Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Semi
MENU
About Us  

     “Hai, Bu Lastri.”
     “Oh, Deon,” sahut Bu Lastri riang, berbalik menghadapnya dari layar komputer. “Kau cepat sekali hari ini?”
     “Iya, tadi aku permisi ke kamar mandi. Saat mau kembali, bel tanda jam istirahat sudah berbunyi makanya aku langsung saja ke perputakaan,” terang Deon. “Ngomong-ngomong, di mana Bu Felicia?”
     Biasanya petugas perpustakaan ada dua orang, yaitu Bu Lastri dan Bu Felicia. Bu Lastri adalah seorang ibu-ibu berusia sekitar 50-an yang berjilbab serta bertubuh pendek bongsor, sedang Bu Felicia seorang perawan tua berkacamata tebal. Sehari-hari mereka berdua menjaga perpustakaan. Bu Lastri berjalan-jalan mengembalikan buku pada tempatnya dan Bu Felicia menginput data, tapi mereka tetap saling bahu-membahu.
     “Cuti,” Bu Lastri  berujar simpatik. “Lagi sakit flu.”
     “Semoga beliau cepat sembuh.”
     “Amin,” Bu Lastri mengamini panjang. “Makasih, Nak. Cuma kau satu-satunya murid yang paling baik sama kami.”
     Deon mengangkat alis. “Benarkah?”
     “Siapa lagi menurutmu yang sering ke perpustakaan?”
     “Para murid?”
     “Tidak semuanya, Deon. Coba kau lihat keluar.”
     Tidak perlu sampai keluar ruangan. Cukup melalui pintu kaca bening perpustakaan para murid terlihat berlarian ke sana kemari dengan riang gembira. Kelompok murid laki-laki maupun kelompok murid perempuan melintas lalu. Jangankan masuk perpustakaan, melirik saja enggan. Jadi perpustakaan berasa angker bak kuburan. Hampir selalu kosong, dingin, dan sepi pengunjung.
     “Mungkin mereka kurang suka belajar.”
     “Kecuali beberapa orang.” Bu Lastri menunjuk Deon. “Contohnya dirimu, Nak.”
     Senyum tercetak pada wajah Deon. “Itu karena ada yang ingin kucapai.”
     “Menjadi dokter, bukan? Memang harus belajar giat.”
     “Bagaimana murid-murid lain?” tanya Deon penasaran. “Apa tak ada yang mereka kejar makanya tak belajar giat?”
     “Mereka belum tahu dunia luar. Percayalah, saat kau tamat nanti, semuanya akan kelihatan berbeda 180 derajat.”
     Dahi Deon berkerut. Masih diam menunggu penjelasan Bu Lastri.
     “Hampir semua yang dipelajari di sekolah tidak dipakai di dunia nyata, Nak,” lanjut Bu Lastri terus terang. “Tapi ada beberapa hal dipakai kalau kau mengincar profesi tertentu.”
     “Maksud ibu ‘Pekerjaan’? Itu kata lain profesi, bukan?’”
     “Bisa dikatakan begitu.” Bu Lastri mengangguk. “Dan menjadi dokter adalah salah satunya. Kau akan pakai semua yang kau pelajari di sekolah untuk ujian masuk nanti.”
     “Karena itulah aku selalu ke perpustakaan.”
     Tiba-tiba seseorang membuka pintu perpustakaan. Seorang gadis berambut sebahu dalam balutan jaket tipis warna biru tua. Wajahnya terkesan lesu. Gadis itu langsung berjalan lemas ke belakang perpustakaan, di mana sebuah meja besar terletak di depan bangku panjang kulit yang tertempel ke dinding, dan duduk di ujung pinggiran agar terhalang rak-rak buku. Dia menunduk serta membenamkan kepala dalam pelukan tangan hangat untuk tidur sejenak.
     “Bolehkah tidur di perpustakaan?” bisik Deon ingin tahu.
     “Seharusnya ngak boleh,” jawab Bu Lastri pelan. “Tapi pengecualian untuknya.”
     “Bagaimana bisa?”
     Seingat Deon, Bu Lastri menjunjung tinggi peraturan. Dia sering memarahi murid-murid yang ribut atau tidak meletakkan kembali buku yang mereka baca. Makanya dijuluki sebagai petugas galak sehingga murid-murid enggan berkomunikasi dengannya. Tapi tidak pernah galak padanya. Deon yakin Bu Lastri memiliki alasan tersendiri.
     “Permintaan dari UKS. Katanya dia enggan terus berada di UKS dan minta diizinkan tidur di perpustakaan.”
     Sekali lagi Deon berbalik memperhatikan gadis itu. Berambut panjang hitam lurus, bertubuh mungil, dan, walau sekilas tadi, memiliki kulit putih yang membuat wajahnya menawan. Dia ragu pernah melihat gadis itu.
     “Kau tidak kenal dia?” tanya Bu Lastri setelah melihat Deon dipenuhi rasa tanda tanya.
     “Tidak,” jawab Deon singkat, tanpa memalingkan pandangan dari gadis itu. “Aku tidak mengenalnya sama sekali.”
     “Namanya Kilia. Tingkatan SMA2, sama denganmu.”
     “Mungkin dari kelas jurusan IPS?”
     “Sebentar, coba ibu cek dulu.”
     Setelah mengklik mouse beberapa kali, muncul sebuah daftar kertas digital pada layar berisi nama siswa-siswi yang sedang menempuh jalur pendidikan saat ini. Bu Lastri mengetik ‘Kilia’ di bagian pencarian dan muncul satu baris tabel. Satu-satunya di layar.
     “Kelas IPS 8 dari total 10 kelas IPS,” baca Bu Lastri singkat. “Benar. Dari kelas IPS.”
     “Wajar,” Deon berbalik berbicara kepada Bu Lastri, “murid-murid seangkatanku jumlahnya ratusan.”
     Bu Lastri membenarkan. “Memang mustahil mengenal seluruh teman seangkatan kalau jumlahnya segitu.”
     “Pasti. Oh iya, apakah buku yang kupesan sudah ada?” Deon kembali bertanya dengan nada antusias.
     “Sebentar, coba ibu cek dulu.”
     Bu Lastri mengambil kacamata dari atas meja komputer dan memakainya untuk memeriksa tumpukan buku baru terdekat yang belum dirapikan. Aneh sekali. Harusnya dia memakai kacamata untuk melihat komputer, bukan memeriksa buku yang tidak memancarkan cahaya radiasi.
     “Judul?” tanya Bu Lastri tanpa mengalihkan pandangan.
     “Pengetahuan Organ Tubuh.”
     Bu Lastri menarik keluar sebuah buku berwarna putih. Amat tebal. Debu-debu masih lengket pada pembungkus plastiknya dari semua buku yang ada, menyakinkan Deon kalau buku tersebut jarang dibeli orang. Dan dia akan menjadi orang pertama yang membacanya. Rasanya tidak sabar.
     “Ini.” Buku itu diserahkan kepada Deon setelah Bu Lastri mengoyak pembungkus plastik. “Susah sekali mendapatkannya. Harus dibeli secara internet oleh Bu Felicia.”
     “Maaf merepotkan.”
     Bu Lastri tersenyum kecil. “Tidak untuk murid kesayangan perpustakaan.”
     Deon tersenyum lebar. Dia memegang buku itu erat-erat seraya memperhatikan sampul bergambar jantung merah pekat dihimpit oleh hati dan usus halus. Sampul yang bagus sekali.
     “Aku pinjam buku ini, Bu,” seru Deon girang. “Seminggu penuh.”
     “Tentu, tentu. Seperti biasa.”
     Bu Lastri hendak kembali menghadap komputer saat telepon perpustakaan berdering. Langsung diangkat. Terpaksa Deon harus menunggu sambil memperhatikan perpustakaan tempat dirinya berada. Sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Sedikit bagian ruang tempatnya berdiri berupa tempat administrasi perpustakaan bersebelahan dengan pintu kaca tebal. Ruangan sisanya ditempati meja, kursi, dan rak-rak buku yang berjejer rapi. Setiap rak dilabeli kertas-kertas keterangan, bagai label untuk masing-masing kumpulan buku.
     “Iya, aku mengerti.” Bu Lastri mengangguk sembari mencuri pandang ke arah Deon. “Akan kusampaikan padanya.”
     Deon mengangkat alis heran. Apakah panggilan itu ada hubungan dengan dirinya? Karena Bu Lastri tengah meliriknya sekarang bahkan setelah menutup telepon.
     “Pak Brontas menyuruhmu menghadapnya.” Mata Bu Lastri terlihat horor. “Apa kau terlibat sesuatu, Deon?”
     “Tentu tidak, Bu,” bantah Deon kebingungan. “Apa alasan aku dipanggil?”
     “Entahlah. Tapi mari ibu daftarkan buku itu dulu.”
     Menggunakan jurus mengetik sepuluh jari, Bu Lastri menulis judul buku dan mendaftarkan nama Deon sebagai peminjamnya. Terlihat daftar riwayat peminjaman buku oleh Deon. Panjang ke bawah hingga lewat layar komputer.
     “Baiklah. Kau boleh ambil buku itu.”
     “Terima kasih, Bu Lastri,” ucap Deon dengan wajah datar. Sekarang dia harus menemui Pak Brontas, padahal dia sudah tidak sabar ingin membaca buku dalam genggamannya.

     ***
     “Masuk,” sahut Pak Brontas, mengizinkan orang untuk memasuki ruangannya setelah terdengar beberapa ketokan pintu.
     Seorang laki-laki jangkung masuk sambil menganggukkan kepala. “Permisi, Pak.”
     “Oh, Deon.” Pak Brontas meletakkan pulpen ke atas meja. “Bapak sudah menunggumu sedari tadi.”
     “Maaf jika terlambat.”
     “Ah, tidak, tidak,” bantak Pak Brontas. “Harusnya bapak yang minta maaf karena mengganggumu. Ada yang ingin bapak bicarakan sebelum pergi mengurus sesuatu.”
     Deon duduk pada salah satu kursi dari dua kursi yang ada di depan meja Pak Brontas. Bergaya duduk layaknya seseorang sedang wawancara kerja, dua kaki dirapatkan dengan dua tangan di atas perut. Formal sekali.
     “Ada apa, Pak?”
     Tangan Pak Brontas saling meremas. “Apa kau tahu di mana Edward? ”
     Pertanyaan tidak lazim. Bukankah seharusnya Pak Brontas sudah tahu di mana Edward? Kenapa harus bertanya kepadanya? Sejenak Deon bersedekap, berusaha memikirkan jawaban yang tepat.
     “Kau tidak tahu atau Edward yang tidak memberitahumu?” Pak Brontas mengangkat alis. “Dia sudah tidak masuk selama tiga hari.”
     “Dia ada memberitahuku, Pak,” jelas Deon serius. “Katanya ada urusan jadi dia tidak akan masuk sekolah beberapa hari ini.”
     “Dan tidak minta izin padaku?”
     Mata Deon melebar. Seingatnya Edward bilang dia telah minta izin sehingga semuanya sudah beres.
     “Dari ekspresimu, bapak jamin dia tidak mengatakan yang sesungguhnya padamu,” simpul Pak Brontas, sekarang duduk menyandari kursi. “Anak itu berulah lagi.”
Ini bukan pertama kali Edward berbohong padanya. Selalu ada alasan kenapa Edward berbuat demikian, biasanya tidak baik, dan Deon harus benar-benar mengorek dengan bertanya panjang lebar atau pun mengancam tidak akan membantu Edward jika ada tugas. Tambah sebuah kerjaan yang tidak perlu.
     “Baiklah, Pak,” desah Deon pasrah. “Biar aku saja yang mencari tahu ke mana Edward.”
     Pak Brontas tersenyum kecil. “Bapak jamin bisa mengandalkanmu. Selain kau ketua kelas, bapak tahu kau berteman baik dengan Edward.”
     “Tentu, Pak.”
     Satu pertanyaan lagi yang menganggu pikiran Deon. Perihal sifat Pak Brontas. Sering kali Pak Brontas  tegas dan emosian, bahkan sekedar berbicara pada siswa pun dia membesarkan suara dibarengi memukul meja. Walau jarang, Pak Brontas bisa juga memaki. Kejanggalan ini membuat Deon masih terduduk dengan wajah ingin tahu.
     “Ada apa, Deon?” tanya Pak Brontas, merasa percakapan sudah berakhir.
Perasaan Deon gundah, tapi mencoba memberanikan diri. “Boleh aku tanya sesuatu yang agak pribadi?”
     “Hm?” Dahi Pak Brontas berkerut samar. “Silahkan saja.”
     “Aku merasa sifat bapak berubah, dari…” Deon tidak berani mengungkapkan kata “kasar” atau “emosi” “…sifat biasanya.”
     Bapak berambut pendek dengan wajah sanggar dalam pakaian jas abu-abu ketat itu menarik napas dalam-dalam. Tidak habis pikir akan ditanya mengenai perubahan dirinya. Meski harus diakui dia memang berubah.
     “Bapak tahu sifat bapak kurang bagus,” Pak Brontas mulai menjelaskan kala bersedekap. “Bapak sering emosian, terlampau tegas hingga memberikan hukuman yang tidak masuk diakal, membentak tak karuan, dan lain-lain. Sampai bapak menemukan kasus itu.”
     “Kasus apa, Pak?”
     “Beberapa murid menggosip bapak. Mereka mengata-ngatai serta menjelekkan bapak dari belakang.” Pak Brontas memijat-mijat dahi. “Saat menerima kabar tersebut, bapak langsung galau.      Alih-alih marah, bapak bertanya-tanya kenapa mereka begitu.”
     Dengan fokus Deon memperhatikan Pak Brontas menjelaskan.
     “Bapak pun intropeksi diri dan bertanya-tanya pada guru lain, saat itulah bapak menerima banyak masukan. Juga unek-unek yang mereka simpan karena takut memberitahukan pada bapak selama ini.” Pak Brontas menghirup napas lagi. “Hahaha. Maaf, bapak jadi curhat.”
     “Aku rasa perubahan bapak bagus,” ungkap Deon, merasa senang dengan diri Pak Brontas yang baru. “Kami murid-murid sadar bapak menjadi pribadi yang lebih baik.”
     Terbesit harapan dalam mata Pak Brontas. “Oh? Bagus sekali kalau begitu.”
     “Tapi saya harap bapak tidak kehilangan ketegasan bapak,” saran Deon. “Atau murid-murid akan memanfaatkan bapak.”
     “Itu salah satu hal yang sedang bapak coba terapkan,” Pak Brontas menunjuk Deon. “Tapi bapak tak akan ragu-ragu. Kalian lihat saja.”
Baik Deon maupun Pak Brontas tertawa kecil. Saat itulah Deon merasa pertanyaannya telah terjawab.
     “Baiklah, Pak. Aku permisi dulu.”
     “Kabari bapak besok.”
     Baru saja keluar dari ruangan Pak Brontas, sebuah bunyi singkat terdengar. Bunyi dering pertanda sebuah pesan masuk. Deon merogoh kantong celana dan mengeluarkan ponsel pintarnya.  Sebuah gambar surat terpampang di layar ponsel dengan nama pengiriminnya “Edward”. Menggunakan jari telunjuk, Deon menekan gambar surat itu sambil menggeleng kepala.

     Temui aku di tempat biasa

     ***
     Saat Deon membuka pintu kafe, lonceng-lonceng kecil pintu berdentang-dentang. Seorang gadis pelayan berpakaian abu polos menghampiri Deon. Dia memberi salam dengan kikuk.
     “S-Selamat datang, Bang,” tanya gadis pelayan itu agak terbata-bata. “Mau duduk di mana?”
     Deon sadar pelayan ini orang baru. “Tempat biasa. Di sana.”
     Telunjuk Deon mengarah ke sebuah tempat duduk di ujung ruangan dekat jendela. Meja itu kecil, cocok untuk empat orang. Tapi sebuah papan kertas tergeletak di atas meja, bertuliskan           “Reserve”.
     “Maaf, Bang. Tempat itu sudah dipesan orang.”
     Otomatis Deon mengelus dagu karena Edward biasanya sudah memesan tempat mereka. Apa pemilik kafe lupa? Seharusnya tidak. Mereka langganan kafe itu. Mendadak seorang bapak setengah paruh baya memanggil gadis pelayan itu dari balik konter.
     “Oi, anak baru. Tempat yang ditunjuk memang tempat yang dipesannya.”
     “Oh,” Gadis pelayan menutup mulut dengan tangan. “Maaf, aku lupa tanya dipesan atas nama siapa.”
     “Tidak apa-apa,” kata Deon sambil tersenyum, membuat gadis itu menunduk malu. “Aku pesan sebuah teh manis. Tolong diantar nanti.”
     “Ok.”
     Tanpa menunggu lebih lama, Deon mengambil tempat duduk serta mengesampingkan papan kertas “Reserve” itu. Hari masih sore dan Deon tidak keberatan menunggu. Sehabis mengantar adiknya pulang, dia bergegas kemari setelah berganti baju. Dia memakai kaos hijau berpasangan dengan celana jeans ketat agar tidak ingin kelihatan seperti anak sekolahan. Namun tanpa disadari, masih banyak juga yang melirik.
     “Aduh, aku lupa tanya Edward jam berapa datang.” Deon meringgis. “Coba kutanya dulu.”
     Pesan dikirimkan. Tak berapa lama Edward membalas mengatakan dia akan datang sebentar lagi. Sebentar berarti antar 15 menit sampai 30 menit, itu artinya dia punya sedikit waktu luang. Sebuah kesempatan. Dia mengeluarkan buku “Pengetahuan Organ Tubuh” dan mulai tenggelam di dalamnya. Halaman demi halaman dibalik seraya wajah Deon berseri-seri bagai seorang anak kecil mendapat mainan baru.
     “Ini teh manisnya, Bang.”
     Gadis pelayan meletakkan sebuah gelas berisi cairan warna orange bercampur hijau tua ke atas meja Deon.
     “Terima kasih.” Tidak hanya teh manis, gadis itu juga meletakkan sebuah piring kecil berisi empat kroket. “Hm, aku tidak memesan kroket.”
     “Bos bilang punya abang.”
     Langsung saja Deon melirik kepada pria berbadan gendut di balik konter. Bapak itu sedang menata piring-piring.
     “Pak Budi, aku tidak pesan kroket.”
     “Oh, itu dipesan oleh Edward,” sahut Pak Budi. “Katanya berikan padamu.”
     Mungkin untuk menyogokku, batin Deon bergejolak. Pasti ada sesuatu.
     “Terima kasih untuk infonya,” kata Deon lalu berbalik pada gadis pelayan. “Terima kasih.”
     “Sama-sama, Bang.”
     Suasana kafe sore tergolong sepi. Deon pikir bakal sendirian, namun rupanya hampir seluruh meja penuh ketika diperhatikan. Lebih banyak yang datang adalah para kaum milenial kelahiran tahun 2000-an dan mereka berkumpul hanya untuk bermain game online bersama-sama. Jarang berinteraksi, paling menyuruh teman mereka untuk maju, mundur, atau bersembunyi. Terkadang bisa terjadi ledakan tawa sesaat bila sesuatu konyol terjadi. Entah kenapa, Deon lebih menyukai interaksi langsung.
     Berselang seseorang membuka pintu agak kasar. Dibuka cepat, tapi tidak sampai dibanting. Sosok itu memakai baju kaos abu-abu tua dibalik jaket kulit hitam ala para preman yang sering nongkrong di pinggir-pinggir jalan bersama motor gede mereka. Laki-laki itu tersenyum lebar sembari masuk diikuti dua remaja bergaya sama. Bedanya dengan pemimpin mereka, dua remaja itu memiliki tindik pada hidung serta bibir.
     “A-Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis pelayan dengan gemetaran. “M-Mau duduk di mana?”
     Pemimpin preman itu berkata, “Owh, kau anak baru yah?”
     “I-Iya,” jawab gadis itu, sedikit melangkah mundur.
     “Cantik juga, mau jadi pacarku?” tanya salah seorang remaja preman.
     Remaja lain melanjutkan sok garang, “Jamin deh kau akan suka dengan kami. Benar kan, Bos?”
     “Edward,” panggil Deon dari jauh, melihat gadis pelayan itu gemetaran. “Di sini.”
     Sebelum pemimpin preman itu memutar kepala ke arahnya, salah seorang remaja preman menyahut kasar, “Berani sekali kau panggil nama bos tanpa rasa hormat.”
     “Oi, tahan lidahmu,” lontar Edward kasar. “Jangan kau ganggu sahabatku itu atau kau lebih suka kepalamu pecah?”
     Remaja preman itu tertegun bukan main. Wajah garangnya melemah diikuti nada suaranya.
     “M-Maaf, Bos,” pinta anak remaja itu. “Aku tidak tahu tahu dia teman, Bos.”
     “Tahu dulu musuhmu sebelum cari masalah, Bodoh.”
     Ruangan lebih hening daripada tadi. Semua tamu memperhatikan apa yang barusan terjadi. Sebagian besar hanya menatap heran dan bingung.
     “Jangan hiraukan anak-anak buahku ini,” pinta Edward kepada gadis pelayan. “Temanku tadi sudah memanggilku. Bawakan saja tiga teh manis, satu untukku, sisanya anak-anak buahku.”
     Gadis itu mengangguk bengong. Tidak menyangka bahwa pemimpin anak-anak remaja preman itu begitu baik atau setidaknya lebih bertata krama. Edward pun menghampiri Deon dengan senyum lebar. Sedang anak-anak buahnya duduk di sebelah meja mereka, juga sudah di “Reserve” sama seperti meja Deon.
     “Hai, Buddy,” sapa Edward sembari duduk berseberangan dengan Deon. “Bagaimana kabarmu?”
     “Baik, tentu saja.” Deon menyambut uluran jabat tangan Edward layaknya saudara. “Sejak kapan kau punya anak buah?”
     “Banyak yang terjadi, Deon,” Edward enggan menjelaskan. “Intinya baik-baik saja.”
     Dahi Deon berkerut. “Ke mana saja kau tiga hari absen? Urusan apa?”
     “Urusan keluarga,” sahut Edward sambil mengangkat sebelah bahu. “Ayahku tidak pulang lagi sehingga mama merepet. Entah sampai kapan mereka akan ribut-ribut terus.”
     “Seberapa parah?”
     “Biasa.”
     Deon hanya mengangguk. Mencoba mencerna, meski diam-diam dia sudah menelepon keluarga Edward dan mengetahui apa yang terjadi.
     “Apa yang kau lakukan selama tiga hari?” tanya Deon lagi. “Keluargamu boleh ribut, tapi bukan berarti kau tidak melakukan apapun, bukan?”
     “Aku tinggal selama tiga hari di rumah abangku, menunggu suasana kembali reda,” jawab Edward tidak curiga. “Dan malam penuh kebebasan.”
     Yang dimaksud Edward adalah keluyuran malam-malam. Nongkrong bersama teman-teman sesama preman menikmati masa muda, dugem, balap-balapan, dan perbuatan yang lebih banyak kurang pantas untuk disebutkan. Tentu saja Deon tahu kegiatan Edward. Bahkan beberapa kasus yang sering menimpanya.
     “Baiklah, Edward,” kata Deon akhirnya. Dia menunjuk kroket yang belum tersentuh. “Kau memesan kroket untuk menyogokku, kan?”
     Edward memutar bola mata. Pura-pura tidak tahu.
     “Berarti memang benar.” Deon menghela napas. “Lalu kenapa kita perlu ketemu di tempat biasa?”
     “Ini.”
     Sebuah amplop putih diserahkan Edward kepada Deon. Sementara Deon membuka amplop tersebut, Edward menegur kedua anak buahnya agar lebih tenang. Ribut sekali gara-gara main game. Terdapat surat di dalam amplop, diketik rapi dan sistematis. Mata Deon bergerak cepat membaca surat tersebut.
     “Dari mana kau bisa minta surat dokter?”
     “Koneksi, Deon. Koneksi,” jawab Edward sambil menerima teh manis dari gadis pelayan. “Aku kan bisa apa saja.”
     Deon mengangguk pelan. “Kalau surat sakit dari dokter untuk izin 5 hari ini kuberikan pada Pak Brontas, alasan apa yang harus kukatakan tentang dua hari izin selanjutnya jika dia bertanya?”
     “Katakan saja ada urusan keluarga.”
     Surat itu dimasukkan kembali ke dalam amplop dan amplop itu diletakkan di atas meja. Deon bersedekap sambil bersandar pada bangku duduk. Dahinya berkerut tebal.
     “Kau bilang padaku kalau kau ada urusan, sekarang menyuruhku kasih surat izin ke Pak Brontas. Apakah sebenarnya kau ada minta izin pada Pak Brontas?”
     Sesaat Edward terdiam. Terlihat kebingungan mencari alasan.
     “Tentu saja. Surat sakit itu agar Pak Brontas tahu aku sakit,” Edward beralasan. “Berikan saja padanya. Dia pasti mengerti.”
     “Kalau semuanya lancar-lancar saja,” Deon berkata pelan, “kenapa hari ini Pak Brontas menyuruhku ke kantornya dan bertanya tentang dirimu?”
     Satu kalimat terakhir membuat Edward bungkam. Kedua anak buahnya juga mendengar pembicaraan mereka, baru pertama sekali melihat bos terdiam menghadapi seseorang.
     “Kau berbohong padaku Edward,” lanjut Deon serius. “Aku sudah menelepon keluargamu dan semuanya baik-baik saja, kecuali kau minggap tinggal di rumah abangmu. Alasanmu ada urusan mendadak. Jadi, adakah alasan sesungguhnya yang harus kuketahui?”
     Tidak disangka Edward kalau dia akan dijebak sedemikian rupa. Dia telah salah taktik yang mengakibatkan banyak kejanggalan sehingga terkesan mencurigakan. Sahabatnya tentu saja tidak akan tinggal diam. Bila Edward ingin Deon melakukan hal yang diinginkannya, dia harus menjelaskan segala situasi penat itu.
     “Aku kalah, Deon,” akui Edward dengan kecewa. “Aku memang berbohong padamu karena ada urusan sangat penting yang harus kuatasi.”
     “Jelaskan.”
     “Jangan marah padaku kalau kuceritakan,” Edward memperingatkan. “Akhir-akhir ini terbentuk sebuah geng baru yang dipimpin seorang murid SMA. Kami tidak masalah sebab ada banyak geng baru terbentuk setiap bulan, namun geng ini berkembang cukup pesat dan mulai meresahkan. Mereka menganggu wilayah geng lain serta membuat keonaran.”
Deon menggerakkan sebelah tangan. “Dan kau menghajar mereka?”
     “Belum,” banyah Edward langsung. “Kita harus tahu musuh kita dulu daripada bertindak gegabah. Aku dikirim ketua geng untuk mencari informasi tentang geng baru itu. Selama lima hari ini aku mencoba menyusup dan berbaur dengan anggota-anggota mereka.”
     “Edward, Edward,” gumam Deon sambil memijat-mijat dahi. Tahu tidak ada gunanya menasehati Edward. “Apa kau mau kena masalah lagi? Bisa-bisa kau dihajar dan mati konyol.”
     “Inilah jalan hidupku, Deon.” Edward membela diri sambil merentangkan tangan. “Apalagi yang bisa kulakukan? Aku suka kehidupan begini.”
     Deon hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau berapa kali pun dikatakan, tak mempan. Daripada membuang tenaga, lebih baik ikuti alur Edward saja.
     “Tapi ada satu gadis yang ditaksir oleh ketua geng itu,” lanjut Edward pelan. Badannya dicondongkan agar Deon saja yang bisa dengar. “Sekarang aku sedang melacaknya.”
     “Haruskah?” tanya Deon ragu.
     “Ya, misi ini sangat penting bagiku.” Mata Edward menatap serius. “Aku mohon, bantulah aku mengatasi Pak Brontas.”
     Sebagai seorang sahabat, Deon ingin sekali membuat Edward kembali ke jalan benar. Tetapi jalan benar bagi Edward adalah gengnya serta perbuatan tidak terpuji lainnya. Sekali lagi tergiang dalam pikiran Deon kalau tidak ada gunanya memperingati Edward. Dan dia harus menerima apa adanya. Memang awal pertemanan pun terjadi secara otomatis tanpa memandang alasan apapun.
     “Baiklah, Edward,” Deon pasrah. “Pastikan kau tidak terlibat masalah apapun.”
     Secara refleks tangan Edward memukul meja. “Itu yang kusuka darimu, Deon. Kau memang bisa diandalkan.”
     Sangking keras pukulannya, hampir semua tamu melihat ke arah meja mereka. Bukan Edward namanya kalau tidak membuat sensasi. Tetapi mau tidak mau Deon harus merasa penasaran dengan gadis yang disukai ketua geng musuh Edward itu. Bagaimana sosok gadis itu sehingga bisa meluluhkan hati seorang ketua geng? Tentu juga bisa meluluhkan hati Edward. Mungkin hanya ingin melihat sosoknya sekilas. Tidak, tidak. Deon tahu dia tidak boleh terjerumus dalam urusan ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Serpihan Hati
10813      1786     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Yang Terindah Itu Kamu
10096      3257     44     
Romance
Cinta pertama Aditya Samuel jatuh pada Ranti Adinda. Gadis yang dia kenal saat usia belasan. Semua suka duka dan gundah gulana hati Aditya saat merasakan cinta dikemas dengan manis di sini. Berbagai kesempatan juga menjadi momen yang tak terlupakan bagi Aditya. Aditya pikir cinta monyet itu akan mati seiring berjalannya waktu. Sayangnya Aditya salah, dia malah jatuh semakin dalam dan tak bisa mel...
Meteor Lyrid
477      338     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.
Kebugaran cinta
383      271     0     
Romance
Meskipun sudah memiliki harta kekayaan yang berlimpah tidak membuat martia merasakan ketulusan dan bahagia. Orang tua martia selalu sibuk mengejar karir dan kesuksesan sampai-sampai martia dari kecil sampai besar harus dirawat oleh asisten rumah tangganya. Kebiasaan buruk martia selalu melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan juga kesedihan nya dengan cara ngemil makanan sehingga tanpa sadar bera...
The Secret
387      260     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Kisah Kita
1967      692     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Shymphony Of Secret
474      317     1     
Romance
Niken Graviola Bramasta “Aku tidak pernah menginginkan akan dapat merasakan cinta.Bagiku hidupku hanyalah untuk membalaskan dendam kematian seluruh keluargaku.Hingga akhirnya seseorang itu, seseorang yang pernah teramat dicintai adikku.Seseorang yang awalnya ku benci karena penghinaan yang diberikannya bertubi-tubi.Namun kemudian dia datang dengan cinta yang murni padaku.Lantas haruskah aku m...
Mapel di Musim Gugur
437      310     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
AVATAR
7580      2162     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
MAMPU
6377      2216     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...