Kalau tidak masuk kuliah memang paling enak rebahan sambil nonton. Kayak kegiatan Henan sekarang. Dari pagi sampai menjelang malam, dirinya jarang keluar dari kamar hanya demi maraton Shin-chan. Orang rumah juga nampak tidak terlalu peduli karena sudah mengenal habitat kesehariannya. Malah justru menyediakan hal yang lelaki itu butuhkan. Bak anak raja.
Henan benar-benar pulang ke rumah. Tempat kedua orang tuanya tinggal. Henan anak bungsu yang memiliki kakak laki-laki. Kakaknya itu sudah menikah bahkan sudah memiliki anak berusia tiga tahun. Tak jarang dirinya akan berkunjung demi menjenguk kakak ipar. Atau alasan yang lebih sering dia gunakan untuk meminta jajan. Henan masih menaruh banyak harapan untuk isi ATM-nya pada sang Kakak.
"Henan, Mama mau keluar sama Papa. Kamu gak apa di rumah sendirian?" Mama yang menunjukkan diri di balik pintu setengah terbuka menatap anak bungsunya yang berbaring santai di atas kasur.
"Mau ke mana?" Henan sedikit menegak.
"Acara kantor Papa. Kalau kamu mau ikut ya, siap-siap. Biar Mama kasih tahu Papa di bawah."
"Gak, deh. Enakan di rumah, nonton," tolaknya dan kembali ke posisi awal. "Tapi pulang bawakan sate, ya? Henan lapar."
"Kamu ini. Giliran makan saja nomor satu. Iya, Mama bawakan," ucap wanita itu. "Ya sudah. Kunci pintu depan, Mama bawa cadangan. Jangan aneh-aneh kamu sendirian."
Henan melayangkan acungan jempolnya sebagai jawaban tanpa menoleh. Pintu yang tertutup menandakan kalau sang Mama sudah berlalu. Tunggu beberapa menit ribut kendaraan pun terdengar. Dan Henan sudah sangat yakin kini tersisa dirinya seorang di rumah.
Laptop di atas perut lantas disingkirkan. Menyibak selimut yang menutupi setengah badan. Sekarang jam setengah 4 menuju 5 sore. Henan belum mandi dan niatnya sekarang ingin membasuh diri. Dua hari tak masuk kampus benar-benar membuatnya merasakan healing. Meski sempat mendapat wawancara dadakan pasal kepulangannya yang tiba-tiba.
Henan tak pernah menyentuh ponselnya selama dua hari penuh ini. Hanya berputar pada laptop dan komputer game-nya saja. Benda tipis persegi panjang itu bahkan sudah tidak dipedulikan pasal notif yang bertumpuk banyak. Entah pesan maupun panggilan, Henan tidak pernah membukanya.
Tapi untuk hari ini, lelaki itu memutuskan untuk mengecek pasal berita yang terjadi selama dua hari dirinya tak masuk kampus. Sejenak kala jarinya menekan tombol on, notifikasi yang paling teratas adalah pesan dari Gina. Dirinya mematung sekadar memandang. Sekarang, dirinya baru sadar dilanda rindu.
Tanpa hambatan lantas membuka notifikasi dari gadis itu. Paling pertama dibandingkan dengan pesan Jeon maupun Nanda yang terlalu banyak spam dan penuh hal yang tak penting. Bahkan di saat dirinya tengah mencoba untuk tak melanjutkan perasaannya, tak bisa dipungkiri kalau Henan sejatinya tak mampu. Makin dia mencoba untuk berhenti, dirinya malah makin menginginkan gadis itu.
Ma little sweetness♡:
| Henan, lo gak masuk kuliah?
| Kemarin gue cari katanya izin.
| Lo sakit?
29 Juli, 04.45 PM.
"Banget. Gue sakit banget, Gin," jawabnya.
Ma little sweetness♡:
| Henan, gue pengin mie ayam.
| Tapi gue gak ada teman jalan.
| Kak Mavi sibuk temani Abey.
29 Juli, 08.12 PM.
| Henan, gue salah ya?
| Apa lo semarah itu sama gue?
29 Juli, 11.02 PM.
Ma little sweetness♡:
| Henan, gue gak bisa tidur.
| Lo belum nyanyi buat gue.
| Tapi lo pasti sudah tidur so, night.
Kemarin, 02.33 AM.
Ma little sweetness♡:
| Hari ini lo masuk kampus, kan?
| Gue lagi baik nih, mau traktir.
| Ketemu di kantin nanti.
Kemarin, 08.21 AM.
Ma little sweetness♡:
| Lo gak masuk lagi hari ini, Hen.
| Mau sampai kapan ngambeknya?
Kemarin, 04.00 PM
Ma little sweetness♡:
| Maaf, Henan.
Hari ini, 03.29 AM.
Henan keluar dari ruang obrolan mereka. Tidak banyak pesan yang dia baca sisanya. Hanya terpaku pada yang terakhir.
Sekarang Henan merasa kalau dirinya sudah keterlaluan. Alasan dirinya pulang terasa terlalu anak-anak. Hanya karena dirinya yang merasa tak terima sampai menjauh dari lingkup anak itu. Padahal aslinya, Henan juga merasa tersiksa dengan pilihannya. Dua hari tak masuk kampus, healing ada tapi bayang-bayang merindukan gadis itu jelas lebih banyak. Henan tak bisa menghindari itu.
Ping!
Sebuah pesan baru masuk. Berhenti pada barusan kedua setelah ruang obrolannya dengan Gina. Grup berisikan dirinya dan anak kembar menunjukkan sebuah link yang menampilkan sebuah laman berita dari sosial media kampus. Dengan rasa penasaran Henan membukanya.
Jeon krokodail:
| 'Ratu kampus dan pengeran jenius tidak berpacaran? Disebut-sebut ada orang ketiga.'
| Mending lo masuk kampus, Hen.
| Sebelum para lambe turah ini makin menjadi.
"Sialan!" desis Henan.
🎗
"Gina, lo benaran pacaran sama Kak Mavi?"
"Benaran sudah jadian lo sama dia? Kok bisa?"
"Lo cuman teman atau memang pacaran?"
"Terus Abey bagaimana? Dia gak marah sama lo?"
Gina hanya diam membiarkan seluruh pertanyaan itu melebur bersama angin. Pagi ini kampus sangat ribut pasal berita yang baru saja terbit dari laman media sosial kampus. Tentu saja Gina tahu judul dan isi berita itu. Pasal orang ketiga yang orang-orang bicarakan, sudah sangat jelas mereka semua akan membodongnya dengan pertanyaan itu. Kedekatannya bersama Mavi, terlebih karena memang sudah menjalin hubungan membuat keduanya sudah sering terlihat di kampus bersama-sama.
Kemunculan berita itu mengundang ketakutan sejenak bagi Gina. Abey yang terkenal seantero kampus jelas akan membuat hal ini menjadi sangat panas dan terangkat nomor satu dalam pembahasan. Gina takut kala bertemu dengan gadis itu, bayangan pembulian akan terjadi. Belum lagi dengan ucapan anak-anak lain yang terdengar memberi dukungan akan kehaluannya. Di saat yang lainnya terus-terusan memberinya pertanyaan, Gina hanya mengharapkan kehadiran seseorang yang mungkin bisa melindunginya.
"Ribut benar kalian ini. Gak cewek, gak cowok, doyannya gosip." Sela memunculkan dirinya. Membuat orang-orang yang mengumpuli Gina jadi menatapnya.
Setelah mengusir para manusia kepo itu Sela lantas mendudukkan diri di samping Gina. Menatap dengan sangat jelas bagaimana kegugupan yang terpampang diraut wajah anak itu.
"Nanti ketemu sama Abey dan bicara baik-baik. Gue kenal dia, gak kayak yang orang-orang bilang. Abey bukan tipe pem-bully jadi lo tenang saja," ucapnya.
"Tapi berita itu ...."
"Bukan dari dia, tapi penggemarnya. Lo tahu kan, setenar apa gadis itu? Bukan hal aneh kalau ada sesuatu yang menyangkut soal dia akan cepat tersebar dan jadi gosip panas." Gina menghela napasnya dan Sela memberinya elusan lembut pada bahu sebelah. "Lo tenang saja. Nanti gue temani bicara sama dia."
"Makasih."
"Demi percintaan orang bego ini selesai, Gin. Gue capek." Di saat Sela terkikik, Gina malah memberinya cibiran.
Kelas yang selesai dengan damai hanya berjalan sampai dosen yang mengajar keluar dari kelas. Sisanya kembali lagi dengan aksi penasaran akan orang ketiga dalam laman berita. Sela yang jengah duluan dengan itu. Maka sebelum mereka memberinya lebih banyak pertanyaan tak bermutu, gadis itu lantas menarik Gina untuk keluar dari kelas.
Tepat tiga langkah menjauh dari kelas, sosok Abey kini terlihat diam berdiri tepat dihadapan. Dari tatapan gadis itu Gina bisa tahu semarah apa Abey padanya. Dirinya bahkan sudah menciut duluan saat perempuan cantik itu sudah melangkah mendekat di depannya. Ingin lari namun Sela masih setia menggenggam tangannya di bawah. Beralih pada mengigit bibir bawah demi menahan rasa takut. Tidak terlupa dengan orang-orang yang sudah berkumpul mengerumuni mereka. Ingin mendengar secara langsung akan hubungan fenomenal yang berakhir tak jadi.
"Lo takut?" sahut Abey. Gina hanya menunduk perlahan. "Gue memang kesal sama lo. Pengin gue bejek-bejek sampai habis. Tapi ...," ucapannya tergantung sejenak. "Gue gak bisa lakukan itu karena Mavi pasti benci sama gue."
Orang-orang sudah saling berbisik. Mengambil kesimpulan kebenaran akan hubungan Abey dan Mavi yang kandas karena kehadiran Gina.
"Gue pengin bicara baik-baik. Hari ini gue mau lo bayarin semua makanan gue," sahut Abey lagi.
Gina kini mendongak. Meski wajah Abey masih terkesan datar, tapi gadis itu menunjukkan semburat senyum tipis yang sulit terlihat. Sela bahkan menyenggolnya dengan bahu. Memberi kode untuk mengikuti kemauan gadis itu.
"Gue—"
"Buruan. Gue lapar." Bahkan belum sempat bagi Gina menjawab pun dirinya sudah di tarik duluan meninggalkan kerumunan.
Gina memang takut akan bayangan di saat dirinya menjadi korban mampus Abey. Tapi kenyataannya, dirinya malah harus menghabiskan segala isi dompet demi melayani perempuan cantik itu. Merampoknya tanpa hati nurani. Dan yang lebih membuatnya kaget, Abey menghabiskan seluruh pesanan yang terbilang banyak itu. Gina yang hanya sebatas waffle pancake sudah kenyang lebih dulu.
"Sehari lebih gue gak makan gara-gara dengar kabar lo sama Mavi," kata Abey. "Lo sejahat itu sama gue, Gin. Padahal maksud gue minta tolong itu buat lo jujur sendiri. Malah di buat makin jatuh cinta sama lo. Gue benar-benar kalah."
Gina terdiam. Selain bingung ingin menjawab apa, dirinya juga takut jika nanti akan salah memberi sanggah. Maka pilihan diam adalah salah satu jalan yang terbaik untuk dia lakukan.
"Benar, lo gak usah sanggah apa pun. Cukup dengar gue saja marah-marah sama lo di sini," celetuk Abey seakan tahu isi pikirannya. "Mulai dari yang sebenarnya gue sudah tahu kalau Mavi suka sama lo waktu pertama masuk kampus."
Mata Gina seketika terbelak lebar. Abey tersenyum merasa meremehkan. "Lo bisa bayangkan bagaimana perjuangan gue untuk buat Mavi gak suka sama lo. Tapi nyatanya gue tetap gak bisa. Mavi sudah kagum sama lo sejak lama. Dari pertemuan yang katanya lo salah paham sama dia. Tiba-tiba Mavi sering tanya ke gue bagaimana caranya untuk dekat sama cewek. Dia kaku soal itu, Gin."
"J-Jadi selama ini ...." Abey memberinya anggukan kepala seraya membersihkan mulut dengan serbet.
"Kalian sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama dan gue gak suka itu," jawabnya jujur. "Makin dewasa gue makin sadar, rasa gue ke Mavi sudah lebih. Tapi Mavi gak, perasaannya tetap sama. Gue masih jadi adik perempuan bagi dia, gak lebih. Sakit banget hati gue."
"Maaf," sahut Gina. "Semuanya salah gue."
"Memang. Lo penyebab kisah cinta gue jadi perjuangan yang sia-sia," balas Abey mantap. "Sayangnya, gue juga gak bisa memaksa karena nanti cuma bisa buat gue sama Mavi sakit. Lebih baik mundur daripada pura-pura. Lo paham kan, maksud gue?"
Gina memalingkan wajahnya menolak bersitatap.
"Gina, gue juga tahu satu hal," sahut Abey. "Lo sebenarnya gak cinta sama Mavi. Iya, kan?"
Kepalan tangan di atas paha itu kiat mengerat meremat ujung kausnya. Abey tersenyum manis di tempat. "Memaksa itu sakit, Gin. Gue tahu lo capek sendiri karena bingung sama perasaan lo. Aslinya, bukan Mavi di dalam sana."
Gina menoleh. Mendapat Abey yang masih setia dengan senyumnya. Jari telunjuk gadis itu memberi kode pada dada kirinya. "Di sana penuh sama nama Henan."
Abey mengambil satu buah tisu yang kemudian di berikan pada Gina. "Gak usah nangis. Gue juga pernah yang namanya rindu sampai jadi cengeng kayak lo. Hapus sebelum tumpah. Nanti gue dikira benaran bully lo." Gina lantas mengikuti arahan gadis itu.
"Jujur memang sulit. Tapi kalau lo terus seperti ini, yang ada Henan bakal benar-benar mundur dari lo. Gak mau hal itu terjadi kan?"