Renata dan Alice menunggu dengan gelisah selagi Alen mengemasi barang-barangnya. Gadis itu menolak dibantu berkemas, katanya dia bisa sendiri.
Dokter sudah mewanti-wanti agar tidak membuat Alen merasa tertekan karena kesehatan mentalnya yang tidak stabil, jadi Renata lagi-lagi memutuskan untuk membiarkan saja Alen melakukan apa yang ia inginkan. Tapi tentu dengan lebih waspada dan perhatian. Renata tidak bisa menghadapi situasi yang lebih buruk dari pada mendengar Alen mencoba mengakhiri hidupnya di sekolah.
“Mau gue bawain tas lo?” Alice berdiri tegak, menginterupsi Renata dari lamunan kosongnya. Renata menoleh, mendapati Alen keluar dari kamar dengan menggendong cross bag-nya. Sesuatu menenangkan Renata setelah melihat Alen keluar kamar dengan kondisi yang jauh lebih baik. Renata nyaris terkapar di lantai UGD saat pertama kali melihat Alen terkulai dengan buku-buku jari berdarah. Rasanya seperti didorong terjun dari tebing paling tinggi tanpa aba-aba. Perasaan terkejut yang seolah bisa mencabut jantung Renata dari tempatnya tergantung.
"Gak usah."
Renata mengangguk memberikan kode pada Alice. Ini bukan saat yang tepat untuk membuka hati Alen. Alice juga sepertinya paham karena setelah Alen menolak dengan ketus, Alice tak mengatakan apa-apa, tak juga melakukan apapun selain menguntil Alen yang berjalan lurus melewati koridor rumah sakit.
Alen tiba-tiba berhenti di tengah selasar menuju pintu keluar. Ada perasaan was-was yang menyelindap ke dalam hati Renata. Ia sibuk menerka apa lagi yang merasuki pikiran Alen kali ini. Gadis itu tidak mungkin, kan tiba-tiba berbalik dalam sekali sentakan, kemudian berlari dan kabur tanpa pernah bisa Renata temukan lagi.
Renata menggeleng sembari mengembuskan napasnya, mengenyahkan pikiran-pikiran konyolnya.
“Kenapa Alen? Kamu lapar?” tanya Renata hati-hati. Putrinya bergeming, membelakangi dengan deru napas yang tenang.
"Aku mau duduk dengan Mama nanti.”
Renata mengangguk cepat. “Tentu, tentu saja.”
“Tapi aku mau Alice naik bus.”
#
Akhirnya Alen merasakan juga apa yang Alice rasakan selama ini. Diantar secara ekslusif oleh Renata. Hanya berdua. Duduk berdampingan di kursi depan. Sementara itu, meski Alice tahu yang Alen minta itu sangat tidak masuk akal, Alice menurut dan pulang dengan naik bus. Alice tidak mempermasalahkan soal kursi tengah atau kursi belakang yang masih kosong.
“Kamu mau makan dulu?” Renata yang sedari tadi mngemudi dengan hening akhirnya bersuara juga. Alen menyadarkan punggungnya di sandaran kursi, merasakan angin yang masuk dari jendela yang sengaja ia buka.
“Memangnya Alice nggak akan iri kalau kita makan dulu?”
“Kita bisa kasih tahu Alice untuk menyusul.”
Alen mengangkat bahu. “Oh.” Katanya sekenanya.
Sebenarnya situasi semacam ini sama sekali tidak membuat Alen merasa nyaman. Alen mendapatkan apa yang ia inginkan karena Renata dan Alice tahu, Alen nyaris saja mengakhiri hidupnya. Lucu sekali kalau setiap orang bisa mendapatkan apa yang mereka mau dengan cara mengancam atau cara-cara kriminal seperti bunuh diri.
Alen melemparkan pandangannnya keluar. Rentetan gedung terlewat dengn cepat, sama seperti masa-masa yang sudah lewat dalam dunia Alen. Alen ragu sebenarnya, tapi obrolannya dengan Galen sedikit banyak memancing rasa penasaran Alen.
Galen bilang, kalau seseorang mengatakan tidak saat kita bertanya apakah mereka akan senang atau tidak saat kita mati, maka kita akan merasa jauh lebih berharga. Alen mendengar jawaban tidak dari Renata beberapa jam lalu. Rasanya memang lega.
Namun sepertinya Alen memang sudah jauh lebih serakah dari pada sosoknya yang dulu. Alen tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia dapatkan, termasuk jawaban tidak dari Renata. Alen butuh sesuatu yang lebih dari sekadar sepotong kata-kata. Alen ingin penjelasan.
Setelah semua kejadian yang begitu rumit, menekan, dan melelahkan, Alen sadar ia ingin mengakhiri segalanya. Kemudian Alen berpikir, mati adalah jalan yang tepat. Tapi ketika Alen melihat bayangan penjaga sekolah di kamar mandi, Alen mengira itu adala sosok malaikat pencabut nyawa dan dengan payah Alen pingsan karena ketakutan.
Dari rasa takut itu, Alen percaya, mati bukan jalan pintas yang bisa ia tembus. Sekarang satu-satunya yang tersisa adalah penjelasan. Alen butuh penjelasan. Ia ingin tahu apa alasan Renata bersikap perhatian pada Alice selama ini, juga alasan mengapa Renata mulai menaruh perhatian pada Alen akhir-akhir ini.
Iya, Alen merasakannya. Renata mencurahkan perhatian yang lebih besar, bahkan sangat besar dibanding sebelumnya. Renata sering menanyakan soal makan dan minum obat, menawari antar jemput ke sekolah, bahkan menulis pesan singkat di kertas.
Semua itu jelas jauh dengan Renata yang selama ini tinggal bersama Alen. Dulu, saat Alen ingin membahas soal MDD, Renata sama sekali tak memperhatikan. Malah otaknya melayang memikirkan Alice yang belum juga pulang.
“Ma.” Alen menggigit bibirnya, mempertimbangkan soal meminta penjelasan.
Ada rasa takut yang sekoyong-koyong menelusup ke hatinya. Bagaimana kalau Renata mengabaikannnya seperti dulu? Bagaimana kalau saat Alen bicara, Renata memotong dan meminta Alen menghubungi Alice, persis seperti dulu?
“Ya?”
“Kenapa Mama lebih sayang Alice?” tanya Alen muram. Gadis itu memejamkan matanya sejenak begitu merasakan Renata menoleh cepat ke arahnya. Mobil melambat lalu berhenti di bibir jalan yang lumayan sepi.
“Kenapa kamu selalu berpikir Mama lebih sayang Alice?”
Alen mengangkat bahu. Ia tidak berani menatap Renata. Entah kenapa, setelah melihat Renata menangis, Alen enggan untuk bersikap dingin.
“Yang aku rasa selama ini begitu…”
“Alen,” Renata mematikan mesin mobil. Ia meraih tangan Alen. Wajahnya melembut dan matanya kembali penuh oleh air mata.
“Maaf kalau selama ini Mama membuat kamu salah paham, tapi Mama tidak pernah berniat membedakan kamu dan Alice.”
Suara Renata memancing sakit yang menohok di tenggorokan Alen. Gadis itu memalingkan wajah, teringat lagi memori-memori ketika ia diabaikan Renata. Masa-masa yang baginya sulit karena perasaan tersisih dan terabaikan.
“Mama selalu minta aku untuk naik bus sedangkan pada Alice, Mama selalu mau antar di ke lokasi pemotretan.”
“Mama juga khawatir sewaktu Alice pulang malam. Tapi waktu aku pulang malam, Mama nggak menghubungi aku atau menanyakan aku di mana.”
Alen terpaksa membiarkan air matanya jatuh. Tenggorokannya nyaris seperti sobek akibat terlalu lama menahan tangis. Gadis itu menunduk, melepaskan satu per satu air yang menimbulkan bulatan kecil di permukaan rok sekolahnya.
“Kalau Mama lebih sayang Alice, kenapa Mama harus nangis di rumah sakit? Kenapa Mama jawab tidak waktu aku tanya soal kematianku?”
“Itu karena Mama sayang sama kamu, Alen.” Renata menjawab cepat dan tinggi. Ia kemudian memutar tubuh Alen, mendongakkan kepala gadis itu agar mau menatapnya.
“Mama selalu merasa gagal setiap kali Mama melihat Alice. Mama gagal jadi orang tua yang baik, Mama gagal membahagiakan Alice, Mama gagal membuat Alice tetap sehat.”
Alen terkesiap dengan nada suara Renata yang meninggi, juga cengkraman Renata di kedua tangannya yang semakin detik semakin menguat.
“Sekarang bukan hanya gagal, Mama sudah tidak pantas disebut sebagai orang tua, apalagi ibu. Karena selain Alice, Mama juga tidak becus membesarkan kamu.”
Alen tak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Ia menunggu dengan gagap dalam sentakan Renata.
“Apa kamu nggak bisa merasakan kepercayaan Mama sama kamu?”
Alen menggeleng lemah. Tangisannya berubah bersuara ketika mendapati mata Renata penuh oleh kilat amarah.
“Mama selalu mengandalkan kamu, Mama percaya kamu anak yang mandiri, tapi Mama nggak pernah sadar kalau cara Mama salah.” Renata mengguncang bahu Alen yang mulai diserang kepanikan. Gadis itu berteriak keras ketika Renata menekan tubuhnya dan meneriakan serentetan kalimat dengan kekuatan suara yang memekakan telinga.
“Mama, lepas.”
Lalu seketika mata Renata berubah. Renata tersentak, menyadari Alen ketakutan atas sikapnya. Sejurus kemudian, wajah Renata yang penuh oleh kelebat amarah berubah terluka.
“Maaf, sayang. Mama salah.” Renata menarik Alen ke dalam pelukannya. Sementara itu, Alen terisak ketakutan, membenamkan wajanya di bahu Renata yang juga bergetar hebat.
“Mama salah, Mama memang nggak bisa membesarkan anak dengan baik. Pertama Mama membuat Alice depresi, sekarang kamu.”
Alen melepaskan pelukan Renata padanya. Gadis itu menyusut wajahnya, merasakan kosong dan bingung menguasai dirinya.
“Maksud Mama apa?”
#
Alice menggigiti kuku jarinya. Ia meletakan kembali botol minumnya ke dalam tas setelah meneguk pil putih langganannya. Pil ini, pertama kali Alice dapatkan ketika suatu malam ia terbangun oleh mimpi terburuk tentang perceraian Mama dan Papanya.
Alice terperanjat, dibasuh keringat dengan napas tersengal. Biasanya, setelah mimpi buruk, Alice akan kembali tidur, tapi malam itu lain. Keadaan Alice tak juga membaik. Ia merasa ketakutan secara tak wajar. Jantungnya berdebar, kadang cepat, kadang terasa lambat sampai dadanya nyeri. Kemudian seluruh tubuhnya mulai menggigil. Rasa takut yang aneh menyergap Alice. Gadis itu menghambur meninggalkan kamar setelah gelisah menguasai dirinya. Alice berlari ke kamar Renata, menyembunyikan dirinya di balik selimut dan pelukan Renata.
Lalu esoknya, menurut dokter Alice terkena serangan panik dan depresi ringan. Dokter bilang, jika terus berlanjut, kondisi Alice akan menjadi lebih buruk daripada sekadar merasa takut dan gelisah. Bisa jadi kondisi depresi Alice mengarahkannya pada kecenderungan menyakiti diri sendiri. Untuk mengatasinya, Alice perlu disibukkan dengan berbagai hal, salah satunya dengan bekerja sebagai model.
Semenjak itu, Alice mencoba menjadi lebih aktif dari pada biasanya. Ia tak membiarkan sedetik pun ia habiskan untuk melamun kosong. Pil tak pernah terlewat. Dan yang terpenting, Alice mulai mendapatkan kesibukan-kesibukan yang positif.
Alice menundukkan wajah, menatap lesu pada ujung sepatu putihnya. Bus yang ditunggunya sejak tadi belum juga datang, sementara cuaca semakin panas. Alice penasaran, apa Renata dan Alen yang naik mobil sudah sampai duluan, atau mereka mampir dulu ke suatu tempat?
Ponsel Alice berdering tepat ketika ia melihat bus datang.
Sebuah panggilan dari Alen.
Alice mengangkat panggilan, kemudian memasuki bus.
“Halo?”
“Lo di mana?”
“Di bus?”
“Udah sampai mana?”
“Masih di halte. Busnya baru dateng.”
“Jangan dulu berangkat!”
Alice mengernyitkan dahi.
“Maksudnya?”
“Suruh sopirnya diem dulu.”
“Ya, nggak bisa gitu dong, Alen.”
“Turun! Turun lagi Alice.”
Alice sama sekali tak mengerti. Ia duduk di kursi yang bersebelahan dengan jendela. Ketika bus yang ditumpanginya mulai melaju, secara tak sengaja ia melihat mobil Renata berhenti di halte bus. Dari mobil itu, Alen keluar, masih menempelkan ponselnya, berlari sekuat tenaga mengejar bus yang Alice tumpangi.
Bus melaju semakin cepat. Alice memutar kepalanya, berusaha tetap melihat Alen yang berlari tanpa henti.
Kenapa lagi gadis itu?
“Alen lo ngapain sih?”
“Suruh, sopirnya berhenti.” Napas Alen terdengar pendek-pendek.
Suara Alen yang mendesak menularkan panik pada Alice. Alice berdiri dari tempat duduknya, merasakan tubuhnya bergoyang-goyang karena pegerakan bus. Setelah itu, secara tak sadar, dibawah dorongan suara Alen yang mendesak, Alice berjalan menuju kursi supir.
“Pak, saya turun di sini.”
“Loh?”
“Saya turun di sini.” Nada suara Alice berubah mendesak, sama seperti suara Alen yang ia dengar di telinganya.
Supir menepikan bus ke bibir jalan. Bus berhenti. Alice menghambur keluar, mendapati Alen berlari menyusulnya dari kejauhan.
Tidak ada apa-apa, kan?
Alice ikut berlari. Ia menghampiri Alen sehingga keduanya melangkahkan kaki pada titik yang sama. Setelah cukup dekat, baik Alice maupun Alen, kedua berhenti, berhadapan, terengah-engah.
“Kenapa? Nggak ada apa-apa, kan?”
“Psikiater bilang, gue begini karena trauma perceraian Mama sama Papa.”
Alice mengangguk paham. Ia sudah mendengar soal ini dari Renata.
“Apa selama ini gue bukan satu-satunya yang trauma?”
Kening Alice berkerut samar. Ia mengatur napasnya, barangkali dengan menghirup oksigen secara normal bisa membuat kinerja otaknya kembali maksimal dalam memahami maksud ucapan Alen.
“Maksudnya?” Alice akhirnya bertanya juga, yakin ia tak bisa menerka ke mana arah pembicaraan adiknya.
“Mama bilang lo depresi.”
#
Yang bisa Alen lakukan sekarang hanyalah duduk kikuk bersama dua orang yang juga merasa kikuk.
Alen menjilat bibirnya, menghirup udara sebanyak mungkin untuk menyegarkan keruwetan dalam otaknya. Petama, Alen depresi, tidak ada yang memberitahu bahwa Alen bukanlah satu-satunya. Kedua, tiba-tiba seperti kedatangan komet, kenyataan Alice depresi menimbulkan perasaan yang tak bisa dipahami. Ketiga Renata mengaku sudah gagal membesarkan anak, menanamkan sedikit rasa bersalah. Semua itu membuat kepala Alen berputar-putar bak komedi dan korsel berkarat di fesitival.
"Kenapa Mama nggak pernah bilang soal Alice?" Alen memalingkan wajahnya, menelusuri wajah Renata. Seolah baru sadar ibunya banyak terluka, Alen meragap dada, sesak bergumul di sana.
"Karena Mama nggak mau membebani kamu. Mama dan Alice sepakat untuk merahasiakan soal kesehatan Alice dari kamu."
Alen menggigiti bibirnya yang mengering.
Benar-benar menguras otak dan menghabiskan kata-kata. Alen cuma bergeming menanggapi ucapan Renata. Dua orang di hadapan Alen sudah sepakat untuk tidak membebani Alen, tapi selama ini Alen selalu merasa ia memikul beban berat yang diberikan Renata dan Alice.
"Aku capek." Alen akhirnya bangkit dengan cepat. Gsdis itu meninggalkan ruang tamu, juga meninggalkan Renata dan Alice yang terpekur kosong. Entah ekspresi apa yang timbul di wajah Renata dan Alice. Yang jelas, Alen tak sanggup dan tak ingin berpaling untuk melihat mereka.
Alen menutup pintu kamar, menyandarkan tubuhnya yang terasa begitu berat di bagian pundak. Gadis itu merosot tepat saat punggungnya menyentuh pintu yang tertutup. Ia mengedarkan pandangan. Seisi kamar rasanya seperti tempat asing yang menakutkan.
Perlahan tapi pasti, air mata Alen menitik. Gadis itu membekap mulutnya dengan tangan. Tangisnya yang semula tanpa suara berubah jadi isakan tanpa jeda ketika sekelebat ingatan menghampiri benaknya.
Ada yang salah dengan dirinya.
Gadis itu selalu berpikir ia ada di titik terendah, kenyataannya ia ada di titik yang sama dengan Alice dan Renata. Titik paling menyakitkan. Titik yang penuh dengan kesulitan.
#
Renata tidak perlu berkilah kalau ia salah. Ia hanya tak habis pikir mengapa jalan yang ia ambil selalu salah. Mulai dari keputusannya menikah, bercerai, hingga menyembunyikan soal depresi Alice dari Alen. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan keinginannya. Tujuan yang selalu Renata targetkan seringnya tidak tercapai, bahkan meleset sama sekali.
Renata menatap kosong permukaan meja makan yang berembun karena napasnya berulang kali ia desahkan secara kasar. Di sampingnya Alice melakukan hal yang sama : menatap kosong, tampak kehabisan kata-kata.
"Sepertinya keputusan yang Mama ambil salah lagi." Ucap Renata di sela-sela napasnya yang terasa tercekik.
"Kita cuma berusaha untuk nggak membebani Alen atau membuatnya khawatir. Aku rasa nggak salah..." Alice menjawab cepat, tapi terdengar ragu-ragu. Renata sendiri sama sekali tidak merasa tenang mendengar jawaban cepat Alice. Bagaimana pun putri sulungnya cuma berusaha mengenyahkan gelisah, baik untuk Renata, maupun untuk dirinya sendiri.
Entah sampai kapan mereka harus kuat menghadapi Alen. Banyak hal menakutkan yang melintas di benak Renata ketika Alen bertanya mengapa tidak ada yang memberitahunya soal Alice. Kemudian hal-hal menakutkan yang semula hanya melintasi benak Renata sekarang seolah menjelma jadi nyata dan seolah memeluk Renata untuk meniupkan perasaan takut yang sama seperti ketika ia melihat Alen di UGD. Renata takut sekali saat Alen pergi meninggalkan ruang tamu dan berkata ia lelah. Banyak sekali kemungkinan yang Renata terka. Kemungkinan Alen merasa dibohongi dan terpukul sampai ia mengunci diri lagi di kamar atau kemungkinan Alen marah dan melakukan sesuatu yang nekat di kamar.
"Alen nggak mungkin melakukan hal yang sama dua kali, kan?" Renata bertanya setelah cukup lama tertekan oleh kalutnya sendiri. Untunglah Alice cepat tanggap dan tersenyum padanya.
"Alen bilang dia capek, mungkin dia cuma butuh istirahat. Kita juga butuh istirahat, kan?" Ujar Alice tampak dewasa. Renata menganguk, menyudahi acaranya melamun kosong di ruang makan. Renata melangkah pelan, bersama Alice yang memegang tangannya.
Dalam hati Renata sibuk berdoa, semoga apa yang terjadi hari ini tidak terjadi lagi esok, lusa, atau kapanpun di masa depan. Juga berharap Alen tak salah paham dengan apa yang ia dengar hari ini soal depresi Alice. Semoga Alen tidak merasa dibohongi, semoga Alen mengerti, semoga Alen memang hanya butuh istirahat setelah seharian ini berbaring di rumah sakit karena percobaan bunuh dirinya, dan masih banyak semoga yang Renata tak tahu apakah bisa terkabul atau justru akan jadi ujian lagi.
Keesokan paginya, seperti yang Renta duga, semoganya memang tidak akan terkabul dengan mudah. Alen tidak keluar kamar. Samar-samar terdengar suara gadis itu berbicara dari dalam kamar. Renata merasakan perlahan-lahan air matanya meleleh. Semakin jelas suara Alen berbicara sendiri di kamar, semakin hati Renata tercabik-cabik. Dengan tangan gemetaran, Renata mengetuk pintu. Suaranya yang parau diselingi tangis memanggil Alen.
"Alen, kamu nggak apa-apa, kan?"
Pembicaraan Alen terinterupsi. Gadis itu berhenti sebentar seolah sedang mendengarkan dulu Renata bertanya, tapi kemudian gadis itu terdengar lagi melanjutkan percakapannya serta mengucapkan sederet ucapan terima kasih. Ini pasti bagian terburuk dalam hidup Renata. Putri bungsunya kembali kehilangan kontrol diri dan bicara sendiri, menandakan bahwa kesehatan mentalnya sudan semakin turun. Dan kalau bukan karena perasaan terpukul kemarin, apa lagi yang bisa membuat Alen kambuh? Psikiater selalu mengatakan untuk menjaga agar Alen stabil secara mental. Kenyataannya yang bisa Renata berikan pada gadis itu bukanlah suasana yang bisa membuatnya stabil, melainkan rasa dikhianati, dibohongi, bahkan disisihkan. Bagaimana seseorang bisa tetap stabil dengan perasaan-perasaan negatif itu?
#
"Jadi kamu baru sadar sekarang?"
Alen menggigit bibirnya. Ia mengguk ragu-ragu.
"Saya kecewa sekali."
"Kenapa kecewa?" Alen mendongak cepat. Gadis itu meraih tangan Galen, merasakannya begitu nyata meski ia tahu Galen yang sekarang duduk bersandar di kamarnya hanyalah khayalan. Tapi, Alen sudah lebih mampu menyadari banyak hal dan menerimanya lapang dada. Salah satunya tentang keluarga dan khayalanya.
Alen paham mengapa selama ini Renata selalu mencurahkan perhatian lebih pada Alice, dan paham juga dengan kehadiran Galen yang tiba-tiba. Galen hadir dan tak akan pernah bisa menghilang karena Galen adalah manifestasi Alen dan hidup selamanya dalam benak Alen.
Alen menyadari alasan Galen mengatakan bahwa tugasnya adalah untuk menjaga Alen dan tak keberatan melakukan apapun untuk Alen. Tentu karena Galen adalah diri Alen, hati nurani Alen, dan benak Alen.
"Saya kecewa kamu baru sadar sekarang. Saya sudah berusaha menyadarkan kamu sejak dulu." Galen memberengut. Kalau Alen teliti, melihat Galen terasa seperi melihat sisi dirinya yang lain. Yang lebih cerah dan positif.
Alen menunduk, lalu tersenyum sendiri. Ia baru ingin mengatakan bahwa ia tidak bisa percaya dengan mudah pada Galen karena dulu Alen pikir pemuda itu seseorang yang nyata, asing dan perlu diwaspadai, tapi sosok Galen sudah lebih dulu menghilang dari pandangannya.
Bagian terkecil hatinya merasa tercabik, sebenarnya, tapi Alen sudah memantapkan diri : ia tidak akan memaksakan kehendak untuk kehadiran Galen. Toh, sekarang ia sudah tahu Galen itu hanya tokoh fiksi yang hidup di otaknya.
"Saya senang sekali betemu kamu. Walaupun awalnya menyakitkan, tapi kamu yang banyak menyadarkan saya."
"Alen kamu nggak apa-apa?" Terdengar suara Renata memanggil dari luar. Alen menjeda kalimat yang sudah tersusun di benaknya. Ia ingin membalas, tapi nanti saja. Ia punya waktu sendiri untuk Renata.
"Terima kasih Galen. Saya harap kamu selalu bersama saya. Terima kasih sudah menemani saya di waktu-waktu tersulit saya. Terima kasih juga selalu dengan senang hati menghadapi saya. Meskipun kamu sebenarnya adalah diri saya sendiri, saya tetap ingin berterima kasih. Bagi saya, kamu adalah dunia yang menyenangkan."