Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Alen
MENU
About Us  

“Ini.” Galen menyodorkan minuman kaleng.

Selama beberapa saat, Alen memandangi kaleng minuman itu tanpa mengambilnya. Selama beberapa saat pula Galen harus membiarkan tangannya melayang di udara, menopang beban minuman kaleng yang lumayan membuatnya pegal.

“Kenapa? Ini minuman kaleng, tidak mungkin saya masukan racun ke dalamnya.” Ketus Galen, sepertinya mulai jengkel karena Alen tak kunjung menerima minuman pemberiannya.

Alen tidak bisa tidak tersenyum ketika mendapati ekspresi Galen. Alen menyambar minuman itu, meminumnya sampai habis dalam sekali teguk, kemudian melempar kaleng minuman itu ke tong sampah beberapa meter di sampingnya. Kaleng itu bertabrakan dengan bibir tong sampah sampai menghasilkan bunyi cempreng yang ribut, tapi pada akhirnya tetap masuk ke dalam tong sampah.

Galen bertepuk tangan ribut.

“Kamu hebat, Alen.”

Mendengar namanya disebut dengan nada akrab, Alen menoleh. Gadis itu bertafakur sebentar selagi ia memandangi Galen yang duduk di sampingnya.

“Tidak pernah ada yang memuji saya.” Ucap Alen pelan dan muram. “Apalagi untuk hal sepele.” Sambungnya, serta merta menarik sudut bibirnya untuk tersenyum—merasa lucu,  mungkin.

“Saya juga tidak pernah memuji seseorang untuk hal sepele, kecuali kamu.” Galen menyahut santai.

“Kamu aneh.” tukas Alen.

"Kamu yang aneh.”

“Tidak. Kamu lebih aneh.”

Baik Alen maupun Galen sama-sama tertegun setelah saling menuduh soal siapa yang lebih aneh. Alen tentu saja sedang tenggelam dengan pikirannya, bertanya-tanya kenapa pada akhirnya ia menguntil Galen untuk membolos. Sedangkan Galen, tak tahu pemuda itu sedang memikirkan apa.

“Mau sampai kapan memandangi saya?”

Alen mengedip-ngedipkan mata. Ia mendapati Galen sedang menatapnya sehingga manik mata mereka bertemu. Ada sorot yang menyenangkan untuk dilihat di mata Galen. Sorot yang tidak begitu asing, sebenarnya.

Dalam sekali kerjapan, Alen memalingkan wajahnya. Dengan sudut mata, ia menangkap Galen tersenyum sekilas.

Kalau diingat-ingat, semua kejadian hari ini seolah-olah menuntun Alen untuk membolos, kan? Pertama Alen sarapan, lalu saat sarapan Alice ingin Renata mengantarnya ke lokasi pemotretan, yang otomatis membuat Alen harus naik bus sekolah yang selalu dinaiki Galen. Akhirnya meskipun tidak sengaja, Alen bertemu lagi dengan Galen yang selalu bisa muncul begitu saja.

“Saya minta maaf.” Lirih Alen, bersalah.

Alen tiba-tiba teringat kejadian di UKS sekolah. Saat itu secara defensif ia memutuskan untuk tidak mempercayai Galen dan melarikan diri begitu saja. Alen mengambil pilihan yang tepat kalau ia memutuskan untuk menghindari Galen, toh pada dasarnya Galen adalah orang asing yang mengatakan hal-hal tak masuk akal seperti ‘saya tahu segala hal tentang kamu’ membuat Alen berpikir pemuda itu adalah bagian dari sekelompok penjahat atau psikopat yang bersarang di Jakarta. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang sangat familiar di diri Galen. Entah itu sorot di mata beningnya atau apa, Alen juga tak tahu.

Alen hanya mengikuti kata hatinya dan mengiyakan ajakan Galen saat pemuda itu menawarkan untuk membolos bersama. Setelah itu, seperti magis, Alen merasa ia dan Galen berada dalam hubungan yang dekat. Seperti teman lama.

“Waktu di UKS, saya takut setengah mati. Apalagi kamu menyeret saya keluar. Saya pikir kamu mau melakukan sesuatu.” Alen melanjutkan, menjilat bibirnya yang terasa kering setelah menyuarakan apa yang menari-nari di benaknya.

“Misalnya melakukan apa?” Galen mengangkat kedua alisnya.

“Apa saja. Bisa membunuh saya atau…” pipi Alen mendadak terasa panas. Gadis itu memegangi kedua pipinya, lalu tersadar sudah mengatakan hal bodoh.

“Kalau saya mau melakukan sesuatu, saya tidak mungkin menyeret kamu keluar UKS. UKS jauh lebih sepi dan tersembunyi dibanding di luar saat ada acara pekan olah raga.”

Alen menunduk, merasakan panas di pipinya menjalar menjadi debaran jantung yang aneh dan tidak nyaman. Jangan sampai pipinya yang panas tampak semerah ceri atau Galen akan berpikir yang tidak-tidak.

“Pokoknya, saya minta maaf.”

Galen tidak langsung menjawab. Pemuda itu malah menoleh pada Alen, lalu tersenyum. “Tidak masalah.” Ucap Galen akhirnya.

“Tapi lain kali, pesan saya jangan diabaikan.”

Alen menelengkan kepala. “Kamu mau kirim pesan lagi?”

Bahu Galen terangkat. “Kapan-kapan, kalau saya bosan.”

“Ayo.” Galen tiba-tiba bangkit dari tempatnya duduknya. Ia mengulurkan tangannya pada Alen.

“Ke mana lagi?”

“Menghabiskan waktu.”

Ragu-ragu, Alen meraih uluran tangan Galen.

Genggaman tangan Galen hangat, tipikal genggaman yang sarat akan simpati dan kasih sayang. Mungkin begitu, menurut Alen. Lagi pula ini kali pertama Alen menggenggam tangan seseorang sejak ia dianggap gila oleh keluarga dan teman-temannya.

#

“Kamu sudah sering membolos, ya?” Alen mengedarkan mata, menatap sepanjang jalan. Galen membawanya ke flea market—tempat yang tidak pernah Alen kunjungi meskipun ia ingin. Alasannya sederhana. Alen tidak punya teman atau orang yang bisa ia ajak ke flea market untuk sekadar melihat-lihat. Alen bisa saja datang sendirian, tapi ia tidak mau menanggung resiko bicara sendirian di sepanjang jalur flea market dan membuat orang-orang berpikir ia pasien rumah sakit jiwa yang kabur.

Alen tersenyum sendiri memikirkan itu.

“Ini pertama kali.”

“Oh ya?” Alen menoleh sebentar pada Galen. Pemuda itu menyusuri jalur flea market dengan wajah datar, seperti wajah orang-orang yang tidak tertarik.

Alen sudah memalingkan wajahnya dari Galen ketika pemuda itu mengangguk.

“Kenapa memangnya?”

“Kamu terlihat sudah biasa membolos.” Jawab Alen ragu-ragu. Gadis itu menoleh lagi pada Galen, lalu tersenyum ketika pemuda itu balik memandangnya dengan wajah muram.

“Sepertinya saya benar-benar terlihat seperti kriminalis, ya di matamu?”

Alen tidak menangkap kata-kata Galen sepenuhnya. Perhatian gadis itu tersita oleh salah satu stan yang menjajakan puluhan jepit rambut dengan model klasik. Kalau seseorang bertanya apa yang paling Alen sukai, maka jawabannya adalah aksesori rambut.

Alen melangkah menghampiri stan itu, berdiri di depan meja lalu mulai memilih beberapa jepitan seolah lupa kalau ia sedang bersama Galen.

“Yang ini bagus.” Galen menempelkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu di kepala Alen.

“Kupu-kupu?” Alen mengambil alih jepit rambut yang Galen tempelkan di kepalanya. Selama beberapa saat ia membolak-balik jepit rambut itu, memperhatikan pola cantik yang dibuat di sayap kupu-kupu. Modelnya tampak tidak begitu pas dengan zaman sekarang, sebenarnya, tapi Alen pikir jepit rambut pilihan Galen lumayan menarik untuk koleksi.

“Saya ambil yang ini.” kata Alen. Gadis itu tidak sepenuhnya sadar kalau ia sedang merasa benar-benar semangat. Ia hanya berpikir kalau lonjakan energi yang tidak biasa ini karena ia sedang berada di flea market, bukan karena hal lain.

“Kamu beli pilihan saya?”

Setelah membayar, Alen meninggalkan stan, berjalan lurus tanpa melirik lagi stan-stan lain yang berjajar di sepanjang jalan.

“Iya.” Alen mengangkat kantong belanjaan berisi jepitan rambut tadi. Gadis itu memandangnya dengan lekat, lalu tersenyum simpul.

“Pilihanmu bagus.” Ucap Aĺen senang.

“Tahu tidak kenapa saya pilih kupu-kupu?”

Beberapa pertanyaan berterbangan di benak Alen. Gadis itu menelengkan kepala seraya menunjukkan wajah bingung. Baginya tak ada alasan. Alen biasa membeli sesuatu karena ia suka, bukan karena ada alasan tertentu.

“Kenapa?” akhirnya Alen bertanya, penasaran.

“Kupu-kupu awalnya dari ulat, kamu tahu?”

Alen mengangguk. “Lalu?”

“Ulat dibenci banyak orang karena penampilannya. Tapi setelah jadi kupu-kupu, banyak orang yang terpesona.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau sekarang kamu merasa orang-orang tidak menyukaimu, apapun alasannya, kamu harus percaya bahwa suatu hari kamu bisa membuat mereka terpesona, entah bagaimana.”

Kilse.

Sangat klise.

Tapi jantung Alen berdebar secara tak normal. Padahal kalimat Galen hanya kalimat biasa yang bisa diucapkan banyak orang ketika membicarakan kupu-kupu. Padahal kalimat soal kupu-kupu yang dulunya adalah ulat menjijikan lalu bertransformasi dan mempesona banyak orang adalah kalimat yang sudah sering Alen dengar sejak ia di bangku SD.

Tapi tetap saja, mendengarnya dari Galen membuat Alen terperangah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    bagus

    Comment on chapter Yang tidak diketahui
Similar Tags
Toko Kelontong di Sudut Desa
4964      1812     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
The Future Husband Next Door
253      196     4     
Romance
Ketika berjuang merebut hatinya bertahun-tahun.. Namun, ternyata perjuangan mu sia-sia.. Karena, nyatanya kamu bahkan tidak perlu berjuang untuk merebut hatinya...
AKSARA
5536      1990     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Dendam
488      354     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
27th Woman's Syndrome
10456      1995     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Rinai Kesedihan
782      523     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Fix You
826      505     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
Denganmu Berbeda
9413      2510     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
Memento Merapi
5812      2035     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Diary Ingin Cerita
3248      1497     558     
Fantasy
Nilam mengalami amnesia saat menjalani diklat pencinta alam. Begitu kondisi fisiknya pulih, memorinya pun kembali membaik. Namun, saat menemukan buku harian, Nilam menyadari masih ada sebagian ingatannya yang belum kembali. Tentang seorang lelaki spesial yang dia tidak ketahui siapa. Nilam pun mulai menelusuri petunjuk dari dalam buku harian, dan bertanya pada teman-teman terdekat untuk mendap...