Loading...
Logo TinLit
Read Story - Our Different Way
MENU
About Us  

Setelah selesai belajar, kegiatanku selama satu jam terakhir hanya berteleponan dengan Gian, membicarakan banyak hal, seolah tidak lelah mengobrol tentang banyak topik random yang hinggap di kepala. Kegiatan seperti ini benar-benar seru. Rasanya senang bisa kembali banyak bicara dengan Gian seperti ini. Aku senang, senang sekali.

Ketika sesi telepon berakhir, aku tiba-tiba jadi kepikiran hal lain, mengenai kondisi kamarku tadi, di mana bagian tempat tidur jadi berantakan sementara barang-barang lain di kamar tetap tersusun rapi. Aku juga mencium bau aneh saat tadi masuk kamar. Ditambah lagi menemukan kalung milik Mbak Yanti di atas tempat tidur yang berantakan.

Ah, untuk apa juga aku memikirkan itu? Ini malam istimewa, jadi lebih baik pikirkan Gian dan Gian saja.

*****

Esok paginya, aku dan Gian kembali teleponan sebentar untuk memastikan bahwa kami sama-sama sudah bangun.

Aku segera bangun dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka sekaligus mandi pagi setelah menutup telepon dari Gian.

Saat melewati kamarku, karena penasaran, aku mengintip sebentar ke dalam, melihat tempat tidur yang sudah kembali rapi dengan sprai baru.

Rasa penasaranku masih belum terjawab, jadi aku bertanya pada salah satu asisten rumah tangga yang lewat perihal penyebab kamarku yang semalam berantakan, tapi dia menjawab tidak tahu.

Asisten rumah tangga yang kutanyai bilang bahwa semalam Papa hanya menyuruh mereka untuk membersihkan kamarku. Tidak ada yang tahu penyebab kamarku bisa jadi berantakan begitu. Ya sudahlah.

Jika memang semua asisten rumah tangga tidak ada yang tahu, hal itu akan kutanyakan ke Mbak Yanti nanti, mungkin saja dia tahu, karena semalam aku melihat kalungnya di dalam kamarku, ketika keadaan kamarku masih berantakan dan belum dirapikan.

Aku pun bergegas mandi dan bersiap-siap.

Ketika sudah duduk di meja makan, sarapan sendirian, Mbak Yanti menghampiriku sambil membawakan tas sekolahku.

“Mbak, aku mau nanya,” kataku di sela-sela kegiatan mengunyah.

Mbak Yanti memandangku, kemudian mendudukkan diri di kursi sebelahku.

“Mau nanya apa, Nona Cantik?” tanyanya.

“Semalem, kamarku bisa berantakan begitu kenapa, ya?”

“Oh, semalem ada kucing tetangga masuk kamar kamu terus jadi bikin berantakan.”

Aku mengerutkan kening, merasa bahwa jawaban itu agak tidak masuk akal.

Memang, sih, tetangga depan rumahku memelihara kucing Maine Coon berbulu hitam yang ukurannya lebih besar dari kucing-kucing lain, tapi setahuku kucing itu tidak pernah sembarangan masuk ke rumah orang lain. Kucing itu cukup pemalu dan agak takut pada manusia selain pemiliknya.

Selain itu, ada lagi keanehan lainnya, yaitu jika memang kucing itu telah mengobrak-abrik kamarku, kenapa hanya tempat tidur saja yang berantakan? Kenapa benda-benda lain, seperti buku atau set make up tidak ada yang berjatuhan?

Aku jadi merasa bahwa Mbak Yanti berbohong. Tapi, Mbak Yanti yang kukenal bukan orang yang suka berbohong. Selama ini, kurasa dia orang baik yang tidak mungkin membohongiku.

Tapi, tetap saja, setelah dipikir-pikir lagi, jawaban Mbak Yanti agak sulit diterima oleh akal sehatku, karena keanehan tidak berhenti sampai di sana, masih ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.

Semalam, aku juga mencium bau aneh dari dalam kamarku. Aku belum pernah mencium bau seperti itu selama ini. Aku tidak tahu bagaimana menjabarkannya selain bahwa bau itu aneh dan belum pernah kucium sebelumnya.

Jika memang bau itu berasal dari kencing kucing, pasti kamarku akan bau sangat pesing, bukan malah tercium bau aneh seperti yang kuhirup semalam. Atau jika kucing itu berak, pasti aku akan langsung muntah ketika menciumnya.

Ingin rasanya aku menyanggah jawaban dari Mbak Yanti, tapi Gian mengirimi pesan dan memberitahu bahwa dia sudah bersiap untuk menjemputku.

Segera kuhabiskan sarapanku, setelah itu memakai sepatu, kemudian berjalan ke depan dengan perasaan tidak sabar. Rasanya tidak sabar untuk melihat dan bertemu lagi dengan Gianku, pacarku.

*****

Ketika sampai di depan rumah, kulihat tidak ada siapa pun selain satpam rumah yang sedang berjaga, maka aku pun berjalan lagi menuju gerbang masuk kompleks untuk menunggu Gian di sana. Gian sepertinya belum sampai. Kutunggu dia sambil menyimak kembali percakapan kami semalam lewat pesan teks.

Tidak berapa lama, Gian datang sambil sebelah tangannya menenteng sebuah helm.

“Pesanan atas nama Kak Haira tercinta?” tanyanya.

Dia bersikap seperti pengemudi ojek online. Helm yang dibawanya dia sodorkan sambil memandangku dengan senyum.

Aku jadi ikut tersenyum. Segera kuambil helm yang disodorkan oleh Gian sambil bilang padanya untuk jangan memanggilku keras-keras karena aku malu.

“Kak Haira tercinta, mau dianter ke mana?” tanyanya saat motor sudah melaju.

“Fokus nyetir aja, Gian” kataku dengan membuka kaca helm, sambil sedikit mencondongkan badan ke depan agar Gian bisa dengar. Kedua tanganku memegangi seragam sekolahnya walau tidak sampai memeluk.

“Aku maunya fokus ke pacarku,” katanya.

“Nanti kalau kecelakaan gimana?” tanyaku dengan nada seperti sedang mengomel.

“Ya jangan ngomong begitu.”

“Makanya diem, fokus nyetir aja.”

“Ini nih, yang bikin kangen.”

“Apanya yang bikin kangen?”

Sadar tidak sadar, nada bicaraku jadi sedikit ketus ke Gian. Bukan maksud hatiku untuk marah-marah ke Gian, walau kedengarannya seperti itu.

Aku hanya mau Gian fokus mengemudi saja. Jalanan pagi ini cukup ramai dan padat, penuh oleh anak-anak sekolah seperti kami dan para pekerja yang tampak rapi dengan pakaian masing-masing.

Meskipun ramai, semua pengendara mengemudi dengan tertib dan tidak ugal-ugalan. Tapi tetap saja Gian harus fokus agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kangen sama kamu yang bawel, kecil tapi suka marah-marah, lucu,” jawabnya setelah beberapa saat.

Tidak kurespons, bukan karena aku tidak dengar apa yang dia bilang.

Mendengar jawaban Gian, aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Tidak bisa kusangkal bahwa aku merasa berbunga-bunga mendengar jawaban Gian. Tidak bisa kusangkal bahwa aku jadi tersipu setelah mendengar jawaban Gian.

Lalu, Gian sepertinya melirikku dari kaca spion motornya.

“Kenapa malah senyum-senyum?”

Aku berusaha menyembunyikan senyum. Sayangnya tidak bisa.

“Karena lagi bahagia habis denger jawabanmu,” jawabku, masih tersenyum malu-malu.

Dasar mulut Gian!

Mudah sekali mulut itu bikin aku senyum-senyum pagi ini. Kan, jadi salting lagi!

Gara-gara ngobrol dengan Gian, pikiran mengenai keanehan dalam kamarku jadi lenyap seketika. Isi kepalaku kini sudah diinvasi oleh Gian seorang.

“Nanti, mau ikut sampai parkiran sekolah?” tanya Gian kemudian, sambil menyalakan lampu sen, pertanda dia akan membelokkan motornya ke kanan.

Setelah motor berhasil belok, barulah aku angkat bicara:

“Mau,” jawabku. “Biar temen-temen pada tau kalau kita sekarang lagi pacaran.”

Kulirik Gian sebentar. Tampaknya dia sedikit menyunggingkan bibir, tersenyum tipis.

Jarak rumah dan sekolah sebenarnya tidak jauh, tapi Gian sepertinya sengaja membawa motornya dalam kecepatan pelan.

“Emang buat apa mau pamer ke temen-temen?” tanyanya.

Aku merengut, kembali menatap Gian dengan ekspresi kesal.

“Biar cowok yang ngejar-ngejar aku pada berhenti, memangnya kemarin-kemarin kamu nggak cemburu apa?”

Kudengar Gian menghela napas. Dia kembali melirikku lewat kaca spion.

Habis itu dia sedikit mengurangi kecepatan motornya, berkendara agak di pinggir.

“Nah, kan, marah lagi,” katanya. “Padahal, aku cuma nanya.”

Dengan masih merengut, aku beralih menatap jalanan yang mulai ramai, lalu bilang ke dia: “Nggak ada yang marah-marah perasaan.”

Kali ini, Gian sedikit menoleh ke belakang.

“Tapi, nada bicaramu daritadi kayak lagi marah-marah ke anak kecil.”

“Kamu sendiri apa-apa harus dikasih tau dulu kayak anak kecil, kapan perilakumu jadi dewasa, Gian?”

Setelah aku bilang begitu, Gian tidak menjawab, lalu tanpa aba-aba membelokkan motor ke sebuah gang sempit, jalanan yang entah kenapa bisa sangat sepi pada jam segini.

Gian mematikan mesin motornya. Dia lalu balik badan, menatapku yang juga menatapnya bingung. Aku benar-benar tidak paham dengan maksud Gian tiba-tiba berbelok ke jalanan kecil dan sempit serta sepi begini.

Gian kemudian menghentikan mesin motornya di bawah pohon. Dia berbalik ke belakang, posisinya jadi menghadapku, memandangku dengan pandangan yang dalam dan intens. Sontak, aku panik karena mengira Gian akan berbuat macam-macam di gang ini.

Tapi, Gian hanya mengulurkan tangan gula mengusap-usap kepalaku, katanya biar aku berhenti marah-marah.

“Hari ini, kita bolos aja, yuk?” tanyanya. Aku yang mendengar itu segera memukul lengannya dengan sedikit sisa panik tadi.

“Nggak mau.”

“Satu hari aja?”

“Kalau mau bolos ya bolos aja sendiri, biar aku naik ojol.”

“Iya, iya, enggak jadi.”

Gian kembali menyalakan mesin motor, lalu kembali mengemudikannya menuju sekolah.

*****

Sepulang sekolah, seperti biasa, aku dan Gian pergi ke perpustakaan kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Aku kembali duduk di belakang jok motornya seperti tadi pagi. Gian juga kembali melajukan motornya pelan-pelan seperti tadi pagi. Perjalanan kami ke perpustakaan kota jadi sedikit lebih lama dari hari-hari sebelumnya.

Tidak hanya berdua dengan Gian di perpustakaan, kali ini Sita ikut. Dialah temanku satu-satunya di sekolah sekaligus tetanggaku di kompleks perumahan.

Aku dan Gian duduk sebelahan sementara Sita di depan kami.

Karena posisi kami berada di dalam ruangan kecil, maka aku tidak segan untuk bicara sedikit keras ketika mengajari Gian pelajaran Bahasa Indonesia.

Saat Gian minta istirahat sebentar, kami berkeliling di sekitar rak buku untuk mencari buku bacaan kesukaan masing-masing. Sita juga sama, bedanya dia sedang mencari-cari buku berisi resep makanan.

Kakiku terus menyusuri rak-rak buku untuk menemukan buku yang sedang sangat ingin kubaca saat ini.

Namun, buku itu tak kunjung kutemukan.

Aku pun melangkah kembali ke ruangan yang menjadi tempat belajar kami bertiga dengan sedikit kesal karena tidak bisa menemukan wujud fisik buku itu. Ketika sudah masuk, barulah kuketahui bahwa buku itu sudah diambil oleh Gian.

Sempat terjadi cekcok sebentar antara aku dan Gian perkara buku itu, kemudian berakhir dengan Gian yang mengalah. Karena merasa tidak enak merebut buku itu dari Gian, aku inisiatif untuk menggeser kursi hingga berdempetan dengan kursinya Gian. Kami jadi membaca buku itu bersama-sama dan di halaman yang sama.

*****

Keluar dari perpustakaan, Sita segera menarik tanganku dan memintaku agar pulang bersamanya, yang kemudian kuiyakan dengan hati yang berat. Dia tiba-tiba bersuara setelah daritadi kedua matanya tak henti melihat ke arahku seperti menelisik:

“Ada yang aneh hari ini. Aku lihat-lihat interaksimu sama Gian agak beda dari hari-hari sebelumnya. Entah ini cuma perasaanku atau bukan, tapi kalian sering loh senyam senyum nggak jelas dari tadi. Apa jangan-jangan emang ada sesuatu di antara kalian berdua?”

Sita menatapku dengan mata menyipit, membuatku tiba-tiba merasa gugup, setelah itu baru bisa bilang ke dia:

“Maaf, ya, lupa bilang. Jadi gini, semalem tuh, aku nyari Gian yang kemarin bolos. Pas ketemu, dia ngajak aku ngobrol. Terus, pas kita udah ngobrol, dia tiba-tiba ngajak balikan. Jadi, aku pacaran lagi sama Gian sekarang.”

Setelah aku bilang begitu, Sita mendadak diam. Dia seperti terlampau kaget hingga tidak bisa berkata-kata. Dia baru heboh setelah beberapa detik berlalu. Kadang-kadang, dia memang agak berlebihan dalam merespons sesuatu.

Namun, bukannya ikut senang, dia justru marah pada keputusanku, seperti jengkel bahwa aku balikan lagi dengan Gian.

“Nggak inget apa, heh, dulu sampe nangis berhari-hari habis putus dari Gian?” tanyanya kesal dan hampir seperti membentak.

Aku merengut: “Ya mau gimana lagi, akunya juga masih sayang.”

Sita menggeleng-gelengkan kepala, lalu setelah itu, dia malah mengomel panjang lebar. Dia menceramahiku, mengingatkanku pada masa-masa terpuruk setelah putus dari Gian dulu. Entah terbuat dari apa mulutnya itu, seperti mesin yang tidak lelah bicara. Kudengarkan saja semua ocehannya. Semoga kupingku tidak sakit.

*****

Ketika sudah sampai di dalam kompleks perumahan, aku dan Sita berpisah setelah aku turun dari mobilnya. Kakiku segera melangkah masuk ke dalam rumah karena ingin cepat-cepat istirahat.

Tumben sekali Papa menyambut kepulanganku hari ini:

“Sudah pulang kamu? Gimana tadi belajarnya di sekolah?”

Aku terkesiap sebentar. Habisnya, ini adalah pertama kalinya Papa penasaran tentang aktivitasku di sekolah.

Karena malas ngobrol dengan Papa, kujawab sedanya saja. Kubilang, tidak ada yang spesial dengan kegiatanku di sekolah hari ini selain belajar.

Aku pun berlalu menuju kamarku. Barulah setelah itu, Mbak Yanti masuk ke dalam kamarku dengan ekspresi sedikit gugup seperti kemarin.

Mbak Yanti, kurasa, ada sesuatu yang janggal padanya, sejak semalam dia menghadangku agar tidur di kamar tamu, hingga hari ini ketika aku melihatnya sehabis pulang dari sekolah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Black Hummingbird [PUBLISHING IN PROCESS]
22268      2514     10     
Mystery
Rhea tidal tahu siapa orang yang menerornya. Tapi semakin lama orang itu semakin berani. Satu persatu teman Rhea berjatuhan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang mereka inginkan darinya?
Who Is My Husband?
14901      2817     6     
Romance
Mempunyai 4 kepribadian berbeda setelah kecelakaan?? Bagaimana jadinya tuh?! Namaku.....aku tidak yakin siapa diriku. Tapi, bisakah kamu menebak siapa suamiku dari ke empat sahabatku??
Kepercayaan sirna selamanya
753      516     2     
Short Story
kisah ini semoga bisa menginspirasi dan penulis berharap pembaca dapat mengambil hikmah dari cerpen tersebut secara tepat
LUKA TANPA ASA
9194      2257     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Supernova nan Indah merupakan Akhir dari Sebuah Bintang
3951      1254     1     
Inspirational
Anna merupakan seorang gadis tangguh yang bercita-cita menjadi seorang model profesional. Dia selalu berjuang dan berusaha sekuat tenaga untuk menggapai cita-citanya. Sayangnya, cita-citanya itu tidak didukung oleh Ayahnya yang menganggap dunia permodelan sebagai dunia yang kotor, sehingga Anna harus menggunakan cara yang dapat menimbulkan malapetaka untuk mencapai impiannya itu. Apakah cara yang...
365 Hari, Aku Bertanya pada Kalian?
618      390     3     
Short Story
Aku akan menceritakan kisahku pada kalian semua. Tidak, tidak. Aku tidak meminta belas kasihan kalian. Wanita seperti ku tidak perlu dikasihani oleh kalian. Karena setelah mendengar ceritaku ini, mungkin kalian akan memberiku kalimat penyemangat yang terdengar basi dan empat menit kemudian kalian sudah melupakanku. Jadi, aku tidak perlu itu semua. Aku hanya ingin bertanya kepada kalian, Apak...
Too Late
8090      2095     42     
Romance
"Jika aku datang terlebih dahulu, apakah kau akan menyukaiku sama seperti ketika kau menyukainya?" -James Yang Emily Zhang Xiao adalah seorang gadis berusia 22 tahun yang bekerja sebagai fashionist di Tencent Group. Pertemuannya dengan James Yang Fei bermula ketika pria tersebut membeli saham kecil di bidang entertainment milik Tencent. Dan seketika itu juga, kehidupan Emily yang aw...
Tumbuh Layu
473      306     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
V'Stars'
1511      695     2     
Inspirational
Sahabat adalah orang yang berdiri di samping kita. Orang yang akan selalu ada ketika dunia membenci kita. Yang menjadi tempat sandaran kita ketika kita susah. Yang rela mempertaruhkan cintanya demi kita. Dan kita akan selalu bersama sampai akhir hayat. Meraih kesuksesan bersama. Dan, bersama-sama meraih surga yang kita rindukan. Ini kisah tentang kami berlima, Tentang aku dan para sahabatku. ...
Behind the Camera
1894      725     3     
Romance
Aritha Ravenza, siswi baru yang tertarik dunia fotografi. Di sekolah barunya, ia ingin sekali bergabung dengan FORSA, namun ternyata ekskul tersebut menyimpan sejumlah fakta yang tak terduga. Ia ingin menghindar, namun ternyata orang yang ia kagumi secara diam-diam menjadi bagian dari mereka.