Sebagai seorang manusia, kita tidak akan bisa meminta atau mengatur untuk manusia yang lain menyukai atau membenci diri kita.
Namun pada intinya, bagaimanapun pandangan mereka, yang harus kita lakukan hanyalah tetap menjadi diri sendiri, jadilah versi terbaik menurut diri kita pribadi.
Karena kita tidak hidup untuk mereka, merekapun tidak hidup untuk kita,
sehingga yang suka akan tetap tinggal, dan yang membenci akan tetap mencari kesalahan.
***
“Hm…” Helaan napas panjang lolos begitu saja dari mulut Aisyah, membuat ke empat anggota kelompoknya yang lain memandangnya bersamaan.
“Eh, kenapa? Kok, pada ngelihatin aku kayak gitu?”
“Kamu kenapa? Kayak beban hidup berat banget gitu!” Tania berkomentar paling dulu, karena untuk pertama kalinya dia mendengar helaan napas frustrasi dari seorang Aisyah.
“Beban hidup memang berat, Tan. Hehehe. Yang ringan itu ucapan julid para netizen.”
“Yang sering kena julid, mah, paham atuh gimana rasanya.” Pani ikut menimpali.
“Heh, maaf, Ram. Jadi bahas diluar topik, kan jadinya.” Aisyah yang tersadar kalau mereka masih berada di pertengahan diskusi segera menghakhiri obrolan yang bisa menghilangkan kefokusan mereka.
“Nggak apa-apa, kita istirahat beberapa menit aja dulu kalau gitu. Nanti kita lanjutin lagi.” Rama yang memang menjadi ketua kelompok segera memberi usul, karena memang mereka sudah cukup lama berdiskusi untuk siang hari ini.
“Alhamdulillah, dari tadi, kek!” Sendy segera bangkit karena memang dari tadi dia merasakan perutnya memberontak minta diisi.
Mereka berlima sekarang tengah berada di kantin, tempat diskusi ternyaman karena jika lapar tidak perlu berjalan jauh untuk mencari makan.
“Kalian nggak mau pesan, kah?”
“Ya maulah, emang kamu aja yang lapar? Kita juga kali! Mikir itu butuh tenaga yang banyak,” Timpal Tania. Dia juga ikut bangkit.
“Pesan apa, guys? Biar aku pesanin, mumpung berbaik hati. Tenang nanti Sandy yang bayarin.” Geplakan ringan mendarat di kepala Tania yang tertutup jilbab, siapa lagi pelakunya kalau bukan sang pemilik nama yang dizholimi oleh Tania.
“Astaghfirullah! Jadi calon imam itu harus lemah lembut, Sen! Jangan main pukul sana pukul sisi aja, entar KDRT, Loh, Mau masuk penjara?”
Pembicaraan mulai tidak jelas dari dua manusia random yang Aisyah temukan satu kelas dengannya.
“Eh, eh, eh! Urusan rumah tangga kalian jangan diumbar di sini dulu! Cepat sana ke bibi kantin.” Bagaimanapun juga drama rumah tangga ini harus segera diselesaikan, jika tidak ingin memakan waktu sampai berjam-jam.
“Aku Es kelapa, ya, satu,” ucap Aisyah dan Rama serentak. Membuat ketiga manusia di depan mereka menatap diam. Rama yang menyadari kecanggungan segera membuka suara kembali.
“Es kelapanya dua, yang satu jangan pakaiin jeruk nipis terlalu banyak.” Aisyah menunduk, itu pesanan es kelapa yang sering dia ucapkan.
“Ada lagi, Sya?”
“Cukup itu aja.”
Rama mengangguk. Tatapan rama beralih ke arah Pani.
“Kamu, mau pesan apa, Pan?” tanya Rama, Pani terlihat berpikir sejenak.
“Samain sama kamu, deh, Tan.”
Tania mengangguk, akhirnya Sandy dan Tania berjalan untuk memesan.
Pani sendiri juga merasa kecanggungan terjadi di dekatnya, Aisyah yang tengah sibuk dengan laptop dan Rama yang kembali memeriksa hasil diskusi mereka, membuat keadaan semakin sepi.
“Oh, ya, Sya. Maafin sikap Rini tadi pagi, ya.”
Aisyah melempar senyum, mengisyaratkan bahwa dia memang tidak apa-apa. Wajar saja jika Rini curiga dengannya, dia tadi pagi dalam keadaan membawa tas Rama ditambah lagi ada Tiyas yang suka sekali mengadu domba. Salah Aisyah yang tidak menjelaskan kronologi tas Rama yang ada di tangannya, karena Aisyah berpikir Rini akan seperti biasa, akan acuh jika mendengar Tiyas mulai memancing rasa cemburunya. Namun dugaannya tadi pagi salah besar, pada akhirnya Rini terhasut oleh ucapan Tiyas dan menyalahkannya.
“Sya…” Aisyah mendongak mendengar namanya dipanggil. Sosok Faiz terlihat berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.
“Iya, kak?”
“Boleh ikut aku sebentar?” Mata lentik itu menatap Pani sejenak seakan meminta persetujuan. Pani mengangguk, ia yang sudah tahu bahwa Faiz yang sekarang menghampiri mereka seminggu yang lalu sudah menyatakan perasaannya kepada Aisyah.
“Tunggu sebentar, ya.” Rama ikut mengangguk, meski tak paham dengan apa yang terjadi, tapi sepertinya cowok yang memanggil Aisyah memiliki urusan penting dengan gadis bermata cokelat itu.
Aisyah berjalan mengikuti langkah Faiz yang membawanya keluar dari kantin, sepertinya kakak seniornya itu akan membawanya ke taman kampus. Aisyah memantapkan hati, setelah satu minggu berusaha untuk menghindar, pada akhirnya Aisyah memang harus menentukan pilihan. Dan sekarang adalah waktu yang tepat.
“Maaf, ya. Kalau Kakak terdengar memaksa kali ini. Tapi, sudah satu minggu kamu belum memberi jawaban.”
Aisyah mengangguk paham.
“Apa sudah ada jawabannya?” Faiz terdengar ragu bertanya, namun satu minggu ini dia benar-benar tidak tenang karena Aisyah masih tetap menggantungkan jawabannya. Terlebih lagi dia sering berpapasan dengan Aisyah tanpa sengaja di asrama.
“Aisyah boleh bertanya satu hal, nggak, Kak?”
“Boleh, apapun itu. Kakak akan menjawabnya.”
Tarikan napas kembali terdengar lolos dari bibir Aisyah.
“Dengan alasan apa, Kakak berani mengungkapkan perasaan Kakak?”
“Karena kakak ingin Aisyah tahu.”
“Lalu, Setelah itu?”
“I-iya, kalau Aisyah menerima, maka kita akan menjalani sebuah hubungan.”
“Hubungan seperti apa?”
“Kita pacaran dulu, setelah kita wisuda, dan… jika masih bertahan. Maka kita akan melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius.”
“Maaf, kak. Tapi Aisyah nggak mau pacaran.”
“Kenapa? Kita pacarannya baik-baik, kok. Nggak akan berduaan, nggak akan pegang-pegangan. Malah, dengan kita pacaran, ada yang bisa ingatin satu sama lain untuk beribadah.” Aisyah tersenyum kecut.
“Apapun alasannya, perbuatan yang pada dasarnya memang tidak dibolehkan akan tetap tidak boleh kak, jangan menjadikan ibadah menjadi sebuah topeng untuk menutupi kemaksiatan tersebut. Ibaratnya babi nggak akan mungkin menjadi halal karena dimakan dengan mengucapkan bismillah, begitupun pacaran tidak akan jadi halal sekalipun hanghaoutnya ke pengajian, bahkan makkah sekalipun. Maaf, bukan maksud Aisyah menggurui, tapi Aisyah ingin mengungkapkan apa yang Aisyah yakini. Karena memang dari awal Aisyah tidak ingin pacaran. Dan memang untuk saat ini Aisyah juga belum siap menjalani suatu hubungan. Tapi jika memang kakak kekeh, silahkan datang temui orang tua Aisyah.”
“Bukankah itu terlalu cepat, sya?”
“Jika kakak serius, Kakak akan datang di saat sudah benar-benar siap, bukan hanya menjanjikan sebuah hubungan yang tanpa kepastian, karena tanpa pembuktian, semua itu hanya sebuah omong kosong. Permisi, Assalamu’alaikum.”
Lagi dan lagi Aisyah menarik napas panjang, namun kali ini ada kelegaan yang dia rasakan, setidaknya dia sudah memberitahu apa yang dia rasakan. Laki-laki yang benar-benar mencintai, dia tidak akan menjerumuskan perempuan yang dia cintai ke dalam hubungan yang jelas-jelas sudah di larang. Jika memang benar-benar cinta, jalan yang paling indah adalah menghalalkannya
Terdengar munafik memang, karena zaman sekarang istilah pacaran sudah menjadi hal yang sudah tidak asing lagi. Tapi apa salahnya, dia mencoba mempertahankan prinsip bahwa jika tidak sanggup untuk menghalalkan maka lebih baik tinggalkan.