“Ini.” Galen menyodorkan minuman kaleng.
Selama beberapa saat, Alen memandangi kaleng minuman itu tanpa mengambilnya. Selama beberapa saat pula Galen harus membiarkan tangannya melayang di udara, menopang beban minuman kaleng yang lumayan membuatnya pegal.
“Kenapa? Ini minuman kaleng, tidak mungkin saya masukan racun ke dalamnya.” Ketus Galen, sepertinya mulai jengkel karena Alen tak kunjung menerima minuman pemberiannya.
Alen tidak bisa tidak tersenyum ketika mendapati ekspresi Galen. Alen menyambar minuman itu, meminumnya sampai habis dalam sekali teguk, kemudian melempar kaleng minuman itu ke tong sampah beberapa meter di sampingnya. Kaleng itu bertabrakan dengan bibir tong sampah sampai menghasilkan bunyi cempreng yang ribut, tapi pada akhirnya tetap masuk ke dalam tong sampah.
Galen bertepuk tangan ribut.
“Kamu hebat, Alen.”
Mendengar namanya disebut dengan nada akrab, Alen menoleh. Gadis itu bertafakur sebentar selagi ia memandangi Galen yang duduk di sampingnya.
“Tidak pernah ada yang memuji saya.” Ucap Alen pelan dan muram. “Apalagi untuk hal sepele.” Sambungnya, serta merta menarik sudut bibirnya untuk tersenyum—merasa lucu, mungkin.
“Saya juga tidak pernah memuji seseorang untuk hal sepele, kecuali kamu.” Galen menyahut santai.
“Kamu aneh.” tukas Alen.
"Kamu yang aneh.”
“Tidak. Kamu lebih aneh.”
Baik Alen maupun Galen sama-sama tertegun setelah saling menuduh soal siapa yang lebih aneh. Alen tentu saja sedang tenggelam dengan pikirannya, bertanya-tanya kenapa pada akhirnya ia menguntil Galen untuk membolos. Sedangkan Galen, tak tahu pemuda itu sedang memikirkan apa.
“Mau sampai kapan memandangi saya?”
Alen mengedip-ngedipkan mata. Ia mendapati Galen sedang menatapnya sehingga manik mata mereka bertemu. Ada sorot yang menyenangkan untuk dilihat di mata Galen. Sorot yang tidak begitu asing, sebenarnya.
Dalam sekali kerjapan, Alen memalingkan wajahnya. Dengan sudut mata, ia menangkap Galen tersenyum sekilas.
Kalau diingat-ingat, semua kejadian hari ini seolah-olah menuntun Alen untuk membolos, kan? Pertama Alen sarapan, lalu saat sarapan Alice ingin Renata mengantarnya ke lokasi pemotretan, yang otomatis membuat Alen harus naik bus sekolah yang selalu dinaiki Galen. Akhirnya meskipun tidak sengaja, Alen bertemu lagi dengan Galen yang selalu bisa muncul begitu saja.
“Saya minta maaf.” Lirih Alen, bersalah.
Alen tiba-tiba teringat kejadian di UKS sekolah. Saat itu secara defensif ia memutuskan untuk tidak mempercayai Galen dan melarikan diri begitu saja. Alen mengambil pilihan yang tepat kalau ia memutuskan untuk menghindari Galen, toh pada dasarnya Galen adalah orang asing yang mengatakan hal-hal tak masuk akal seperti ‘saya tahu segala hal tentang kamu’ membuat Alen berpikir pemuda itu adalah bagian dari sekelompok penjahat atau psikopat yang bersarang di Jakarta. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang sangat familiar di diri Galen. Entah itu sorot di mata beningnya atau apa, Alen juga tak tahu.
Alen hanya mengikuti kata hatinya dan mengiyakan ajakan Galen saat pemuda itu menawarkan untuk membolos bersama. Setelah itu, seperti magis, Alen merasa ia dan Galen berada dalam hubungan yang dekat. Seperti teman lama.
“Waktu di UKS, saya takut setengah mati. Apalagi kamu menyeret saya keluar. Saya pikir kamu mau melakukan sesuatu.” Alen melanjutkan, menjilat bibirnya yang terasa kering setelah menyuarakan apa yang menari-nari di benaknya.
“Misalnya melakukan apa?” Galen mengangkat kedua alisnya.
“Apa saja. Bisa membunuh saya atau…” pipi Alen mendadak terasa panas. Gadis itu memegangi kedua pipinya, lalu tersadar sudah mengatakan hal bodoh.
“Kalau saya mau melakukan sesuatu, saya tidak mungkin menyeret kamu keluar UKS. UKS jauh lebih sepi dan tersembunyi dibanding di luar saat ada acara pekan olah raga.”
Alen menunduk, merasakan panas di pipinya menjalar menjadi debaran jantung yang aneh dan tidak nyaman. Jangan sampai pipinya yang panas tampak semerah ceri atau Galen akan berpikir yang tidak-tidak.
“Pokoknya, saya minta maaf.”
Galen tidak langsung menjawab. Pemuda itu malah menoleh pada Alen, lalu tersenyum. “Tidak masalah.” Ucap Galen akhirnya.
“Tapi lain kali, pesan saya jangan diabaikan.”
Alen menelengkan kepala. “Kamu mau kirim pesan lagi?”
Bahu Galen terangkat. “Kapan-kapan, kalau saya bosan.”
“Ayo.” Galen tiba-tiba bangkit dari tempatnya duduknya. Ia mengulurkan tangannya pada Alen.
“Ke mana lagi?”
“Menghabiskan waktu.”
Ragu-ragu, Alen meraih uluran tangan Galen.
Genggaman tangan Galen hangat, tipikal genggaman yang sarat akan simpati dan kasih sayang. Mungkin begitu, menurut Alen. Lagi pula ini kali pertama Alen menggenggam tangan seseorang sejak ia dianggap gila oleh keluarga dan teman-temannya.
#
“Kamu sudah sering membolos, ya?” Alen mengedarkan mata, menatap sepanjang jalan. Galen membawanya ke flea market—tempat yang tidak pernah Alen kunjungi meskipun ia ingin. Alasannya sederhana. Alen tidak punya teman atau orang yang bisa ia ajak ke flea market untuk sekadar melihat-lihat. Alen bisa saja datang sendirian, tapi ia tidak mau menanggung resiko bicara sendirian di sepanjang jalur flea market dan membuat orang-orang berpikir ia pasien rumah sakit jiwa yang kabur.
Alen tersenyum sendiri memikirkan itu.
“Ini pertama kali.”
“Oh ya?” Alen menoleh sebentar pada Galen. Pemuda itu menyusuri jalur flea market dengan wajah datar, seperti wajah orang-orang yang tidak tertarik.
Alen sudah memalingkan wajahnya dari Galen ketika pemuda itu mengangguk.
“Kenapa memangnya?”
“Kamu terlihat sudah biasa membolos.” Jawab Alen ragu-ragu. Gadis itu menoleh lagi pada Galen, lalu tersenyum ketika pemuda itu balik memandangnya dengan wajah muram.
“Sepertinya saya benar-benar terlihat seperti kriminalis, ya di matamu?”
Alen tidak menangkap kata-kata Galen sepenuhnya. Perhatian gadis itu tersita oleh salah satu stan yang menjajakan puluhan jepit rambut dengan model klasik. Kalau seseorang bertanya apa yang paling Alen sukai, maka jawabannya adalah aksesori rambut.
Alen melangkah menghampiri stan itu, berdiri di depan meja lalu mulai memilih beberapa jepitan seolah lupa kalau ia sedang bersama Galen.
“Yang ini bagus.” Galen menempelkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu di kepala Alen.
“Kupu-kupu?” Alen mengambil alih jepit rambut yang Galen tempelkan di kepalanya. Selama beberapa saat ia membolak-balik jepit rambut itu, memperhatikan pola cantik yang dibuat di sayap kupu-kupu. Modelnya tampak tidak begitu pas dengan zaman sekarang, sebenarnya, tapi Alen pikir jepit rambut pilihan Galen lumayan menarik untuk koleksi.
“Saya ambil yang ini.” kata Alen. Gadis itu tidak sepenuhnya sadar kalau ia sedang merasa benar-benar semangat. Ia hanya berpikir kalau lonjakan energi yang tidak biasa ini karena ia sedang berada di flea market, bukan karena hal lain.
“Kamu beli pilihan saya?”
Setelah membayar, Alen meninggalkan stan, berjalan lurus tanpa melirik lagi stan-stan lain yang berjajar di sepanjang jalan.
“Iya.” Alen mengangkat kantong belanjaan berisi jepitan rambut tadi. Gadis itu memandangnya dengan lekat, lalu tersenyum simpul.
“Pilihanmu bagus.” Ucap Aĺen senang.
“Tahu tidak kenapa saya pilih kupu-kupu?”
Beberapa pertanyaan berterbangan di benak Alen. Gadis itu menelengkan kepala seraya menunjukkan wajah bingung. Baginya tak ada alasan. Alen biasa membeli sesuatu karena ia suka, bukan karena ada alasan tertentu.
“Kenapa?” akhirnya Alen bertanya, penasaran.
“Kupu-kupu awalnya dari ulat, kamu tahu?”
Alen mengangguk. “Lalu?”
“Ulat dibenci banyak orang karena penampilannya. Tapi setelah jadi kupu-kupu, banyak orang yang terpesona.”
“Jadi?”
“Jadi, kalau sekarang kamu merasa orang-orang tidak menyukaimu, apapun alasannya, kamu harus percaya bahwa suatu hari kamu bisa membuat mereka terpesona, entah bagaimana.”
Kilse.
Sangat klise.
Tapi jantung Alen berdebar secara tak normal. Padahal kalimat Galen hanya kalimat biasa yang bisa diucapkan banyak orang ketika membicarakan kupu-kupu. Padahal kalimat soal kupu-kupu yang dulunya adalah ulat menjijikan lalu bertransformasi dan mempesona banyak orang adalah kalimat yang sudah sering Alen dengar sejak ia di bangku SD.
Tapi tetap saja, mendengarnya dari Galen membuat Alen terperangah.