Pagi-pagi sekali waktu itu, Anita akhirnya sadarkan diri setelah melakukan operasi transplantasi jantung. Dengan mata lelah, Risma dan Bi Surti mengembangkan senyum bahagia melihat Anita sadar setelah hampir seharian tak sadarkan diri.
Risma memeluk Anita dengan lembut, yang dipeluk melenguh sebagai respons dari pelukan anaknya. Kondisi tubuhnya masih sangat lemah, yang bisa diperbuat dirinya hanya tersenyum dan membuat lenguhan.
Di saat Risma melepas kasih sayang bersama ibunya, seseorang membuka pintu. Ketiganya menatap seorang pria dengan ekspresi wajah yang benar-benar sangat was-was, detik berikutnya pria tersebut melangkah dengan mata yang telah berkaca-kaca. Sebelum dirinya merengkuh Anita, Risma lebih dulu memeluknya dengan begitu erat.
“Ayah, ayah, ke mana aja. Risma sangat merindukan Ayah,” ujar Risma membuat Regi berlutut dan memeluknya lalu mengecupnya dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan ayah Ris, ayah telah meninggalkan kalian. Untuk sekarang, dan seterusnya kita akan kembali bersama selamanya,” pungkasnya.
Regi menghampiri Anita yang masih terbaring lemah, tapi sudah berlinang air mata. Setelah lebih dari setahun ditinggalkan, takdir kembali menuntunnya untuk kembali bersama mengukir kisah-kisah yang penuh kasih sayang.
“Anita maafkan aku, karenaku kamu jadi begini, aku mencintaimu, aku menyayangimu, maukah kamu menerima maafku, sayang.” Regi mendekap istrinya dengan begitu erat.
Bibir pucatnya melengkung melukiskan senyum. “I-i-ya.”
Regi mengembangkan senyumnya. “Makasih, sayang.” Mulut Regi gemetaran, matanya benar-benar sendu.
Kedua mata Regi menerawang ke setiap sudut ruangan. “Re-Regan, mana?”
Semuanya membeku, hening. Hanya suara bip dari alat yang mendeteksi kondisi Anita yang menyelimuti ruangan ini. Risma yang membentangkan tatapannya semenjak sore kemarin, tidak melihat kakaknya setelah pamit untuk pulang sebentar.
“I-iya Kak Regan, mana, Ris?” sambung Anita.
Risma menoleh sejenak ke arah Bi Surti yang masih mengembangkan senyum dengan mata lelahnya. Risma menatap kedua orang tuanya bergantian. “Risma enggak tahu, kemarin sore kak Regan izin pulang ke rumah, tapi sampai saat ini kak Regan belum kembali.”
Regi izin kepada Anita untuk mejemput Regan, tapi gerakannya terhenti saat seseorang mengetuk pintu dan masuk. Semua pengisi ruangan ini menatapnya dengan heran. Perempuan yang sudah tidak asing di mata Risma berdiri sembari menundukkan kepalanya, tangannya mengepal tas selempang dan buku bersampul hitam. Melihat pakaiannya, berlumur noda merah Risma beraksi.
“Kak El, kok bisa ada di sini. Dan kenapa pakaian Kakak,” Risma menelisik noda-noda yang mendarat di pakaiannya, “berlumur da-darah.”
Wajahnya yang sembab, menatap penuh ke arah Anita dan Regi bergantian. Perlahan Elfina melangkah dengan gontai menghampiri mereka, kemudian menyodorkan tas selempang bercak darah dan buku bersampul hitam kepadanya.
Regi menerima dua benda tersebut, tanpa melunturkan rasa herannya, ia dan Anita membuka tas tersebut yang hanya berisi data kondisi Anita. Detik berikutnya, mereka membuka buku bersampul hitam itu, dan membacanya dalam hati.
“Sekarang Regan menemukan jawabannya.” Bibir Elfina bergetar, “Jawabannya adalah diri Regan sendiri.”
Regi dan Anita membeku sejenak, menyerap kalimat yang Elfina lontarkan. Sesak. Sangat menyesakkan, tanpa aba-aba lagi buliran air perlahan berjatuhan menyapu pipi mereka bersamaan. Anita memegang dadanya, merasakan detak jantung yang kini memompa dengan sangat cepat.
“Re-Re-gan.” Dengan susah payah Anita menyebut nama anaknya, yang tanpa sepengetahuannya telah mengorbankan sesuatu untuknya. Detik ini juga, Anita sedikit berontak hendak menemui jasad anaknya. Melihat dirinya seperti itu, Regi dan Elfina berusaha menenangkannya. Sementara Bi Surti serta Risma menyusul dengan tanda tanya besar, apa yang telah terjadi di sini?
“Re-Regan,…” lirih Anita. “Jangan tinggalin ibu, Nak!”
Regi yang berada di sampingnya mengeratkan dekapannya, menyalurkan kekuatan kepada istrinya agar kuat menghadapi kenyataan mengejutkan sekaligus menyakitkan untuk keluarganya. Regi pun tidak menyangka, komunikasi singkat yang terjadi kemarin adalah menjadi komunikasi terakhir dengan anaknya.
“Kak, apa yang terjadi sama kak Regan?” tanya Risma, gelisah.
Regi berhasil membuat Anita sedikit luluh, kendati rona tidak percaya serta ekspresi hati yang terpapar di sana begitu menyakitkan. Elfina mendekap Risma dan menjelaskan dengan perlahan lewat bisikkan.
Risma tak bereaksi apa pun, hanya saja kedua bola matanya kembali meneteskan air mata. Napasnya tertahan, membuatnya terengah-engah. Sisanya Elfina memberikan kata-kata semangat untuk Risma, agar hatinya tegar dalam menghadapi kenyataan pahit ini.
“Kak—Re—gan!”
O0O