggak tahu."
"Ya udah. Nggak usah dipikirin. Kamu sudah cabut pelaporan kasus ini, kan?"
Lika mengangguk. "Udah."
"Kalau gitu jangan cemberut terus. Senyum, dong." Arik menyimpan kedua telunjuk di ujung bibir, memperagakan cara tersenyum.
Lika tersenyum tipis, pelan terkekeh, kemudian diam lagi. Arik membuka mulut, hendak bersuara. Namun....
"Lika!"
Teriakan Dinda dari sudut ruangan membuat fokus kedua orang itu terganggu. Lika melihat Dinda menunjuk pintu dengan heboh. "Ada yang nyari!" teriaknya semangat. Kedua temannya tidak kalah heboh. Mereka menunjuk pintu dengan seringai senang.
Ada yang aneh. Lika mengernyit. "Siapa?
"Delta," kata mereka bertiga serempak.
Nama cowok itu berhasil menyentak keawarasannya. Jemari Lika bertaut gugup. Rasa takut menggerayangi seluruh tubuh. Delta mengingatkan pada kejadian setelah ponselnya menghilang; si Pengancam dan perjanjian di antara mereka.
Dinda berjalan mendekat. "Tadi Pak Dodi sama Bu Reka bikang, pelakunya bukan Delta. Kenapa dia nyari lo?"
Lika mematung, lalu melirik kaku ke arah pintu. Untuk pertama kali sejak masuk SMA, Lika ingin mengumpat. Sial!
***