“Nadia, sudah mau terlambat loh!”
“Iya, Bunda. Tunggu sebentar,” jawab Nadia dari atas loteng.
Sementara ibu memanggil adik, Deon sedang fokus mengikat tali sepatu di teras rumah. Tali-tali sepatu baru ini cukup menyebalkan. Terikat tidak beraturan sehingga Deon harus menelusuri masing-masing tali agar bisa terlepas total. Baru setelah itu tali-tali panjang tersebut bisa digilir satu sama lain dan diikat membentuk pola kupu-kupu.
“Ini bekalmu, Nak?”
Deon mendongak ke belakang, mendapati Bunda menyodorkan sebuah kotak bekal dalam bungkusan plastik. “Tak usah, Bunda. Hari ini aku pulang cepat.”
“Ya ampun,” histeris Bunda pelan. “Bunda lupa. Kau sudah memberitahuku kemarin, malah Bunda terlanjur buat bekal lagi.”
“Tidak apa-apa, Bunda. Aku bawa aja, kusantap jam istirahat nanti,” kata Deon, berpikir daripada makanannya mubazir.
“Dan kau akan suka lauk hari ini.”
Perkataan Bunda membuat Deon mengangkat alis. Makanan spesial apa yang dimaksud Bunda selain lauk pauk sehari-hari berupa nasi, sayuran atau daging, dan sedikit sup. Apa saja boleh. Masakan Bunda selalu enak, bahkan teman baiknya juga setuju.
“Lauk apa, Bunda?”
Senyum merekah pada wajah Bunda. “Kroket! Makanan kesukaanmu, Nak.”
“Wow.” Deon agak terkesiap sembari menerima bekal dari tangan Bunda. Sudah lama sekali dia tidak makan kroket. “Apa tidak apa-apa? Bunda bilang tidak sehat?”
“Sesekali tidak apa-apa,” Bunda memaklumi. “Lagi, Bunda membuat kroket-kroket itu dengan resep baru. Beri komentar setelah kau memakannya nanti.”
“Dengan senang hati.”
“Jangan lupa beri ke temanmu juga,” saran Bunda. “Bunda buat lebih dari cukup, jadi kau tetap dapat banyak bagian.”
Deon tersenyum senang. “Tentu saja, Bunda.”
“Apa aku juga dapat?”
Baik Bunda maupun Deon menoleh ke belakang. Seorang gadis berambut panjang terurai bergelombang acak-acakan sedang menatap mereka dengan antusias. Perawakannya mungil, berbaju seragam warna putih biru, dan memakai sebuah pita kupu-kupu. Dia memanggul sebuah tas besar.
“Astaga, Nadia! Ada apa dengan rambutmu?” Bunda memegang rambut Nadia.
“Aku sedang mencoba model baru loh, Bunda. Bagaimana? Cantik, bukan?”
Nadia tersenyum polos dan berputar-putar bak seorang putri istana. Rambutnya terbang ke sana kemari tidak jelas.
“Sangat tidak rapi sekali. Mari Bunda rapikan.”
“Jangan, Bunda,” sontak Nadia, segera mundur beberapa langkah agar rambutnya terlepas dari pegangan Bunda. “Aku suka model ini. Jangan diganggu lagi.”
Bunda mendesah tidak sabar. “Aduh, Nadia. Nanti kau malah diketawain teman-temanmu, apa kau mau?”
“Aku sudah janji sama mereka kalau aku mau menunjukkan model rambutku ini, kok.”
“Pasti dari serial drama,” tebak Deon, memasuki rumah dengan langkah pelan. “Padahal rambutmu sudah cantik dan rapi tadi.”
“Biarin,” lontar Nadia tidak terima. “Pokoknya aku mau rambut model ini. Jangan diganggu gugat!”
“Darimana dia belajar semua kata-kata ini?” tanya Bunda khawatir.
Deon menepuk bahu Bunda. “Tentu saja dari serial drama, Bunda. Tidak ada pelaku lain lagi.”
“Bunda harusnya nonton serial drama juga. Asyik loh,” ajak Nadia sambil mengacungkan jempol. “Ada drama judul ‘Kamu adalah Segalanya’, ‘Indahnya Cinta’, ‘Persahabatan Kita’, dan lain-lainnya.”
Kekuatan internet sungguh luar biasa. Deon tidak menyangka internet bisa begitu mempengaruhi adiknya yang baru duduk di bangku SMP 2. Dia hanya bisa menggeleng-geleng kepala, kala adiknya bercerita panjang lebar, sambil memandang sekeliling ruangan yang dihiasi berbagai foto keluarga. Foto ayah bersama ibu, foto dirinya sewaktu masih kecil, fotonya bersama Bunda, dan lain-lain. Sampai mendarat pada jam dinding. Jarum jam pendek menunjuk pukul tujuh sementara jarum jam panjang tepat di atas angka satu. Sekolah masuk pukul tujuh lewat tiga puluh menit.
“Kita terlambat!” seru Deon. “Nadia, kita harus berangkat sekarang!”
Nadia dan Bunda terperanjat. Rasa terdesak memaksa Nadia cepat-cepat berlari ke rak dan memakai sepatu tanpa memakai kaos kaki sangking paniknya.
“Kau belum pakai kaos kaki, Nadia!” Bunda berseru, ikut panik. Langsung mengambil sepasang kaos kaki hitam dan melemparkan kepada Nadia. “Ini.”
“Makasih, Bunda.”
Nadia buru-buru melepas sepatu untuk memakai kaos kaki sebelum memakai sepatunya lagi. Di tempat lain Deon langsung memakai helem lalu menghampiri sepeda motor yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah menaikinya, dia mencolokkan kunci diikuti mengengkol enkol motor kuat-kuat dan hiduplah mesin. Berderu-deru siap melaju kapan saja. Tak berapa lama Nadia yang sudah memakai helem keluar rumah dan cepat-cepat naik ke bangku belakang sepeda motor.
“Kami pergi dulu, Bunda,” pamit Deon dengan wajah serius. Mereka sudah hampir terlambat. “Tolong jaga rumah baik-baik.”
“Hati-hatilah kalian. Jangan ngebut,” pesan Bunda.
“Dah, Bunda!” seru Nadia saat Deon melaju kencang meninggalkan Bunda.
***
“Cepat, Bang Deon! Cepat!”
“Aku tahu, Nadia. Jangan panik begitu.”
Satpam sekolah sedang berjaga di depan gerbang. Berdiri tegap dengan kedua tangan diletakkan di samping pinggang, memperhatikan para murid yang sekarang berlarian ke arahnya sebelum dia menutup rapat gerbang sepenuhnya. Justru situasi semacam ini Deon berpikir bahwa dia harus ekstra hati-hati. Murid-murid yang berlarian tidak serta merta memperhatikan jalan lagi sehingga silap sedikit maka siapapun bisa tertabrak. Dan itu berarti sebuah masalah. Cengkeraman Nadia pada pinggul Deon semakin kuat. Makin dekat gerbang makin kuat.
“Sakit, Nadia!” geram Deon.
Nadia seketika tersadar. “Oh, maaf, Bang Deon. Hahaha.”
“Tenanglah.”
Satpam menyadari kedatangan Deon. Tangannya melambai menyuruhnya agar cepat masuk melewati gerbang. Deon merespon dengan berkendara ke samping sedikit, ke jalan yang lebih renggang, lalu melaju agak kencang mendahului murid-murid lain. Otomatis sampai langsung ke gerbang.
“Selamat pagi, Pak,” salam Deon sambil melaju masuk.
“Selamat pagi, Pak!” seru Nadia keras-keras.
“Selamat pagi,” balas Pak Satpam. “Parkirnya di ujung baris kedua saja.”
“Ok.”
Dari pintu gerbang, Deon memanuver motor ke samping memasuki sebuah terusan jalan menuju area parkir. Jalan itu bisa dikatakan lebar, muat empat motor disejajarkan. Sebuah pos parkir menghentikan Deon. Berada di tengah-tengah jalan dengan palang parkir menghadang di masing-masing sisi kiri dan kanan pos tersebut. Deon mengambil jalur kiri.
Mohon tunjukkan kartu masuk, mesin parkir berbicara datar secara otomatis.
“Pakai punyaku, Bang!” tawar Nadia semangat seraya mengeluarkan sebuah dompet kecil dari balik saku. Sebuah dompet yang ketika dibuka memiliki dua tempat berplastik utama yang bisa disisipkan banyak kartu. Nadia telah menaruh kartu pelajarnya di salah satu plastik utama dan mengacungkan dompetnya ke layar sensor.
"Silahkan masuk," mesin parkir menjawab kembali sambil membuka palang parkir
“Aku turun di sini saja, Bang. Teman-temanku sudah menunggu.”
“Tapi Nadia….”
Terlambat. Nadia sudah keburu turun dan berlari meninggalkan Deon untuk bergabung bersama siswi-siswi berseragam putih biru di ujung jalan tempat tadi Deon datang. Deon hendak berkomentar, tapi sirine parkir sudah berbunyi-bunyi. Tanda menyuruh Deon agar segera masuk area parkir. Kalau tidak, palang parkir akan kembali tertutup dan namanya akan tercatat dalam daftar siswa bermasalah. Itu berarti dia harus menghadap petugas Badan Pengawas.
“Nadia, Nadia,” Deon menghela napas, “Sepertinya masa pemberontakan sudah mulai.”
Memasuki area parkir, Deon disambut lahan parkir dalam bentuk barisan. Masing-masing baris berjejer tiang tinggi sampai ke ujung beratapkan kanopi sehingga semua motor akan tetap kering meski hujan lebat, kecuali yang parkir di luar batas. Masalahnya hampir seluruh lahan parkir ditempati. Tentu masih akan ada lahan parkir yang strategis kalau saja tadi dia datang lebih cepat. Dia pun menegakkan kepala tinggi-tinggi, mengintip ke setiap barisan apakah masih ada tempat kosong. Tiba-tiba dia mendengar suara peluit yang panjang.
“Oh iya, tadi Satpam bilang parkir di ujung baris kedua.”
Deon menghampiri tempat yang disarani satpam tanpa berpikir lebih lanjut. Hanya untuk menemukan sebuah sepeda motor besar atau bahasa kerennya motor gede sedang terparkir di sana dengan sombongnya. Besar dan gagah dengan modifikasi bodi tajam. Deon garuk-garuk kepala. Tidak mungkin petugas satpam berbohong padanya, apalagi moge itu diparkir miring dan makan dua tempat lahan parkir. Sungguh orang yang memarkirnya tidak memikirkan orang lain.
“Sebaiknya aku cari lahan parkir lain,” kata Deon, tahu tidak ada gunanya komplain. Dia menegakkan kepala kembali. Kali ini dia menemukan sebuah tempat parkir di tengah-tengah barisan ketiga. “Itu dia.”
Deon memarkirkan motornya dengan cekatan. Pas saat itu suara peluit petugas satpam saling bersusul-susulan, tanda gerbang sebentar lagi akan ditutup sepenuhnya. Berarti bel sebentar lagi akan berbunyi. Sebagai murid yang menaati peraturan, Deon langsung bergegas. Sampai sebuah benda berkilat menarik perhatian Deon. Tergeletak pada persimpangan barisan parkir kedua. Dipunggutnya benda itu dan diangkat tinggi-tinggi.
“Anting bandul dari bahan kaca tebal,” simpul Deon setelah memeriksa seksama. “Pasti milik seorang murid sekolah.”
Tidak hanya pelajar laki-laki saja yang membawa motor, para perempuan juga. Zaman moderen sekarang mereka lebih berani, percaya diri, dan harus diakui oleh Deon sedikit liar. Dari cara berpakaian serba minim, dandanan tebal, dan lain-lain. Serta pergaulan bebas yang menurut Deon hanya buang-buang waktu, walau teman baiknya juga melakukan itu. Dia sudah capek menasihatinya jadi dibiarkan saja. Tapi itu cerita lain. Anting ini akan diserahkan kepada guru nanti.
“Cepat! Gerbang sebentar lagi ditutup!”
Seruan petugas Satpam di sana menyadarkan Deon. Dia cepat-cepat keluar dari area parkir dan berlari menelusuri lapangan luas ke bangunan utama yang diapit dua bangunan yang sama besarnya, tapi termasuk bangunan baru. Dalam perjalanan, Deon menyadari dirinya terlihat begitu mencolok. Perawakan tubuhnya tinggi dan berbadan tegap. Terlihat dari balik baju ketatnya, padahal dia sudah memakai singlet. Itu menarik perhatian murid-murid lain, terutama para murid perempuan. Dia tidak mengerti kenapa mereka terus meliriknya dari segala arah, bahkan dari koridor gedung-gedung atas.
“Hai, Bang Deon.”
“Oh, hai,” sapa balik Deon spontan, ketika seorang gadis dalam sebuah rombongan yang berlawanan arah melambai menyapanya.
Gadis itu serta merta terkesiap dan tertawa cekikian dengan wajah merah padam. Mungkin tidak menyangka Deon akan menyapanya kembali. Aneh saja menurut Deon kenapa para gadis suka menyapanya. Tetapi sekarang bukan waktunya berpikir. Langkah kaki lebar membantu Deon naik sampai ke lantai lima dalam waktu singkat. Saat menyusuri koridor di depan kelasnya, dia mendapati tidak ada seorang pun di sana. Perasaanya tidak enak.
Dugaannya benar. Saat memasuki kelas, teman-temannya sudah duduk serampangan. Banyak yang bergerombol dalam grup-grup kecil sambil menari-narikan pulpen mereka mencatat dari sebuah buku yang terbuka lebar atau pun saling mencontek.
“Deon, akhirnya kau datang!” seru seorang siswa di sudut ruangan. “Cepat pinjamkan buku matematikamu.”
Laki-laki berambut agak tebal tersisir samping itu langsung keluar dari tempat duduk lalu berlari menghampiri Deon dengan wajah cerah. Alisnya tebal dan bertindik sebuah lingkaran kecil hitam di masing-masing daun telinganya. Teman baiknya itu menepuk pundaknya keras.
“Ada PR apa, Edward?” tanya Deon tidak tahu.
“PR Matematika dari minggu lalu,” terang Edward, tidak terkejut. “Kau lupa pun sudah siap. Ayolah, cepat pinjamkan tugasmu sebelum Pak Brontas masuk.”
Ditolak pun akan dipaksa juga. Terakhir Deon mengalah dan mengeluarkan buku tugas yang dimaksud Edward dari dalam tas. Ketika dibuka, rupanya PR matematika topik matriks. Sudah selesai dikerjakan secara singkat, teratur, dan rapi.
“Pinjam dulu yah, Deon. Kutraktir istirahat nanti,” kata Edward, menarik buku tugas Deon tanpa meminta persetujuannya.
Deon hanya bisa pasrah. Berteman dengan Edward memang sering menjadi langganan dipaksa pinjam segala tugas yang ada, namun dia tidak punya pilihan. Edward sudah menjadi sahabatnya kurang lebih lima tahun sejak SMP dan kurang suka belajar. Tapi sebagai kompensasi, Deon sering dibawa Edward ke dunia luar yang jarang dikenalnya.
“Yah sudahlah,” gumam Deon, tidak tega juga melihat hampir seluruh teman sekelas masih belum menyelesaikan tugas matematika.
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Tanda jam pelajaran pertama masuk, sekaligus sebagai tanda dimulainya kepanikan luar biasa di antara teman-teman Deon. Mereka menambah kecepatan mencatat sambil berebutan mencontek tugas Deon. Sangking cepatnya mencatat sampai kertas mereka robek. Dan suara histeris pun tak terelakkan.
Seorang murid lelaki masuk dengan panik. “Pak Brontas sudah datang!”
“Sudah sampai mana?!” tanya Edward kasar. “Kasih tahu yang jelas, Bodoh!”
“Baru saja naik tangga ke lantai lima. Sebentar lagi dia tiba,” jawab murid laki-laki itu tanpa merasa tersinggung sama sekali.
“Sial!” maki Edward. “Bisa-bisanya dia tepat waktu sekali.”
Kata-kata terakhir Edward meluncur keluar pas Pak Brontas masuk. Para murid terkejut bukan main. Mereka serentak berpencar dalam kekalutan mencari tempat duduk masing-masing. Diam-diam Edward mengoper buku tugas Deon kembali sebelum duduk di bangku paling belakang, tapi kancing paling atas masih terbuka. Antingnya juga tidak dilepas.
“Edward,” bisik Deon dengan mata lebar.
“Apa?”
Deon menunjuk kedua telinganya sendiri. Memberi isyarat pada Edward yang langsung mengerti dan melepas kedua antingnya sekaligus dalam sekali tarikan. Dia hendak memperingati Edward akan kancing bajunya yang paling atas, tapi Pak Brontas berdeham keras. Meski tidak memandang ke arahnya dan sedang fokus memilah-milah berbagai macam kertas. Suasana kelas hening luar biasa. Tidak ada yang berani bicara. Beberapa murid terlihat tertunduk takut.
“Siapa yang berkata ‘Bodoh’ dengan keras tadi?” tanya Pak Brontas tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertasnya.
Semua murid menegang. Kepala mereka terangkat dan bermata lebar, tidak menyangka Pak Brontas akan membahas hal itu daripada mengumpulkan PR yang diberikannya. Perlahan lirikan demi lirikan tertuju kepada Edward yang terlihat mengeluarkan keringat dingin. Edward dalam masalah besar dan dia menyadarinya. Tetapi tidak berani angkat suara atau menjawab lantang. Untuk sesaat ruangan kelas menghening. Hanya terasa aura dingin yang dibawa masuk oleh angin pagi hari melalui jendela.
Pak Brontas mendongak dan kembali bertanya, “Tidak ada yang mau ngaku? Atau seluruh kelas harus kuhukum?”
Satu kalimat itu membuat seluruh kelas semakin hening. Satu per satu para murid berbisik antar mereka masing-masing, berujar tidak mau dihukum hanya gara-gara satu orang pembuat onar. Beberapa mulai menatap sinis kepada Edward. Tidak oleh Deon. Dia yakin Edward pasti akan mengaku atau seluruh kelas akan memusuhinya nanti. Benar saja, sahabat baiknya itu sudah setengah naik dari bangku dengan tubuh agak gemetaran. Pasti akan dibentak.
“Silahkan maju ke depan, Edward,” Pak Brontas mempersilahkan dan duduk bersandar.
Edward berjalan keluar dari bangku dalam langkah pelan. Berusaha menegakkan tubuh agar terlihat tegar.
Pak Brontas tersenyum sinis. “Kenapa kau berkata ‘Bodoh’, Edward?”
“Itu…” Edward tidak tahu harus berkata apa.
“Dan kenapa kancing atasmu tidak kau kaitkan?” Pak Brontas lanjut bertanya tanpa menunggu jawaban Edward. “Kau tahu kau melanggar aturan, kan?”
Edward menelan ludah. Dia tertunduk dengan jari jemari bergerak tak karuan. Deon tahu Edward sudah takut setengah mati, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pak Brontas selaku wali kelas mereka pasti menginginkan murid-murid bimbingannya rapi dan teratur. Satu kesalahan seperti yang dilakukan Edward adalah fatal bagi seorang wali kelas perfeksionis.
“Y-Ya, saya melanggar aturan, Pak,” aku Edward akhirnya. “S-Saya minta maaf.”
Tangan Edward segera meraih kancing atas. Tetapi karena jemarinya bergetar, kancing itu tidak jadi-jadi dikaitkannya pada lubang kancing. Baru terkait setelah beberapa kali percobaan. Selama itu Pak Brontas hanya menatap tajam.
“Apa kau sudah mengerjakan PR-mu?”
Edward terkesiap. Dia memang sudah mengerjakannya, tapi belum selesai.
“Kelihatannya belum,” tebak Pak Brontas sambil menggeleng kepala sebelum memandang seluruh murid. “Siapa yang sudah siap mengerjakan tugas matematika?”
Walau sudah selesai, Deon tidak berani mengangkat tangan. Bisa-bisa seluruh teman kelas membencinya. Dia diam saja dengan wajah gelisah, ikut-ikutan solider. Detik berikutnya Pak Brontas melirik Deon, tersenyum kecil, dan kembali menatap seluruh kelas.
“Bapak tahu hanya Deon yang selesai,” ujar Pak Brontas tepat sasaran. “Kemarikan bukumu, Deon. Operkan saja.”
Deon memberikan buku tugasnya pada teman bangku depan yang mengoper-ngoper buku tersebut sampai ke tangan Pak Brontas. Pak Brontas membuka buku Deon dan mengangguk-angguk puas.
“Bagus.” Pak Brontas berbalik menghadap Edward yang masih berdiri kaku diam. “Permintaan maafmu diterima, Edward. Silahkan duduk kembali.”
Mata Deon mendadak melebar. Bukan hanya dia saja yang tertegun, ketika melayangkan pandangan ke sekeliling, teman-temannya juga pada kaget dan banyak yang melonggo tidak yakin. Apakah Pak Brontas baru saja bercanda? Atau memang itu cuma sebuah prank belaka? Tentu Deon tidak percaya. Meski rasanya lega mendapati Edward sekarang kembali ke tempat duduk dengan wajah penuh keheranan. Pak Brontas yang biasanya pasti membentak atau menampar Edward dan menyuruhnya berdiri di luar sampai selesai dua les mata pelajarannya.
“Baiklah, kerjakan PR kalian. Boleh berkelompok dan berdiskusi,” umum Pak Brontas tegas. “Dan Deon, kemari.”
Deon menunjuk dirinya dengan heran. Pak Brontas membenarkan.
“Ya. Kemari, Deon.” Pak Brontas menarik sebuah kursi kosong ke sampingnya dan menepuknya pelan. “Ada yang mau bapak bicarakan dengan kamu.”
***
“Pak Brontas hari ini aneh sekali,” kata Edward saat dia dan Deon sedang dalam perjalanan ke kantin. “Apa salah makan?”
Edward menunggu dan menunggu. Tapi tidak mendapat balasan apapun dari sahabat di sampingnya. Deon tengah menatap kosong. Pikirannya sedang terbang ke mana-mana. Ketika tangan Edward dikibaskan ke muka Deon berkali-kali, sahabatnya itu tetap bengong selayaknya mayat hidup. Hanya berjalan tanpa emosi.
Edward menepuk punggung Deon keras-keras. “Deon!”
“Aw!” sontak Deon, terkesiap bukan main. Badannya langsung menegak. “A-Ada apa?”
“Kau kenapa?” tanya Edward dengan alis berkerut. “Kau jadi aneh sejak bicara dengan Pak Brontas tadi.”
“Owh, tidak ada apa-apa.”
“Kalau tidak ada apa-apa, kau tentunya tidak bengong seperti ini, kawan,” komentar Edward kemudian bersiul. “Kau bisa ceritakan padaku apa yang dibahasnya denganmu.”
Deon hanya tersenyum lalu. “Hanya seputar pendidikanku. Kau akan bosan.”
“Intinya saja. Kau tahu aku tidak suka penjelasan panjang.”
“Katanya sih aku perlu belajar lebih keras untuk mencapai yang kuinginkan.”
“Belajar lagi?” Edward kebingungan. “Kau sudah banyak belajar loh.”
“Itula…”
“Hai, bang Deon dan bang Edward.”
Seorang gadis, murid perempuan yang tadi pagi menyapa Deon, melambai kepada Deon dan Edward dari arah berlawanan. Kali ini dia sendirian, tetapi tersenyum malu-malu kucing.
“Hai!” Edward mengangkat tangan semangat. “Kau gadis berani! Aku suka itu!”
Gadis itu sontak tertawa kecil dengan kedua genggaman tangan menutupi mulutnya. Wajahnya merah padam. Senang bukan main karena dipuji oleh idola sekolah. Ya, itu benar. Deon dan Edward adalah dua murid laki-laki yang diidam-idamkan oleh para gadis sekolah. Sama-sama tampan dengan kharisma masing-masing. Edward terkenal garang, berani, dan trendi, sedang Deon bertubuh tinggi tegap, pintar, dan kalem. Keduanya dikenal oleh siapapun serta langganan dilirik para murid perempuan..
“Aku tetap kurang suka ke kantin,” kata Deon seraya mereka menduduki sebuah tempat lesehan. “Terlalu banyak mencuri perhatian.”
Edward menepuk bahu Deon. “Kau tidak suka?”
“Aneh saja rasanya.”
“Kau yang aneh,” tegur Edward sambil merobek plastik jajanan. “Harusnya kau senang para gadis melirik kita. Artinya mereka kagum.”
“Ada yang lebih penting daripada cewek, Ward,” terang Deon, mulai melahap kroket traktiran Edward. “Aku ingin menjadi seorang dokter.”
“Dokter cinta?”
Seketika dahi Deon berkerut tebal. Membuat Edward meledakkan tawa.
“Hahaha, bercanda, Deon. Bercanda.” Edward tidak menghentikan tawanya. “Kau perlu lebih santai.”
“Aku sudah santai loh,” Deon menjawab sambil lalu.
“Tidak juga,” kata Edward, tersenyum menyeringai. Dia menunjuk gadis yang menyapa mereka tadi yang sedang duduk di salah satu bangku ujung. “Kusarankan kau pacaran dengannya. Sedikit jentikan jari, dia akan jatuh hati padamu.”
“Aku lebih pilih fokus belajar, Ward. Pacaran nanti setelah aku dewasa.”
“Alah,” Edward mendecakkan lidah. “Tidak ada salahnya pacaran. Kau perlu menikmati hidupmu, Deon.”
Bahu Deon terangkat. “Apa aku tidak terlihat menikmati hidup?”
Edward memperhatikan Deon dari atas kepala sampai ke bawah. Tidak ada gerangan apa-apa. Walau harus diakui, Deon terlihat santai sekali.
“Apa kau tidak kesepian?”
“Maksudmu?”
“Kesepian karena tidak ada orang di sisimu. Itulah gunanya seorang pacar, mengisi kekosongan batin.”
Jujur saja, Deon tidak mengerti apa maksud perkataan Edward. Kesepian? Sejak kapan seseorang bisa kesepian hanya oleh karena tidak pernah pacaran? Banyak orang di luar sana yang masih jomblo dan bahagia. Seperti dirinya.
“Ah,” celetuk Deon tiba-tiba. “Mungkin akunya yang tidak pernah pacaran makanya tidak tahu apa itu kesepian.”
Kedua alis Edward terangkat amat tinggi. “Hah?”
“Hipotesis dari informasimu. Kugabungkan dengan fakta-fakta yang ada.”
“Astaga,” Edward menghirup napas dalam-dalam. “Kata-katamu sangat ilmiah, terlalu indah untuk didengar orang awam. Tolong ucapkan secara sederhana.”
“Intinya aku selalu jomblo makanya tidak kesepian.”
“Entah kenapa aku merasa kasihan padamu, Deon.” Edward menggeleng kepala. “Laki-laki tampan sepertimu menyia-nyiakan ketampananmu.”
“Aku tidak keberatan.”
Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dari arah depan kantin. Suara-suara kericuhan.
“Ada apa itu ribut-ribut?” tanya Edward ingin tahu. “Kok tidak ajak-ajak?”
Memang keributan itu tidak biasa. Ada sorak sorai yang menggelegar. Ketika Deon mendongak untuk melihat lebih jelas, seorang murid laki-laki ceking berlari memasuki kantin mendahului seorang gadis berperangai pendek yang memiliki paras mempesona. Laki-laki itu berlutut sambil memegang seikat bunga Lily dengan mata penuh harap.
“Kau tahu kenapa aku mau kasih kamu bunga?” tanya murid laki-laki itu.
Gadis itu berpikir sebentar. “Tidak. Kenapa?”
“Karena bunga melambangkan cinta tulus seorang laki-laki pada gadis pujaannya.”
“Cieeeeeeeeeeee!” sorak-sorai para kerumunan.
Tidak berhenti sampai situ, beberapa penonton murid laki-laki bersiul-siul dan menyahut-nyahut bagai lolongan para binatang. Sekedar untuk menambah sensasi saja.
“Aku cinta padamu, Jessica,” akui murid laki-laki itu dengan kelembuatan suara yang dibuat-buat. “Maukah kau jadi pacarku?”
Sejenak Jessica tidak menjawab, tetapi senyumnya merekah sempurna. Dia menerima bunga pemberian murid laki-laki ceking itu dengan tenang dan menggeleng kepala karena rupanya bunga plastik. Murid-murid lain menunggu dalam kekaleman, bertanya-tanya pantaskah murid laki-laki yang sudah ceking, jelek lagi, bisa diterima oleh bintang idola sekolah mereka. Sungguh tidak selevel. Pertanyaan yang sama terlintas di pikiran Deon. Dia ragu gadis secantik Jessica bakal menerima cinta murid laki-laki tersebut.
“Bunga Lily yang indah, tapi maaf, aku tidak bisa menjadi pacarmu.”
Sorakan memilukan langsung bergema. Panjang dan serempak pula sehingga memperparah kondisi murid laki-laki itu. Syok bukan main dan masih berlutut kaku akibat pukulan perkataan Jessica. Dunia seakan runtuh. Sementara itu Jessica berjalan santai melewatinya sambil membungsungkan dada.
“Bikin malu,” komentar Edward sambil memukul meja. “Caranya salah. Merendahkan martabat laki-laki saja!”
Deon tidak berani berkomentar dan hanya tersenyum. Dugaannya benar. Ocehan Edward masih berlanjut, tapi pandangan Deon sekarang teralih kepada Jessica yang sedang berjalan ke sebuah bangku bersama seorang gadis berambut panjang. Termasuk gadis menarik, tapi Jessica lebih menarik. Saat itulah tiba-tiba saja kepala Jessica berputar ke arahnya, mereka bertatap muka sekitar dua detik lalu Jessica kembali menatap depan dengan cepat. Terlihat agak kikuk dan mulai menyibak rambut. Deon agak tertegun, tetapi tidak mengatakannya kepada Edward.
Crashing Dreams
241
205
1
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya.
Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
the invisible prince
1543
834
7
Short Story
menjadi manusia memang hal
yang paling didambakan bagi
setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir
yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ?
Lantas aku ini disebut apa ?
My Perfect Stranger
9174
3394
2
Romance
Eleanor dan Cedric terpaksa menjalin hubungan kontrak selama dua bulan dikarenakan skandal aneh mengenai hubungan satu malam mereka di hari Valentine. Mereka mencurigai pelaku yang menyebarkan gosip itu adalah penguntit yang mengincar mereka semenjak masih remaja, meski mereka tidak memiliki hubungan apa pun sejak dulu.
Sebelum insiden itu terjadi, Eleanor mengunjungi sebuah toko buku misteri...
Summer Whispering Steam
3360
1175
1
Romance
Nagisano Shizuka, Okinawa, angin laut yang lembut dan langit biru yang luas, kedai kopi yang menjadi persinggahan bagi siapa saja yang ingin beristirahat sejenak dari kesibukan dunia. Dengan nuansa tradisional Jepang yang berpadu dengan suasana santai khas pantai, kedai ini dikenal oleh para pengunjung setianya sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.”
Yuki, sang manajer, menjalankan...
Evolution Zhurria
335
217
4
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
Seperti Cinta Zulaikha
1804
1172
3
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Hello, Kapten!
1250
651
1
Romance
Desa Yambe adalah desa terpencil di lereng Gunung Yambe yang merupakan zona merah di daerah perbatasan negara. Di Desa Yambe, Edel pada akhirnya bertemu dengan pria yang sejak lama ia incar, yang tidak lain adalah Komandan Pos Yambe, Kapten Adit.
Perjuangan Edel dalam penugasan ini tidak hanya soal melindungi masyarakat dari kelompok separatis bersenjata, tetapi juga menarik hati Kapten Adit yan...
Melepaskan
440
298
1
Romance
Ajarkan aku membenci tawamu, melupakan candamu. Sebab kala aku merindu, aku tak bisa lagi melihatmu..
Chrisola
895
541
3
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma.
"Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
ADIKKU YANG BERNAMA EVE, JADIKAN AKU SEBAGAI MATA KE DUAMU
219
167
2
Fantasy
Anne dan Eve terlahir prematur, dia dikutuk oleh sepupu nya. sepupu Anne tidak suka Anne dan Eve menjadi putri dan penerus Kerajaan. Begitu juga paman dan bibinya.
akankah Anne dan Eve bisa mengalahkan pengkhianat kerajaan? Siapa yang menikahi Anne dan Eve?