Ma Babeyy♡:
| Gue mau bicara.
| Taman TK Germilang.
Mavi menghela napas beratnya setelah memasukkan ponsel itu dalam saku kardigan. Aksi kegiatan bertukar pesan pada Gina nyatanya tidak berjalan lancar meski gadis itu sudah menjadi kekasihnya sekarang. Pesannya dibaikan. Sekadar centang dua tanpa ada niatan berubah warna.
Kini berganti menjadi pesan Abey yang paling teratas. Lelaki itu memandangi dirinya dari pantulan kaca. Lama akan keterdiaman hingga senyum kemirisan muncul seketika. Mavi menertawakan dirinya sendiri. Merasa lucu dengan kelabilan yang nampak membuatnya menjadi lelaki paling berengsek saat ini.
Tidak ingin membuat Abey menunggu terlalu lama, terlebih di saat jam malam Mavi lantas bergegas keluar untuk segera menemuninya. Kala pintu tertutup dan membuatnya berhadapan dengan pintu kamar Henan, dirinya seketika merasa buruk. Kamar yang terkunci dan ditinggal oleh pemiliknya, Mavi tahu jelas mengapa Henan pulang ke rumah. Meski lelaki muda itu sempat mengatakan pamit kepada seluruh penghuni indekos tapi tidak bisa dipungkiri kalau Mavi bisa menemukan raut kebencian di wajah pria itu.
"Mau ke mana lagi, Vi? Jalan bareng Gina?" Thilo yang mengisi ruang depan dengan tontonan berita menyambutnya kala hendak menuju pintu depan.
"Gak, Bang. Mau temui Abey di taman TK ujung komplekss," jawabnya.
Lantas terjadi kebisuan setelahnya. Mavi terlalu sibuk memakai sepatunya sedangkan Thilo hanya menatap dari tempat. Sontak, layar TV tiba-tiba berubah menjadi gelap. Lelaki yang duduk di sofa itu kini berposisi tegak.
"Vi, lo gak boleh begini," sahut Thilo. Mavi berhenti setelah kegiatan memakai sepatunya selesai. Membalikkan badan dan memandang kakak tingkat kampusnya. "Tahu sekarang sikap lo kayak orang bajingan? Seandainya gue saudara dari salah satu gadis itu, sudah bonyok lo dari kemarin," pukasnya.
Mavi tahu arah pembicaraan ini. Dirinya juga bingung sama diri sendiri. Ingin menjawab namun lidahnya sulit untuk menyusun kata-kata. Kepalanya hanya bisa menunduk layaknya seorang anak tengah mendapat ceramah dari sang Ayah.
"Sadar gak kalau ada dua hati yang sakit karena kelakuan lo? Gak, tiga kayaknya," celetuk lelaki itu lagi. Mavi masih diam tak bergeming. "Pilih satu, yang pasti. Lo gak bisa ambil dua-duanya sekaligus. Itu egois namanya."
"Tapi gue cinta sama Gina, Bang," jawab Mavi akhirnya.
"Terus Abey? Kalau lo cinta sama Gina, Abey mau lo ke manakan?" sanggah Thilo kembali menciptakan kebisuan. "Dengar, Vi. Sayang itu bisa dibagi tapi gak sama cinta. Cukup satu. Sama kayak hati lo. Lo punya satu dan hanya satu orang yang bisa tempati itu. Kalau lo menaruh keduanya di sana yang ada bukan kedamaian yang lo dapat. Terlebih lo tahu Abey kayak bagaimana. Hubungan kalian sudah lama dan gadis itu juga sudah menaruh harapan besar sama lo."
Mavi mendongak. "Terus gue harus bagaimana, Bang? Gue gak mau lepas Gina karena dia cinta pertama gue."
Thilo menyerit di tempat. "Cinta pertama? Bukannya lo bilang Abey cinta pertama?" Membuatnya dilanda kejut yang begitu hebat, Mavi memberinya jawaban menggeleng.
"Perasaan bisa berubah dalam kurun waktu ke depan, Bang. Gue sama Abey. Gue gak bisa taruh perasaan lebih sama gadis itu. Dulu iya! Tapi ...." Mavi berhenti sejenak. "Perasaannya beda kalau gue jabarkan sama Gina. Itu bukan cinta, Bang."
Thilo berdiri dari tempatnya. Hawa panas seketika menyerang meski suhu ruangan nyatanya di bawah tekanan udara yang cukup dingin. Dirinya menatap Mavi dengan penuh kasihan. Serumit ini percintaan anak muda. Dia yang belum merasakan jadi mendadak takut sama yang namanya jatuh cinta. Lebih baik dia menghitung segala rumus Matematika ketimbang berurusan dengan hati.
"Sebenarnya gue sudah suka di saat dia jadi mahasiswi baru," sahut Mavi.
"Gina?" Mavi mengangguk. Sepertinya lelaki itu akan cerita sekarang. "Terus?" Maka Thilo bermaksud memancingnya keluar untuk mencari jalan penyelesaian.
"Dia anaknya periang, Bang. Ramah sama orang-orang. Dari bagaimana dirinya berekspresi gue sudah jatuh hati. Setiap hari gue cuman bisa pandang dari jauh karena gue gak berani. Gue terlalu pengecut untuk kasih tahu soal perasaan gue. Sampai disatu saat dia dekat sama Henan, gue memutuskan untuk lebih dekat walaupun di awal kita memang sudah cukup saling kenal," jelas Mavi.
"Tapi makin dekat Henan sama Gina buat gue jadi lebih takut buat jujur. Terlebih anak itu sudah anggap gue sebagai abangnya, makanya gue pilih jalan untuk mundur," lanjutnya. "Gue sudah mencoba, Bang. Gue sudah mencoba buat lepas perasaan gue karena Gina bahagia sama Henan. Gue pulang sama Abey untuk mengalihkan perasaan tapi tetap saja gak bisa. Setiap gue sama Abey, bayangan gadis kecil itu selalu muncul tanpa gue minta."
Mavi meramas kepala saking stresnya dengan diri sendiri. Mengingat bayang-bayang kebersamaannya dengan Abey sepenuhnya tidak pernah berjalan dengan perasaan menggembirakan. Dirinya selalu menghayal akan sosok Gina yang menemaninya.
"Berarti semuanya salah lo, Vi," ujar Thilo kemudian. "Gue gak salahkan bagian perasaan lo ke Gina tapi sama Abey. Lo sudah terlalu banyak berbohong sama dia. Lebih parahnya lagi, lo menaruh harapan besar yang sangat didambakan oleh gadis itu."
"Gue tahu harusnya gak lakukan itu! Tapi gue gak ada cara lain untuk lepas perasaan gue, Bang. Cuman Abey satu-satunya yang bisa gue tempati untuk pengalihan."
"Lo benar-benar berengsek rupanya, Vi." Senyum Thilo terbit dengan pandangan menyindir. "Temui Abey dan bicarakan semuanya. Gak peduli sampai gadis itu benci sama lo atau gak yang pasti demi semuanya selesai. Gue tahu lo capek, Abey juga capek. Pilihan bodoh lo itu membuat semua orang yang ikut di dalam jadi capek."
TV kembali dinyalakan dan Thilo sudah duduk santai di sofa. Mavi hanya diam di tempat memandang dengan mata sayunya. Helaan napas berat yang terlepas menggiring langkahnya untuk segera keluar. Menemui Abey yang masih setia menunggu demi kejelasannya. Semuanya harus dia katakan sekarang.
🎗
Di bangku taman tempat biasanya para orang tua menjaga anak. Abey duduk dalam diam seraya menatap kedua ujung sandalnya. Dinginnya malam sama sekali tak mengusik gadis itu. Meski hanya berbalut dengan kaus lengan panjang, semilir angin tak menghantarkan rasa merinding untuknya.
Mavi di sana. Berdiri cukup berjarak seraya memandangi gadis itu dengan penuh rasa bersalah. Abey adalah gadis baik. Orang tua mereka sudah saling menaruh kepercayaan. Namun, saling mengenal dari usia belia tidak menjadi kemungkinan kalau Mavi jatuh hati dengan gadis itu. Dulu iya, tapi dirinya sadar kalau itu bukanlah sebuah perasaan yang menginginkan. Abey masih tetap menjadi gadis kecil yang akan dia jaga layaknya seorang kakak. Abey adalah gadis kecil yang akan selalu menjadi adik perempuannya. Hanya itu. Mavi hanya merasakan itu.
Langkah kaki yang terasa berat itu kini berayun. Melangkah mendekat dan ketika sudah berdiri di samping sang gadis, badannya lantas terbawa untuk ikut duduk. Menemani dalam keheningan di bawah lampu remang taman. Abey masih setia menatap ujung sandalnya. Seakan kehadiran Mavi sama sekali tak dihiraukan.
Mavi menunduk menatap jari-jarinya yang bermain di pangkuan. Lelaki itu ingin bersuara namun tenggorokannya terasa kering. Antara takut dan bingung ingin memulai bicara dari mana. Nyatanya, Mavi memang hanyalah seorang lelaki pengecut tak pernah jujur sama perasaannya.
"Bey, gue—"
"Setidaknya bilang sama gue kalau lo gak cinta, Vi," gadis itu menyela. Kepalanya kemudian menoleh dan serasa hati Mavi diremuk dengan begitu kuat. Kedua mata Abey terlihat sembap. "Lo harusnya gak kasih gue harapan sebesar ini."
Kepala Mavi perlahan menunduk. Tak mampu membalas sitatap yang teramat menyedihkan itu. "Maaf, Bey."
"Bukan maaf. Kenapa? Kenapa, Vi? Apa semua perasaan gue cuman main-main buat lo?" Mavi masih membisu sementara gadis di sampingnya nampak menggebu. "Lo jahat tahu gak? Gue kecewa berat sama lo, sama diri gue sendiri. Gue gak seharusnya setuju sama pintaan lo itu. Tapi apa? Gue terlalu sayang sampai keliahatan jadi kayak orang bodoh."
Kini Mavi mendongak. Menatap wajah sedih Abey dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maaf, Bey. Maafin gue," pintanya.
"Lo semudah itu minta maaf setelah lo ingkar janji, Vi. Hati gue sakit," ucapannya yang bersamaan dengan bulir bening tumpah membasahi pipinya. "Janji lo banyak. Harapan gue makin besar. Tapi nyatanya lo gak bakal pernah balas itu. Kenapa gak dari awal bilang sama gue, Vi? Kenapa?"
Tangisan yang akhirnya lepas membuat Mavi mati kutu di tempat. Ketika tangannya hendak meraih Abey untuk direngkuh, gadis itu menepisnya. Memilih untuk menangisi dirinya sendiri seraya tersedu-sedu.
"Bey ...."
"Gue benci sama diri gue sendiri! Bagaimana bisa gue masih yakin sama lo gak bakal berpaling? Nyatanya Gina memang sudah penuh di dalam hati lo," serunya. Menatap Mavi dengan derai air mata tanpa peduli bagaimana tampilannya kini di depan lelaki itu.
"Perasaan bukan hal sepele, Mavi. Kalau selama ini lo gak punya cinta ke gue setidaknya jangan kasih harapan lebih. Gue gak masalah kalau sekadar sayang tapi gak dengan cinta palsu lo, Vi. Gue gak sekuat itu."
Setelah mengusap kedua pipinya, gadis itu kini berdiri. Mavi mengikutkan diri masih dengan tatapan sedih. "Sekarang bilang! Gak usah pikirin sama sakit hati gue karena dari awal itu sudah sakit. Bilang, Vi! Jujur sama gue!"
Meski dengan tampang mencoba kuat, sejatinya Abey menahan diri untuk tidak memukul lelaki di depannya hingga habis. Kedua tangan yang terkepal di samping tubuhnya menjadi pengalihan akan emosi. Menatap Mavi yang penuh akan kesedihan pada dirinya sendiri. Sekasihan itu, Abey tidak habis pikir.
"Maaf, Bey," ucap Mavi. "Maaf karena selama ini gue gak tulus sama lo. Maaf karena sejatinya, gue memang gak punya perasaan itu buat lo."
Mavi bisa melihat bagaimana Abey yang mengeraskan rahangnya untuk menahan tangis kembali ingin tumpah. Dirinya tak bisa melihat itu. Rasa bersalahnya makin besar. Maka dirinya mengambil langkah maju untuk lebih dekat.
"Gue sayang sama lo, Bey. Sangat. Gue sayang lo sebagai adik perempuan gue," tutur Mavi. "Gue gak bisa lebih dari itu. Perasaan gue gak bisa berkembang meskipun pernah gue coba. Cinta gak tumbuh di hati gue buat lo, Bey. Maaf."
Abey kembali menangis meski harus matian-matian menahan itu keluar. Bibirnya bergetar dan kini isakannya lepas. Mavi makin bergerak maju dan meraih kedua tangan gadis itu. Sempat mengusap bulir bening yang membanjiri wajahnya. Berakhir memeluk tubuh bergetar sebab tangisan kepedihan. Mavi mengelus surai belakangnya demi memberi ketenangan. Bersamaan dengan dirinya yang mengumpati diri di dalam hati.
"Gue minta maaf sama lo selama ini. Gue terlalu pengecut untuk jujur sama semuanya. Karena gue gak mau lo menangis karena gue. Gue gak mau lihat lo tangisi cowok menyedihkan ini, Bey. Air mata lo terlalu berharga untuk tumpah karena itu. Maaf."
Dan Mavi kini merasa separuh hatinya mendapat kelegaan. Terasa ringan setelah mengatakan seluruhnya. Walau rasa sedih dan bersalah masih bersarang setelah membuat Abey menangis. Namun, dirinya memang tidak bisa memaksa. Hatinya terhenti dirasa sayang seorang kakak pada adik untuk Abey. Mematahkan asmara yang penuh dambaan indah bagi gadis itu. Mavi tahu kalau dirinya sudah menjadi perusak dalam kisah asmaranya.
Rengkuhan itu makin erat dengan Abey yang masih setengah sesegukan. Membungkus badan yang masih gemetar, menjadi tameng dari hawa dingin yang menyerang. Kisah cinta Abey memang sedih. Membuktikan kalau sahabat pun tak bisa menjadi teman bersama untuk menjalani hidup. Sesedih itu.
"Gue Sayang lo, sister. From the bottom of my heart."
Kisah cinta Abey sudah selesai bahkan di saat dirinya belum memulai.