bukan seberapa banyak ilmunya
Namun seberapa pandai seseorang itu mengamalkannya
***
Berani berbuat maka harus berani bertanggung jawab. Pepatah memang benar, apa yang kita tanam itu yang akan dituai. Dan malam ini, Aisyah telah melakukan banyak kesalahan, kesalahan pertama karena dia sudah datang terlambat dan yang kedua, kesalahannya adalah berlaku tidak sopan kepada mu’allimnya yaitu Reyhan. Maka mau tidak mau dia harus menerima hukuman yang Reyhan berikan dan sekarang berakhirlah Aisyah masih berada di dalam kelas, membersihkan setiap sudut bangunan dalam kelas tersebut.
Aisyah bersyukur, Reyhan hanya memberikannya hukuman membersihkan seisi ruangan, jika diingat Reyhan juga pasti malu dengan apa yang Aisyah telah perbuat terhadap dirinya. Tapi tetap saja, ini bukan 100% kesalahan Aisyah, iya, ‘kan?
“Alhamdulillah, akhirnya!” Aisyah menarik napas lega. Setelah hampir setengah jam berlalu, akhirnya Aisyah selesai membersihkan seisi ruang kelasnya, mulai dari menyapu, membersihkan tempat duduk, hingga mengelap jendela.
Aisyah menatap ruangan yang hanya tinggal dirinya di sana. Iya, semua teman-temannya sudah pulang dari beberapa menit bahakan puluhan menit yang lalu.
“Tidak apa-apa, ok. Harus ikhlas, harus ridho! Ini juga gara-gara salah kamu, kok, Sya, yang terpenting sekarang semua sudah selesai, waktunya balik ke kamar.” Aisyah berusaha menyemangati dirinya dari rasa capek fisik dan batinnya. Sepulang dari sini, dia tidak akan bisa kembali melanjutkan tidurnya yang tadi karena sepertinya dia akan begadang mengerjakan laporan yang akan dikumpulkan besok pagi.
Tidak mau membuang waktu lama, Aisyah segera menutup jendela-jendela yang masih terbuka. Berada sendiri di dalam kelas membuat dirinya sedikit merinding. Jika dipikir-pikir Reyhan benar-benar tidak memiliki perikemanusiaan, bisa-bisanya dia menyuruh semua orang untuk pulang tanpa memberi izin satu orangpun yang ingin menemaninya, hanya menemani bukan membantu, catat itu.
“Sudah selesai?”
“Allahuakbar!....Aduh!” dengan cepat Aisyah menarik tangannya yang terjepit jendela. Aisyah meringis menahan sakit, mau marah dia tidak enak hati, bagaimanapu Reyhan adalah gurunya. Akan tetapi ingin rasanya Aisyah mengomel di depan makhluk menyebalkan itu, ingin rasanya mengatakan kalau dia tidak ingin bertemu lagi dengannya.
“Eh, Sakit nggak?”
Aisyah yang tengah asyik mengibas-kibaskan tangannya untuk meredam nyeri, tertegun sejenak, ketika retinanya tak sengaja menangkap gurat khawatir dari raut wajah Reyhan, tapi itu hanya sebentar, gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangannya, menatap apapun yang bisa di tatap, kecuali Reyhan tentunya.
“Nggak!” jawab Aisyah ketus.
“Alhamdulillah, kirain sakit.”
Aisyah melongo, apakah Reyhan benar-benar tidak sepeka itu? Tidak cukupkah ekspresi dan respon Aisyah memberitahukan bahwa tangan yang kejepit jendela cukup keras itu sakit. Namun, Aisyah tidak ingin mengomentari, nanti jadi panjang urusannya. Yang ingin Aisyah lakukan sekarang adalah segera kembali ke asrama dan mulai mengerjakan tugas dengan tenang.
Kedua manik mata Aisyah menatap ke luar. “Kak Rey, kenapa ke sini? Entar jadi fitnah lagi karena cuma kita berdua doang.”
Reyhan hanya mengangkat bahu, membuat kening Aisyah semakin mengkerut. Seenjoi itukah kehidupan manusia di depannya ini?
“Balik ke asrama sana! Lain kali kali jangan suka telat, pakai alesan ketiduran lagi.”
“Orang tidur beneran juga.”
“Apa bisik-bisik?
“Siapa yang bisik-bisik? Konslet mungkin tuh, telinga,” jawab Aisyah keceplosan, gadis itu segera menutup mulutnya, kalau lagi kesal mulut memang sering susah buat diajak kompromi.
“Sana pulang, masih betah di sini? Atau hukumannya mau ditambah lagi?”
Aisyah segera menggeleng keras. Enak saja, gara-gara hukuman ini saja, dia sekarang harus begadang setelah balik ke asrama.
“Saya pamit, Kak. Assalamu’alaikum,” ucap Aisyah dan segera berlari menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti dan segera berbalik, ketika mengingat sesuatu.
“Apa lagi? “
Aisyah nyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Minta tolong, kak, sapunya dikembaliin ke gudang ya, Assalamu’alaikum.”
“Eh….” Percuma Reyhan berucap, Aisyah sudah terlebih dahulu berlari meninggalkannya untuk keluar dari dalam ruangan. Tersungging senyum di wajahnya, melihat tingkah Aisyah yang menurutnya lucu. Dari sekian banyak makhluk bernama wanita di asrama ini, kenapa dia malah tertarik untuk lebih tahu tentang gadis yang memiliki netra cokelat dan pipi donat itu.
“Akhirnya, keluar juga kamu! Lama bener di dalam.”
Aisyah menghembuskan napas lega, ternyata Fadila dan Memei masih menunggunya di luar.
“Aku kira kalian sudah pulang,” seru Aisyah sembari matanya melirik kanan kiri.
“Kak Reyhan nyuruh kami buat nungguin kamu, katanya nanti kamu nangis kalau ditinggal sendiri.”
Aisyah mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Fadila.
“Idih, sok tahu sekali.”
“Sya, ucapannya,” tegur Meimei, Aisyah nyengir mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.
“Tunggu apa lagi? Ayo pulang.”
“Ini juga mau pulang, Dil! Tapi….” Aisyah menjeda ucapannya sembari melirik kesana kemari.
“Sandalku mana, Kok nggak ada?” lanjutnya sembari terus mengedarkan pandangan kemanapun arah yang bisa dituju.
Fadila dan Memei yang dari tadi menunggu di bangku dekat gerbang, kini beranjak mendekati Aisyah yang masih sibuk mencari keberadaan sandalnya.
“Ck, astaghfirullah, siapa yang tega ghosap sandal aku, sih?”
“Itu sandal siapa?”
“Mana aku tahu,” rasanya kesabaran Aisyah malam ini begitu di uji.
“Pakai aja kalau gitu.”
Aisyah menggeleng. “Kalau aku bawa sandal ini, aku sama aja sama orang yang ngeghosap sandalku.” Aisyah menarik napas berat, mengghosap sama aja dengan mencuri, ya meskipun nanti di asrama Aisyah akan mendapatkan kembali sandalnya, tapi tetap saja hal itu tidak baik dilakukan, karena merugikan orang lain terutama yang punya sandal.
“Pakai saja, itu sandal saya.”
Aisyah menoleh ke arah pintu di belakangnya.
“Ini sandal, kak Rey?”
Reyhan mengangguk menjawab pertanyaan Fadila.
“Kenapa sandal kakak ada di sini?”
Aisyah bersyukur, untung saja ada Fadila, sehingga dia tidak perlu repot-repot mengeluarkan suara.
“Tadi habis ketemu sama Ustadz Umar.”
Fadila manggut tanda mengerti.
“Ya udah, Sya. Pakai sandal kak Rey saja dulu. Eh… terus, kak Rey pakai apa?” Aisyah menatap Fadila sembari menggeleng. Seharusnya dia memikirkan hal itu terlebih dahlu sebelum menyuruhnya untuk menggunakan sandal Reyhan.
“Kakak, bisa kok lewat pintu utara.”
“Terima kasih sebelumnya, kak. Tapi, kakak pakai saja sandalnya, tidak perlu repot-repot meminjamkan.”
Reyhan diam, Aisyah tersenyum sebentar sebelum kembali melanjutkan ucapannya untuk pamit.
“Kami permisi dulu, Kak.”
“Eh…” Aisyah segera menarik tangan Fadila dan Memei untuk kembali ke asrama. Dia lebih baik nyeker daripada menggunakan sandal Reyhan.
“Nggak baik bersikap kayak tadi, Sya,” tegur Memei Akhirnya setelah hanya tinggal mereka berdua yang berjalan menuju kamar. Aisyah tahu, tanpa Memei mengingatkan gadis itu sudah menyadari ketidak sopanannya sejak awal, tapi Aisyah sendiri bingung dengan dirinya sendiri, kenapa bisa bersikap seperti itu terhadap Reyhan. Apa mungkin karena rasa malunya yang ketika bertemu dengan Reyhan selalu saja terjadi kejadian yang tak diinginkan, sehingga rasa malu itu berubah menjadi sebuah kejengkelan? Entahlah, Aisyah benar-benar bingung.
“Apa kamu ada masalah sama Kak Rey?”
Aisyah menggeleng, tidak mungkin ‘kan dia menceritakan apa yang dia rasakan kepada Memei, bisa-bisa dia semakin diberi kuliah umum, hanya karena sikapnya yang terlalu kekanak-kanakan.
“Lalu?”
“Mungkin karena rasa malu yang tadi, Mei. ‘kan kamu tahu sendiri, aku nggak pernah dipermalukan di depan umum kayak tadi,” Aisyah tidak berbohong, namun ia hanya menggunakan alasan yang tadi untuk menutupi alasan-alasan yang lain.
“Mungkin beliau nggak bermaksud seperti itu, Sya. Di sana posisinya, kamu juga yang salah, main nyelonong masuk tanpa permisi, malah tuduh kak Rey yang bukan-bukan.”
Aisyah mengangkat alisnya sebelah.
“Jadi kamu dengar juga apa yang aku ucapkan sebelum Kak Rey menyuruh aku untuk duduk?”
Memei mengangguk, membuat Aisyah tergugu. Apa jangan-jangan Reyhan juga malu tadi?
“Aku juga posisinya tadi nggak tahu, kalau Kak Rey yang gantiin Kak Erwin.”
“Jangan cari seribu alasan untuk membenarkan sebuah kesalahan, setidaknya kamu minta maaf tadi sama beliau, bukan malah main meninggalkan begitu saja tanpa permisi. Bagaimanapun beliau juga guru kita.”
Aisyah menghentikan langkah, ia kini tertunduk malu, iya malu karena belum bisa mengamalkan apa yang telah dia pelajari. Padahal dia tahu adab seorang penuntut ilmu itu jauh lebih berharga dari pada ilmu itu sendiri. Karena yang berilmu belum tentu beradab. Namun, yang beradab sudah pasti berilmu.
Karena adab juga, kenapa akhirnya Iblis dikeluarkan dari syurga, padahal Iblis dulu pernah diberi nama malaikat Azazil karena Iblis terkenal dengan ilmu dan kealimannya, sampai Iblis dihormati oleh para malaikat dari langit pertama sampai langit ketujuh. Namun, karena keutamaan dan kelebihan yang Allah berikan kepadanya membuat iblis menyimpan kesombongan dalam hatinya sampai pada masa Allah menciptakan nabi Adam dan meminta kepada para malaikat untuk bersujud, akan tetapi Iblis enggan untuk patuh, karena merasa dia jauh lebih baik dari nabi Adam yang Allah ciptakan dari tanah, sehingga sifat sombong dan angkuhnya inilah yang membuat Iblis dikeluarkan dari syurga.
“Kamu tahu sendiri, ‘kan, Sya. Jika setan gagal membuat kita melakukan maksiat, maka dia akan membuat kita merasa lebih baik dari orang lain.”
“Maaf,” cicit Aisyah Akhirnya. Memei mengelus pundak Aisyah lembut.
“Minta maafnya jangan ke aku, ke yang bersangkutan, dong.”
Aisyah mendongak, memastikan apakah dia harus benar-benar melakukan itu. Itu artinya dia harus kembali bertemu dengan Reyhan, tapi bagaimanapun dia memang harus melakukan hal itu.
***
Pagi yang cukup menyebalkan untuk Aisyah, karena kecerobohan dan sifat pelupa yang terkadang sering muncul kepermukaan, membuat dirinya pagi ini harus berlomba dengan waktu. Rak buku yang tadinya rapi kini isinya sudah berhamburan memenuhi lantai kamar, map plastik yang tadinya penuh dengan kertas A4 dan tersusun rapi, sekarang berceceran mengikuti mood sang pemilik.
“Astaghfirullah!” pekik Aulia yang baru saja kembali dari kamar mandi.
“Tarik napas pelan Aul, ini masih pagi, jangan semosi.” Aulia berusaha menahan dirinya untuk tidak suasana semakin panik. Dia berjalan mendekati Aisyah yang masih sibuk dengan apa yang dia cari.
Melihat Aisyah yang sebentar-bentar melihat jam di dinding, menandakan bahwa gadis itu sedang dikejar oleh waktu.
“Caria pa, Sya?” Aulia duduk di dekat Aisyah, menyiapkan badan hendak menawarkan diri membantu.
“Aul, kamu lihat lembaran kertas yang ada foto kayak gini, nggak? Laporan praktikum aku hilang selembar, mau dikumpulin sekarang lagi, nggak sempat buat ngeprint lagi.” Aisyah terdengar prustrasi.
Aulia mengambil selembar kertas yang Aisyah sodorkan, dia mencoba mengingat dimana dia pernah melihat lembaran seperti itu. Aulia bangkit membuat Aisyah bingung.
“Ini, kan?”
Wajah Aisyah seketika sumringah, melihat apa yang dari tadi dia cari akhirnya ketemu.
“Kok, ada di rak bukunya Memei?”
Aulia menyentil kening Aisyah gemas.
“Kan tadi malam, kamu yang minta tolong ke Memei buat tempelin gambar-gambar ini, gimana sih?!”
Aisyah nyengir setelah mengingat semuanya.
“makasih, Aul,” ucapnya memeluk Aulia sekilas, lalu bergegas membereskan semua yang telah ia kacaukan.
Setelah semua kembali rapi, Aisyah segera menyambar tas dan map plastik andalannya. Bagaimanapun dia harus cepat jika tidak ingin terlambat masuk kelas pagi ini.
“Itu lembaran dimasukin dulu semua ke dalam map, Sya! Nanti jatuh, kamu yang repot!”
Aisyah tidak menggubris teriakan Aulia. Dia terus saja berlari menuruni tangga,
“Sya!” Aisyah yang mendengar namanya dipanggil, mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kelas. Dia melihat sosok Rama yang tengah berlari menghampirinya.
“Muka kamu, kok loyo gitu, kenapa? Begadang lagi?”
Aisyah mengangguk sembari membuang napasnya berat. Demi laporan yang hari ini akan dikumpulkan dia kembali harus begadang.
“Nih, minum. Biar ada tenaga.” Dengan sumringah Aisyah menerima benda yang Rama sodorkan kepadanya, Sampai sejauh ini Rama adalah salah satu teman kelas yang paling perhatian terhadapnya.
“Kaulah sahabat terbaikku.”
Rama terkekeh mendengar Aisyah yang mengucapkan kalimat tersebut mengikuti intonasi dari film kartun yang sering keponakannya tonton.
“Tapi nggak geratis, sebagai gantinya tolong bawakan tas aku ke dalam. Soalnya mau ke jurusan sebentar.”
“Siap pak Bos!” Aisyah segera mengambil tas yang Rama sodorkan.
“Aku pergi dulu.”
Hanya anggukan yang Aisyah berikan. Setelah dirasa sosok Rama lenyap dari pandangannya, Aisyah hendak kembali meneruskan langkah. Namun ternyata suara Tiyas kembali membuatnya urung.
“Sya, kebetulan udah datang.”
“Kenapa, Yas?”
“Buatin aku PPT, dong! Aku males banget, padahal besok mau persentasi.”
Aisyah menghembuskan napasnya kasar, Aisyah sebenarnya bisa saja membantu gadis di depannya ini, namun alasan malas yang Tiyas lontarkan sungguh membuat Aisyah ingin menolak perintah itu untuk pertama kalinya.
“Maaf, Yas. Aku lagi banyak kerjaan. Coba sekali jangan malas, ya. Tugas itu tanggung jawab kamu, maka kamu juga yang harus menyelesaikannya.”
“Pelit banget, sih! Baru dimintain gitu doang, sudah sok banget.”
“Terserah, Yas. Mau ngomong apa.” Aisyah berbalik, malas meladeni hal yang tidak perlu diladeni. Sesekali memang dia harus tegas. Aisyah memang tidak keberatan untuk membantu, apalagi jika memang dia tidak sedang sibuk, namun sepertinya kebaikan yang dia berikan ke Tiyas membuat teman satu kelasnya itu seolah memanfaatkannya. Terbukti, sudah beberapa tugas Tiyas yang Aisyah kerjakan, hanya karena manusia itu malas mengerjakannya. Terkadang memang terlalu baik itu tidak baik.
“Pintar sekali ya menjilatnya. Kalau Rama yang nyuruh aja, langsung gercep.” Aisyah memutar bola matanya jengah, hanya gara-gara dia tidak mau membantunya sekali, Tiyas dengan mudahnya melontarkan kata yang cukup menyakiti perasaan Aisyah.
“Ada apa ini?”
Aisyah menoleh, mendapati Rini yang sudah berdiri tidak jauh darinya.
“Wah kebetulan sekali, ada kamu, Rin.”
“Emang ada apa, Yas?”
Sekarang apalagi yang akan Tiyas perbuat.
“Lebih baik kamu hati-hati sama Aisyah, sepertinya dia ada niatan untuk merebut Rama dari kamu.”
Aisyah menatap Tiyas tidak percaya, segitu berpengaruhkah ucapan penolakan darinya? Sampai-sampai Tiyas menfitnahnya terang-terangan seperti ini? Astaga, kenapa manusia sering sekali melupakan seribu kebaikan yang telah dia dapatkan, hanya karena satu kekecewaan yang dia terima. Tentunya di sini Aisyah tidak merasa bersalah, karena memang mengerjakan tugas Tiyas bukan tanggung jawabnya.
“Benar begitu, Sya?”
“Mana ada Maling mau ngaku!”
Aisyah tidak menghiraukan apa yang Tiyas ucapkan, lebih baik dia masuk kelas, karena percuma mendengarkan ucapan yang unpaedah seperti ini.
“Eh, Sya! Mau kemana? Benar, kan, apa yang aku bilang!” Aisyah terus saja mengayunkan langkah, yang dia perlukan sekarang hanyalah menjauh.
“Kalau kamu diam, berarti semua itu benar, dong?!” Langkah Aisyah terhenti, dia menarik napas pelan sebelum ia membalikkan badan. Meladeni manusia seperti Tiyas membutuhkan ketenangan
“Sorry, Yas! Oksigen yang aku hirup terlalu berharga untuk dikeluarkan, hanya untuk meladeni ucapan kamu yang tidak jelas. Tanpa aku jelasin, Rini sudh tahu mana perkataan yang benar dan mana yang omong kosong.” Retina cokelat itu menatap tajam sembari tersenyum. Aisyah kembali melanjutkan ucapannya.
“Aku tahu kamu kecewa dan marah karena aku menolak mengerjakan tugas kamu. Jadi, aku harap setelah ini seharusnya kamu akan lebih tahu bagaimana caranya menghargai seseorang.”
JLEB
Wajah Tiyas memerah menahan marah, berani-beraninya Aisyah mempermalukannya seperti ini.