Musik keroncong masih mengalun, saat polisi terus menggeledah setiap jaket, baju seragam dan ransel. Dalam tas Maryadi, mereka menemukan seperangkat peralatan make up, plus bulu mata palsu.
May melirik rekan-rekannya yang tertawa-tawa melihat temuan make up itu. Si May jadi kesal.
“Itu punya kita semua Pak. “ ujar May, “Kalau sudah malam, kita semua dandan.”
Christiano marah. “Maryadi, brengsek lo, jangan suka fitnah!” sergah Christiano, “Yang wadam cuma dia Pak! Itu kan, tas punya dia.”
May mencibir. “Hey yeti, lo juga boleh nyoba pake bulu mata anti badai puting beliung, punya eyke.”
Christiano geram sekali. “Maryadi, gue garot lo ya!”
“Yuuuk!”
Melihat anak-anak yang dirazia itu malah berkelakar dan tertawa-tawa, Para polisi tampaknya mulai merasa bersalah. Apalagi menemukan kenyataan bahwa tidak semua siswa itu berasal dari satu sekolah SMK Marunda Jaya. Karena dari seragamnya, ada beberapa siswa SMA, dan Madrasah Aliyah di Jakarta Utara.
“Ya sudah, pakai lagi baju kalian.”
“Terus kita gimana Pak? Bakalan telat sampai ke lapangan.”
“Makanya sekarang kalian segera pergi dari sini!” bentak polisi itu.
“Bapak harus tanggung jawab terhadap mereka!” Sebuah teriakan datang dari arah gerbang.
Ternyata Bang Toyib datang bersama dua orang pengurus PSSI Wilayah Jakarta Utara. Mereka datang dengan naik motor. Bang Toyib sebenarnya sudah hampir tiba di lapangan Senayan, tapi karena dikontak sama Tim Marunda United, dia dan rekan-rekannya segera menuju kantor polisi itu.
Bang Toyib melanjutkan bicara, “Polisi menangkap anak-anak itu tanpa alasan yang jelas, cuma karena mereka konvoi pake motor, dengan masih mengenakan seragam SMK, dikira mau tawuran? Apa dasar hukumnya, mencurigai hal seperti itu? Apakah ada tindakan mereka di jalanan yang melanggar hukum, sehingga polisi harus menghentikan mereka, dan membawa mereka ke markas ini?”
"Ya sudah, tidak ada lagi masalah! Silakan bawa anak-anak itu pergi!"
Bang Toyib berbalik, lantas menatap Tim Marunda United. “Apakah kalian semua ngebut?”
“Kagak Bang. Batas kecepatan kita masih wajar buat jalan di tengah kota.” jawab Zidan.
“Kagak ada yang ngebut, Bang.” To Ming Se nimbrung, “Kita juga ngerti kok Bang, kalau ini jalan bukan punya nenek moyang kita, tapi punya … punya siapa sih?” To Ming Se cengar-cengir sambil menoleh pada rekannya yang orang Betawi tulen, lalu bicara. “Saudin, apakah ini jalan miliknya lo punya kong coco?” Kong coco itu maksudnya kakek buyut.
Saudin menjawab ketus, “Kalau nih jalan punya engkong gue, kenapa gue kagak boleh liwat? Kenapa gue malah ditangkap?”
“Karena muka lo kagak enak dipandang.” Gaston Kastono yang menjawab, sembari tertawa. Padahal mereka semua sebenarnya sudah stress berat, soalnya sudah lewat jam empat sore, dan mereka masih di halaman kantor polisi. Harapan bertanding sudah musnah. Daripada nangis, mendingan guyon, walau hati pedih nian tak terkira!.
“Muka lo yang paling bikin enek, pengin muntah … hoek!” balas Saudin.
“Jadi sebenarnya … kita kena razia muka jelek, ya?” tanya David, “Kudunya gue mah kagak kena razia. Gue kan, cover boy.”
“Lo cover boy buku yasin.”
“Udah mati dong gue?”
Zidan memperingatkan teman-temannya, “Surah dari kitab suci jangan dijadikan bahan gurauan! Kualat antum!”
Ada yang masih tertawa-tawa, padahal hati mereka menangis, merasa perjuangan mereka sudah kandas, di kantor polisi.
Kemudian ada dua motor masuk ke halaman kantor polisi itu, membawa Kepala SMK Marunda Jaya, dan dua orang guru. Mereka sudah dikontak oleh murid-muridnya, minta tolong. Karena ingin cepat sampai, ketiga pendidik itu naik motor. Kepala SMK Marunda Jaya sangat gusar, melihat situasi itu. Dari 40 orang anak yang ada di halaman kantor polisi itu, 32 orang di antaranya adalah siswa SMK Marunda Jaya. Lantas kepala sekolah menyuruh guru yang datang bersamanya untuk merekam situasi di situ dengan ponsel.
“Apa-apaan ini? Kenapa kalian kena razia?” teriak kepala sekolah.
“Nggak tahu Pak.” jawab David, “Tadi di jalan kita berpapasan dengan konvoi motor gede, semuanya bagus. Mereka menerobos lampu merah, minta diprioritaskan untuk lewat duluan, menghalangi kendaraan lain, dan menyerobot antrian di SPBU. Tapi mereka mah kagak dirazia! Kayaknya sih, kita dirazia karena motor kita udah butut. Mungkin motor butut kagak boleh lewat jalan sini.”
“Ya tidak begitu, Dik!” Polisi berusaha menyanggah.
“Nah, Anda dengar protes itu?” tanya kepala sekolah, “Anda penegak hukum, tapi Anda juga yang menciptakan kesenjangan hukum, sehingga anak-anak itu merasa diperlakukan tidak adil dan didzolimi. Cuma karena mereka berseragam SMK, dan konvoi dengan motor murahan yang sudah butut, Anda menangkap mereka. Tapi Anda tidak punya nyali menilang pengendara motor gede yang melanggar aturan dan melecehkan hak pengguna jalan lainnya!”
“Anda jangan menghina institusi kepolisian! Sekarang silakan Anda semua pergi dari sini, bawa murid-murid Anda itu!” ujar seorang bintara polisi.
Pengurus PSSI wilayah Jakarta Utara yang datang bareng Bang Toyib, segera angkat bicara, “Enak saja! Anak-anak itu mau bertanding pada jam empat sore! Sekarang sudah lewat dari jam empat! Anak-anak kami terlambat ke lapangan, gara-gara polisi yang merazia mereka. Kalau tim kami sampai kalah WO, apakah pihak kepolisian mau bertanggung jawab?”
“Tanggung jawab apa? Hanya sekadar pertandingan sepak bola anak-anak, apa yang harus dipertanggung jawabkan? Jangan berlebihan!” jawab polisi.
Bang Toyib bicara, “Ini pertandingan penting buat anak-anak kami, dipantau oleh para pemandu bakat dari banyak klub dan Badan Tim Nasional. Jika hari ini anak-anak kami kalah WO, maka semua ini adalah mutlak kesalahan polisi. Anda semua sudah menutup peluang anak-anak kami untuk ikut seleksi timnas junior! Kami akan laporkan semua ini ke pengurus PSSI pusat, komisi perlindungan anak, dan Kementrian Pemuda dan Olah raga, bahwa polisi sudah melakukan pelanggaran hak terhadap anak-anak kami!”
“Silakan!” jawab seorang polisi.
Sementara pengurus PSSI Jakarta Utara sedang mengontak panitia turnamen, via ponsel. Dia menjelaskan bahwa Tim Marunda United terhambat oleh razia polisi yang salah sasaran. Dia minta pengunduran pertandingan pada malam hari setelah Maghrib. Di lapangan ABC ada lampu penerangan yang memadai untuk menggelar pertandingan di malam hari.
“Kalian segera datang ke lapangan ABC, bersama seluruh Tim Marunda United!” Itu jawaban panitia.
“Tapi kami bakal terlambat untuk pertandingan jam empat sore. Kalau nanti kami dinyatakan kalah WO, sia-sia saja kami datang ke situ.” jawab Bang Toyib.
“Itu urusan belakangan. Kalau memang punya niat ikut turnamen, mau telat atau tidak, datanglah ke sini full tim. Kita bicarakan nanti di sini.”
Pengurus PSSI Cabang Jakarta Utara bicara pada anak-anak. “Kita pergi sekarang. Guru kalian sudah punya rekaman tentang kejadian kalian semua kena razia, itu bisa kita jadikan bukti kepada panitia turnamen, bahwa keterlambatan kita bukan kesalahan kalian, tapi kesalahan polisi. Jadi polisi harus tanggung jawab mengawal kita semua ke lapangan, supaya kita tidak terjebak macet!”
Seorang polisi bicara, “Heh, polisi nggak ada urusan sama pertandingan sepak bola itu! Memangnya siapa kalian, minta dikawal segala macam?!”
“Polisi sudah merugikan anak-anak kami, dan harus tanggung jawab!” jawab Bang Toyib.
“Jangan bicara sembarangan dan terus saja menyalahkan polisi! Kita juga bisa menuntut Anda atas tuduhan penghinaan terhadap aparat negara! Sekarang lekas kalian semua pergi dari sini!” teriak seorang polisi.
"Hei Pak, jangan arogan, membentak-bentak anak-anak!" tegur kepala sekolah, "Kalau Anda punya anak, terus anakmu dibentak-bentak orang lain, padahal anak itu tidak bersalah, Anda juga pasti tidak terima!"
"Ya sudah, pergi sana!"
Bang Toyib masih jengkel, dia bicara, "Tidak ada seorangpun dari kami yang mau nginjekkan kaki di kantor ini! Ente sendiri yang cari masalah, menggiring anak- anak itu ke sini! Sekarang lu ngusir-ngusir!"
Polwan senior menghampiri Bang Toyib dan bicara lunak, "Bapak-bapak, anak-anak, kami minta maaf. Tapi tolong tinggalkan kantor ini."
Kepala SMK Marunda Jaya memberi isyarat supaya tidak berdebat lagi dengan polisi.
“Untuk saat ini, waktu kita sangat mepet. Pergilah kalian semua ke lokasi pertandingan! Saya tidak akan ikut, karena ada urusan lain.”
Kemudian puluhan motor meninggalkan halaman polres itu. Mereka kembali terjebak macet. Dan akhirnya tiba di lapangan ABC pada pukul 17.30. Tiada harapan. Lapangan itu tampak sepi.