Paling deg-degan kalau sudah berurusan sama ujian. Meski bukan ujian akhir semester tapi tetap saja membuat detak jantung menjadi tidak karuan. Alasan lain yang membuat diri gugup selain saat jatuh cinta.
Beruntung Gina memiliki kesiapan yang sangat matang. Belajar dengan giat mempermudah baginya menjawab seluruh pertanyaa yang tertera. Meski waktu malam harus dia habiskan mendengar celoteh Henan yang lebih banyak unsur tidak penting dan gombalannya. Gina bisa punya teman untuk menemani kala ngantuk berat menyerang. Salah satu peran Henan menjadi kekasihnya.
"Gina!"
Kepalanya menoleh niatan memandang pelaku yang memanggil. Seketika wajahnya penuh akan senang dengan senyum lebar. "Hai, Bey," sapanya.
Abey tanpa basa-basi lantas melingkarkan lengan di pergelangan Gina. "Malam ini nge-date, yuk!"
"Nge-date?" Abey mengangguk. "Sama siapa?"
"Lah? Lo lupa sama pacar lo sendiri?"
"Maksud gue bukan itu," sanggah Gina yang mendapat kekehan pelan. "Gue tahu jelasnya bareng Henan. Yang gue maksud lo. Sama siapa?"
"Mavi dong! Siapa lagi?" jawabnya penuh mantap. Menatap raut wajah Gina yang penuh tanda tanya kembali membuatnya tertawa. "Gak jadian memang, tapi masa iya gue jadi nyamuk antara lo sama Henan? Ajak Mavi biar gue gak sendirilah."
"Gak apa?" tanya Gina. Dirinya hanya merasa tak enak dengan gadis itu. Membuat otaknya kembali menayangkan bagaimana kejadian bodoh di masa kemarin.
"Masa lalu sudah lewat, Gina. Harus berapa kali gue bilang kalau semuanya sudah baik-baik saja, hm? Perasaan bakal berubah seiring waktu. Bukan karena lo tolak Mavi, gak ada cewek yang bakal kecantol lagi sama dia. Hell! sahabat gue itu gak boleh melajang seumur hidup." Abey menamppakn raut ngeri akan bayangan imajinasinya.
Gina tersenyum lucu. "Pasti bakal dapat yang lebih baik kok. Lo juga."
Tiba-tiba, tangan yang terangkul itu Abey gerakkan dengan wajah yang malu-malu. Gina yang menatap lantas menaikkan satu alisnya.
"Gin, sebenarnya gue lagi suka sama seseorang sekarang," ungkap Abey malu-malu.
Gina seketika memelotot. "Serius? Siapa?" Ingin rasanya gadis itu menjerit kesenangan. "Oke, oke! Kita jangan bicara di sini. Panggil Sela dulu terus bareng-bareng ke kafe. Astaga, Bey!"
Abey yang terkikik bersama Gina yang kesenangan. Keduanya berjalan beriringan masih dengan lengan yang saling melingkar. Menacari kelas Sela dengan langkah yang terbilang buru-buru. Kala sudah bertemu tanpa menunggu banyak waktu mereka lantas minggat menuju kafe langganan mahasiswa kampus.
π
"Yang benar lo lagi suka sama seseorang?" tanya Sela penuh semangat. Pertanyaannya lantas dijawab dengan anggukan kepala serta pipi yang merona.
"Ayo cerita, Bey," tutur Gina. Gadis itu bersama Sela sudah duduk siap seraya memasang telinga. Memandang penuh antusias pada Abey yang nampak geregetan dengan dirinya sendiri.
Abey berdeham singkat. "Dari mana ya, ceritanya? Intinya awal ketemu tuh, waktu gue mau ke parkiran temui Mavi. Dia buru-buru, gue juga buru-buru. Jadi pas di pintu keluar gedung utama kampus kita gak sengaja tubrukan."
"Terus, terus?"
"Terus ... bentar gue minum dulu." Iklan sejenak untuk menghilangkan dahaga bercampur gugup. "Gue gak kenal siapa tapi dia tahu nama gue. Pas saling tatap, bukan main manisnya gak ketulungan!" pekiknya kecil di akhir.
Wajah Abey kian merona sampai mengibas-ngibaskan tangannya. Sela juga ikut dengan memberinya tisu lalu Gina yang meniup gadis itu.
"Gue gak sempat tanya namanya tapi karena dia pakai jas gue prediksi dia anak kedokteran," ujar Abey dan kembali minum.
"Anak kedokteran banyak, Bey. Coba ciri-cirinya kasih tahu yang jelas," sahut Sela.
"Ah! Gue ada fotonya. Sempat gue potret diam-diam, hehe."
Ponsel dalam tas selempang lantas Abey keluarkan demi membuka album fotonya. Singkat menggeser layar dan tersenyum puas kala tampang anak lelaki kini memenuhi layar datar.
"Ini dia. Kalian kenal gak?"
Gina dan Sela yang menatap foto itu sejenak dalam hitungan detik lantas terbelak. Sela sampai mengambil alih ponsel gadis itu. Gina termangu dan berkedip beberapa kali hingga mulut lebarnya itu tertutup dengan kepalan tangan.
"Bey, serius?" Sela mendongak menatap penuh kaget.
Yang ditanya mengangguk tak kalah kuat. "Beberapa hari ini gue juga sudah sering berhubungan. Sempat ketemuan juga terus ngobrol."
Mendengar jawaban dan pengakuan yang tak terduga dari Abey membuat Sela dan Gina saling bertukar pandang. Mereka melepas tawa singkat saking tidak percayanya.
"Dunia itu memang sempit rupanya. Seukuran daun kelor," kata Sela. Namun, Abey yang menatap hanya bisa terdiam heran.
Berganti Gina yang merogoh ponselnya. Sebuah panggilan masuk dengan nama Henan terpampang pada layar tanpa menunda lantas dijawab.
"Iya, kenapa?"
"Di mana? Kelas lo sudah kosong katanya habis ujian."
"Lagi di kafe bareng Abey sama Sela. Ada apa?" Kedua gadis yang disebut saling tukar pandang dan tersenyum jahil. Sela sampai bergumam kata posesif membuat Abey menahan tawa.
"Gue kira di mana. Pulang nanti mau ikut gak?"
Gina menyerit. "Ke mana?"
"Jenguk Nanda. Kata Jeon dia lagi sakit. Sudah dua hari."
"Nanda sakit? Sakit apa?" Kedua gadis itu seketika mencondongkan badan ke depan.
"Gak tahu. Makanya ini rencana mau ke sana bareng Jeon juga Mapoy."
"Mapoy siapa?" sahut Sela pelan. Abey menggerakkan mulutnya menyebut nama Mavi. Membuat pacar Delio itu menangguk dengan mulut terbuka.
"Ya, sudah iya. Tapi bareng Sela sama Abey juga. Gak apa?" Memberi kode kepada mereka yang dijawab anggukan iya.
"Mana-mana. Nanti gue susul ke sana."
"Okay!"
Hendak mematikan panggilan namun Henan masih menyahut. Terlebih malah terdengar oleh kedua anak perempuan yang duduk bersamanya. "Sayang, malam ini jalan, ya?"
Ingin rasanya Gina tenggelam ke laut dalam. Telinganya merona lebat mendengar panggilan Henan yang belum terbiasa untuknya. Lain dengan Sela dan Abey yang sudah menahan jeritan.
"I-Iya. Abey juga ajak jalan tadi," jawab Gina menahan gejolak kupu-kupu halu yang bertebangan.
"Abey? Double date atau triple date? Sela ikut?"
Gina lantas memandang Sela. "Kalau dibolehin gabung ya, gue tancap gas," jawab gadis itu.
"Kalau Bang Delio gak sibuk. Hahahaha." Tawa jahat Henan hanya dibalas decakan kasar dari Sela.
"Ya, sudah. Nanti kemari saja kalau sudah selesai urusan. Gue matikan. Bye!" Belum sempat dijawab tombol merah itu sudah Gina tekan. Masa bodoh sama Henan yang misuh-misuh nanti. Dirinya masih dilanda salah tingkah karena lelaki itu yang tiba-tiba memanggilnya Sayang.
"Jadi Nanda sakit? Pantasan jarang ketemu. Jeon juga jadi lebih sering pulang cepat," ujar Sela setelah melahap potongan waffle-nya.
"Dia kan, bucin adiknya, Sel. Lagi masa tobat buat jadi buaya katanya," pukas Gina dengan kekehan kecil.
Di saat mereka sibuk bercanda pasal Jeon, lain Abey yang malah terdiam diri di tempat sambil memandangi ponselnya. Layar datar benda itu masih menunjukkan foto anak lelaki yang telah mengambil hatinya.
π
Tiga motor, tiga lelaki dan tiga perempuan. Mereka kini berkumpul di depan indekos Putra Berlian, indekos Henan bersama Mavi dan dua lelaki sepupuan. Niatan ketiga sepasang sejoli itu ingin menjenguk salah satu teman mereka, Nanda.
"Ini gak apa jenguk malam-malam?" tanya Gina setelah dipasangkan helm oleh Henan.
"Gak apa. Kita niatnya menjenguk, bukan maling," jawab lelaki itu. Berhasil mendapat tatapan jengah dari kekasihnya sendiri.
"Lepas ini benaran mau nge-date?" Delio mengintrupsi.
"Gak tahu. Tergantung Henan," jawab Mavi.
"Kok gue?" Yang disebut malah menunjuk dirinya sendiri.
"Kan, lo yang ajak Gina tadi. Bagaimana, sih?" sahut Sela. "Pakai kata apa tuh, tadi?" Gadis itu memberi kode dua alis terangkat pada Abey. Mendapat kekehan yang berhasil membuat Gina kembali malu.
"Ngapain pada nangkring? Tunggu monyet bertelur baru berangkat lo pada?" Thilo muncul dengan kaus oblong dan celana pendek. Berdiri di samping pagar seraya bersedekap dada.
"Ini baru mau jalan. Abang gak ikut?" tanya Mavi mendapat gelengan dari Thilo.
"Gue titip salam saja sama doa. Tugas gue banyak."
Para pengendara itu pun melajukan kendaraannya menuju rumah si kembar. Tak banyak yang terjadi selain mereka yang saling mengekor di belakang. Di motor Mavi bersama Abey, mereka membahas seuatu dengan penuh kelembutan. Delio dan Sela adalah sepasang kekasih yang tengah melepas rindu. Dan yang terakhir, paling lain dari yang lain. Henan dan Gina yang tak bisa terlepas dari yang namanya debat. Dua pengendara di belakang mereka hanya bisa menggelangkan kepala menatap tingkahnya.
Di depan gerbang putih yang sedikit menjulang tinggi, tiga motor itu terparkir dengan begitu rapi. Para gadis turun dengan telaten dan melepas pelindung kepala. Seorang penjaga lantas menarik sekat besi itu untuk memberi jalan masuk. Yang lain sempat terperangah kala sampai di rumah besar ini. Termasuk Gina.
"Eh, ada Henan. Baru sampai, ya? Sini masuk-masuk. Pada ramai datangnya." Wanita menawan yang menerima kedatangan mereka memunculkan diri.
"Iya, Tan. Tante bagaimana kabarnya?" sapa Henan.
"Baik kok, Sayang." Wanita itu kini berpaling pada yang lainnya. Seketika mendapat sapaan dengan bungkukan badan. "Mau jenguk Nanda, ya? Langsung saja ke atas. Tahu kamarnya, kan?"
"Aman, Tan. Kalau begitu Henan sama yang lain ke atas, ya? Permisi." Mendapat izin, mereka pun beranjak menuju kamar Nanda.
Pintu putih bersih polos yang kemudian Henan buka, mendapati Jeon yang tengah duduk bersandar di samping Nanda. Asik bermain ponsel sementara sang saudara sibuk mengunyah bubur dengan wajah tanpa minat.
"Halo calon dokter. Bagaimana keadaan? Sudah mendingan apa malah bertambah rasa sekaratnya?" sahutan Henan yang berhasil membuat keduanya menoleh secara bersamaan.
"Kalian ngapain ke sini?" Nyerit Nanda. Mangkuk bubur itu seketika disingkirkan dari pangkuan ke meja nakas di samping ranjang.
"Baik loh, kita. Menjenguk calon dokter tersayang." Henan yang tanpa permisi langsung membuang diri di bawah kaki Nanda. Sang empu masih setia dengan pandangan heran.
"Hai, Nan. Bagaimana keadaan lo?" Mavi ikut mendekatkan diri. Dengan lebih sopan duduk di sofa kecil yang tersedia.
"Sudah lebih mendingan, Bang," jawab Nanda. "Ngomong-ngomong, makasih sudah mau datang. Jadi merepotkan."
"Gak ada yang repot. Kita ke sini karena memang pengin jenguk," ujar Sela dengan senyum baiknya. Delio mengusap kepalanya dengan sayang memamerkan kemesrahan.
Nanda berpaling ke Gina yang masih diam berdiri. "Hai, Gin. Jadi, Henan bagaimana? Masih bucin sama Shin-chan?"
"Itu mah, gak bisa hilang, Nan," jawab Gina seraya mendelik pada Henan yang asik telentang. Membuat Nanda berhasil melepas tawa pelan.
Terakhir pada seorang gadis cantik yang bersembunyi di belakang kekasih Henan. Wajahnya yang teduh sedari tadi menatapnya. Kala berhasil bertukar pandang, Nanda menerbitkan senyum manis yang lebar.
"Hai, Bey."
Gadis itu seketika gelagapan. Gina menyingkirkan dirinya demi menampilkan gadis itu. "H-Hai, Nan," jawabnya gugup.
"Makasih sudah datang. Sampai harus keluar malam hari begini."
Gadis itu menggeleng. "Gak apa. Gak masalah. Gue juga sudah izin kok tadi," sanggahnya kuat.
Sela menepuk bahu gadis itu. "Pelan-pelan saja, Bey."
Lantunan Sela yang mengambil seluruh perhatian mereka di sana. Seakan paham, mereka lantas berlalu keluar hingga menyisakan gadis itu bersama Nanda dalam kamar. Pintu sedikit di buka untuk mengurangi kecurigaan dan salah paham.
"Duduk, Bey."
"Ah ... iya. Terima kasih."
Hening menyelimuti, Abey duduk dengan tatapan menunduk. Lain dengan Nanda yang sedari tadi menatap gadis itu dengan senyum tipis.
"Bey," panggil Nanda yang membuat pemilik nama mendongak. "Maaf gak kasih kabar dua hari ini. Lo gak marah, kan?" Gadis itu menggeleng. "Sakit gue gak parah, sih. Cuman kelelahan."
"Yang peting sekarang gak apa-apa," katanya dengan suara pelan. Pandangannya beralih pada tangan Nanda yang tergelak diam di atas perut. "Um ... gue bisa ...." Berharap kode matanya dimengerti oleh Nanda.
Menatap gelagat lucu Abey membuat senyuman Nanda makin melebar. Tangannya berbalik hingga menunjukkan telapak tangan. "Silahan. Tangannya punya lo," ucapnya.
Terasa dingin namun hangat secara bersamaan. Abey menyukai bagaimana jemari lentik itu mengusap pelan pada punggung tangannya. Membiarkan kebisuan menyelimuti mereka dengan aksi yang ditatap diam-diam oleh penghuni di luar.
Mavi tersenyum di tempatnya. Jeon memberinya tepukan bahu. "Jangan putus asa, Bang. Nanti juga ketemu."
Lelaki itu menggeleng. "Gue gak apa. Cuman senang Abey sudah bisa lupa sama perasaannya." Kembali menatap pada Abey bersama Nanda. "Adik gue sudah tumbuh besar."