Malam ini, di sebuah tempat makan tidak jauh dari perpustakaan kota, sekitar pukul setengah delapan, aku dan Gian duduk sebelahan sambil menyantap makan malam, setelah sejak pulang sekolah tadi kami menghabiskan waktu di perpustakaan itu.
Kami makan dengan canggung. Aku menyibukkan diri dengan ponsel, menarik layar ke atas dan ke bawah ketika membuka sebuah platform sosial media. Sementara Gian, dia fokus makan dengan tanpa bicara.
Sebenarnya, hubungan pertemanan kami berjalan lebih baik daripada yang kukira. Gian tetap bersikap seperti selayaknya seorang teman sebaya padaku. Dia bersikap begitu seolah kejadian dulu tidak memberikan luka apapun baginya.
Setelah selesai makan, kami menumpuk piring dan membenahi letak kursi agar seperti semula, lalu menyampirkan tas masing-masing dan berjalan keluar.
Gian bersuara:
“Wah, lihat deh perutku.”
“Siapa suruh makan dua piring?” kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar.
“Ya mau gimana lagi?”
“Kan kubilang biarin aja, nggak usah dimakan,” kutoleh lagi dirinya, sambil memegang kedua tali tas.
Gian mencibir, lalu menjawab:
“Lagian, udah tau alergi telur, kenapa malah pesen menu yang itu?”
“Ya aku mana tau kalau ternyata ada telurnya?”
“Perutku rasanya jadi kayak mau pecah sekarang.” Gian mengusap-usap perutnya. Sesekali, dia akan bersendawa ringan. Sepertinya, dia tidak bohong ketika bilang perutnya seperti akan pecah.
“Oh, iya, Gi,” kataku. “Thanks ya.”
Gian diam sebentar. Dahinya mengernyit, pertanda bingung. Tapi, dia tidak langsung angkat suara. Lalu, kepalanya sedikit mendongak ke atas, seperti sedang berusaha menerka-nerka. Dia terlihat sedikit menggemaskan, sih, dengan ekspresi itu. Gian masih sama seperti dulu rupanya.
Ah, aku merutuki diri karena lagi-lagi jadi bernostalgia sendiri. Segera kugeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir kenangan masa lalu yang nyaris mampir. Tidak, jangan begini lagi, tidak boleh.
Harus kutekankan berkali-kali dalam kepalaku sendiri bahwa aku dan Gian sekarang adalah teman. Hanya teman.
“Makasih buat apa?” dia akhirnya angkat suara.
“Makasih karena udah bawain bukuku yang tadi ketinggalan di kelas,” jawabku.
Gian ber-oh sebentar, lalu mengangguk-anggukkan kepala. Dia tersenyum simpul kemudian bilang:
“Lihat.”
“Lihat?” kutanya. “Maksudmu apa? Lihat apa?”
Gian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu memandangku.
“Lihat, kita bisa jadi temen yang baik, kan?” katanya.
Aku diam, terpaku sembari melihat kedua matanya yang menyipit karena tersenyum.
Habis itu, Gian melangkahkan kaki, berjalan menjauh dari tempat kami berdiri.
Setelah berbelok ke tikungan, tubuhnya sudah tak terlihat lagi, sementara aku masih mematung di tempat yang sama.
*****
Waktu sampai di rumah, Mbak Yanti sudah menyiapkanku air hangat, jadi segera kubersihkan tubuhku di kamar mandi.
Selama berendam, pikiranku masih terbayang perkataan Gian tadi.
Entah kenapa rasanya sedikit tidak nyaman ketika mendengar Gian bilang begitu. Apalagi melihat Gian yang begitu santai, tampak biasa saja dengan hubungan pertemanan ini, seolah tidak pernah ada ikatan spesial di antara kami, seolah dia tidak terusik dengan masa lalu kami, seolah aku ini sama saja seperti teman-temannya yang lain.
Jujur saja, aku senang ketika bisa bertemu dengannya lagi, tapi dengan status kami sekarang sebagai seorang teman, aku hanya merasa bahwa ini bukan pilihan yang tepat. Jika ditanya apakah aku ingin balikan dengan Gian, jawabannya adalah: iya. Tapi, melihat Gian yang sepertinya nyaman dengan status kami sekarang membuatku tidak mau berharap lebih.
Ah, gara-gara memikirkan itu, bukannya rileks, aku jadi merasa kepalaku semakin berat. Segera kusudahi sesi mandiku dan keluar dengan memakai bathrobe. Lalu, sambil mengeringkan rambut, kulirik jam di dinding. Kukira sudah larut, ternyata belum, baru pukul setengah sembilan, masih terlalu awal untuk tidur.
Ketika tiduran di atas tempat tidur sambil bermain ponsel, ada sebuah notifikasi masuk, pesan singkat dari Papa. Jemariku segera membuka pesan itu, walau rasanya malas, tapi aku merasa penasaran, karena Papa tidak biasanya mengirimiku pesan saat sedang di luar kota.
Ternyata isi pesan itu tidak ada yang spesial, hanya memberitahu padaku bahwa dia akan pulang besok, tapi kali ini dia pulang sendiri, tanpa Mama, katanya Mama masih harus berada di sana untuk mengurus sesuatu.
Kuletakkan ponsel itu dengan tidak minat, lalu sebuah notifikasi pesan kembali masuk, kali ini dari Gian.
“Sebenernya, sih, gue pengen banget balikan sama dia.”
Aku tentu terkejut setelah membaca pesan itu. Namun, pesan itu tiba-tiba terhapus sedetik kemudian.
Sebenarnya, apa itu tadi?
Entah siapa yang dimaksud, tapi setahuku Gian belum pernah pacaran dengan siapapun sebelum pacaran denganku.
Karena terus terpikir mengenai isi pesan Gian tadi, aku segera mengambil salah satu buku pelajaran dan mencoba belajar lagi. Aku berusaha untuk fokus, tapi lagi-lagi, isi pesan itu kembali teringat, membuatku sedikit frustasi.
*****
Papa tiba di rumah sesaat setelah aku bangun tidur. Kedatangannya terasa biasa saja bagiku. Tidak ada yang spesial walau kami tidak bertemu selama lebih dari seminggu, karena rasanya sama saja ketika Papa berada di rumah. Dia dan Mama terbiasa meninggalkanku dan aku juga terbiasa dengan ketiadaan mereka.
Diikuti seorang supir yang membawakan koper dan tas majikannya, Papa memberiku beberapa oleh-oleh khas Semarang, dibungkus rapi walau sudah bisa kutebak isinya.
Setelah itu, Papa bilang akan beristirahat di kamar, sementara aku segera bersiap untuk berangkat sekolah.
*****
Gian bolos hari ini. Aku tahu karena kami sekelas. Guru sempat bertanya mengenai Gian yang tidak masuk. Semua murid di kelas menjawab tidak tahu, begitu pun denganku.
Saat pulang sekolah, kucoba hubungi nomornya. Tidak diangkat, menyebalkan.
Kebiasaannya sering bolos juga masih belum berubah rupanya.
Dia bolos bukan karena ingin sok keren, tapi memang sifatnya dia saja yang malas mengikuti pelajaran.
*****
Ketika sampai rumah, aku sempat nanya ke Mbak Yanti perihal Gian, tapi Mbak Yanti bilang bahwa Gian tadi pagi ke sekolah seperti biasa, lengkap dengan memakai seragam. Rupanya Mbak Yanti tidak tahu jika anaknya bolos hari ini.
Aku tidak bilang ke Mbak Yanti bahwa Gian tadi bolos sekolah, bukan karena tidak ingin Gian dimarahi, aku hanya tidak mau dicap sebagai pengadu. Tapi, jika besok dia bolos lagi, kupikir aku perlu memberitahu Mbak Yanti.
Karena teleponku tetap tidak diangkat olehnya, kuputuskan untuk mencari Gian setelah berganti pakaian.
“Ck,” kesalku. “Di mana, sih, dia?”
Aku cukup lama berkeliling sampai rasanya kakiku pegal.
Karena tidak kunjung ketemu, kuputuskan untuk beristirahat sebentar sambil menatap langit yang perlahan mulai gelap.
Setelah merasa cukup beristirahat, aku kembali mengayunkan langkah, menyusuri tempat-tempat yang sekiranya dikunjungi Gian saat dia bolos dulu.
Kedua mataku akhirnya bisa menemukan Gian setelah langit benar-benar gelap. Dengan langkah sedikit tergesa, aku segera menghampiri dia dan berdiri di depannya.
“Dari pagi di sini, Gi?” tanyaku.
“Dari mana kamu tau aku di sini?” tanyanya balik, lagi-lagi dengan kerutan di kening, kembali memasang tampang bingung.
“Aku tau karena udah berusaha nyari di semua tempat,” jawabku sambil menggeser kursi untuk duduk.
“Oh,” katanya. “Tapi, buat apa repot-repot nyari aku?”
“Wajar, kan, kalau aku sebagai temenmu cuma mau nyari kamu yang hari ini tiba-tiba hilang tanpa kabar?”
“Iya, wajar kok.”
Kami saling diam setelah itu.
“Kenapa tiba-tiba diem, Gi?” tanyaku setelah hening satu menit.
“Aku bingung. Nggak punya topik,” katanya menjawab pertanyaanku barusan. “Mau ngobrolin apa?”
Hening lagi setelah itu. Maka, aku pun angkat bicara setelah berusaha memantapkan hati.
“Kalau kamu diem, biar aku yang bicara.”
Aku meneguk air putih sebentar sebelum kembali membuka mulut.
“Aku nggak bisa jadi temenmu, Gi,” kataku.
“Terus, kamu mau kita jadi orang asing lagi?”
“Bukan, bukan begitu.”
“Terus gimana?”
“Aku … cuma … nggak bisa,” kujawab bingung.
“Aku rindu kamu, Ra.”
Gian tiba-tiba bicara begitu, dengan tatapan yang lurus mengarah padaku, dengan pandangan yang dalam dan intens, dengan mata yang sedikit berkaca. Aku di tempat seketika mematung sambil balas memandang tepat ke kedua matanya.
“Aku selama ini rindu kamu, Haira.”
Sekali lagi, Gian mengatakan hal yang sama, dengan pandangan yang sama. Mendengar itu untuk yang kedua kali, jantungku berdebar kencang, mataku berair dan bibirku mengatup hingga membuatku sulit menelan ludah.
“Aku rindu sama kita yang dulu,” katanya.
Ini adalah yang ketiga, dan Gian sama sekali tidak menurunkan pandangannya.
“Cintai aku sekali lagi, Haira,” katanya lagi.
Kali ini, pertahananku sudah benar-benar runtuh, jantungku rasanya seperti merosot dan pindah ke perut, air mataku turun membasahi pipi kiri dan kanan. Lidahku yang kelu bahkan tidak sanggup merangkai barang satu kata pun.
*****
Malam ini, sambil merapatkan jaket karena udara terasa dingin, aku dan Gian berjalan bersisian, menyusuri jalanan yang masih cukup ramai, mungkin karena sekarang masih belum terlalu larut.
Tadi, setelah suasana haru dan bahagia yang tercipta di antara kami, tidak ada lagi obrolan serius yang menyertai, karena Gian tidak serta merta bilang padaku untuk minta balikan atau mulai pacaran lagi.
Aku sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Tanpa Gian bilang pun, aku sudah paham dengan hubungan kami sekarang. Aku akan dengan senang hati kembali mencintainya. Aku akan dengan senang hati menganggap Gian adalah pacarku. Ah, rasanya tidak ada malam yang lebih menyenangkan daripada malam ini.
Pikiranku sekarang jadi membayangkan banyak hal.
Rasanya sudah tidak sabar untuk kembali sibuk pacaran dengan Gian.
Lembar pertama untuk malam ini, diisi dengan bergandengan tangan sambil berburu street food. Terkadang akan muncul senyum malu-malu ketika aku dan Gian tidak sengaja saling berpandangan.
Aku bahagia bisa bersama-sama lagi dengan laki-laki yang kucintai. Namun, aku juga merasa takut. Aku takut jika kejadian yang dulu terulang lagi.
Memang tidak seharusnya aku memikirkan hal itu di saat aku baru saja balikan dengan Gian, tapi pikiran itu tidak kunjung hilang. Aku takut mengacaukan semuanya lagi. Aku takut menyakiti hati Gian lagi. Aku takut jika suatu saat akan putus lagi.
Ketika melihat Gian yang tersenyum begitu lebar di sampingku, tanpa sadar aku juga tersenyum mengikutinya, sambil menenangkan diriku sendiri atas ketakutan-ketakutan yang tidak seharusnya muncul saat ini.
Hubungan kami sebelum benar-benar berpisah sebenarnya tidak mulus-mulus juga, alias sering putus nyambung, tapi baru benar-benar putus ketika kejadian setahun yang lalu.
Ah, persoalan itu agaknya dipikirkan nanti saja, sekarang lebih baik fokus saja pacaran dengan Gian.
*****
Saat sudah di dekat kompleks perumahan, kami terpaksa harus berpisah.
Aku dan Gian berpandangan dengan sebelah tangan yang masih saling bertautan. Setelah itu, aku tidak langsung masuk, melainkan masih menjaga tautan tangan dengan Gian, pura-pura mencoba lepas walau aslinya malah semakin dipererat.
Masing-masing dari kami segera membuang pandang, mengalihkan tatapan pada sesuatu yang lain dengan tangan masih bertaut. Wajahku rasanya panas, tidak bisa menghilangkan senyum malu-malu dari wajahku sendiri.
Aduh, Tuhan, aku bingung, kenapa tiba-tiba aku jadi mudah salah tingkah begini?
Setelah aksi saling pura-pura melepas tangan, maka dengan berat hati, aku minta ke Gian untuk benar-benar melepas tanganku. Dia akhirnya menurut. Kami berdiri berhadapan. Ingin rasanya kupeluk dirinya, guna menyalurkan rindu yang selama ini terpendam. Tapi Gian sudah maju selangkah lebih dulu untuk mengusak rambutku. Dia lalu ketawa kecil saat melihat wajahku berubah kesal padanya karena telah membuat rambutku jadi berantakan.
Untuk menghilangkan rasa kesalku karena ulah Gian, dia kemudian mencium jari telunjuk dan jari tengahnya sendiri, lalu menempelkan kedua jarinya itu padaku, biar seolah-oleh dia seperti mencium pipiku.
*****
Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan berbunga-bunga. Aku senang, karena malam ini, status kami yang semula teman sudah berubah. Aku senang, karena bisa kembali memiliki Gian.
Saat baru masuk rumah, Mbak Yanti sudah mencegatku yang hendak menuju kamar. Sedikit banyak, kulihat ekspresinya seperti sedang panik dan gugup, membuatku tidak jadi cerita padanya bahwa aku balikan dengan Gian barusan. Mbak Yanti tiba-tiba menghadang jalanku lalu bilang padaku bahwa Papa minta aku untuk tidur di kamar tamu saja.
Aku awalnya bingung. Tumben sekali Papa tiba-tiba memintaku untuk tidur di kamar lain. Meski begitu, aku hanya menurut karena malas bertanya pada Papa.
Namun, aku tidak sengaja menemukan sebuah kalung milik Mbak Yanti di atas tempat tidur ketika masuk ke dalam kamarku untuk mengambil beberapa buku.