Namaku Haira. Keluarga dan orang-orang di sekitarku biasa memanggilku Rara. Usia sekarang masih tujuh belas tahun, baru naik kelas tiga SMA.
Informasi lainnya, aku adalah anak tunggal. Aku tidak memiliki saudara kandung, hanya punya saudara sepupu. Saudara sepupu dari Papa ada dua, sementara dari Mama ada tiga, total lima saudara sepupu.
Meski masih memiliki sepupu, tetapi mereka tidak tinggal satu daerah dengan keluargaku. Aku jadi tidak memiliki teman main saat berada di rumah selain dengan baby sitter ketika kecil dulu.
Setelah masuk SMP, aku jadi semakin merasa kesepian karena Mama dan Papa semakin sibuk dengan pekerjaan mereka.
Meski begitu, aku tidak terlalu membutuhkan teman, karena aku merasa sudah nyaman sendiri, menghabiskan waktu dengan buku-buku tebal, baik saat sekolah maupun ketika di rumah. Tapi, aku juga tidak serta merta menjadi anti sosial. Aku masih bisa berbaur dengan teman-teman di sekolah, walau hubungan kami tidak dekat-dekat amat.
Dari semua teman sekolah yang kadangkala mengajakku bicara, ada satu siswa perempuan yang selalu mengajakku ke kantin ketika bel istirahat sudah berbunyi. Dia adalah satu-satunya teman yang cukup dekat denganku, sekaligus tetangga di kompleks perumahan tempatku tinggal. Kami sering menghabiskan waktu bersama jika salah satu merasa sedang lelah dan ingin bersenang-senang.
“Main ke tempat karaoke sampai suara abis, yes or yes?” tanyanya.
“Yes! Go go go!”
Begitulah, ketika hari itu dia sedang merasa suntuk karena orangtuanya lagi-lagi membuat keributan sampai rumah berantakan karena aksi lempar-lemparan piring.
Kami menghabiskan malam dengan bernyanyi semangat di sebuah ruang karaoke. Mama dan Papa tidak mencariku atau menelepon dan bertanya mengapa aku tidak pulang. Aku pun tidak merasa sedih. Hal seperti itu sudah biasa bagiku. Entah Mama dan Papa memang sibuk atau mereka tidak ingin peduli padaku.
*****
Sejak kecil, ada baby sitter yang akan mengurus segala keperluanku, menggantikan tugas Mama dan Papa dalam mengurus anak. Namun, ketika menikah, dia terpaksa berhenti bekerja, katanya dia harus ikut suaminya, membuatku sedih bukan main, karena merasa seperti kehilangan sosok orangtua, merasa seperti kehilangan orang yang kusayang.
Setelah itu, Mama dan Papa mencarikan pengasuh pengganti untukku, dan tidak lama kemudian, ada seorang wanita paruh baya yang bersedia menerima tawaran itu. Setelah bertemu denganku, dia minta aku untuk memanggilnya Mbak Yanti.
Belum genap sebulan, Mbak Yanti sudah berhasil mencuri hatiku, membuatku kembali mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang sempat hilang.
Mbak Yanti adalah orang baik, sangat-sangat baik. Dia tidak hanya membantu mengurus keperluanku, melainkan juga menjadi teman cerita bagiku, selalu berhasil menghibur kegundahan hatiku yang iri pada anak-anak lain karena keharmonisan keluarga, selalu memberi pengertian padaku agar tidak terlalu membenci Mama dan Papa.
Pada suatu malam, aku menangis karena takut Mbak Yanti akan pergi sewaktu-waktu seperti pengasuhku yang sebelumnya. Aku tidak ingin hal itu terjadi, dan seperti biasa, Mbak Yanti selalu bisa membuatku tenang. Dia bilang, aku tidak perlu takut, karena dia berjanji akan selalu mengabdi pada keluargaku.
*****
Mbak Yanti bilang padaku bahwa dia memiliki seorang anak laki-laki yang seumuran denganku.
Mbak Yanti bilang, walau tidak pintar dalam pelajaran sekolah, anaknya ini pandai dalam bermusik, bisa memainkan piano, bahkan sudah mahir sejak kecil. Jujur saja, itu membuatku langsung teringat dengan seseorang.
Aku pernah dekat dengan seseorang yang ciri-cirinya mirip seperti yang disebutkan Mbak Yanti. Tapi, itu hanya bagian dari masa laluku, yang suatu saat nanti pasti akan ada penggantinya. Iya, semoga saja, doakan aku bisa bertemu dengan orang lain yang sebaik dia.
Hampir setahun aku tidak pernah melihatnya lagi, mendengar suaranya, menggenggam tangannya, dan tersenyum karenanya. Pada waktu-waktu tertentu, kuakui jika aku masih merindukannya, rindu mengenai segala hal tentang kami berdua.
Sejak putus, aku dan dia tidak pernah saling menghubungi satu sama lain. Sejak putus, kami benar-benar jadi seperti orang asing. Mungkin karena kami tidak putus dengan cara yang baik. Mungkin karena kami sama-sama sedang berjuang untuk melupakan satu sama lain.
Saat awal berpisah dengannya dulu, jujur saja, aku jadi merasa seperti perempuan paling cengeng di Bumi, yang kerap menangis karena kepergiannya. Sekarang, tangisan itu sudah berganti dengan lamunan ketika kembali terbayang sosoknya.
Iya, aku belum bisa melupakan dia sama sekali bahkan setelah setahun kami tidak bertemu. Kemudian, pada detik ini, aku kembali melihatnya lagi ketika membuka pintu.
*****
Entah apa maksud dunia, yang kini kembali mempertemukan aku dan dia, hari Sabtu pukul tujuh malam Waktu Indonesia Barat.
Tanpa kusangka-sangka, dia ternyata merupakan anak Mbak Yanti yang akan pindah ke sekolahku pekan depan.
Mbak Yanti tanpa tahu apapun, meminta kami untuk menjadi teman baik. Tentu itu berat bagiku, atau bagi dia juga, tapi aku tidak tega untuk menolak permintaannya. Jadi, mau tidak mau kami berdua memutuskan untuk menjalin hubungan pertemanan mulai hari ini.
Entah berapa lama aku bisa menjalani hubungan seperti ini dengannya, tapi ini benar-benar sulit.
*****
Waktu berlalu, beberapa bulan lagi akan diadakan ujian kelulusan serta ujian masuk perguruan tinggi. Maka dari itu, Mbak Yanti meminta bantuan padaku untuk mengajari anaknya, dan dengan berat hati, aku mengiyakan permintaan itu.
Ketika kami duduk berhadapan, desir itu kembali muncul tanpa diundang.