Alen mematut diri di cermin. Ini hari penentuan baginya. Hari yang akan mengakhiri segalanya. Hari yang seharusnya sudah Alen lalui sejak lama.
Alen menoleh ke samping, memunculkan bayangan Galen sedang menatapnya dari tepian ranjang dengan senyum termanis. Pemuda itu tidak nyata, tapi tak apa-apa kalau Alen tetap melihatnya muncul tiba-tiba. Dengan pemuda itu pun, Alen akan mengakhirinya hari ini.
"Hari ini sangat penting, Galen. Ke depannya saya tidak akan mengizinkan kamu menemui saya lagi."
#
Alen mendekat ke meja makan, melihat Renata dan Alice duduk berdekatan menghadapi nasi goreng. Wajah keduanya tampak lelah.
"Selamat pagi." Alice menyapa duluan, tersenyum ragu-ragu pada Alen. Alen membalas dengan mengguk sekaligus tersenyum.
"Pagi." Jawab Alen.
Alen duduk berhadapan dengan Renata, mendapati ibunya terburu-buru menyendokkan nasi goreng untuk Alen.
"Kamu belum makan dari kemarin."
Alen memandang Renata. Wanita itu gemetaran mengangkat sendok nasi.
"Mama sendiri, sudah makan?"
Renata mendongak, kedua alisnya terangkat. "Sekarang kita makan sama-sama."
"Aku cuma ingin bilang Mama dan Alice nggak perlu nunggu aku kalau sudah lapar." Alen memasukkan seseuap nasi goreng. Rasa nasi goreng yang sama yang selalu Renata buat untuk sarapan. Meski begitu, Alen baru sadar ia tak pernah bosan dengan menu yang itu-itu saja setiap harinya.
"Enak." Ucap Alen setelah menandaskan nasi goreng miliknya.
Renata dan Alice berpandangan. Keduanya mengangkat alis, mungkin heran Alen tiba-tiba seperti ini. Sebelumnya Alen tak pernah komentar apapun soal nasi goreng buatan Renata. Alen cenderung makan dengan tenang atau lebih tepat kalau disebut bisu.
"Lo... nggak apa-apa, kan?"
Kali ini giliran Alen yang mengangkat alis mendengar pertanyaan Alice. Sejurus kemudian Alen menggeleng.
"Gue nggak apa-apa." Katanya, lalu mengambil semua piring kotor menuju wastafel. Di belakangnya Renata mengekor tanpa suara. Ketika Alen membubuhkan sabun, Renata bergabung di depan wastafel.
"Biar Mama saja." Katanya, merebut sponge pencuci dari tangan Alen. Alen menurut, tidak memaksa mencuci bekas piring makannya sendiri. Sebagai gantinya, gadis itu berdiri diam di samping Renata, menatap ke gelembung-gelembung sabun di permukaan piring.
Ini tak akan mudah.
Mengakhiri ini tak mungkin cukup dengan satu kata saja. Alen sudah bepikir matang-matang. Tapi sekeras apapun ia menyusun rencana, semuanya tetap kembali pada satu hal.
"Maaf."
Meminta maaf. Ternyata meminta maaf memang segalanya.
Alen terlalu egois saat dulu berpikir meminta maaf tidak mengubah apapun.
Renata menoleh lalu membeku. Tangannya refleks berhenti menggosok piring-piring kotor ketika mendapati Alen menunduk.
"Kenapa?" Katanya, terburu-buru mencuci tangan, lalu mengangkat wajah Alen. Ia menemukan putrinya sudah memerah menahan tangis.
"Selama ini aku terlalu egois." Alen menelan ludah. Sama sekali di luar dugaan ia bisa mengatakan maaf.
"Benar kata Alice, aku terlalu sensitif, nggak memikirkan Mama ataupun Alice." Jelas Alen parau. Gadis itu mengembuskan napas merasa perlahan-lahan sesak di dadanya menjadi kosong. Alen sudah mempertimbangkan semuanya. Ia tidak mau terus menerus berperan tersiksa. Di balik semua penderitaan yang Alen rasa, ada penderitaan yang sama yang Renata dan Alice rasakan. Alen jngin mengakhiri semuanya. Rasa bencinya, rasa tersisihnya, rasa sedihmya. Semuanya. Juga memperbaiki hubungannya.
Dan pada akhirnya semua ini memang salah Alen. Kegagalan Alen dalam mengenali keluarganya sendiri. Kegagalannya mengenali beban yang ditanggung anggota keluarganya.
"Aku udah memikirkan semua ini semalaman. Ini semua salahku, jadi aku minta maaf." Akhirmya semua air mata Alen jatuh. Dadanya terasa lega, tapi perasaan bersalah menyergapnya.
Renata menggapai kedua pipi Alen seraya menggeleng. "Ini bukan salah kamu. Ini... ini..." kata-kata Renata habis oleh tangisnya yang pecah setelah mendengar pemintaan maaf Alen yang kedua.
"Alen, kamu nggak salah. Ini salah Mama yang nggak bisa mengurus anak-anak Mama."
"Kalau Mama nggak bisa mengurus anak-anak Mama, aku nggak mungkin tumbuh sebesar ini." Alen menggenggam tangan Renata, menciumnya, lalu memeluk Renata sambil berbisik.
"Aku sayang Mama."
Di meja makan, Alice yang menonton segera beranjak, memeluk Renata dan Alen.
Ketiganya menangis, diselingi suara keran air yang mengucur deras.
#
"Sudah?"
Alen mengangguk. Ia membuntuti Renata dan Alice yang sudah lebih dulu keluar. Mobil melaju tenang setelah Alen naik. Pemutar cakram memutar lagi Let It Be milik The Beatles. Alen tersenyum samar.
When i find myself in times of trouble
Mother mary comes to me
Speaking words of wisdom
Let it be
Setelah sekian lama kesalahpahaman ini membentuk pribadi egois dalam diri Alen, akhir ia bisa bernapas lega. Tidak ada cemburu. Tidak juga rasa tersisih. Kesehatannya membaik, pun dengan kesehatan Alice.
Dunia ini memang penuh dengan kesalahpahaman. Satunya-satunya jalan keluar hanya pengertian. Benar-benar sebuah keberuntungan Alen mampu membuat dirinya mengerti. Bahwa ia bukanlah orang yang tidak memiliki kepentingan atau eksistensi di rumahnya sendiri. Sebenarnya, Alenlah yang paling dipercaya Renata. Alen yang dianggap paling kuat dan paling bisa melakukan segala hal seorang diri.
Harusnya Alen bangga.
Seorang pun, tak pernah ada yang menganggap Alen semampu ini. Lain dengan Renata yang selalu mengandalkan Alen dan percaya Alen bisa.
Ibunya... orang terbijak yang pernah Alen kenal. Orang yang paling menyayanginya, juga paling percaya padanya meski Alen sempat tak memberikan rasa percaya yang setara.
Alen memalingkan wajah ke jendela setelah lagu Let It Be habis. Ia menemukan Galen mengendarai motornya, balik menoleh pada Alen seraya tersenyum.
Ah, pemuda itu...
"Benar kata kamu. Kalau saya mati dan masuk surga, saya akan minta pada Tuhan supaya saya diberikan keluarga yang sama dan kehidupan yang sama seperti di bumi meskipun saya tahu saya bisa meminta lebih dari pada itu."
"Kamu bilang apa?" Alice mengurutkan dahi.
Alen gelagapan, lalu tersenyum sendiri. "Nggak, gue cuma lagi ngomong sendiri."