Anak-anak Marunda United keluar dari lapangan ABC dengan masih menyisakan kelelahan, namun luapan kegembiraan mereka telah mengikis habis seluruh keprihatinan yang dirasakan sejak pertama kali bergabung dalam tim Marunda United. Saat tim-tim lain datang ke stadion dengan bus pribadi atau bus sewaan, Marunda United datang ke stadion naik truk dari toko material bangunan milik Haji Kodier. Yang paling sedih adalah saat konvoi motor mereka dirazia polisi.
Kini semua kesulitan itu telah terbayar dengan gelar juara. Ada hadiah sejumlah uang, sebuah piala besar, medali untuk setiap pemain dan pelatih, 20 tiket gratis untuk ikut coaching clinic di GBK dengan klub Eropa yang nanti bakal tur ke Jakarta. Sedangkan untuk Bang Toyib, ada hadiah khusus dari PSSI berupa rekomendasi untuk mengikuti kursus kepelatihan lisensi C secara gratis.
Beberapa orang wartawan olah raga memotret dan mewawancarai Coach Pieters. “Anda akan terus melatih, Coach?”
Coach Pieters menjawab, “Tidak tahu, saya sudah tua dan sakit-sakitan. Kalaupun nanti saya mati, saya mau itu tim Marunda United tetap eksis. Sesulit apapun kondisi perekonomian negara, sepak bola harus tetap dibina. Dengan sepak bola, semangat kebersamaan dan rasa optimisme bisa dibangkitkan kembali.” Kemudian Coach Pieters pulang ke panti dengan naik mobil, diantar oleh Haji Kodier.
Anak-anak Marunda United masih bergerombol di pelataran parkir. Mereka sudah mandi dan berganti pakaian.
Christiano bicara, “Gue yang dapat gelar Best Player, kagak ditoleh sama wartawan. Yang dikejar malah pelatih kita yang sudah tua.”
David menjawab, “Pelatih kita itu adalah legenda hidup sepak bola Indonesia. Wajar saja kalau dia yang dikejar sama wartawan.”
“Padahal gue sudah mandi sampai wangi begini. Tapi kagak ada wartawan yang berminat mewawancarai gue.”
May mencibir, “Tadi lo mandi setelah gue keluar dari kamar mandi. Sabun cair gue ketinggalan di kamar mandi. Itu sabun cair aromaterapi, pasti lo pake sampe hampir abis! Pantes aja bau lo beda. Biasanya kan, lo mandi pake sabun batangan, yang sekalian buat nyuci baju.”
“Entar gue ganti sabun cair lo, dengan sabun colek.” jawab Christiano, “Sabun colek itu multifungsi, May. Bisa buat lo mandi, nyuci baju, nyuci piring, buat mandiin bajay punya babe lo. Bisa juga buat ngeramasin koleksi wig yang ada di salon tempat kerja lo.”
“Keramasin dulu tuh gigi lo!” May bersungut-sungut.
Para pemain Marunda United sedang menunggu jemputan. Untuk grand final itu, mereka diantar oleh beberapa angkot punya warga Marunda, tapi kemudian angkot-angkot itu pergi lagi. Jemputannya nanti mungkin angkot lagi, tapi belum datang. Namun tiada wajah merengut karena harus menunggu mobil untuk mengantar mereka pulang. Mereka semua ceria, banyak bercanda dan menceritakan bagaimana suasana pertandingan barusan.
Sebuah sedan silver melaju mendekati gerombolan Tim Marunda United. Lantas sedan itu berhenti, dan seorang penumpangnya turun. Vicky.
“David! Tunggu aku!” panggil gadis itu sambil berlari menghampiri rombongan pemain Marunda United.
“Vicky? Ada apa nih? Eh, jangan lari-lari gitu, saya nggak ke mana-mana kok.”
David jelas surprise melihat Vicky sampai lari-lari untuk mendekatinya. David melirik pada Christiano yang tampak kaget campur cemburu. David merasa menang dari Christiano, tanpa perlu susah-payah nyanyi di depan Vicky, seperti yang pernah dilakukan si Chris saat acara valentine di panti werdha.
Vicky terengah-engah, bukan cuma capek karena habis lari-lari, dia sudah capek sejak tadi jadi cheerleader. David menggandeng tangan Vicky untuk menjauhi kerumunan rekannya yang ribut bersuit-suit. David bangga banget bisa menggandeng gadis bule dan cantik itu, di hadapan rekan-rekannya.
Agak jauh dari situ, David juga melihat gerombolan pemain International School sudah keluar stadion, bareng dengan cheerleader mereka. Banyak yang bergandengan tangan dengan cheerleader itu. Tetapi kayaknya Enchev Pabregas kagak kebagian cheerleader, dia celingukan sendirian. Kasihan deh lo! Senyum kemenangan David makin lebar.
“Vicky, tadi aku lihat kamu jadi cheerleader, tapi tim kamu kalah. Maaf ya.”
“Tidak mengapa, David ....” jawab Vicky.
“Kamu capek ya? Nih, minum dulu.” David memberikan gelas air mineral yang belum diminumnya, dia mencari-cari sedotan dari dalam ranselnya.
Vicky menerima sodoran gelas air mineral itu, tapi tidak memikirkan rasa hausnya, dia harus mengatakan sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan.
“Aku tadi dengar di dalam stadion, MC menyebut your name is David Bastion.”
“Yes, my name memang David Bastion.”
“Oh my God .... David Bastion from Marunda ....” Vicky bicara dengan napas tersengal-sengal, “Apakah papa kamu namanya Gregory Smith?”
David tertegun, menatap Vicky dengan heran.
“Ibu kamu namanya Rozida?”
David masih diam. Udin datang mendekat, dan dia yang menjawab, “Bukan Rozida, tapi Rosyidah.”
“Yes, itu namanya istri dari Gregory Smith!” ujar Vicky, lantas pandangannya beralih lagi pada David. “At the first time we meet, aku sudah punya feeling yang beda sama kamu ....”
“Oh ya?” David tersenyum, “aku juga ....”
Tiba-tiba Vicky menutup mulut David dengan telapak tangannya. “Biarin aku yang ngomong dulu, please you hear me. Pengacara aku sudah lama temukan alamat Rozida di Marunda, tapi dia tidak pernah bisa temukan kamu. I don’t believe, kalau cowok yang selama ini aku cari itu ternyata kamu!”
“Apa ... apa maksud kamu?” David jadi bingung.
“I am Victoria Smith. Your father, Gregory Smith is my uncle. And you are my cousin!” Vicky bicara dengan cukup keras, ada senyum di bibirnya, namun ada air mata di pipinya. “David Bastion, kamu itu saudara sepupu aku!”
David tercengang. “Tidak!” teriak David, “nggak mungkin!”
David mundur menjauhi Vicky. Semua perasaan menang mendadak ambrol dari hatinya. Yang muncul kemudian adalah rasa malu. Maluuu banget! Tiba-tiba saja David berlari ke jalan raya, mengejar sebuah angkot yang lewat. Bahkan David tidak lagi melihat ke mana jurusan angkot itu, pokoknya dia ingin segera hengkang dari hadapan Vicky.
“David!” teriak Vicky, tapi David sudah melaju bersama angkot. Vicky menutup wajahnya pakai telapak tangan, lalu menangis tersedu-sedu. Christiano yang datang ke situ, segera menggandengnya menuju mobil. Vicky duduk di jok belakang mobilnya.
Christiano berdiri di dekat pintu mobil yang terbuka, menyimak penuturan Vicky tentang David. Christiano mengambil gelas air mineral dari tangan Vicky, tak ada sedotan, jadi dia mengupas plastik penutup gelas secara perlahan supaya airnya tidak terpercik ke arah Vicky.
“Nih, minum dulu.”
“Thank’s.”
“Kamu yakin kalau Dapit itu sepupu kamu?”
Vicky mengangguk, lalu menyusut matanya pakai sapu tangan. Dikeluarkannya dompet, lalu diambilnya sehelai foto yang terselip dalam dompetnya. Foto sepasang suami istri dengan seorang anak laki-laki usia 7 tahunan. Di balik foto ada tulisan : Gregory, Rosyidah, and David Bastion Smith.
“Itu foto punya Uncle Greg.” isak Vicky.
Sudah lama Christiano penasaran dengan masa lalu David, karena David tak pernah mau cerita soal papihnya. Baru kali ini Christiano tahu, jika David punya family name, yaitu Smith. Selama ini David tak menggunakan nama Smith dalam daftar absen, mungkin dalam semua dokumen pribadinya juga tak tercantum lagi nama keluarga itu.
Udin menghampiri Christiano, melihat foto yang masih dipegang Christiano. Lantas Udin bicara, “Ini kayak mamih Rosyidah, emaknya Dapit.”
“And who’s this boy? Siapa anak kecil ini?” tanya Vicky pada Udin.
“Ini kan, si Dapit waktu kecil. Muka dia emang kayak gini dari dulu juga.”
Vicky berujar lagi, “Berarti aku tidak salah, David is my cousin.”
“Tapi tuh orang kayaknya ogah ngaku.” ujar Christiano.
Vicky menatap wajah Christiano. “Kamu juga nggak pernah mau ngomong yang benar! Setiap aku tanya siapa nama panjang David, kamu jawab David Bazem. You make me confuse!”
“I’m sorry, Baby.” ucap Christiano lirih. Gue mengira Vicky suka sama David. Biasanya kan, begitu. Kalau ada seseorang yang nanyain melulu lawan jenisnya, itu biasanya karena didorong oleh rasa suka. Tetapi yang terjadi pada Vicky dan David adalah hal yang berbeda. Vicky sedang mencari sepupunya.
Christiano menyesal sekali sudah terjebak dalam prasangka yang begitu klise, pikiran yang picik. Kasihan Vicky, andai dari awal aku kasih tahu nama panjang David, pasti dia sudah langsung tahu kalau memang David itulah sepupunya. Bukankah di Jakarta ini nggak banyak, young man usia 17 tahun yang bertampang separuh bule dan punya nama David Bastion?
Vicky masih tampak cemberut, dan sedih. Christiano coba menghiburnya.
“Vicky, mending kamu tenangkan diri, pulang aja, atau main ke panti tempat your grandma. Di panti itu pan adem suasananya. Entar aku ngomong sama Dapit, biar dia bisa nerima semua kenyataan ini.”
Vicky memilih untuk menemui grandma-nya. Christiano menutup pintu mobil yang ditumpangi Vicky. Sopir mobil segera menyalakan mesin, mobil itu melaju.
Mobil tumpangan Tim Marunda United juga sudah tiba. Mereka semua pulang ke Jakarta Utara.