Marunda United akan mengawali partai lanjutan turnamen sepak bola itu dengan pertandingan melawan SSB Untung Jawa, wakil dari Kabupaten Kepulauan Seribu. Namun mereka menghadapi masalah baru, yaitu sarana transportasi. Tidak mungkin lagi mereka naik truk, dari Marunda ke Senayan. Perjalanan terlalu jauh dan bakal melewati jalan-jalan protokol di tengah kota. Truk yang mengangkut orang bakal kena tilang polisi. Namun jika mereka naik mobil yang kecil, tidak akan cukup satu mobil. Mereka juga khawatir mobil pengangkut tim bakal terjebak kemacetan di tengah kota Jakarta.
Mereka semua baru bisa pergi ke stadion setelah bubaran sekolah. Rata-rata mereka kelar sekolah pada jam setengah dua siang, kemudian mereka akan berkumpul di suatu tempat untuk makan siang dan berangkat bersama. Biasanya mereka berangkat pada jam dua siang dari Marunda, menuju Stadion Tugu. Itu pada saat babak penyisihan di tingkat Kodya.
Sedangkan pertandingan yang akan mereka hadapi sekarang tidak lagi di Stadion Tugu, melainkan di Lapangan ABC, Senayan, dimulai jam empat sore. Hanya ada waktu dua jam untuk menuju Senayan. Padahal perjalanan yang harus mereka tempuh cukup jauh. Dan Jakarta selalu macet.
“Kita naik motor saja.” usul David. “Kita minta bantuan motor sama teman-teman sekelas kita, atau tetangga, atau keluarga. Pokoknya kita dibonceng motor menuju Senayan. Supaya kagak telat. Motor bisa nyelip-nyelip di jalan tikus. Moga-moga saja satu jam sebelum pertandingan kita sudah tiba di lapangan.” Rekan-rekannya setuju.
Pada hari pertandingan, anak-anak itu berangkat bersama dari Marunda, saat tengah hari. Kepala sekolah mereka memberi izin anak-anak tim sepak bola itu, dan rekan-rekan yang akan mengantar mereka, untuk tidak turut jam pelajaran setelah istirahat tengah hari. Rekan-rekan mereka Di SMK bersedia mengantar tim Marunda United dengan motor. Ada 20 motor yang berkonvoi dari depan SMK, masing-masing membonceng pemain Marunda United. Bang Toyib sudah dikontak via ponsel tentang keberangkatan tim dengan naik motor.
“Abang kurang setuju kalau kalian naik motor, tapi apa boleh buat. Kalau naik mobil, belum tentu kalian bisa sampai dalam waktu dua jam ke lapangan pertandingan. Sekarang aja sudah macet banget. Abang lagi on the road. Nanti ketemu di lapangan.”
Konvoi 20 motor itu berusaha menembus kemacetan Jakarta di siang yang mendung dan berangin kencang. Mereka mencari jalan pintas yang tidak terlalu macet, untuk mencapai tujuan. Karena diburu waktu, kecepatan motor bertambah.
“Priiit!”
“Kayaknya kita disemprit polantas?” teriak David pada rekannya yang memegang kemudi motor.
“Kagak, bukan kita.” jawab temannya, “Kita semua pake helm, dan motor kita juga kagak ada yang motor bodong. Itu mah nyemprit orang lain.”
Namun sekonyong-konyong, sebuah mobil patroli polisi mengejar mereka. Dan kemudian, di tikungan jalan, dua moge polisi menghadang, menyuruh mereka semua berhenti. Konvoi anak-anak Marunda akhirnya melambat, dan berhenti.
Seorang polisi menghampiri mereka. “Ayo semua ikut ke kantor polisi!”
“Apa salah kita, Pak?” tanya anak-anak itu.
“Ikut dulu, nanti ngomong-ngomongnya!” jawab polisi itu.
"Tapi kita lagi buru-buru nih, Pak. Kita mau ada pertandingan ...."
"Jangan banyak alasan! Ayo jalan!"
Dengan kawalan mobil patroli dan motor besar polisi, keduapuluh motor itu dikemudikan menuju markas sebuah polsek. Kemudian 40 orang anak muda itu disuruh berbaris di halaman mapolsek. Nama dan asal sekolah mereka didata dan dicatat, dicocokkan dengan kartu pelajar yang mereka bawa. Ransel dan jaket dikumpulkan. Beberapa orang polisi memeriksa ransel dan jaket anak-anak itu, bahkan kemudian mereka semua disuruh membuka pakaian bagian atas, ikat pinggang dan sepatu. Seluruh barang bawaan dan tubuh mereka digeledah.
Semua itu tak lepas dari pantauan para wartawan yang biasa nongkrong di kantor polisi untuk mencari berita kriminal. Sorot lampu kamera dari stasiun TV yang menerpa mereka, membuat anak-anak itu jadi merasa seperti pelaku kriminal yang dipermalukan di depan umum.
“Saya kagak mau buka baju! Pokoknya kagak mau! Ini pelecehan!” jerit Maryadi saat seorang polisi menyuruhnya membuka baju.
Polisi itu tampak tertegun, karena Maryadi tidak pakai seragam sekolah seperti 39 anak lainnya. Bahkan kemudian Maryadi menangis sembari menghentak-hentakkan kakinya, lalu selonjoran sambil terus menangis, saking tidak mau buka baju.
David menoleh pada polisi, lantas bicara, "Kalau mau menggeledah dia, sama ibu polwan saja, jangan sama bapak polisi."
Akhirnya Maryadi tidak perlu telanjang dada, dia cuma digeledah oleh seorang polwan yang sudah senior. Maryadi berhenti menangis, dia menyusut wajahnya yang basah pakai tissu.
“Ini ada apa sih Bu?” Maryadi cemas melihat situasi yang sangat tidak menguntungkan itu, padahal waktu mereka sudah sangat mepet. “Kawan-kawan saya mau diapain, Bu?”
“Kalian mau tawuran, kan? Naik motor beramai-ramai, mau menyerang sekolah lain kan?” tanya seorang polisi. “Kalian dari SMK Marunda Jaya. Sekolah mana yang mau kalian serang, hah?! Kalian merasa jagoan ya?”
“Kita mau main bola, di lapangan ABC, Senayan.” teriak David dengan mangkel. Bayangkan, cuma karena prasangka buruk dari polantas, mereka semua terancam tidak tepat waktu tiba di lokasi pertandingan. Bagaimana dong, kalau tim Marunda nanti dinyatakan kalah WO?
“Kalau mau main bola, kenapa harus konvoi naik motor?”
“Kita kagak punya mobil, Pak. Kalau naik metromini, suka ngetem, kena macet lagi. Padahal kita harus bertanding pada jam empat sore ini. Sekarang kita semua malah ditangkap. Terus gimana kita mau bertanding, Pak?”
Polisi itu masih kurang percaya, karena memang kerap kali mereka merazia konvoi pelajar yang tujuannya hendak menyerang sekolah lain. Namun kali ini, penggeledehan tak menemukan satu pun senjata tajam dalam ransel siswa-siswa itu. Tak ada ikat pinggang yang ujungnya diberi besi tajam, senjata khas buat tawuran siswa. Yang ada cuma buku-buku pelajaran, alat tulis, kaos tim bergambar serabi oncom, handuk kecil penyeka keringat yang rata-rata sudah kumal, dan beberapa botol air mineral.
Polisi terus menggeledah. Dalam ransel Christiano, ditemukan CD.
“Itu mah CD lagu-lagu, mau saya hapalin. Jangan diambil Pak, CD kayak gitu nyarinya susah zaman sekarang mah. Itu barang langka.” ujar Christiano.
Polisi mencurigai itu CD berisi film porno, atau bahkan tutorial merakit senjata api. Saat distel di laptop milik polisi, ternyata CD itu berisi rekaman lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan sama Moes Moelyadi, musisi keroncong tahun 1970’an. Anak-anak yang kena razia itu tertawa-tawa, sambil saling senggol.
“Selera musik lo kayak engkong gue.” celetuk Pendi.
“Biarin!” Christiano cuek. “Gini-gini juga gue anak band.”
“Band jadul, he he he.”