Sepulang dari sekolah, aku minta Gian untuk mengantarku dulu ke toko elektronik, kubilang ada barang penting yang sangat ingin kubeli di sana.
Kulihat Gian terus berdiri di sebelah anjing yang ada di depan toko dan membiarkanku masuk sendirian. Setelah beberapa saat, aku mendapatkan barang yang kuinginkan, membuat Gian sempat bingung, seperti bertanya-tanya sendiri mengapa aku beli kamera dengan ukuran kecil seperti itu, lalu kujelaskan padanya bahwa ada sesuatu yang ingin kuketahui dengan menggunakan kamera ini.
Gian masih penasaran, tapi aku tidak mau memberitahu lebih jauh, dia akhirnya menyerah, tidak bertanya lagi padaku tentang alasanku membeli kamera itu. Setelah keluar, kuminta Gian untuk mengantarku pulang saja, sesi belajar dilakukan nanti malam saja seperti kemarin. Gian mengiyakan, dia mengemudikan motornya dengan kecepatan pelan seperti biasa. Kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul setengah empat sore.
Kubuka kaca helmku. Sambil sedikit mencondongkan badan ke depan, aku memanggil Gian dan dia menoleh. Lalu kutanya tentang dia yang tidak mau masuk dan justru memilih berdiri di sebelah anjing.
Dia menjawab dengan nada bercanda, bahwa sedang menjaga anjing itu agar tidak menghampiriku karena dia tahu bahwa aku takut anjing.
Aku jadi senyum-senyum sendiri selama perjalanan setelah mendengar jawaban dari Gian barusan.
*****
Ketika sudah sampai di depan rumah, aku turun dari motor Gian, sempat lupa melepas helm, sebelum kemudian Gian ikut turun guna mengingatkanku untuk melepas helm yang masih kupakai.
Aku jadi malu sendiri, jadi cepat-cepat kulangkahkan kakiku ketika berjalan di teras. Suara mesin motor Gian terdengar ketika aku baru membuka pintu. Kulihat seragam sekolahnya berkibar karena angin ketika motor mulai melaju.
*****
Papa sepertinya belum pulang dari kantor saat aku tiba di rumah.
Aku segera memanggil Mbak Yanti. Kuminta dia untuk menyiapkan air karena aku ingin mandi, lalu kusuruh dia pergi ke rumah Sita, guna mengembalikan salah satu alat make up milik Sita yang tidak sengaja terbawa olehku.
Setelah melihat Mbak Yanti keluar, aku buru-buru masuk ke dalam kamar utama guna memasang kamera tersembunyi yang tadi kubeli bersama Gian. Kuatur sudutnya agar sesuai dengan yang kuinginkan, yaitu menghadap tepat ke arah tempat tidur. Aku menata barang-barang di sekitar kamera tersembunyi itu dengan sebaik mungkin agar kamera itu tidak diketahui oleh Papa mau pun Mbak Yanti.
Tidak hanya di dalam kamar utama, aku juga memasang kamera tersembunyi di ruang makan, di ruang keluarga, dan di ruang kerja Papa. Pasalnya, aku juga sempat memergoki mereka bermesraan di tempat-tempat itu. Akan kupastikan mereka tertangkap basah kali ini. Akan kupastikan Mama tahu mengenai semua perbuatan mereka selama Mama sedang tidak ada di rumah.
Beberapa menit setelah selesai memasang semua kamera itu, Mbak Yanti sudah kembali ke rumah.
Dia sempat heran kenapa aku masih belum mandi sementara air sudah siap sejak tadi. Kubilang masih capek, masih ingin rebahan di sofa sambil main ponsel. Mbak Yanti tidak bertanya lagi setelah itu, dia segera masuk ke kamarku untuk menyiapkan baju ganti untukku.
Malam ini, gantian Gian yang datang ke rumahku untuk belajar. Setelah sesi belajar selesai, Gian hendak pamit pulang, tapi Papa justru mengajaknya untuk makan malam sekalian di rumah. Gian awalnya sungkan dan hendak menolak, tapi akhirnya dia mengiyakan setelah sedikit dipaksa oleh Papa. Kami bertiga pun makan malam bersama di ruang makan. Kulihat Papa seperti senang melihat Gian ikut makan dengan kami. Dia sering mengajak Gian mengobrol dan seperti sedang berusaha dekat dengan Gian.
Aku sendiri jadi merasa sedikit terabaikan karena Papa dan Gian benar-benar nyambung ketika ngobrol. Aku pun menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Sesekali kuamati kamera tersembunyi yang tadi kupasang di ruang makan.
Rasanya semakin tidak sabar untuk memberitahu Mama tentang apa yang tidak diketahuinya selama ini.
*****
Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Aku masih terjaga karena sedang fokus mengerjakan soal-soal dari buku Biologi.
“Nona Cantik kenapa belum tidur?”
Itu jelas suara Mbak Yanti, kemudian kudengar dia melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam kamarku. Tidak kuhiraukan. Aku bersikap seolah tidak mendengar suara siapapun.
Meski begitu, aku beralih menutup buku dan memasukkan ke dalam tas sebelum beranjak ke tempat tidur.
“Lampunya Mbak matiin, ya?”
Lampu di kamarku dimatikan oleh Mbak Yanti. Dia kemudian keluar setelah menutup pintu, langkah kakinya terdengar semakin menjauh. Setelah tidak mendengar suara langkah kaki Mbak Yanti lagi, pelan-pelan aku membuka pintu kamar sedikit untuk mengintip.
Kulihat Mbak Yanti celingak-celinguk sebentar, lalu masuk ke dalam ruang kerja Papa. Kutebak pasti ada Papa juga di sana. Mereka pasti sedang bermesraan lagi sekarang, tapi kali ini kupastikan perbuatan mereka akan tertangkap kamera sehingga dapat kuperlihatkan ke Mama nantinya.
Aku menutup pintu lagi dan kembali berbaring di atas tempat tidur. Tidak lama kemudian, ada satu notifikasi pesan masuk dari Gian, dia mengirim beberapa meme lucu yang berisi gombalan khas bapak-bapak dan diakhiri dengan sebuah ucapan selamat tidur.
Pesan Gian sengaja tidak kubalas, karena pikiranku kini sedang penuh oleh banyak hal, perasaanku sedang penuh oleh banyak ketakutan.
Kedua mataku menatap langit-langit, membayangkan tentang hubunganku dengan Gian ke depannya, karena kuyakin pasti besar kemungkinan bahwa Mama akan menyuruhku menjauhi Gian setelah Mama tahu mengenai perbuatan Mbak Yanti yang tidak lain adalah ibunya Gian.
Besar kemungkinan bahwa aku dan Gian akan putus lagi. Hal itu membuatku teringat percakapan dengan Gian semalam:
“Alasan sebenernya dulu kamu minta putus itu apa, Haira?”
Hening cukup lama, tanpa sadar aku sedikit meremat gelas berisi air putih yang kupegang. Bibirku mengatup rapat karena tidak tahu harus menjawab apa.
“Kamu tau sendiri, kan, waktu itu nilaiku banyak yang turun, jadi aku mau lebih fokus aja sama sekolah.”
Hanya itu yang bisa kubilang ke Gian. Aku bohong. Alasan sebenarnya bukan itu, dan sekarang mau tidak mau aku jadi bohong lagi ke Gian. Menggunakan keinginan untuk fokus sekolah sebagai alasan putus adalah alasan paling tidak masuk akal. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya itu yang bisa kukatakan ke Gian untuk sekarang.
Iya, aku paham, Gian berhak tahu yang sebenarnya, tapi aku juga tidak mungkin bilang alasan sesungguhnya, bahwa aku tidak mau menjadi beban Gian waktu itu. Aku melepaskan Gian karena aku ingin Gian bisa bebas meninggalkanku. Aku melepaskan Gian karena aku tidak ingin membebani Gian, menjadi penghalang Gian dalam meraih mimpinya, di mana dulu justru akulah yang membuat Gian jadi kehilangan kesempatan paling besar yang pernah ditawarkan padanya.
Maka dari itu, aku sudah bertekad dengan sungguh-sungguh bahwa aku benar-benar minta putus dari Gian waktu itu.
Setelah benar-benar putus, Gian masih sering menelepon, kadang dia bicara lewat telepon sambil menangis, minta aku untuk balikan lagi dengan suara bergetar, sebelum kemudian dia akhirnya menyerah dan benar-benar pergi hingga memutuskan untuk pindah ke rumah Ayahnya yang jaraknya jauh dari tempat tinggalku.
Mengingat itu, aku meneteskan air mata.
Gian. Jika Mama minta aku untuk menjauhimu, aku harus bilang apa ke kamu? Aku harus bilang apa agar tidak mengecewakanmu lagi? Aku harus bilang apa, Gian?